BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) 1. Pengertian ISPA ISPA merupakan singkatan dari Infeksi Saluran Pernapasan Akut, istilah ini diadaptasi dari istilah dalam bahasa Inggris Acute Respiratory Infection (ARI). Penyakit infeksi akut yang menyerang salah satu bagian dan atau lebih dari saluran napas mulai dari hidung (saluran pernapasan atas) sampai alveoli (saluran pernapasan bawah) termasuk jaringan adneksanya seperti sinus rongga telinga tengah dan pleura (Depkes, 2001). Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) adalah infeksi saluran pernafasan akut yang menyerang tenggorokan, hidung dan paru-paru yang berlangsung kurang lebih 14 hari, ISPA mengenai struktur saluran di atas laring, tetapi kebanyakan penyakit ini mengenai bagian saluran atas dan bawah secara stimulan atau berurutan (Muttaqin, 2008). Berdasarkan definisi diatas dapat disimpulkan bahwa ISPA adalah infeksi saluran pernafasan akut yang menyerang tenggorokan, hidung dan paru-paru yang berlangsung kurang lebih 14 hari, mengenai struktur saluran di atas laring, kebanyakan mengenai bagian saluran atas dan bawah secara stimulan atau berurutan mulai dari hidung (saluran pernapasan atas) sampai alveoli (saluran pernapasan bawah) termasuk jaringan adneksanya seperti sinus rongga telinga tengah dan pleura. 2. Klasifikasi ISPA Klasifikasi ISPA menurut Depkes RI (2002) adalah : a. ISPA ringan Seseorang yang menderita ISPA ringan apabila ditemukan gejala batuk pilek dan sesak.
7
8
b. ISPA sedang ISPA sedang apabila timbul gejala gejala sesak napas, suhu tubuh lebih 0
dari 39 C dan bila bernapas mengeluarkan suara seperti mengorok. c. ISPA berat Gejala meliputi : kesadaran menurun, nadi cepat atau tidak teraba, nafsu makan menurun, bibir dan ujung nadi membiru (sianosis) dan gelisah. 3. Penyebab ISPA ISPA disebabkan oleh bakteri atau virus yang masuk ke saluran nafas. Penyebab lain adalah faktor lingkungan rumah, seperti halnya pencemaran udara dalam rumah, ventilasi rumah dan kepadatan hunian rumah. Pencemaran udara dalam rumah yang sangat berpengaruh terhadap kejadian ISPA adalah asap pembakaran yang digunakan untuk memasak. Dalam hal ini misalnya bahan bakar kayu. Selain itu, asap rokok yang ditimbulkan dari salah satu atau lebih anggota yang mempunyai kebiasaan merokok juga menimbulkan resiko terhadap terjadinya ISPA (Depkes RI, 2002). Menurut Notoatmodjo (2007), ventilasi rumah dibedakan menjadi dua yaitu ventilasi alamiah dan ventilasi buatan. Ventilasi alamiah yaitu dimana aliran udara di dalam ruangan tersebut terjadi secara alamiah melalui jendela, pintu, lubang angin, dan lubang-lubang pada dinding. Ventilasi alamiah tidak menguntungkan, karena juga merupakan jalan masuknya nyamuk dan serangga lainnya ke dalam rumah. Ventilasi buatan yaitu dengan menggunakan alat-alat khusus untuk mengalirkan udara misalnya kipas angin dan mesin penghisap udara. Namun alat ini tidak cocok dengan kondisi rumah di pedesaan. Ventilasi rumah yang kurang akan lebih memungkinkan timbulnya ISPA pada bayi dan anak balita karena mereka lebih lama berada di rumah sehingga dosis pencemaran tentunya akan lebih tinggi.
