BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Hutan Rakyat Hutan rakyat dalam pengertian menurut peraturan perundang-undangan
(UU No.5/1967 junto UU No.41/1999) adalah hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik. Definisi ini diberikan untuk membedakan dari hutan negara, yaitu hutan yang tumbuh di atas tanah yang tidak dibebani hak milik atau tanah negara. Dalam pengertian ini, tanah negara mencangkup tanah-tanah yang dikuasai oleh masyarakat berdasarkan ketentuan-ketentuan atau aturan-aturan adat atau aturan-aturan masyarakat lokal (Suharjito 2000). Dalam lampiran Peraturan Menteri Kehutanan RI No : P.3/MenhutII/2011 tentang Petunjuk Teknis Penggunaan Dana Alokasi Khusus (DAK) Bidang Kehutanan Tahun Anggaran 2011 menyebutkan bahwa hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik maupun hak lainnya di luar kawasan hutan dengan ketentuan luas minimal 0,25 ha, penutupan tajuk tanaman kayu-kayuan dan tanaman lainnya lebih dari 50%. Menurut Zain (1998), dasar pemilikan hutan rakyat sebagaimana di dalam rumusan undang-undang yaitu : 1.
Penguasaan tanah harus dilakukan lebih dahulu, kemudian mengusahakan hutan.
2.
Pemilikan hak atas tanah harus lebih dahulu diperoleh dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk kemudian mengurus pemilikan hutan.
3.
Penguasaan dan pemilikan tanah kering secara perorangan sangat dibatasi (maksimum 5 ha) menurut ketentuan hukum pertanahan. Terdapat 3 (tiga) tujuan pengelolaan hutan rakyat (Lembaga Penelitian
IPB 1990), yaitu : 1.
Adanya peningkatan peran dari hutan rakyat terhadap peningkatan pendapatan petani hutan rakyat secara berkesinambungan.
2.
Adanya peningkatan peran dari hutan rakyat terhadap peningkatan kualitas lingkungan secara berkesinambungan.
5
3.
Adanya peningkatan peran dari hutan rakyat terhadap peningkatan pendapatan pemerintah daerah secara berkesinambungan.
2.2
Jati ( Tectona grandis Linn F. )
2.2.1
Ciri fisik Jati memiliki batang yang bulat lurus dengan tinggi mencapai 40 meter.
Tinggi bebas cabangnya dapat mencapai 18 - 20 meter dengan kulit batang berwarna cokelat gradasi dan kuning keabu-abuan. Pohon jati yang baik merupakan pohon yang memiliki garis diameter yang besar, memiliki batang yang lurus, dan jumlah cabangnya sedikit. Bentuk daunnya besar dan membulat dengan ukuran daun pohon jati yang telah tua sekitar 15 x 20 cm. Daun yang muda berwarna kemerahan dan mengeluarkan getah jika diremas. Bunga dari pohon jati terletak di puncak tajuk pohon dengan ukuran sekitar 40 x 40 cm. Sementara buahnya berbentuk bulat agak gepeng dengan diameter 0,5 – 2,5 cm (Mulyana dan Asmarahman 2010). Kayu jati mempunyai berat jenis rata-rata 0,67 (0,62 - 0,75) dan termasuk kelas kuat II serta kelas awet II. Penyusutannya sampai kering tanur untuk bidang radial sebesar 2,8% sedangkan bidang tangensial sebesar 5,2% (Martawijaya et al. 1981).
2.2.2
Syarat tumbuh Jati merupakan salah satu jenis tanaman yang mendominasi hutan di
Indonesia. Jati dapat ditanam di berbagai kondisi lahan dan lingkungan. Syarat lokasi yang cocok untuk budi daya jati diantaranya ketinggian lahan maksimum 700 mdpl, suhu udara antara 13 – 43ºC, pH tanah 6, dan kelembaban lingkungan 60 – 80%. Tanah yang cocok untuk pertumbuhan jati adalah tanah lempung, lempung berpasir, dan liat berpasir. Sementara itu, curah hujan optimum yang diperlukan untuk pertumbuhan jati sekitar 1.000 – 1.500 mm per tahun (Mulyana dan Asmarahman 2010).
