BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. DEFINISI (2) Bell's Palsy (BP) ialah suatu kelumpuhan akut n. fasialis perifer yang tidak diketahui sebabnya. Bell’s palsy atau prosoplegia adalah kelumpuhan fasialis akibat paralisis nervus fasial perifer yang terjadi secara akut dan penyebabnya tidak diketahui (idiopatik) di luar sistem saraf pusat tanpa disertai adanya penyakit neurologis lainnya. Sir Charles Bell (1821) adalah orang yang pertama meneliti beberapa penderita dengan wajah asimetrik, sejak itu semua kelumpuhan n. fasialis perifer yang tidak diketahui sebabnya disebut Bell's pals. Paralisis fasial idiopatik atau Bell’s palsy, ditemukan oleh Sir Charles Bell, dokter dari Skotlandia. Bell’s palsy sering terjadi setelah infeksi virus ( misalnya herpes simplex) atau setelah imunisasi, lebih sering terjadi pada wanita hamil dan penderita diabetes serta penderita hipertensi Lokasi cedera nervus fasialis pada Bell’s palsy adalah di bagian perifer nukleus nervus VII. Cedera tersebut terjadi di dekat ganglion genikulatum. Pengamatan klinik, pemeriksaan neurologik, laboratorium dan patologi anatomi menunjukkan bahwa BP bukan penyakit tersendiri tetapi berhubungan erat dengan banyak faktor dan sering merupakan gejala penyakit lain. Penyakit ini lebih sering ditemukan pada usia dewasa, jarang pada anak di bawah umur 2 tahun. Biasanya didahului oleh infeksi saluran napas bagian atas yang erat hubungannya dengan cuaca dingin. B. EPIDEMIOLOGI (3, 4) Bell’s palsy menempati urutan ketiga penyebab terbanyak dari paralysis fasial akut. Di dunia, insiden tertinggi ditemukan di Seckori, Jepang tahun 1986 dan insiden terendah ditemukan di Swedia tahun 1997. Di Amerika Serikat, insiden Bell’s palsy setiap tahun sekitar 23 kasus per 100.000 orang, 63% mengenai wajah sisi kanan. Insiden Bell’s palsy ratarata 15-30 kasus per 100.000 populasi. Penderita diabetes mempunyai
8
resiko 29% lebih tinggi, dibanding non-diabetes. Bell’s palsy mengenai laki-laki dan wanita dengan perbandingan yang sama. Akan tetapi, wanita muda yang berumur 10-19 tahun lebih rentan terkena daripada laki-laki pada kelompok umur yang sama. Penyakit ini dapat mengenai semua umur, namun lebih sering terjadi pada umur 15-50 tahun. Pada kehamilan trisemester ketiga dan 2 minggu pasca persalinan kemungkinan timbulnya Bell’s palsy lebih tinggi daripada wanita tidak hamil, bahkan bisa mencapai 10 kali lipat Sedangkan di Indonesia, insiden Bell’s palsy secara pasti sulit ditentukan. Data yang dikumpulkan dari 4 buah Rumah sakit di Indonesia didapatkan frekuensi Bell’s palsy sebesar 19,55 % dari seluruh kasus neuropati dan terbanyak pada usia 21 – 30 tahun. Lebih sering terjadi pada wanita daripada pria. Tidak didapati perbedaan insiden antara iklim panas maupun dingin, tetapi pada beberapa penderita didapatkan adanya riwayat terpapar udara dingin atau angin berlebihan . C. ANATOMI (5) Saraf otak ke VII mengandung 4 macam serabut, yaitu : 1. Serabut somato motorik, yang mensarafi otot-otot wajah (kecuali m. levator palpebrae (n.III), otot platisma, stilohioid, digastrikus bagian posterior dan stapedius di telinga tengah). 2. Serabut visero-motorik (parasimpatis) yang datang dari nukleus salivatorius superior. Serabut saraf ini mengurus glandula dan mukosa faring, palatum, rongga hidung, sinus paranasal, dan glandula submaksilaris serta sublingual dan lakrimalis. 3. Serabut visero-sensorik, yang menghantar impuls dari alat pengecap di dua pertiga bagian depan lidah. 4. Serabut somato-sensorik, rasa nyeri (dan mungkin juga rasa suhu dan rasa raba) dari sebagian daerah kulit dan mukosa yang dipersarafi oleh nervus trigeminus.
