BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1
Definisi Pajak Pajak
merupakan
penyumbang
terbesar
untuk
Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Banyak para ahli yang memberikan penjelasan mengenai definisi pajak. Berikut beberapa definisi pajak dari berbagai ahli di bidang perpajakan antara lain: Pengertian pajak menurut Dr. Soeparman Soemahamidjaja dari desertasinya yang berjudul: Pajak Berdasarkan Asas Gotong Royong” (Universitas Pajajaran Bandung, 1964) menyatakan pajak adalah iuran wajib berupa uang atau barang yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma hukum, guna menutup biaya produksi barang-barang dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum. (Munawir, 1990) Menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH menyebutkan bahwa “Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undangundang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang dapat digunakan untuk membayar pengeluaran umum.” (Mardiasmo, 2011)
8
9
Dari berbagai pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara yang bersifat memaksa (menurut Undang-Undang), dimana hasil pembayaran pajak tersebut tidak dapat dinikmati secara langsung oleh wajib pajak orang pribadi maupun wajib pajak badan, akan tetapi dapat dinikmati melalui program pembangunan infrastruktur dan pembangunan lainnya yang bersifat umum. Ciri-ciri yang melekat pada pengertian pajak menurut Siti Resmi (2011,2) adalah: a. Pajak
dipungut
berdasarkan
undang-undang
serta
aturan
pelaksanaannya; b. Dalam pembayaran pajak tidak dapat
ditunjukkan adanya
kontraprestasi individual oleh pemerintah; c. Pajak dipungut oleh Negara baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah; d. Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah, yang bila dari pemasukannya masih terdapat surplus, dipergunakan untuk membiayai public investment.
2.1.2
Fungsi Pajak Dalam buku yang ditulis oleh Waluyo (2003,8) menyebutkan terdapat dua fungsi pajak yaitu:
10
a.
Fungsi Penerimaan (Budgeter) Pajak berfungsi sebagai sumber dana yang diperuntukkan bagi pembiayaan pengeluaran-pengeluaran pemerintah. Sebagai contoh yaitu dimasukkannya pajak dalam APBN sebagai penerimaan dalam negeri.
b.
Fungsi Mengatur (Reguler) Pajak
berfungsi
sebagai
alat
untuk
mengatur
atau
melaksanakan kebijakan di bidang social dan ekonomi. Sebagai contoh yaitu dikenakannya pajak yang lebih tinggi terhadap minuman keras, dapat ditekan. Demikian pula terhadap barang mewah.
2.1.3
Jenis-Jenis Pajak Menurut Siti Resmi (2011,7) secara umum pajak dapat dibedakan berdasarkan klasifikasi sebagai berikut : a.
Menurut golongan Berdasarkan golongan, pajak dibedakan menjadi dua yaitu : 1) Pajak Langsung Pajak yang harus dibebankan langsung kepada Wajib Pajak dan tidak bisa dilimpahkan kepada pihak lain. Contoh : Pajak Penghasilan (PPh)
11
2) Pajak Tidak Langsung Pajak yang pada
akhirnya
dapat digeser atau
dilimpahkan kepada pihak lain. Contoh : Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) b.
Menurut sifat Berdasarkan sifat, pajak dibedakan menjadi dua yaitu : 1) Pajak Subjektif Pajak yang berdasarkan kepada subjeknya yang berarti memperhatikan dengan keadaan diri Wajib Pajak. Contoh : Pajak Penghasilan (PPh) 2) Pajak Objektif Pajak yang berdasarkan kepada objeknya seperti benda,
keadaan,
mengakibatkan
perbuatan,
timbulnya
pajak
atau tanpa
peristiwa
yang
memperhatikan
keadaan Wajib Pajak. Contoh : Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), Bea Materai, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). c.
Menurut lembaga pemungut Berdasarkan lembaga pemungut, pajak dibedakan menjadi dua yaitu :
12
1) Pajak Pusat Pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat untuk membiayai rumah tangga negara. Contoh : Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM). 2) Pajak Daerah Pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah baik daerah tingkat I (Pajak Provinsi) dan daerah tingkat II (Pajak Kabupaten atau Kota) untuk membiayai rumah tangga daerah. Contoh: Pajak Provinsi meliputi Pajak Kendaraan Bermotor, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, dan Pajak Rokok. Pajak Kabupaten meliputi Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan, Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan, Pajak Parkir, Pajak Air Tanah, Pajak Sarang Burung Walet, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
2.1.4
Sistem Pemungutan Pajak Berdasarkan buku yang ditulis Mardiasmo (2011,17) sistem pemungutan pajak terbagi menjadi 3 (tiga) yaitu :
13
a.