9
4. Faktor Resiko ISPA Menurut Depkes RI (2002), faktor resiko terjadinya ISPA secara umum yaitu : a. Faktor lingkungan 1) Pencemaran udara dalam rumah Asap rokok dan asap hasil pembakaran bahan bakar untuk memasak dengan konsentrasi tinggi dapat merusak mekanisme pertahanan paru sehingga akan memudahkan timbulnya ISPA. Hal ini dapat terjadi pada rumah yang ventilasinya kurang dan dapur terletak di dalam rumah, bersatu dengan kamar tidur, ruang tempat bayi dan balita bermain. 2) Ventilasi rumah Ventilasi adalah proses penyediaan udara atau pengarahan udara ke atau dari ruangan baik secara alami maupun secara mekanis. Membuat ventilasi udara serta pencahayaan di dalam rumah sangat diperlukan karena akan mengurangi polusi asap yang ada di dalam rumah sehingga dapat mencegah seseorang menghirup asap tersebut yang lama kelamaan bisa menyebabkan terkena penyakit ISPA. Luas penghawaan atau ventilasi alamiah yang permanen minimal 10% dari luas lantai. 3) Kepadatan hunian rumah Kepadatan tempat tinggal yang padat dapat meningkatkan faktor polusi dalam rumah yang telah ada. Begitu juga keadaan jumlah kamar yang penghuninya lebih dari dua orang, karena bisa menghalangi proses pertukaran udara bersih sehingga menjadi penyebab terjadinya ISPA.
10
b. Faktor individu anak 1) Umur anak Insiden penyakit pernapasan oleh virus melonjak pada bayi dan usia dini pada anak-anak dan tetap menurun terhadap usia. Insiden ISPA tertinggi pada umur 6-12 bulan. 2) Berat badan lahir Anak-anak dengan riwayat berat badan lahir rendah akan mengalami lebih berat infeksi pada saluran pernapasan. Hal ini dikarenakan pembentukan zat anti kekebalan kurang sempurna sehingga lebih mudah terkena penyakit infeksi, terutama pneumonia dan sakit saluran pernapasan lainnya. 3) Status gizi Balita dengan gizi yang kurang akan lebih mudah terserang ISPA dibandingkan balita dengan gizi normal karena faktor daya tahan tubuh yang kurang. Penyakit infeksi sendiri akan menyebabkan balita tidak mempunyai nafsu makan dan mengakibatkan kekurangan gizi. Pada keadaan gizi kurang, balita lebih mudah terserang “ ISPA berat “ bahkan serangannya lebih lama. c. Faktor perilaku Perilaku manusia adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang diamati secara langsung maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar. Perilaku terdiri dari persepsi (perseption), respon terpimpin (guided respon), mekanisme (mechanisme), dan adopsi (adoption) (Notoatmodjo, 2003). Perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus atau rangsangan dari luar. Dilihat dari bentuk respon terhadap stimulus ini, maka perilaku dapat dibedakan menjadi dua, yaitu : 1) Perilaku tertutup (covert behavior) Respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk terselubung atau tertutup (covert). Respon atau reaksi terhadap stimulus ini masih
11
terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan atau kesadaran dan sikap yang terjadi pada orang yang menerima stimulus tersebut dan belum dapat diamati secara jelas oleh orang lain. 2) Perilaku terbuka (overt behavior) Respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau terbuka. Respon terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktek yang mudah dan dapat diamati atau dilihat oleh orang lain. Selain
itu,
Skinner
(dalam
Notoatmodjo,
2003)
juga