9
Nervus fasialis (N.VII) terutama merupakan saraf motorik yang menginervasi otot- otot ekspresi wajah. Di samping itu saraf ini membawa serabut parasimpatis ke kelenjar ludah dan air mata dank ke selaput mukosa rongga mulut dan hidung, dan juga menghantarkan sensasi eksteroseptif dari daerah gendang telinga, sensasi pengecapan dari 2/3 bagian depan lidah, dan sensasi visceral umum dari kelenjar ludah, mukosa hidung dan faring, dan sensasi proprioseptif dari otot yang disarafinya. Secara anatomis bagian motorik saraf ini terpisah dari bagian yang menghantar sensasi dan serabut parasimpatis, yang terakhir ini sering dinamai saraf intermedius atau pars intermedius Wisberg. Sel sensoriknya terletak di ganglion genikulatum, pada lekukan saraf fasialis di kanal fasialis. Sensasi pengecapan daru 2/3 bagian depan lidah dihantar melalui saraf lingual korda timpani dan kemudian ke ganglion genikulatum. Serabut yang menghantar sensasi ekteroseptif mempunyai badan selnya di ganglion genikulatum dan berakhir pada akar desenden dan inti akar decenden dari saraf trigeminus (N.V). hubungan sentralnya identik dengan saraf trigeminus. Inti motorik nervus VII terletak di pons. Serabutnya mengitari nervus VI, dan keluar di bagian leteral pons. Nervus intermedius keluar di permukaan lateral pons, di antara nervus V dan nervus VIII. Nervus VII bersama nervus intermedius dan nervus VIII memasuki meatus akustikus internus. Di sini nervus fasialis bersatu dengan nervus intermedius dan menjadi satu berkas saraf yang berjalan dalam kanalis fasialis dan kemudian masuk ke dalam os mastoid. Ia keluar dari tulang tengkorak melalui foramen stilomastoid, dan bercabang untuk mersarafi otot- otot wajah.
10
D. PATOFISIOLOGI (6) 1) Teori Infeksi Virus Herpes Zoster Salah satu penyebab munculnya Bell’s Palsy adalah karena adanya infeksi virus herpes zoster. Herpes zoster hidup didalam jaringan saraf. Apabila radang herpes zoster ini menyerang ganglion genikulatum, maka dapat melibatkan paralisis pada otot-otot wajah sesuai area persarafannya. Jenis herpes zoster yang menyebabkan kelemahan pada otot-otot wajah ini sering dikenal dengan Sindroma Ramsay-Hunt atau Bell’s Palsy
11
2) Teori Iskemia Vaskuler Menurut teori ini, terjadinya gangguan sirkulasi darah di kanalis falopii, secara tidak langsung menimbulkan paralisis pada nervus facialis. Kerusakan yang ditimbulkan berasal dari tekanan saraf perifer terutama berhubungan dengan oklusi dari pembuluh darah yang mengaliri saraf tersebut, bukan akibat dari tekanan langsung pada sarafnya. Kemungkinan terdapat respon simpatis yang berlebihan sehingga terjadi spasme arterioral atau statis vena pada bagian bawah dari canalis fasialis, sehingga menimbulkan oedema sekunder yang selanjutnya menambah kompresi terhadap suplai darah, menambah iskemia dan menjadikan parese nervus facialis. 3) Teori herediter Teori herediter mengemukakan bahwa Bell’s Palsy yang disebabkan karena faktor herediter berhubungan dengan kelainan anatomis pada canalis facialis yang bersifat menurun. 4) Pengaruh udara dingin Udara dingin menyebabkan lapisan endotelium dari pembuluh darah leher atau telinga rusak, sehingga terjadi proses transdusi (proses mengubah dari suatu bentuk kebentuk lain) dan mengakibatkan foramen stilomastoideus bengkak. Nervus facialis yang melewati daerah tersebut terjepit sehingga rangsangan yang dihantarkan terhambat yang menyebabkan otot-otot wajah mengalami kelemahan atau lumpuh. E. ETIOLOGI (1) Penyebab adalah kelumpuhan n. fasialis perifer. Umumnya dapat dikelompokkan sebagai berikut: 1) Idiopatik Sampai sekarang belum diketahui secara pasti penyebabnya yang disebut bell’s palsy. Faktor-faktor yang diduga berperan menyebabkan Bell’s Palsy antara lain : sesudah bepergian jauh dengan kendaraan, tidur di
12
tempat terbuka, tidur di lantai, hipertensi, stres, hiperkolesterolemi, diabetes mellitus, penyakit vaskuler, gangguan imunologik dan faktor genetic. 2) Kongenital a) anomali kongenital (sindroma Moebius) b) trauma lahir (fraktur tengkorak, perdarahan intrakranial .dll.) 3) Didapat a) Trauma Penyakit tulang tengkorak (osteomielitis) b) Proses intrakranial (tumor, radang, perdarahan dll) c) Proses di leher yang menekan daerah prosesus stilomastoideus) d) Infeksi tempat lain (otitis media, herpes zoster dll) e) Sindroma paralisis n. fasialis familial.
