BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pemadatan Kayu Modifikasi kayu merupakan langkah yang ditempuh dalam rangka meningkatkan kualitas kayu dalam hal ini sifat fisis dan mekanisnya sehingga dapat digunakan sebagai bahan baku industri perkayuan. Modifikasi dapat dilakukan baik secara fisik, mekanis maupun kimia ataupun kombinasi dari caracara tersebut. Salah satu usaha yang dilakukan untuk meningkatkan sifat fisis dan mekanis kayu adalah dengan cara memadatkan kayunya (densifying by compression). Proses pemadatan kayu terbagi dalam tiga tahap, yaitu: (1) pelunakan (softening/plastization), (2) deformasi (deformation), dan (3) fiksasi (fixation). Pelunakan dapat dilakukan secara fisik maupun kimia. Secara fisik, pelunakan terjadi bila tiga komponennya yaitu air dalam kayu, temperatur yang tinggi dan tekanan ada secara bersama-sama. Pelunakan secara fisik dapat dilakukan melalui pemberian panas dengan menggunakan oven, perendaman panas dan dingin, perebusan dan pengukusan dengan autoklaf, sedangkan secara kimia dengan menggunakan bahan kimia. Menurut Bodig & Jayne (1982), plastisasi adalah perubahan karakteristik kayu menjadi lebih lunak sehingga memungkinkan untuk dilengkungkan atau dibentuk dan dipadatkan dengan energi yang lebih rendah dan kerusakan yang lebih kecil dibandingkan kayu tanpa plastisasi. Dengan kata lain, proses plastisasi dapat menjadikan kayu menjadi lebih lunak sehingga mudah untuk dibentuk dan dipadatkan. Pada tahap deformasi, kayu yang dikempa mengalami drying set, yaitu kondisi dimana kayu telah mengalami perubahan dimensi dan apabila tekanan dilepaskan, kayu tidak kembali ke bentuk semula. Tahap fiksasi merupakan tahap akhir dari proses pemadatan. Pada tahap ini, kayu terpadatkan tidak akan kembali ke bentuk semula atau perubahan bersifat permanen. Namun demikian, bila fiksasi yang terjadi tidak sempurna, maka kayu akan dapat kembali kebentuk dan ukuran semula bila mendapat pengaruh kelembaban dan perendaman ulang (recovery) (Amin & Dwianto 2006).
5
Pemadatan atau densifikasi dilakukan melalui pengempaan kayu dengan suhu dan tekanan tertentu, terutama untuk meningkatkan berat jenisnya. Pemadatan kayu solid ditujukan untuk meningkatkan sifat-sifat kayu baik sifat fisis maupun mekanisnya. Pada produk-produk komposit, kegiatan pengempaan lebih ditujukan untuk membantu meningkatkan ikatan rekat antara kayu dengan perekatnya (Kollman et al. 1975). Menurut Kollman et al. (1975), kayu dapat dipadatkan melalui impregnasi
(densifying
by
impregnation),
pengempaan
(densifying
by
compression), dan kombinasi antara impregnasi dan pengempaan (kompregnasi). Pada kegiatan impregnasi, struktur rongga kayu diisi dengan berbagai zat yang akan menyebabkan struktur kayu menjadi lebih padat. Zat-zat tersebut dapat berupa polimer resin fenol formaldehida, larutan finil, resin alam cair, lilin, sulfur dan logam ringan. Sementara itu pengempaan merupakan usaha memodifikasi sifat-sifat kayu di bawah kondisi plastis tanpa merusak struktur sel kayu. Dari berbagai hasil penelitian diketahui bahwa kayu-kayu yang terpadatkan dapat meningkat sifat fisis dan mekanisnya. Sulistyono (2001) melakukan pemadatan kayu agatis dengan memberikan perlakuan pendahuluan perendaman, perebusan dan pengukusan dengan air. Perlakuan pendahuluan yang dilakukan dapat mengurangi cacat kempa dan dapat membuat kayu menjadi lebih stabil. Urutan perlakuan pendahuluan dari yang terbaik adalah pengukusan dan perebusan. Akibat pemadatan kayu agatis, struktur mikroskopis kayu (rongga sel dan dinding sel) menjadi lebih pipih dan padat, sehingga meningkatkan kekuatan lebih dari 100% dan stabilitas dimensi. Manfaat produk pemadatan kayu digunakan untuk lantai, furniture, bahan interior, dan bahan komposit keteknikan (Dwianto 1999).
2.2. Pengaruh Pemadatan terhadap Sifat Fisis dan Sifat Mekanis Kayu Sifat dasar kayu yang memiliki peran penting dan erat kaitannya dengan struktur kayu itu sendiri adalah sifat fisis kayu. Perlakuan pemadatan akan menyebabkan kayu mengalami perubahan yaitu penyusutan dimensi. Penyusutan dimensi ini berakibat langsung terhadap deformasi sel-sel penyusun kayu. Sel-sel kayu yang menyusut menjadi pipih dan volume rongga sel menjadi berkurang.