mengemukakan bahwa perilaku adalah hasil hubungan antara stimulus (perangsang) dan respon (tanggapan). Dalam perilaku kesehatan, respon seseorang terhadap stimulus akan berkaitan dengan sakit atau penyakit, sistem pelayanan kesehatan, serta lingkungan. Sedangkan perilaku orang terhadap penyakit adalah cara manusia berespon, baik secara pasif (mengetahui, bersikap, dan mempersepsikan tentang suatu penyakit yang ada pada dirinya dan diluar dirinya) yang dilakukan sehubungan dengan penyakit tersebut maupun secara aktif yaitu dengan melakukan tindakan tersebut. Determinan perilaku manusia sulit untuk dibatasi karena perilaku merupakan hasil dari berbagai faktor baik internal maupun eksternal (lingkungan). Faktor internal mencakup pengetahuan, persepsi, emosi, dan motivasi, yang berfungsi untuk mengolah rangsangan dari luar. Sedangkan faktor ekstern meliputi lingkungan sekitar, baik fisik maupun non fisik, seperti manusia dan sosial ekonomi (Notoadmodjo, 2003). Perilaku manusia dapat dilihat dari tiga aspek yaitu aspek fisik, psikis, dan sosial. Secara lebih terperinci perilaku manusia merupakan refleksi dari berbagai gejala kejiwaan, seperti: pengetahuan, sikap, keinginan, kehendak, minat dan motivasi (Notoatmodjo, 2003). Konsep umum yang digunakan untuk mendiagnosis perilaku adalah konsep dari Lawrence
12
Green yang dikutip oleh Notoatmodjo (2003). Lawrence Green menyatakan bahwa perilaku dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu : 1) Faktor predisposisi (predisposing factors) Faktor–faktor yang dapat mempermudah atau mempredisposisi terjadinya perilaku pada diri seseorang atau masyarakat adalah pengetahuan dan sikap seseorang atau masyarakat tersebut terhadap apa yang akan dilakukan. Misalnya, dengan pengetahuan yang dimiliki ibu tentang penyakit ISPA maka dia akan dapat mengambil sikap mengenai apa yang harus dilakukan untuk mencegah penyakit tersebut. 2) Faktor pemungkin (enabling factors) Faktor pemungkin atau pendukung (enabling) perilaku adalah fasilitas, sarana atau prasarana yang mendukung atau yang memfasilitasi terjadinya perilaku seseorang atau masyarakat. Misalnya, untuk pengobatan kejadian ISPA pada anak maka diperlukan tenaga kesehatan serta fasilitas pelayanan kesehatan seperti puskesmas dan rumah sakit. 3) Faktor penguat (reinforcing factors) Pengetahuan, sikap, dan fasilitas yang tersedia kadang–kadang belum menjamin terjadinya perilaku seseorang atau masyarakat. Dengan adanya pengalaman pribadi serta adanya pengaruh dari luar seperti teman maka akan dapat memperkuat terjadinya perilaku. Sebelum orang mengadopsi perilaku baru, dalam diri orang tersebut terjadi proses berurutan, yaitu: 1) Kesadaran (awareness), dimana orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus (obyek). 2) Ketertarikan (interest) terhadap stimulus tersebut bagi dirinya. Hal ini sikap subyek sudah mulai timbul.
13
3) Penilaian (evaluation) terhadap baik buruknya stimulus tersebut bagi dirinya. 4) Trial, dimana subyek sudah mulai mencoba melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang dikehendaki stimulus. 5) Adoption,
dimana
subyek
telah
berperilaku
sesuai
dengan
pengetahuan, kesadaran, dan sikap terhadap stimulus. Dari hasil penelitian sebelumnya, Roger menyimpulkan bahwa perubahan perilaku tidak selalu melewati tahap–tahap tersebut diatas. Apabila penerimaan perilaku baru atau adopsi perilaku melalui proses seperti ini didasari oleh pengetahuan, kesadaran, dan sikap yang positif, maka perilaku tersebut akan bersifat langgeng (long lasting). Sebaliknya, apabila perilaku itu tidak didasari oleh pengetahuan, kesadaran dan sikap tersebut maka tidak akan berlangsung lama (Notoatmodjo, 2003). Green dalam Notoatmodjo (2007) menyatakan bahwa perilaku kesehatan dipengaruhi oleh faktor predisposisi (pendahulu) yang terwujud dalam pengetahuan, sikap, dan praktik, maka dapat dijabarkan sebagai berikut : 1) Pengetahuan Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia yaitu penglihatan, pendengaran,
peraba,
pembau,
dan
perasa.