F. GEJALA KLINIK (1, 2) Manifestasi klinik BP khas dengan memperhatikan riwayat penyakit dan gejala kelumpuhan yang timbul. Pada anak 73% didahului infeksi saluran napas bagian atas yang erat hubungannya dengan cuaca dingin. Perasaan nyeri, pegal, linu dan rasa tidak enak pada telinga atau sekitarnya sering merupakan gejala awal yang segera diikuti oleh gejala kelumpuhan otot wajah berupa : 1) Kelopak mata tidak dapat menutupi bola mata pada sisi yang lumpuh (lagophthalmos). 2) Gerakan bola mata pada sisi yang lumpuh lambat, disertai bola mata berputar zXke atas bila memejamkan mata, fenomena ini disebut Bell's sign. 3) Sudut mulut tidak dapat diangkat, lipat nasolabialis mendatar pada sisi yang lumpuh dan mencong ke sisi yang sehat. Selanjutnya gejala dan tanda klinik lainnya berhubungan dengan tempat/lokasi lesi :
13
1) Lesi di luar foramen stilomastoideus Mulut tertarik ke arah sisi mulut yang sehat,makanan berkumpul di antar pipi dan gusi, dan sensasi dalam (deep sensation) di wajah menghilang. lipatan kulit dahi menghilang. Apabila mata yang terkena tidak tertutup atau tidak dilindungi maka air mata akan keluar terus menerus. 2) Lesi di kanalis fasialis (melibatkan korda timpani) Gejala dan tanda klinik seperti pada (a), ditambah dengan hilangnya ketajaman pengecapan lidah (2/3 bagian depan) dan salivasi di sisi yang terkena berkurang. Hilangnya daya pengecapan pada lidah menunjukkan
terlibatnya
nervus
intermedius,
sekaligus
menunjukkan lesi di daerah antara pons dan titik di mana korda timpani bergabung dengan nervus fasialis di kanalis fasialis. 3) Lesi di kanalis fasialis lebih tinggi lagi (melibatkan muskulus stapedius) Gejala dan tanda klinik seperti pada (a), (b), ditambah dengan adanya hiperakusis. 4) Lesi di tempat yang lebih tinggi lagi (melibatkan ganglion genikulatum) Gejala dan tanda klinik seperti (a), (b), (c) disertai dengan nyeri di belakang dan di dalam liang telinga. Kasus seperti ini dapat terjadi pasca herpes di membran timpani dan konka. Ramsay Hunt adalah paralisis fasialis perifer yang berhubungan dengan herpes zoster di ganglion genikulatum. Lesi herpetik terlibat di membran timpani, kanalis auditorius eksterna dan pina. 5) Lesi di daerah meatus akustikus interna, Gejala dan tanda klinik seperti (a), (b), (c), (d), ditambah dengan tuli sebagi akibat dari terlibatnya nervus akustikus.
14
G. DIAGNOSA (4) 1) Anamnesa
Rasa nyeri
Gangguan atau kehilangan pengecapan.
Riwayat pekerjaan dan adakah aktivitas yang dilakukan pada malam hari di ruangan terbuka atau di luar ruangan.
Riwayat penyakit yang pernah dialami oleh penderita seperti infeksi saluran pernafasan, otitis, herpes, dan lainlain.