6
Hal ini berarti pemadatan kayu akan menyebabkan berkurangnya volume kayu terpadatkan, bahkan bisa mencapai 50%. Hal ini tergantung dari tekanan kempa dan ukuran target yang diharapkan, sehingga kerapatan kayu menjadi meningkat (Hartono 2008). Pada beberapa penelitian yang telah dilakukan didapatkan bahwa pemadatan kayu dapat meningkatkan sifat mekanis kayu. Murhofiq (2000) melakukan pemadatan kayu sengon dan agatis dengan menggunakan alat upward skala laboratorium dengan pemadatan arah radial yang meningkatkan sifat mekanis kayu dari 100% sampai 200%. Bahkan daya dukung bautnya meningkat sampai 300%. Dengan alat yang sama Rilatupa (2001) melakukan pemadatan kayu dengan melakukan perebusan terlebih dahulu sebelum dikempa selama satu jam dengan suhu tertentu yang menghasilkan papan agatis yang lebih stabil dimensinya. Sifat mekanisnya meningkat lebih dari 100% dan sesuai digunakan untuk pelat buhul sebagai sambungan rangka karena kekuatannya meningkat menjadi kelas kuat I dan lebih menyatu dengan rangka. Akibat pemadatan kayu agatis, struktur mikroskopis kayu (rongga sel dan dinding sel) menjadi lebih pipih dan padat, sehingga meningkatkan kekuatan lebih dari 100% dan stabil dimensinya (Sulistyono 2001). Hasil penelitian Darwis (2008) menunjukkan bahwa kerapatan, berat jenis (BJ) dan sifat mekanis kayu yang dipadatkan meningkat secara signifikan. BJ meningkat sampai 1,25-1,40 kali, sementara keteguhan tekan sejajar serat dan keteguhan tariknya meningkat secara proposional seiring dengan meningkatnya BJ. Semakin tinggi tingkat pemadatan, semakin besar nilai BJnya. Hasil penelitian Ramdhania (2010) juga menunjukkan peningkatan sifat fisis dan mekanis kayu randu yang baik umumnya terjadi pada contoh uji yang diberi perlakuan pengukusan dengan tanin dan pengempaan dengan kempa panas. Kerapatan dan berat jenis kayu randu meningkat lebih dari 45% dibandingkan kontrol. Nilai MOE meningkat lebih dari 30% dari kontrolnya, nilai MOR meningkat di atas 80% serta nilai tekan sejajar serat dan kekerasan yang meningkat di atas 50% dari kontrolnya.
7
2.3. Pengujian Nondestruktif Gelombang Ultrasonik American Sosiety of Nondestructive Testing (ANST) mendefinisikan Nondestructive Testing and Evaluating (NDT&E) sebagai metode yang digunakan untuk menguji suatu benda, bahan, atau sistem tanpa merusaknya sehingga masih dapat dimanfaatkan untuk penggunaan selanjutnya. Sedangkan The Canadian Institute of Nondestructive Testing (CINDT) memberikan batasan sebagai suatu kesatuan metode pengujian teknik secara khusus yang menyediakan informasi data mengenai kondisi suatu bahan dan komponen tanpa menyebabkan perusakan pada bahan dan komponen tersebut. Definisi lain untuk NDT&E adalah suatu metode yang tidak merusak fungsi dari struktur bahan dan dapat dilakukan retesting pada lokasi yang sama untuk mengevaluasi perubahan sifatnya menurut waktu (Malik, et al. 2002). Nondestructive
Testing
(NDT)
digunakan
tanpa
merusak
atau
menyebabkan kerusakan terhadap suatu bahan atau produk karena pengujian yang dilakukan tidak mengganggu produk akhirnya. NDT ini memberikan suatu kesimbangan antara kontrol terhadap kualitas dan efektifitas biaya. Sedangkan NDE lebih bersifat penilaian kuantitas secara alami, sebagai contoh adalah untuk cacat pada kayu, dimana tidak hanya lokasi cacat saja tetapi juga termasuk penentuan bentuk, ukuran, dan arah orientasi cacatnya. NDE dapat digunakan untuk penentuan sifat bahan seperti fracture tougness, formidability, dan sifat fisik kayu lainnya (Malik, et al. 2002). Metode ultrasonik merupakan peningkatan dari metode gelombang tegangan (stress wave) dengan frekuensi sonik. Variabel dasar yang digunakan dalam metode ultrasonik adalah kecepatan gelombang frekuensi ultrasonik. Parameter akustik dari suatu kayu adalah: sound velocity (kecepatan suara); acoustic impedance (impedansi akustik), damping dan logarithmic decrement. Gelombang frekuensi yang biasa digunakan dengan teknik ultrasonik adalah lebih dari 20 kHz (Malik, et al. 2002 dan Sandoz, et al. 2000, 2002). Ada beberapa variabel yang mempengaruhi aliran gelombang ultrasonik pada kayu, antara lain: karakteristik mikrostruktural kayu, dan komposisi kimia yang disebabkan oleh perbedaan jenis kayu (konifer atau dikotiledon), kondisi