Sebagian
besar
pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (overt behavior). Karena dari pengalaman
dan
penelitian
ternyata
perilaku
yang
didasari
pengetahuan akan lebih langgeng dari pada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan (Notoatmodjo, 2003). Pengetahuan pada hakikatnya merupakan segenap apa yang kita ketahui tentang suatu objek tertentu dan setiap jenis pengetahuan
14
mempunyai ciri–ciri spesifik mengenai apa (ontology), bagaimana (epistemology) dan untuk apa (aksiology) pengetahuan tersebut (Notoatmodjo, 2000). 2) Sikap Banyak teori yang mendefinisikan sikap antara lain adalah sikap seseorang adalah terhadap rangsang
predisposisi untuk memberikan tanggapan
lingkungan
yang
dapat memulai atau
membimbing tingkah laku orang tersebut. Secara definitif sikap berarti suatu keadaan jiwa dan keadaan berfikir yang disiapkan untuk memberikan tanggapan terhadap suatu obyek yang diorganisasikan melalui pengalaman serta mempengaruhi secara langsung atau tidak langsung pada praktik / tindakan (Notoatmodjo, 2003). New Comb (Notoadmodjo, 2003) salah seorang ahli psikologi sosial mengatakan bahwa sikap itu merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. Sikap belum merupakan merupakan
suatu tindakan atau aktifitas akan tetapi
prodisposisi tindak suatu perilaku, sikap itu masih
merupakan reaksi tertutup, bukan merupakan reaksi terbuka atau tingkah laku yang terbuka, sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap
obyek-obyek
di
lingkungan
tertentu
sebagai
suatu
penghayatan terhadap obyek. Sikap
juga
terdiri
dari
berbagai
tingkatan,
menurut
Notoatmodjo (2003) : a. Menerima (Receiving) Menerima diartikan bahwa orang (obyek) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan. b. Merespon (responding) Memberikan
jawaban
apabila
ditanya
mengerjakan
dan
menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari
15
sikap. Karena itu suatu usaha untuk menjawab suatu pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan itu benar atau salah, berarti orang menerima ide tersebut. c. Menghargai (Valuing) Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah adalah suatu indikasi bersikap. d. Bertanggung Jawab (responsible) Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko adalah merupakan sikap yang paling tinggi. Faktor-faktor mempengaruhi pembentukan sikap menurut Azwar (2003) antara lain : a. Pengalaman Pribadi Apa yang dialami seseorang akan mempengaruhi penghayatan dalam stimulus sosial. Tanggapan akan menjadi salah satu dasar dalam pembentukan sikap, untuk dapat memiliki tanggapan dan penghayatan seseorang harus memiliki tanggapan dan penghayatan seseorang harus memiliki pengamatan yang berkaitan dengan obyek psikologis. Menurut Breckler dan Wiggins (Azwar, 1998) bahwa sikap yang diperoleh lewat pengalaman akan menimbulkan pengaruh langsung terhadap perilaku berikutnya. Pengaruh langsung tersebut dapat berupa predisposisi perilaku yang akan direalisasikan hanya apabila kondisi dan situasi memungkinkan. b. Orang lain Seseorang cenderung akan memiliki sikap yang disesuaikan atau sejalan dengan sikap yang dimiliki orang yang dianggap berpengaruh antara lain adalah ; Orang tua, teman dekat, teman sebaya, rekan kerja, guru, suami atau istri.
16
c. Kebudayaan Kebudayaan dimana kita hidup akan mempengaruhi pembentukan sikap seseorang. d. Media Massa Sebagai sarana komunikasi, berbagai media massa seperti televisi, radio, surat kabar, mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap pembentukan opini dan kepercayaan seseorang. Dalam membawa pesan-pesan yang berisi sugesti yang dapat mengarah pada opini yang kemudian dapat mengakibatkan adanya landasan kognisi sehingga mampu membentuk sikap. e. Lembaga Pendidikan dan Lembaga Agama Lembaga
pendidikan
serta
lembaga
agama
suatu
sistem