2) Pemeriksaan Fisik Diagnosis Bell’s palsy biasanya ditegakkan berdasarkan gejala yang muncul. Hal ini dapat dibedakan dengan stroke karena biasanya stroke dapat menyebabkan kelemahan mendadak hanya pada wajah bagian bawah daripada pada semua bagian wajah. Selain itu, stroke juga menyebabkan kelemahan yang khas pada lengan dan kaki. Para dokter dapat membedakan Bell’s palsy dari kelainan lain yang menyebabkan paralisis nervus fasialis karena kelainan lain biasanya berkembang secara perlahan-lahan. Yang termasuk pada
15
kelainan ini antara lain tumor otak, tumor lain yang menekan nervus fasialis, infeksi di rongga telinga tengah atau sinus mastoideus, dan fraktur basis cranii. Biasanya, dokter dapat mengesampingkan kelainan-kelainan ini berdasarkan riwayat penyakit, hasil foto rontgen, CT Scan atau MRI. Untuk tes darah tidak ada tes khusus untuk Bell’s palsy. Untuk menilai kelumpuhan atau kondisi simetris-asimetris dari Bell’s palsy yaitu dengan “UGO FISCH SCORE”. Cara penilaian kondisi simetris-asimetris antara sisi sakit dibandingkan dengan sisi sehat pada 5 posisi: 1. Kerutan dahi
: 10 point
2. Bersiul
: 10 point
3. Istirahat
: 20 point
4. Tutup mata
: 30 point
5. Tersenyum
: 30 point
Kondisi tersebut dikalikan dengan penilaian dengan kondisi dibawah ini:
0%
= asimetris komplit, gerakan involunter tidak ada
30%
= simetris, lebih dekat ke asimetris komplit dari
pada normal
70%
= simetris cukup, sembuh parsial, lebih dekat ke
normal
100%
= simetris normal atau komplit
Kemudian semua hasil dijumlahkan (dalam keadaan normal, jumlah point = 100) 3) Pemeriksaan Laboratorium. Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk menegakkan diagnosis Bell’s palsy. 4) Pemeriksaan Radiologi. Pemeriksaan radiologi bukan indikasi pada Bell’s palsy. Pemeriksaan CT-Scan dilakukan jika dicurigai adanya fraktur atau
16
metastasis neoplasma ke tulang, stroke, sklerosis multipel dan AIDS pada CNS. Pemeriksaan MRI pada pasien Bell’s palsy akan menunjukkan adanya penyangatan (Enhancement) pada nervus fasialis, atau pada telinga, ganglion genikulatum. H. DIAGNOSA BANDING (2) a) Ramsay Hunt syndrom Infeksi herpes zoster pada ganglion genikulatum (Ramsay Hunt syndrom). Ramsay Hunt Syndrome (RHS) adalah infeksi saraf wajah yang disertai dengan ruam yang menyakitkan dan kelemahan otot wajah. Tanda dan gejala RHS meliputi :
Ruam merah yang menyakitkan dengan lepuh berisi cairan di gendang telinga, saluran telinga eksternal, bagian luar telinga, atap dari mulut (langit-langit) atau lidah.
Kelemahan (kelumpuhan) pada sisi yang sama seperti telinga yang terkinfeksi.
Kesulitan menutup satu mata.
Sakit telinga.
Pendengaran berkurang.
Dering di telinga (tinnitus).
Sebuah sensasi berputar atau bergerak (vertigo).
Perubahan dalam persepsi rasa.
b) Miller Fisher Syndrom Miller Fisher syndrom adalah varian dari Guillain Barre syndrom yang jarang dijumpai.Miiler Fisher syndrom atau Acute Disseminated Encephalomyeloradiculopaty ditandai dengan trias gejala neurologis berupa opthalmoplegi, ataksia, dan arefleksia yang kuat. Pada Miller Fisher syndrom didapatakan double vision akibat kerusakan nervus cranial yang menyebabkan kelemahan otot – otot mata . Selain itu kelemahan nervus facialis menyebabkan
17
kelemahan otot wajah tipe perifer. Kelumpuhan nervus facialis tipe perifer pada Miller Fisher syndrom menyerang otot wajah bilateral. Gejala lain bisa didapatkan rasa kebas, pusing dan mual. I. PENATATA LAKSANA (1, 8) 1). Istirahat terutama pada keadaan akut 2). Medikamentosa i.
Kortikosteroid Pemberian kortikosteroid (perdnison dengan dosis 40 -60 mg/hari per oral atau 1 mg/kgBB/hari selama 3 hari, diturunkan perlahan-lahan selama 7 hari kemudian), dimana pemberiannya dimulai pada hari kelima setelah onset penyakit, gunanya untuk meningkatkan
peluang
kesembuhan
pasien.
Dasar
dari
pengobatan ini adalah untuk menurunkan kemungkinan terjadinya
kelumpuhan
yang
sifatnya
permanen
yang
disebabkan oleh pembengkakan nervus fasialis di dalam kanal fasialis yang sempit. ii.