6
2.2.3
Teknik Silvikultur
2.2.3.1 Penanaman Teknik penanaman tanaman jati mempunyai beberapa tahapan di dalam pengerjaaannya (Mulyana dan Asmarahman 2010), yaitu : a.
Penyiapan Lahan Penyiapan lahan tanam meliputi dua tahapan, yaitu pembersihan lahan
dengan radius sekitar satu meter dari titik tanam dan pengolahan tanah, seperti mencangkul agar tanah di sekitarnya menjadi gembur. b.
Pembuatan Lubang Tanam Sebelum pembuatan lubang tanam, tandai lokasi dengan ajir. Ajir dibuat
dari bambu atau kayu dengan ukuran panjang 0,5 – 1 m dan lebar 1 - 1,5 cm. Penempatannya disesuaikan dengan jarak tanam 3 x 3 m. Lubang tanam umumnya digali dengan ukuran 30 x 30 x 30 cm. Setelah digali, biarkan lubang tersebut selama 2 - 3 hari. c.
Penanaman Bibit Jumlah bibit jati yang diperlukan untuk lahan seluas 1 ha dengan jarak
tanam 3 x 3 m sebanyak 1.111 bibit. Namun, selain bibit yang ditanam, perlu disiapkan juga bibit untuk sulaman. Bibit diusahakan berada di tengah-tengah lubang tanam dan akar bibit tidak terlipat. Agar bibit mudah lepas dari polibag, sedikit diremas bagian samping polibag. Tanah di dalam polibag diusahakan tidak pecah saat penanaman.
2.2.3.2 Pemeliharaan Teknik pemeliharaan tanaman jati mempunyai beberapa tahapan diantaranya (Mulyana dan Asmarahman 2010) : a.
Penyulaman Penyulaman merupakan kegiatan penanaman kembali tanaman yang
telah mati. Tujuan penyulaman adalah untuk mempertahankan populasi pohon sesuai dengan standar yang ada. Penyulaman dilakukan dengan mengganti tanaman jati yang mati atau kurang bagus pertumbuhannya. Bibit pengganti sebaiknya memiliki kualitas yang baik dan umur yang hampir sama dengan yang diganti sehingga pertumbuhan jati tetap seragam.
7
b.
Penyiangan Penyiangan berguna untuk mengendalikan laju pertumbuhan ilalang,
gulma, dan tanaman penggangu lainnya. Penyiangan dilakukan dengan mencabut atau menghilangkan tanaman lain yang dapat mengganggu penyerapan unsur hara. Penyiangan dilakukan secara intensif pada awal tahun agar pertumbuhan jati tidak kerdil atau terhambat. Selain itu, penyiangan juga perlu dilakukan pada awal dan akhir musim hujan. Dikarenakan pertumbuhan gulma pada musim hujan cukup tinggi. c.
Pemupukan Pemberian pupuk cukup penting bagi pertumbuhan jati karena dapat
mengoptimalkan penyerapan unsur hara dari dalam tanah. Salah satu jenis pupuk alami yang umum digunakan untuk tanaman jati, yakni pupuk kompos atau pupuk kandang yang diberikan dalam dua kali setahun. Patokan dosis pupuk yang diberikan adalah hingga ketebalan pupuk di tanah sekitar 5 cm. Selain pupuk, mulsa diberikan di sekitar pohon jati dengan diberi jarak sekitar 10 cm dari pangkal pohon. Ketebalan mulsa kira-kira 10 cm. Lapisan yang tebal ini sangat baik untuk menjaga kelembapan tanah dan meningkatkan kualitas tanah dengan cepat. Pemberian mulsa dilakukan setiap satu tahun sekali selama tiga tahun berturut-turut. d.