mempunyai pengaruh dalam pembentukan sikap, dikarenakan keduanya meletakkan dasar dan pengertian dan konsep moral dalam diri individu. Pemahaman akan baik dan buruk antara sesuatu yang boleh dan tidak boleh dilakukan, diperoleh dari pendidikan dan pusat keagamaan serta ajaran-ajarannya. f. Faktor Emosional Tidak semua bentuk sikap ditentukan oleh situasi lingkungan dan pengalaman pribadi seseorang. Kadang-kadang suatu bentuk sikap merupakan pernyataan yang didasari oleh emosi, yang berfungsi sebagai semacam penyaluran frustasi atau pengalihan bentuk mekanisme pertahanan ego. Sikap demikian dapat merupakan sikap yang sementara dan segera berlalu. Begitu frustasi telah hilang, akan tetapi dapat pula merupakan sikap lebih persisten dan bertahan lama. 3) Praktik atau Tindakan (Practice) Suatu sikap yang baik terhadap kejadian ISPA belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan. Untuk terwujudnya sikap agar menjadi
17
suatu perbuatan diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain adalah fasilitas. Tingkat-tingkat praktik : a. Persepsi (Perseption) Mengenal dan memilih berbagai obyek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil adalah merupakan praktik tingkat pertama. b. Respon Terpimpin (Guided Respons) Dapat melakukan praktik hygiene perseorangan untuk mencegah keputihan sesuai dengan urutan yang benar dengan contoh adalah merupakan indicator praktik tingkat dua. c. Mekanisme (Mecanism) Apabila seseorang telah melakukan praktik personal hygiene untuk mencegah keputihan dengan benar otomatis, maka sudah mencapai praktik tingkat tiga . d. Adaptasi (Adaptation) Adalah suatu praktik yang sudah berkembang dengan baik, artinya sesuatu itu sudah dimodifikasikannya tanpa mengurangi kebenaran tindakan tersebut. Faktor perilaku dalam pencegahan dan penanggulangan penyakit ISPA pada bayi dan balita dalam hal ini adalah praktek penanganan ISPA di keluarga baik yang dilakukan oleh ibu ataupun oleh anggota keluarga lainnya. Peran aktif keluarga atau masyarakat dalam menangani ISPA sangat penting karena penyakit ISPA merupakan penyakit yang ada sehari-hari di dalam masyarakat atau keluarga. Hal ini perlu mendapat perhatian serius oleh kita semua karena penyakit ini banyak menyerang balita, sehingga itu balita dan anggota keluarganya yang sebagian besar dekat dengan balita mengetahui dan terampil menangani penyakit ISPA ketika anaknya sakit.
18
5. Tanda gejala ISPA Menurut Depkes RI (2003) tanda dan gejala penyakit ISPA dapat berupa batuk, kesulitan bernafas, sakit tenggorokan, pilek, demam, dan sakit kepala. Menurut Vietha ( 2009 ), tanda dan gejala dari ISPA adalah pilek biasa, keluar sekret cair dan jernih dari hidung, kadang bersi – bersin, sakit tenggorokan, batuk, sakit kepala, skret menjadi kental, demam, neusea, muntah, dan anoreksia. Sebagian besar anak dengan infeksi saluran pernafasan bagian atas memberikan gejala yang sangat penting yaitu batuk. Infeksi saluran nafas bagian bawah memberikan beberapa tanda lainnya seperti nafas yang cepat dan retratesi dada. Selain batuk gejala ISPA pada anak juga dapat dikenali yaitu flu, demam, dan suhu tubuh anak meningkat lebih dari 38,5○C dan disetai sesak nafas. Menurut derajat keparahannya, ISPA dapat dibagi menjadi 3 golongan yaitu : ISPA ringan (bukan pneumonia), ISPA sedang (pneumonia) dan ISPA berat (pneumonia berat). Kusus untuk bayi di bawah 2 bulan, hanya dikenal ISPA berat dan ISPA ringan ( tidak ada ISPA sedang ). Batasan ISPA berat untuk bayi kurang dari 2 bulan adalah bik frekuensi nafasnya sepat ( 60 kali / menit ) atau adanya tarikan dinding dada yang kuat. Pada dasarnya ISPA ringan dapat berkembang menjadi ISPA sedang / ISPA berat jika keadaan memungkinkan misalnya pasien kurang mendapat perawatan / daya tahan tubuh pasien sangat kurang. Gejala ISPA ringan dapat dengan mudah diketahui orang awam sedangkan ISPA sedang dan berat memerlukan beberapa pengamatan sederhana (Yasir, 2009). 6. Kejadian ISPA Setiap tahun diperkirakan 4 juta anak balita meninggal karena ISPA (terutama pneumonia dan bronkiolitis) antara 71-140 per 1000 kelahiran hidup. Pada tahun 2007 penyebab kematian dengan kasus pnemonia sebanyak 3,8%. Diperkirakan bahwa proposi penyakit menular di Indonesia dalam 12 tahun ini telah menurun, sepertiganya dari 44% menjadi 28% (Depkes, 2008).