Penggunaan obat- obat antivirus . Acyclovir (400 mg selama 10 hari) dapat digunakan dalam penatalaksanaan Bell’s palsy yang dikombinasikan dengan prednison atau dapat juga diberikan sebagai dosis tunggal untuk penderita
yang
tidak
dapat
mengkonsumsi
prednison.
Penggunaan Acyclovir akan berguna jika diberikan pada 3 hari pertama dari onset penyakit untuk mencegah replikasi virus. iii.
Perawatan mata: Air mata buatan: digunakan selama masa sadar untuk menggantikan lakrimasi yang hilang.
Pelumas digunakan saat tidur: Dapat digunakan selama masa sadar jika air mata buatan tidak mampu menyedikan perlindungan yang adekuat. Satu kerugiannya adalah pandangan kabur.
18
Kacamata atau tameng pelindung mata dari trauma dan menurunkan pengeringan dengan menurunkan paparan udara langsung terhadap kornea.
3). Fisioterapi Sering
dikerjakan
bersama-sama
pemberian
prednison,
dapat
dianjurkan pada stadium akut. Tujuan fisioterapi untuk mempertahankan tonus otot yang lumpuh. Dapat dilakukan dengan melakukan terapi ke rehabmedik dengan pemberian terapi Infra Merah (15 menit) dan Elektrikal Stimulasi intensitas 1 MA. Cara yang sering digunakan yaitu : mengurut/massage otot wajah selama 5 menit pagi-sore atau dengan faradisasi. Ocupational Terapi Program : -
Suportif OT
-
Latihan penguatan otot pipi dan wajah kiri dengan kerut dahi, tutup mata, tersenyum, meringis, meniup bola pingpong,/lilin, berkumur.
-
Latihan makan dengan mengunyah disisi yang lemah.
4). Operasi Tindakan operatif umumnya tidak dianjurkan pada anak-anak karena dapat menimbulkan komplikasi lokal maupun intracranial. Tindakan operatif dilakukan apabila :
tidak terdapat penyembuhan spontan
tidak terdapat perbaikan dengan pengobatan prednison
J. KOMPLIKASI (2, 9,10) a) Crocodile tear phenomenon. Yaitu keluarnya air mata pada saat penderita makan makanan. Ini timbul beberapa bulan setelah terjadi paresis dan terjadinya akibat dari regenerasi yang salah dari serabut otonom yang seharusnya ke kelenjar saliva tetapi menuju ke kelenjar lakrimalis. Lokasi lesi di sekitar ganglion genikulatum.
19
b) Synkinesis. Dalam hal ini otot-otot tidak dapat digerakkan satu per satu atau tersendiri. selalu timbul gerakan bersama. Misal bila pasien disuruh memejamkan mata, maka akan timbul gerakan (involunter) elevasi sudut mulut,kontraksi platisma, atau berkerutnya dahi. Penyebabnya adalah innervasi yang salah, serabut saraf yang mengalami regenerasi bersambung dengan serabut-serabut otot yang salah. c) Tic Facialis sampai Hemifacial Spasme Timbul “kedutan” pada wajah (otot wajah bergerak secara spontan dan tidak terkendali) dan juga spasme otot wajah, biasanya ringan. Pada stadium awal hanya mengenai satu sisi wajah saja, tetapi kemudian dapat mengenai pada sisi lainnya. Kelelahan dan kelainan psikis dapat memperberat spasme ini. Komplikasi ini terjadi bila penyembuhan tidak sempurna, yang timbul dalam beberapa bulan atau 1-2 tahun kemudian. K. PROGNOSIS (3, 6,7) Walaupun tanpa diberikan terapi, pasien Bell’s palsy cenderung memiliki prognosis yang baik. Dalam sebuah penelitian pada 1.011 penderita Bell’s palsy, 85% memperlihatkan tanda-tanda perbaikan pada minggu ketiga setelah onset penyakit. 15% kesembuhan terjadi pada 3-6 bulan kemudian. Sepertiga dari penderita Bell’s palsy dapat sembuh seperti sedia kala tanpa gejala sisa. 1/3 lainnya dapat sembuh tetapi dengan elastisitas otot yang tidak berfungsi dengan baik. Penderita seperti ini tidak memiliki kelainan yang nyata. 1/3 sisanya cacat seumur hidup.
20