Official Assessment System Suatu sistem pemungutan yang memberikan wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang. Ciri-cirinya: 1) Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada fiskus; 2) Wajib pajak bersifat pasif; 3) Untang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh fiskus.
b.
Self Assessment System Suatu sistem pemungutan yang memberikan wewenang kepada Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan besarnya pajak yang harus dibayar.
c.
With Holding System Sistem ini merupakan sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang penuh kepada pihak ketiga untuk memotong atau memungut besarnya pajak yang terutang.
2.1.5
Pengertian Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang ditetapkan dengan UU nomor 18 tahun 2000 merupakan pajak yang dikenakan terhadap
14
pertambahan nilai (Value Added) yang timbul akibat dipakainya faktorfaktor produksi di setiap jalur perusahaan dalam menyiapkan, menghasilkan, menyalurkan, dan memperdagangkan barang atau pemberian pelayanan jasa kepada para konsumen. (Rahayu & Suhayati, 2010) PPN dalam istilah asing disebut dengan Value Added Tax (VAT) atau Goods and Services Tax (GST). PPN juga termasuk dalam jenis pajak tidak langsung, maksudnya pajak ini disetorkan oleh pihak lain yang bukan penanggung pajak atau penanggung pajak (konsumen akhir) tidak menyetorkan langsung pajak yang ia tanggung. 2.1.6
Tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menurut Pasal 7 UU No. 42 Tahun 2009 adalah: a.
Tarif Pajak Pertambahan Nilai sebesar 10% (Sepuluh Persen) Tarif 10% dikenakan atas setiap penyerahan barang kena pajak di dalam Daerah Pabean/ impor barang kena pajak/ penyerahan jasa kena pajak di dalam Daerah Pabean/ pemanfaatan barang kena pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean/ pemanfaatan jasa kena pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean. Berdasarkan pertimbangan perkembangan ekonomi dan/atau peningkatan
15
kebutuhan dana untuk pembangunan, Pemerintah diberi wewenang mengubah tarif Pajak Pertambahan Nilai menjadi paling rendah 5% (lima persen) dan paling tinggi 15% (lima belas persen) dengan tetap memakai prinsip tarif tunggal. Perubahan tarif dikemukakan oleh Pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat dalam rangka pembahasan dan Penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). b.
Tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 0% (nol persen) Tarif 0% dikenakan atas ekspor BKP berwujud/ekspor BKP tidak berwujud/ekspor Jasa Kena Pajak. Pengenaan tarif 0%(nol persen) tidak berarti pembebasan dari pengenaan PPN. Dengan demikian pajak yang telah dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang berkaitan dengan kegiatan tersebut dapat dikreditkan. (Resmi, 2011)
2.1.7
Objek Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dikenakan atas pertambahan nilai yang
terjadi
karena
kegiatan-kegiatan
tertentu
yang
dapat
dikelompokkan menjadi tiga, yaitu: a.
Penyerahan barang kena pajak (BKP) di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak dengan syarat:
16
1) Barang berwujud yang diserahkan merupakan barang kena pajak (BKP); 2) Barang tidak berwujud yang diserahkan merupakan barang kena pajak (BKP) tidak berwujud; 3) Penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean; 4) Penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya. b.
Impor barang kena pajak, yakni pemungutan pajak saat impor barang kena pajak.
c.
Penyerahan jasa kena pajak yang dilakukan di dalam Daerah Pabean oleh Pengusaha Kena Pajak dengan syarat sebagai berikut: 1) Jasa yang diserahkan merupakan jasa kena pajak; 2) Penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean; 3) Penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya; 4) Pemanfaatan barang kena pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; 5) Pemanfaatan jasa kena pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; 6) Ekspor barang kena pajak oleh Pengusaha Kena Pajak;
17
7) Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri atau digunakan pihak lain; 8) Penyerahan aktiva yang menurut tujuan semula tidak dapat diperjualbelikan (bukan inventory) oleh Pengusaha Kena Pajak, sepanjang Pajak Masukan yang dibayar pada saat perolehannya menurut ketentuan dapat dikreditkan. (Mardiasmo, 2011)
2.1.8
Dasar Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Untuk menghitung besarnya pajak yang terutang, diperlukan adanya Dasar Pengenaan Pajak (DPP). Pajak yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tariff pajak dengan Dasar Pengenaan Pajak (DPP). (Waluyo, 2002) Dasar Pengenaan Pajak (DPP) merupakan jumlah tertentu sebagai dasar untuk menghitung Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Dasar pengenaan pajak terdiri dari beberapa hal, yakni: a. Harga jual Harga jual adalah nilai berupa uang termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh pengusaha karena penyerahan BKP, tidak termasuk PPN yang dipungut berdasarkan
18
Undang-Undang PPN dan potongan harga yang dicantumkan dalam faktur pajak. b. Nilai Penggantian Nilai penggantian merupakan tafsiran biaya untuk mengganti biaya yang dikeluarkan guna mendapatkan profesi, keterampilan, dan pengalaman yang memberikan kegiatan pelayanan dalam arti “Jasa”
tersebut.