19
Data dari Dinas Kesehatan Kota Semarang menyebutkan bahwa jumlah penderita ISPA pada tahun 2011 tercatat 58.627 kasus. Data tersebut di antaranya berasal dari 37 Puskesmas yang ada di kota Semarang. Tercatat Puskesmas Bangetayu Semarang terdapat 4.512 kasus penyakit ISPA. Angka ini merupakan angka tertinggi di seluruh Puskesmas kota Semarang (Dinas Kesehatan Kota Semarang, 2011). 7. Pencegahan ISPA Pengobatan pasien ISPA menurut buku pedoman penatalaksanaan. penderita ISPA untuk Departemen Kesehatan RI (2010) menyatakan bahwa penyelenggaraan Program P2 ISPA dititikberatkan pada penemuan dan pengobatan penderita sedini mungkin dengan melibatkan peran serta aktif masyarakat terutama kader, dengan dukungan pelayanan kesehatan dan rujukan secara terpadu di sarana kesehatan yang terkait. a. Pencegahan Tingkat Pertama (Primary Prevention) Intervensi yang ditujukan bagi pencegahan faktor risiko dapat dianggap sebagai strategi untuk mengurangi kesakitan (insiden) pneumonia. Termasuk disini ialah : 1) Penyuluhan, dilakukan oleh tenaga kesehatan dimana kegiatan ini diharapkan dapat mengubah sikap dan perilaku masyarakat terhadap hal-hal yang dapat meningkatkan faktor resiko penyakit ISPA. Kegiatan penyuluhan ini dapat berupa penyuluhan penyakit ISPA, penyuluhan ASI Eksklusif, penyuluhan imunisasi, penyuluhan gizi seimbang pada ibu dan anak, penyuluhan kesehatan lingkungan rumah, penyuluhan bahaya rokok. 2) Imunisasi, yang merupakan strategi spesifik untuk dapat mengurangi angka kesakitan (insiden) pneumonia. 3) Usaha di bidang gizi yaitu untuk mengurangi malnutrisi, defisiensi vitamin A.
20
4) Program KIA yang menangani kesehatan ibu dan bayi berat badan lahir rendah. 5) Program Penyehatan Lingkungan Pemukiman (PLP) yang menangani masalah polusi di dalam maupun di luar rumah. b. Pencegahan Tingkat Kedua (Secondary Prevention) Upaya penanggulangan ISPA dilakukan dengan upaya pengobatan sedini mungkin. Upaya pengobatan yang dilakukan dibedakan atas klasifikasi ISPA yaitu : 1) Untuk kelompok umur < 2 bulan, pengobatannya meliputi : a) Pneumonia Berat: rawat dirumah sakit, beri oksigen (jika anak mengalami sianosi sentral, tidak dapat minum, terdapat penarikan dinding dada yang hebat), terapi antibiotik dengan memberikan benzilpenisilin dan gentamisin atau kanamisin. b) Bukan Pneumonia: terapi antibiotik sebaiknya tidak diberikan, nasihati ibu untuk menjaga agar bayi tetap hangat, memberi ASI secara sering, dan bersihkan sumbatan pada hidung jika sumbatan itu menggangu saat memberi makan. 2) Untuk kelompok umur 2 bulan - <5 tahun, pengobatannya meliputi : a) Pneumonia Sangat Berat: rawat di rumah sakit, berikan oksigen, terapi antibiotik dengan memberikan kloramfenikol secara intramuskular setiap 6 jam. Apabila pada anak terjadi perbaikan (biasanya setelah 3-5 hari), pemberiannya diubah menjadi kloramfenikol oral, obati demam, obati mengi, perawatan suportif, hati-hati dengan pemberian terapi cairan, nilai ulang dua kali sehari. b) Pneumonia Berat: rawat di rumah sakit, berikan oksigen, terapi antibiotic
dengan
memberikan
benzilpenesilin
secara
intramuskular setiap 6 jam paling sedikit selama 3 hari, obati
21
demam, obati mengi, perawatan suportif, hati-hati pada pemberian terapi cairan, nilai ulang setiap hari. c) Pneumonia: obati di rumah, terapi antibiotik dengan memberikan kotrimoksasol, ampisilin, amoksilin oral, atau suntikan penisilin prokain intramuskular per hari, nasihati ibu untuk memberikan perawatan di rumah, obati demam, obati mengi, nilai ulang setelah 2 hari. d) Bukan Pneumonia (batuk atau pilek) : obati di rumah, terapi antibiotik sebaiknya tidak diberikan, terapi spesifik lain (untuk batuk dan pilek), obati demam, nasihati ibu untuk memberikan perawatan di rumah. e) Pneumonia Persisten : rawat (tetap opname), terapi antibiotik dengan memberikan kotrimoksasol dosis tinggi untuk mengobati kemungkinan adanya infeksi pneumokistik, perawatan suportif, penilaian ulang. c. Pencegahan Tingkat Ketiga (Tertiary Prevention) Tingkat pencegahan ini ditujukan kepada balita penderita ISPA agar tidak bertambah parah dan mengakibatkan kematian. 1) Pneumonia Sangat Berat: jika anak semakin memburuk setelah pemberian kloram fenikol selama 48 jam, periksa adanya komplikasi dan ganti dengan kloksasilin ditambah gentamisin jika diduga suatu pneumonia stafilokokus. 2) Pneumonia Berat: jika anak tidak membaik setelah pemberian benzilpenisilin dalam 48 jam atau kondisinya memburuk setelah pemberian benzipenisilin kemudian periksa adanya komplikasi dan ganti dengan kloramfenikol. Jika anak masih menunjukkan tanda pneumonia setelah 10 hari pengobatan antibiotik maka cari penyebab pneumonia persistensi.