Pemangkasan dan Penjarangan Pemangkasan perlu dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan
kualitas pertumbuhan dan mengatur komposisi arah tumbuhnya. Selain itu, pemangkasan juga berguna untuk mencegah serangan penyakit dan jamur. Pemangkasan yang baik dilakukan dengan memotong cabang batang utama pohon jati. Buat potongan tersebut sehalus mungkin, agak miring, dan tidak mendatar. Selain memotong cabang, perlu dilakukan juga penjarangan. Penjarangan dimaksudkan untuk memotong pohon yang tidak sesuai kriteria yang telah ditentukan. Prioritas pohon yang dilakukan penjarangan atau dimatikan adalah pohon yang terserang penyakit, pohon yang cacat atau jelek, pohon yang tingginya kurang dari tiga perempat bila dibandingkan dengan pohon lainnya, pohon yang tumbuhnya tidak normal, dan pohon yang tumbuhnya terlalu rapat.
8
Penjarangan perlu dilakukan secara hati-hati. Hindari kesalahan fatal seperti pohon hasilpenjarangan menimpa pohon-pohon yang masih ada. Jika hal tersebut terjadi, dapat menyebabkan patah cabang dan luka batang, sehingga dapat menimbulkan serangan hama penyakit. Penjarangan dapat dilakukan dua kali, yakni saat jati berumur tiga tahun dan tujuh tahun. e.
Pengendalian Hama Penyakit Hama yang sering menyerang tegakan jati yang masih muda adalah ulat
jati (Hyblaea puera). Hama ini memakan daun jati yang masih muda dengan meninggalkan urat-urat dan tulang-tulang daun. Ulat dewasa memakan seluruh jaringan daun kecuali tulang-tulang daun yang besar. Ulat jati menyerang pada awal musim penghujan, menyerang pohon-pohon jati yang baru saja memunculkan daun-daun hijau setelah menggugurkan daun pada musim kemarau. Pengendalian hama ini adalah dengan cara manual dan menggunakan insektisida. Serangan hama lain yang banyak menyerang tanaman jati muda adalah hama uret jenis Leucopholia rorida, Lepidiota stigma, dan Holotricha helleri. Hama uret merusak perakaran tanaman, baik tanaman kehutanan (tanaman pokok jati) maupun tanaman tumpangsari (padi, palawija). Gejala yang tampak, tanaman muda tiba-tiba layu, berhenti tumbuh, kemudian mati mengering. Bagian perakaran tanaman rusak/habis dimakan uret. Serangan hama uret terjadi pada awal musim hujan, pada awal – pertengahan musim. Kerusakan yang parah terjadi pada tanaman umur 1-2 bulan di lapangan, tanaman jati menjadi mati. Pengendalian dengan penggunaan pestisida kimia merupakan cara pengendalian terakhir yang dapat dilakukan. Namun, cara efektif yang dapat dipakai dalam pengendalian hama uret yaitu dengan menaburkan campuran detergen (1 kg) dengan kapur barus (¼ kg) ke dalam tanah yang terkena hama uter. Biarkan air hujan menyebabkan campuran tersebut meresap ke dalam tanah. Dosis campuran 1 kg detergen dengan ¼ kg kapur barus untuk 1 ha (Budiatmoko et al. 2008).
2.2.4
Pemanfaatan Kayu jati merupakan jenis kayu yang banyak dipakai untuk berbagai
keperluan khususnya di Pulau Jawa, karena sifat-sifatnya yang baik. Kayu jati sangat cocok untuk segala jenis konstruksi, seperti: tiang balok dan gelagar pada
9
bangunan rumah dan jembatan, rangka atas, kusen pintu dan jendela, tiang dan papan bendungan dalam air tawar, bantalan dan kayu perkakas kereta api, meubel, dek kapal, lantai dan sirap. Meskipun kayu jati mempunyai kegunaan yang luas, tapi karena sifatnya agak rapuh, kurang baik untuk digunakan sebagai bahan yang memerlukan kekenyalan yang tinggi, seperti rangka perkakas, alat olahraga, peti pengepakan dan lain-lain. Kayu jati dapat juga dipakai untuk tong, pipa dalam industri kimia dan mempunyai daya tahan terhadap berbagai bahan kimia (Martawijaya et al. 1981). Selain itu, kayu jati dapat digunakan pula untuk vinir dan meskipun perlu mendapatkan perlakuan pendahuluan sebelum dikupas. Kayu jati banyak dipakai untuk vinir muka karena mempunyai gambar yang indah.