Jika
harga
jual
atau
nilai
penggantian
menggunakan mata uang asing, maka harus dikonversi ke dalam mata uang rupiah sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan mengenai kurs yang berlaku untuk saat ini. c. Nilai Impor-Ekspor Nilai impor adalah nilai berupa uang yang menjadi ilai impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan bea masuk ditambah pungutan lainnya
yang dikenakan pajak
berdasarkan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan Pabean untuk impor BKP, tidak termasuk PPN yang dipungut berdasarkan undang-undang PPN. Sementara nilai ekspor adalah nilai berupa uang, dimana di dalamnya termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh eksportir. Nilai ekspor tercantum dalam dokumen tertentu yang dapat dijadikan sebagai Faktur Pajak untuk ekspor, yaitu Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB), yang tidak difiat muat
19
oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Berapapun nilai ekspor yang tercantum dalam dokumen ekspor (PEB), tidak ada perhitungan PPN karena tarif PPN untuk barang ekspor adalah 0%. Dengan tarif 0% maka PKP dapat mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran (restitusi) PPN dalam rangka ekspor BKP. d. Nilai Lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak. Nilai lain adalah jumlah yang ditetapkan sebagai Dasar Pengenaan Pajak. Nilai lain tersebut ditetapkan sebagai berikut: 1) Untuk memakai sendiri barang kena pajak dan/ atau jasa kena pajak adalah harga jual atau penggantian setelah dikurangi laba kotor; 2) Untuk pemberian cuma-cuma barang kena pajak dan/ atau jasa kena pajak adalah harga jual atau penggantian setelah dikurangi laba kotor; 3) Untuk penyerahan media rekaman suara atau gambar adalah perkiraan harga jual rata-rata; 4) Untuk penyerahan film cerita adalah perkiraan hasil ratarata per judul film; 5) Untuk penyerahan produk hasil tembakau adalah sebesar harga jual eceran;
20
6) Untuk barang kena pajak berupa persediaan dan/ atau asset yang menurut tujuan semula tidak diperjualbelikan yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan adalah harga wajar; 7) Untuk penyerahan barang kena pajak dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan/atau penyerahan barang kena pajak antarcabang adalah harga pokok penjualan atau harga perolehan; 8) Untuk penyerahan barang kena pajak melalui pedagang perantara adalah harga yang disepakati antara pedagang perantara dan pembeli; 9) Untuk penyerahan barang kena pajak melalui juru lelang adalah harga lelang; 10) Untuk penyerahan jasa pengiriman paket adalah 10% (sepuluh persen) dari jumlah yang ditagih atau jumlah yang seharusnya ditagih; 11) Untuk penyerahan jasa biro perjalanan atau jasa biro pariwisata adalah 10% (sepuluh persen) dari jumlah tagihan atau jumlah yang seharusnya ditagih. Pajak masukan yang berhubungan dengan penyerahan jasa oleh pengusaha
jasa
pengiriman
paket
dan
pengusaha
jasa
biro
21
perjalanan/pariwisata sebagaimana dimaksud dalam poin 10 dan 11 di atas jasa tidak dapat dikreditkan. (Resmi, 2011)
2.1.9
Cara Kerja Sistem Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Pajak Petambahan Nilai (PPN) dikenakan atas pertambahan nilai (Value Added) dari barang yang dihasilkan atau diserahkan oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) apakah ia pabrikan, importer, agen utama, atau distributor utama. Secara umum, pajak dipungut secara bertingkat pada jalur produksi dan distribusi dengan tidak ada unsur pemungutan pajak berganda. Dengan demikian sistem Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yakni dikenakan atas penyerahan, dipungut secara bertingkat pada jalur produksi dan distribusi, dan mekanisme kredit pajak (metode Faktur Pajak). (Mardiasmo, 2011)
2.1.10 Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Kurang atau Lebih Disetor Pajak Masukan dalam suatu masa pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran dalam masa pajak yang sama. Pembeli barang kena pajak, penerima jasa kena pajak, pengimpor barang kena pajak, pihak yang memanfaatkan barang kena pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean, dan pihak yang memanfaatkan jasa kena pajak dari luar Daerah Pabean wajib membayar pajak pertambahan nilai dan berhak atas bukti
22
pungutan pajak. Pajak pertambahan nilai yang seharusnya sudah dibayar tersebut merupakan pajak masukan bagi pembeli barang kena pajak, penerima jasa kena pajak, pengimpor barang kena pajak, pihak yang memanfaatkan barang kena pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean yang berstatus sebagai Pengusaha Kena Pajak. Pajak yang kurang disetor terjadi jika pajak keluaran yang dipungut saat menjual barang kena pajak/ jasa kena pajak lebih besar daripada pajak masukan dalam masa pajak tertentu. Sementara pajak lebih bayar terjadi jika jumlah kredit pajak lebih besar dari pajak yang terutang atau yang seharusnya tidak terutang dengan kata lain terdapat kelebihan pajak masukan terhadap pajak keluaran dalam masa pajak tertentu. Dengan demikian, besarnya PPN yang kurang atau lebih dibayar atau disetor oleh pengusaha kena pajak dihitung dari selisih Pajak Keluaran dengan Pajak Masukan.