22
3) Pneumonia: Coba untuk melihat kembali anak setelah 2 hari dan periksa adanya tanda-tanda perbaikan (pernafasan lebih lambat, demam berkurang, nafsu makan membaik. Nilai kembali dan kemudian putuskan jika anak dapat minum, terdapat penarikan dinding dada atau tanda penyakit sangat berat maka lakukan kegiatan ini yaitu rawat, obati sebagai pneumonia berat atau pneumonia sangat berat. Jika anak tidak membaik sama sekali tetapi tidak terdapat tanda pneumonia berat atau tanda lain penyakit sangat berat, maka ganti antibiotik dan pantau secara ketat.
B. Pengetahuan 1. Pengertian Pengetahuan adalah merupakan hasil “tahu” dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi setelah orang melalui panca indra manusia, yakni : indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperolah melalui mata dan telinga (Notoatmodjo, 2003). Sebelum seseorang mengadopsi perilaku baru, ia harus tahu terlebih dahulu apa arti atau manfaat perilaku bagi dirinya atau keluarganya. Usaha untuk tahu ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengideraan ini terjadi melalui panca indra manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting bagi terbentuknya tindakan seseorang (overt behavior). Perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan (Notoatmodjo, 2007).
23
2. Tingkatan-tingkatan pengetahuan Tingkatan pengetahuan di dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkatan, yaitu : a. Tahu (know) Tahu merupakan tingkatan pengetahuan paling rendah. Tahu artinya dapat mengingat atau mengingat kembali suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Ukuran bahwa seseorang itu tahu, adalah ia dapat menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, dan menyatakan. b. Memahami (comprehension) Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterprestasikan materi tersebut secara benar. c. Penerapan (application) Penerapan artinya suatu kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi nyata (sebenarnya), dengan menggunakan hokum-hukum, rumus, metode, dan sebagainya dalam situasi yang lain. d. Analisis (analysis) Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam satu struktur organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Ukuran kemampuan
adalah
ia
dapat
menggambarkan,
membuat
bagan,
membedakan, memisahkan, mengelompokkan. e. Sintesis (synthesis) Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis adalah suatu bentuk kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada.
24
f. Evaluasi (evaluation) Evaluasi yaitu suatu kemampuan untuk melakukan penilaian terhadap suatu objek. Evaluasi dapat menggunakan kriteria yang telah ada atau disusun sendiri. 3. Faktor yang mempengaruhi pengetahuan Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan menurut Notoatmodjo (2007), yaitu : a. Tingkat Pendidikan Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka dia akan lebih mudah dalam menerima hal-hal baru sehingga akan lebih mudah pula untuk menyelesaikan hal-hal baru tersebut. b. Informasi Seseorang yang mempunyai sumber informasi yang lebih banyak akan memberikan pengetahuan yang jelas. c. Budaya Budaya sangat berpengaruh terhadap tingkat pengetahuan seseorang, karena informasi-informasi baru akan di saring kira-kira sesuai dengan kebudayaan yang ada dan agama yang dianut. d. Pengalaman Pengalaman disini berkaitan dengan umur dan pendidikan individu, maksudnya pendidikan yang tinggi pengalaman akan luas sedang umur semakin banyak (bertambah tua). e. Sosial Ekonomi Tingkatan seseorang untuk memenuhi kebutuhan hidup disesuaikan dengan penghasilan yang ada, sehingga menuntut pengetahuan yang di miliki harus dipergunakan semaksimal mungkin. begitupun dalam mencari bantuan ke sarana kesehatan yang ada, mereka sesuaikan dengan pendapatan keluarga.