2.3
Agroforestri Agroforest adalah ‘hutan buatan’ yang didominasi tanaman serbaguna
yang dibangun petani pada lahan-lahan pertanian. Dalam hal ini agroforest dapat dipandang sebagai sistem dan teknologi penggunaan lahan dimana pepohonan berumur lebih panjang dipadukan dengan tanaman pangan yang berumur pendek atau pakan ternak pada satu lahan yang sama dalam suatu pengaturan ruang atau waktu (De Foresta et al. 2000). Dalam sistem-sistem agroforestri terjadi interaksi ekologi dan ekonomi antar unsur-unsurnya. Huxley (1999) dalam Hairiah, Sardjono dan Sabarnurdin (2003) menyatakan agroforestri adalah sistem penggunaan lahan yang mengkombinasikan tanaman berkayu (pepohonan, perdu, bambu, rotan dan lainnya) dengan tanaman tidak berkayu atau dapat pula dengan rerumputan (pasture), Kadang-kadang ada komponen ternak atau hewan lainnya (lebah, ikan) sehingga terbentuk interaksi ekologis dan ekonomis antara tanaman berkayu dengan komponen lainnya. Andayani (2005) menyatakan bahwa agroforestri dapat diartikan sebagai suatu bentuk kolektif (collective name) dari sebuah sistem nilai masyarakat yang berkaitan dengan model-model penggunaan lahan lestari. Oleh karena itu, agroforestri dalam bentuk implementasinya dapat berbentuk seperti : 1.
Agrisilvikultur, yaitu penggunaan lahan secara sadar dan dengan pertimbangan yang masak untuk memproduksi sekaligus hasil-hasil pertanian dari hutan.
10
2.
Sylvopastural, yaitu sistem pengelolaan hutan dimana hutan dikelola untuk menghasilkan kayu sekaligus juga untuk memelihara ternak.
3.
Agrosylvo-pastoral,
yaitu
sistem
dimana
lahan
dikelola
untuk
memproduksi hasil pertanian dan hasil kehutanan secara bersamaan dan sekaligus memelihara hewan ternak. 4.
Multipurpose forest tree production system, yaitu sistem dimana berbagai jenis kayu ditanam dan dikelola, tidak saja untuk menghasilkan kayu tetapi juga dedaunan dan buah-buahan yang dapat digunakan sebagai bahan makanan manusia maupun dijadikan makanan ternak. Beberapa ciri penting agroforestri yang dikemukakan oleh Lundgren dan
Raintree (1982) dalam Hairiah, Sardjono dan Sabarnurdin (2003) : 1. Agroforestri biasanya tersusun dari dua jenis tanaman atau lebih (tanaman dan atau hewan). Paling tidak satu diantaranya tumbuhan berkayu. 2. Siklus sistem agroforestri selalu lebih dari satu tahun. 3. Ada interaksi (ekonomi dan ekologi) antara tanaman berkayu dengan tanaman tidak berkayu. 4. Selalu memiliki dua macam produk atau lebih (multi product), misalnya pakan ternak, kayu bakar, buah-buahan, obat-obatan. 5. Minimal mempunyai satu fungsi pelayanan jasa (service function), misalnya pelindung angin, penaung, penyubur tanah, peneduh sehingga dijadikan pusat berkumpulnya keluarga atau masyarakat. 6. Untuk sistem pertanian masukan rendah di daerah tropis, agroforestri tergantung pada penggunaan dan manipulasi biomasa tanaman terutama dengan mengoptimalkan penggunaan sisa panen. Sistem agroforestri yang paling sederhanapun secara biologis (struktur dan fungsi) maupun ekonomis jauh lebih kompleks dibandingkan sistem budidaya monokultur.