2.1.11 Pengertian Restitusi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Restitusi atau pengembalian kelebihan pembayaran pajak adlaah hak bagi Wajib Pajak berdasarkan hasil pemeriksaan pajak terbukti terdapat kelebihan pembayaran pajak. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menyebutkan bahwa restitusi merupakan ganti kerugian; pembayaran kembali; penyerahan bagian pembayaran yg masih bersisa.
23
Dalam Ketentuan Umum dan Tata Cata Perpajakan (KUP) menyebutkan bahwa pengembalian kelebihan pembayaran pajak (restitusi) terjadi apabila jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang atau telah dilakukan pembayaran pajak yang tidak seharusnya terutang, dengan catatan WP tidak punya hutang pajak lain. (PAJAK, 2012) Dari kedua pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa restitusi PPN
merupakan
pengembalian
kelebihan
pembayaran
pajak
pertambahan nilai yang diberikan kepada wajib pajak yang melakukan lebih bayar atas pajaknya.
2.1.12 Kepastian Hukum Restitusi Salah satu aspek yang penting dalam Hukum Pajak adalah adanya kepastian hukum. Kepastian hukum adalah suatu kondisi dalam mana tidak terdapat keragu-raguan dalam memenuhi kewajiban perpajakan dan menjalankan hak perpajakan baik bagi Wajib Pajak maupun fiskus. Kepastian hukum perpajakan
terdapat dalam Undang-Undang
Perpajakan sebagai rujukan pertama dan peraturan pelaksanaannya sebagai rujukan berikutnya. Contoh kepastian hukum dalam sistem perpajakan Indonesia dewasa ini yang berhubungan dengan hak Wajib Pajak antara lain
24
adalah hak Wajib Pajak untuk mendapatkan jawaban atas permohonan pembayaran kembali kelebihan bayar pajak (restitusi). Seorang
Wajib
Pajak
yang
dalam
surat
pemberitahuan
menyatakan lebih bayar jumlah pajak yang telah dibayarnya, dan sekaligus memohonkan supaya jumlah lebih bayar tersebut secara tunai dikembalikan kepadanya (restitusi), maka Direktur Jenderal Pajak berkewajiban memberi keputusan terhadap permohonan Wajib Pajak tersebut. Jika dalam jangka waktu 12 bulan sejak diterima permohonan tersebut Direktur Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan, maka permohonan kelebihan pembayaran pajak tersebut berdasarkan UndangUndang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), demi kepastian hukum, dianggap DIKABULKAN. Kepastian hukum ini tercantum dalam pasal 17 UU KUP 1994 dan pasal 17 B dan 17 C UU KUP 2000. (Nurmantu, 2005)
2.1.13 Kriteria Wajib Pajak Pemohon Restitusi Dalam undang-undang perpajakan, wajib pajak diperkenankan melakukan
restitusi
atau
permohonan
pengembalian
kelebihan
pembayaran pajak yang disetor pada kas negara dengan syarat-syarat dan ketentuan yang sudah diatur dalam undang-undang perpajakan. Wajib pajak tersebut antara lain:
25
a.
Wajib Pajak Kriteria Tertentu Wajib pajak dengan kriteria tertentu yaitu wajib pajak yang memenuhi ketentuan-ketentuan tertentu, yaitu: 1) Kepatuhan
wajib
pajak
dalam
penyampaian
Surat
Pemberitahuan; 2) Tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak, kecuali tunggakan pajak yang telah memperoleh izin untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak; 3) Laporan keuangan diaudit oleh Akuntan Publik atau lembaga
pengawasan
keuangan
pemerintah
dengan
pendapat wajar Tanpa Pengecualian selama tiga tahun berturut-turut; 4) Tidak pernah dipidana melakukan tindakan pidana bidang perpajakan bersadarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam waktu lima tahun terkahir. b.