25
4. Cara memperoleh pengetahuan Ada berbagai macam cara untuk mencari atau memperoleh kebenaran pengetahuan sepanjang sejarah, yaitu : (Notoatmodjo, 2007) a. Cara tradisional Untuk memperoleh pengetahuan, cara kuno atau tradisional dipakai orang memperoleh kebenaran pengetahuan, sebelum ditemukannya metode ilmiah untuk metode penemuan secara sistematik dan logis. b. Cara coba-salah (Trial and error) Cara ini telah dipakai orang sebelum adanya kebudayaan, bahkan mungkin sebelum adanya peradaban. Pada waktu itu seseorang apabila menghadapi persoalan untuk masalah, upaya pemecahannya dilakukan dengan cara coba-coba saja. Dimana metode ini telah digunakan orang dalam waktu yang cukup lama untuk memecahkan berbagai masalah. Bahkan sekarang ini metode coba-coba masih sering dipergunakan terutama oleh mereka yang belum atau tidak mengetahui cara memecahkan masalah. c. Kekuasaan atau otoritas Kehidupan manusia sehari-hari, banyak sekali kebiasaan dan tradisi-tradisi yang dilakukan oleh orang tanpa melakukan penalaran apakah yang dilakukan tersebut baik atau tidak. Kebiasaan ini biasanya diwariskan turun temurun dari generasi berikutnya. Dimana pengetahuan, diperoleh berdasarkan otoritas atau kekuasaan, baik tradisi, otoritas pemerintah, otoritas pemimpin agama, otoritas ilmu pengetahuan. d. Berdasarkan pengalaman pribadi Pengalaman adalah guru yang baik, dimana pengalaman itu merupakan sumber pengetahuan, atau pengetahuan itu merupakan suatu cara untuk memperoleh kebenaran pengetahuan. Pengalaman pribadipun dapat digunakan sebagai upaya memperoleh pengetahuan. Perlu diperhatikan
26
bahwa tidak semua pengalaman pribadi dapat menuntun seseorang untuk menarik kesimpulan dengan benar, maka perlu berfikir kritis dan logis. e. Cara modern dalam memperoleh pengetahuan Cara ini disebut metode penelitian ilmiah atau metodologi penelitian, dimana cara ini mula-mula mengadakan pengamatan langsung terhadap gejala-gejala alam atau kemasyarakatan kemudian hasil pengamatannya tersebut dikumpulkan dan diklasifikasikan dan akhirnya diambil kesimpulan umum. Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang bertujuan untuk mengetahui atau menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subyek penelitian atau responden (Notoatmodjo, 2007). Tingkat pengetahuan yang akan ingin kita ketahui atau kita ukur dapat kita sesuaikan dengan tingkat pengetahuan yang akan kita ketahui, dalam hal ini tentang penyakit ISPA.
C. Kerangka Teori Faktor penyebab ISPA: a. Faktor lingkungan 1) Pencemaran udara dalam rumah 2) Ventilasi rumah 3) Kepadatan hunian rumah b. Faktor individu anak 1) Umur anak 2) Berat badan lahir 3) Status gizi c. Faktor perilaku (dipengaruhi oleh sikap, pengetahuan ibu, ketersediaan sarana dan prasarana, pengaruh media masa, pembinaan tenaga kesehatan, dan keyakinan).
Kejadian ISPA
Pengetahuan Ibu tentang ISPA
Gambar 2.1 Kerangka Teori Sumber : Depkes RI (2002)
Perilaku kesehatan
27
D. Kerangka Konsep Pengetahuan Ibu tentang ISPA
Kejadian ISPA
Gambar 2.2 Kerangka Teori E. Variabel Penelitian 1. Variabel bebas (independent variable) dalam penelitian ini adalah pengetahuan ibu tentang ISPA. 2. Variabel terikat (dependent variable) dalam penelitian ini adalah kejadian ISPA.
F. Hipotesa Hipotesa yang diajukan dalam penelitian ini adalah “terdapat hubungan yang bermakna antara pengetahuan ibu tentang ISPA dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah Puskesmas Bangetayu Semarang”.