Wajib Pajak Selain Kriteria Tertentu Wajib Pajak tidak memenuhi kriteria tertentu yang pembayaran pajaknya mengalami lebih bayar dapat terjadi pada wajib pajak secara umum, atau bukan wajib pajak yang memenuhi syarat sebagai wajib pajak kriteria tertentu.
26
c.
Wajib Pajak Selain Kriteria Tertentu yang Melakukan Kegiatan Tertentu Wajib pajak yang tidak memenuhi persyaratan sebagai wajib pajak secara umum yang melakukan kegiatan tertentu pelakunya restitusinya juga diperlakukan khusus. Kegiatan tertentu adalah kegiatan dalam bidang ekspor barang kena pajak dan/atau penyerahan barang kena pajak atau jasa kena pajak kepada pemungut pajak pertambahan nilai.
d.
Orang Pribadi Bukan Subjek Pajak Dalam Negeri Orang pribadi bukan subjek pajak dalam negeri yang melakukan pembelian barang kena pajak di dalam Daeran Pabean, tidak dikonsumsi di Daerah Pabean, dapat dikembalikan pajak pertambahan nilai yang telah dibayar. (Muljono, 2010)
2.1.14 Tingkat Risiko Pengusaha Kena Pajak Menurut
peraturan
Direktur
Jenderal
Pajak
Nomor Per-16/PJ/2009 tentang pelaksanaan analisis risiko dalam rangka pemeriksaan atas surat pemberitahuan masa pajak pertambahan nilai lebih bayar disebutkan bahwa analisis risiko adalah proses penilaian tingkat kepatuhan Pengusaha Kena Pajak untuk menentukan tingkat risiko Pengusaha Kena Pajak.
27
Sementara tingkat risiko pengusaha kena pajak dibedakan atas 4 (empat) jenis, yaitu: a. Pengusaha Kena Pajak yang berisiko sangat rendah (Pasal 2 ayat (4)), yakni: 1) Meliputi: a) Laporan keuangan untuk tahun pajak yang diperiksa diaudit oleh Akuntan Publik atau laporan keuangan salah satu tahun pajak dari 2 (dua) tahun pajak sebelum tahun pajak yang diperiksa telah diaudit oleh Akuntan Publik; b) Produsen yang melakukan ekspor atau penyerahan kepada Pemungut atau penyerahan yang Pajak Pertambahan Nilainya tidak dipungut dan pernah dilakukan pemeriksaan lapangan terhadap SPT Tahunan PPh untuk 1 (satu) tahun pajak atau 2 (dua) tahun pajak sebelum tahun pajak yang diperiksa; atau c) Perusahaan yang saham mayoritasnya dimiliki secara langsung oleh Pemerintah Pusat. 2) Tidak termasuk Pengusaha Kena Pajak yang diduga sebagai penerbit dan/atau pengguna faktur pajak tidak sah; dan 3) Dalam hal Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai yang
diajukan
permohonan
pengembalian
kelebihan
pembayaran pajak terdapat kompensasi dari Masa Pajak
28
sebelumnya, kompensasi tersebut tidak boleh lebih dari 3 (tiga) Masa Pajak. Lebih lanjut pada Pasal 2 ayat (7) disebutkan bahwa: “Terhadap Pengusaha Kena Pajak yang belum diketahui tingkat risikonya karena belum pernah dilakukan pemeriksaan terkait dengan penyampaian Surat Pemberitahuan Masa PPN Lebih Bayar, Pengusaha Kena Pajak tersebut dianggap memiliki risiko tinggi.” b. Pengusaha Kena Pajak yang berisiko rendah Pada Lampiran 1 PER-16/PJ/2009 mengatur tentang Pengusaha Kena Pajak dengan Risiko Rendah adalah Pengusaha Kena Pajak selain Pengusaha Kena Pajak dengan Risiko Sangat rendah yang memenuhi persyaratan: 1) Sudah pernah dilakukan pemeriksaan lapangan terhadap SPT Tahunan PPh untuk 1 (satu) tahun pajak atau 2 (dua) tahun pajak sebelum tahun pajak yang diperiksa; 2) Pernah mengajukan restitusi paling sedikit 3 (tiga) kali; 3) Koreksi Dasar Pengenaan Pajak untuk Pajak Keluaran dari hasil pemeriksaan sebelum maksimal 10%; 4) Koreksi
Pajak
maksimal 5%; dan
Masukan
hasil
pemeriksaan
sebelumnya
29
5) Berdasarkan hasil analisis kuantitatif sebagaimana terdapat dalam Lampiran 3 memenuhi skor risiko rendah. c. Pengusaha Kena Pajak yang berisiko menengah Pengusaha Kena Pajak selain Pengusaha Kena Pajak dengan risiko sangat
rendah
yang berdasarkan
hasil
analisis
kuantitatif
sebagaimana terdapat dalam lampiran 3 memenuhi skor risiko menengah. d. Pengusaha Kena Pajak yang berisiko tinggi Pengusaha Kena Pajak selain Pengusaha Kena Pajak dengan risiko sangat rendah yang: 1) Berdasarkan hasil analisis kualitatif memenuhi minimal 5 (lima) kriteria yang tercantum pada lampiran 2; dan/atau 2) Berdasarkan hasil analisis kuantitatif sebagaimana terdapat dalam lampiran 3 memenuhi skor tertinggi.
2.1.15 Penyebab Terjadinya Lebih Bayar Pajak Pertambahan Nilai Terdapat banyak penyebab kemungkinan terjadinya kelebihan pembayaran pajak ke kas negara. Jika dibandingkan dengan pajak lain, pajak pertambahan nilai adalah jenis pajak yang lebih sering diajukan permohonan restitusi, dimana nilai Faktur Pajak Masukan (Kredit PPN) lebih besar jika dibandingkan dengan Faktur Pajak Keluaran. Hal ini dialami oleh perusahaan (Wajib Pajak Badan) yang melakukan
30
penjualan ekspor. PPN yang dibayarkan atas pembelian bahan baku bila dibandingkan dengan PPN atas penjualan ekspor yang tarifnya sama dengan nol, maka hasilnya terlihat ada kelebihan kredit pajak. Kelebihan kredit pajak ini bisa dimohonkan pengembalian pembayaran pajaknya (restitusi). Pada
pasal
2
Peraturan
Menteri
Keuangan
Nomor
10/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Pengembalian Atas Kelebihan Pajak yang Seharusnya Tidak Terutang dijelaskan penyebab apa saja yang bisa dimintakan kembali atas kelebihan pembayaran. Wajib Pajak dapat
mengajukan
permohonan
pengembalian
atas
kelebihan
pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang kepada Direktur Jenderal Pajak dalam hal: a.
Terdapat pembayaran pajak oleh Wajib Pajak yang bukan merupakan objek pajak yang terutang atau yang seharusnya tidak terutang;
b.
Terdapat
kesalahan
pemotongan
atau
pemungutan
yang
mengakibatkan pajak yang dipotong atau dipungut lebih besar daripada pajak yang seharusnya dipotong atau dipungut; c.
Terdapat kesalahan pemotongan atau pemungutan yang bukan merupakan objek pajak; atau
d.
Terdapat kelebihan pembayaran pajak oleh Wajib Pajak yang terkait dengan pajak-pajak dalam rangka impor.
31
2.1.16 Ketentuan Waktu Penanganan Restitusi Pajak Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas nama Direktur Jenderal Pajak menetapkan Wajib Pajak yang memenuhi kiteria tertentu dapat melangajukan permohonan restitusi setiap bulan Januari dan berlaku untuk jangka waktu 2 (dua) tahun. Wajib Pajak yang penghitungan jumlah peredaran usahanya mudah diketahui karena berkaitan dengan pengenaan cukai sepanjang memenuhi persyaratan Wajib Pajak kriteria tertentu, dapat diberikan pengembalian kelebihan pembayaran pajak pertambahan nilai. Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak diterbitkan paling lambat 3 (tiga) bulan untuk pajak penghasilan dan 1 (satu) bulan untuk pajak pertambahan nilai, sejak permohonan diterima lengkap. (JAK, 2011) Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan pemeriksaan dan menerbitkan surat ketetapan pajak berupa SKPKB (Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar), SKPLB (Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar) atau SKPN (Surat Ketetapan Pajak Nihil) dalam jangka waktu 10 tahun, terhadap WP yang telah memperoleh pengembalian pendahuluan kelebihan pajak. SKPKB (Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar) yang diterbitkan ditambah dengan sanksi administrasi kenaikan 100% dari jumlah kekurangan pembayaran pajak. Batas akhir pemeriksaan SPT (Surat Pemberitahuan) Lebih Bayar tertunda bila terhadap Wajib Pajak
32
dilakukan pemeriksaan bukti permulaan. Kemudian Wajib Pajak yang dapat diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak diperluas yaitu: a.
Wajib Pajak orang pribadi yang tidak menjalankan usaha atau pekerjaan bebas.
b.
Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan jumlah peredaran usaha dan jumlah lebih bayar sampai dengan jumlah tertentu.
c.
Wajib Pajak badan dengan jumlah peredaran usaha dan jumlah lebih bayar sampai dengan jumlah tertentu.
d.
Pengusaha Kena Pajak yang menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai dengan jumlah penyerahan dan jumlah lebih bayar sampai dengan jumlah tertentu.
2.1.17 Mekanisme
Restitusi
Pajak
Pertambahan
Nilai
Menurut
PMK
No.198/PMK.03/2013 Peraturan
terbaru
yang
digunakan
sebagai
pedoman
melaksanakan restitusi adalah PMK No.198/PMK.03/2013 tentang Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak Bagi Wajib Pajak yang Memenuhi Persyaratan Tertentu. Peraturan Menteri Keuangan ini telah berlaku sejak tanggal 1 Januari 2014 dan menjelaskan mengenai:
33
a) Wajib Pajak yang memenuhi syarat tertentu yang dapat diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak meliputi Pengusaha Kena Pajak yang menyampaikan Surat Pemberitahuan Pajak Pertambahan Nilai lebih bayar paling banyak Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah); b) Restitusi PPN diberikan setelah Dirjen Pajak melakukan penelitian didasarkan pada analisis risiko yang ditetapkan Direktorat Jendral Pajak tentang pertimbangan perilaku dan kepatuhan Wajib Pajak; c) Permohonan restitusi dilakukan secara tertulis dan diproses sesuai dengan ketentuan Undang-Undang KUP; d) Penerbitan SKPPKP (Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak) bagi pengajuan restitusi PPN paling lama 1 (satu) bulan sejak permohonan diterima lengkap; e) SKPPKP (Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak) tidak diterbitkan jika: -
Tidak terdapat kelebihan pembayaran pajak;
-
Surat Pemberitahuan beserta lampirannya tidak lengkap;
-
Penulisan dan perhitungan pajak tidak benar;
-
Kredit pajak atau pajak masukan berdasarkan sistem aplikasi Direktorat Jendral Pajak tidak benar;
-
Pembayaran pajak yang dilakukan oleh Wajib Pajak tidak benar atau; atau
34
-
Wajib Pajak dilakukan pemeriksaan bukti permulaan atau penyelidikan tindak pidana di bidang perpajakan.
f) Dirjen Pajak dapat melakukan pemeriksaan dalam rangka penerbitan penerbitan SKPPKP sesuai peraturan perundangundangan; g) Atas permohonan Wajib Pajak dapat diberikan pengurangan sanksi dalam SKPKB dari 100% menjadi maksimal 48%, dengan tujuan: -
Optimalisasi sumber daya di bidang pemeriksaan dan peningkatan kualitas pemeriksaan pajak;
-
Mempercepat proses pengembalian restitusi dengan jumlah kecil;
-
Mengurangi beban pemeriksaan dalam rangka restitusi;
-
Meningkatkan
jumlah
pemeriksaan
khusus
sekaligus
memperluas cakupan audit (audit coverage) yang akan lebih efektif
meningkatkan
kepatuhan
Wajib
Pajak
dan
meningkatkan penerimaan pajak. 2.1.18 Imbalan Bunga 2% Atas Keterlambatan Pelayanan Restitusi Bunga atas keterlambatan pengembalian kelebihan pembayaran pajak (Restitusi) tata cara pembebanannya ditetapkan pada keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 16/PMK 03/2011. Wajib Pajak berhak atas bunga, mengajukan permohonan ke Kepala Kantor
35
Pelayanan Pajak Pratama dimana dia terakhir terdaftar dengan menyebutkan nomor dan tanggal surat keputusan pengembalian kelebihan pembayaran pajak (SKPKPP) dan surat perintah membayar kelebihan pajak (SPMKP). Bunga diberikan kepada Wajib Pajak maksimal untuk jangka waktu 1 tahun atau 12 bulan. Jika lebih dari waktu tersebut belum ada surat pemberitahuan dari Dirjen Pajak, maka permohonan restitusi dianggap dikabulkan, dan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB) diterbitkan dalam waktu paling lambat 1 (satu) bulan setelah jangka waktu berakhir. Apabila SKPLB terlambat diterbitkan, kepada Wajib Pajak diberikan imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan dihitung sejak berakhirnya jangka waktu 1 (satu) bulan tersebut sampai dengan saat diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar. Besarnya bunga yang diberikan, dihitung dengan rumus: 2% x Masa Bunga x Dasar Bunga Dengan penjelasan: -
2% adalah tingkat bunga sebulan;
-
Masa bunga dihitung sejak lewat satu bulan dari tanggal diterbitkannya SPMKP (Surat Perintah Membayar Kelebihan Pajak) ;
-
Dasar
bunga
adalah
jumlah
pajak
yang
sebagaimana yang tercantum dalam SPMKP.
dikembaliakan
36
Prosedur administrasinya sebagai berikut: a. Surat permohonan wajib pajak dicatat pada buku pemberian dan pembayaran bunga; b. Bunga dihitung pada nota perhitungan pemberian bunga rangkap 2 dan dicatat dalam buku pemberian dan pembayaran bunga; c. Dibuatkan bukti pemindahbukuan; d. Diterbitkan Surat Perintah Membayar Imbalan Bunga (SPIMB), sepanjang terdapat bunga yang masih harus dibayarkan dan dicatat pada buku pemberian dan pembayaran bunga; e. Dilakukan perekaman dan prosedur yang lain, sama dengan prosedur pengembalian kelebihan pembayaran pajak (restitusi).
37
2.2 Penelitian Terdahulu Tabel 1 Penelitian Terdahulu (Justifikasi dari berbagai sumber, 2014) No. 1.
Judul Jurnal
Hasil
“Analisis Restitusi
a. Terdapat 22 PKP yang mengajukan permohonan
Pajak Pertambahan
restitusi PPN pada tahun 2011, namun yang
Nilai pada Kantor
disetujui hanya 50% yaitu sebanyak 11 PKP.
Pelayanan Pajak
b. Tidak semua nominal pengajuan disetujui, terdapat
Pratama Palembang
selisih antara nominal permohonan dan yang
Ilir Barat”
disetujui
Oleh:
yaitu
Rp
502.857.272,-
dimana
pengajuannya adalah senilai Rp 5.643.955.207,sementara yang disetujui senilai Rp 5.141.097.935,-
Metta Karina dan c. Restitusi
yang
diajukan
hampir
seluruhnya
Siri Khairani. disebabkan oleh kekeliruan pada faktur pajak masukan ketika PKP melaporkan PPN. Hal ini terjadi
karena
kurangnya
pengetahuan
dan
pemahaman PKP mengenai peraturan perpajakan. 2.
“Analisis Restitusi
a. Perhitungan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan
Pajak Pertambahan
proses restitusi pada akhir tahun buku yang
38
Nilai (PPN) PT. PP
diajukan oleh PT. PP (Persero) Tbk dari tahun
(Persero) Tbk”
2007-2010 telah memenuhi peraturan perundang-
Oleh:
undangan perpajakan yang berlaku. b. Belum ada konfirmasi mengenai rekanan atau
Yulia Chandra.
pihak ketiga yang belum melakukan konfirmasi atau bukti yang berkaitan dengan PPN PT. PP (Persero)
Tbk
kepada
KPP
saat
dilakukan
pemeriksaan pajak sehingga terjadi perbedaan antara pajak masukan dan pajak keluaran. c. Pada saat di lapangan, ada beberapa karyawan PT. PP (Persero) Tbk tidak berhati-hati dalam kapan rekanan atau pihak ketiga menjadi Pengusaha Kena Pajak. Sehingga pada saat dilakukan pemeriksaan, Fiskus menemukan bahwa rekanan atau pihak ketiga belum menjadi Pengusaha Kena Pajak pada saat dilakukan transaksi tersebut. Terdapat dua jurnal yang dijadikan referensi untuk penelitian ini, namun peneliti lebih fokus pada jurnal kualitatif yang dibuat oleh Metta Karina dan Siri Khairani berjudul “Analisis Restitusi Pajak Pertambahan Nilai pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Palembang Ilir Barat” yang menggunakan metode analisis dengan pendekatan deskriptif. Sedangkan
39
jurnal hasil penelitian Yulia Chandra digunakan peneliti sebagai acuan studi kasus dalam perusahaan dalam melakukan pengajuan restitusi Pajak Pertambahan Nilai (PPN). 2.3 Kerangka Pemikiran Teoritis Untuk memudahkan suatu penelitian, maka perlu dibuat kerangka pemikiran penelitian. Adapun kerangka pemikiran teoritis penelitian ini secara skematis dapat dilihat pada gambar sebagai berikut: Mekanisme Restitusi PPN Menurut
Mekanisme Restitusi PPN pada KPP
PMK No.198/PMK.03/2013
Pratama Jepara
Analisis Kesesuaian
Gambar 1 Kerangka Pemikiran Teoritis (Penulis, 2014)