8
tanah, dan cuaca (Olievera, et al. 2002; W.R. Smith 1989). Lebih dalam beberapa faktor yang dapat dicatat mempengaruhi kecepatan gelombang ultrasonik adalah: 1. Kadar air; peningkatan kadar air menyebabkan peningkatan kecepatan gelombang 2. Arah serat; kecepatan gelombang lebih cepat pada arah longitudinal (searah serat), diikuti arah radial, dan yang terlama adalah pada arah tangensial. Selain itu semakin panjang serat semakin cepat gelombang mengalir 3. Dinding sel dengan porositas dan permeabilitas yang tinggi akan memperlambat kecepatan gelombang ultrasonik 4. Semakin besar kerapatan kayu semakin cepat gelombang ultrasoniknya 5. Daerah kristalin pada dinding sel (kaya akan selulosa) lebih cepat mengalirkan gelombang ultrasonik dibandingkan dengan daerah amorph (kaya akan lignin dan hemiselulosa) Umumnya metode gelombang suara ini digunakan untuk menentukan modulus of elasticity (MOE). Dengan penentuan waktu rambat gelombang tegangan dan diketahuinya jarak dari dua buah transducer yang digunakan maka dapat ditentukan kecepatannya sehingga kemudian dapat digunakan untuk menghitung MOE dinamis (MOEd) dari bahan. Nilai MOE dinamis ini berguna untuk memperkirakan kekuatan bahan tersebut melalui pendekatan korelasi statistik terhadap nilai MOE sebenarnya atau pengujian standar (MOE statis, MOEs). Nilai kecepatan gelombang suara dan MOEd ditentukan dengan rumus: 2 dan MOEd = ρ x v g
dimana: MOEd = Modulus of Elasticity dinamis (kg/cm2) ρ = kerapatan (kg/m3) v = kecepatan gelombang (m/detik) d = jarak tempuh gelombang antara 2 transducer (m) t = waktu tempuh gelombang antara 2 transducer (detik) g = percepatan gravitasi bumi (m/detik2)
9
2.4. Sifat Fisis 2.4.1. Kadar Air Kadar air merupakan berat air dalam kayu yang dinyatakan dalam persen terhadap berat kering tanur (BKT). Pengujian kadar air pada contoh uji dimaksudkan untuk mengetahui berapa besar persentase kadar air yang masih terkandung di dalam kayu atau mengetahui contoh uji sudah atau belum kering. Kadar air ini mempengaruhi kekuatan kayu. Jika terjadi penurunan kadar air atau kayu tersebut mengering maka kekuatan kayu akan meningkat. Pengaruh penurunan kadar air terhadap sifat kekuatan kayu tampak jelas apabila kadar air berada dibawah titik jenuh serat. Air dalam kayu terdiri atas air bebas dan air terikat dimana keduanya secara bersama-sama menentukan kadar air kayu. Dalam satu jenis pohon kadar air segar bervariasi tergantung pada tempat tumbuh dan umur pohon (Haygreen et al. 2003).
2.4.2. Kerapatan dan Berat Jenis Kerapatan didefinisikan sebagai massa atau berat persatuan volume dan biasanya dinyatakan dalam kilogram per meter kubik (Haygreen et al. 2003). Menurut Tsoumis (1991), kerapatan bervariasi pada arah vertikal maupun horizontal. Pada arah vertikal, bagian kayu yang posisinya lebih tinggi memiliki kerapatan yang rendah. Hal ini diakibatkan karena faktor mekanis dan faktor biologis. Pada arah horizontal, kerapatan dipengaruhi oleh umur. Kayu yang umurnya lebih muda memiliki kerapatan lebih rendah. Berat jenis kayu adalah suatu sifat fisika kayu yang paling penting. Kebanyakan sifat mekanis kayu sangat berhubungan dengan berat jenis dan kerapatan. Kerapatan dan berat jenis digunakan untuk menerangkan massa atau berat per satuan volume. Ciri-ciri ini umumnya digunakan dalam hubungannya dengan semua tipe bahan. Kerapatan didefinisikan sebagai massa atau berat per satuan volume. Sedangkan berat jenis adalah perbandingan kerapatan bahan dengan kerapatan air (1 g/cm3) (Haygreen et al. 2003).
10
2.5. Sifat Mekanis Sifat mekanis kayu merupakan ukuran ketahanan kayu terhadap gaya luar yang cenderung merubah bentuk benda. Ketahanan kayu tersebut tergantung pada besarnya gaya dan cara pembebanan (tarik, tekan, geser, pukul). Kayu menunjukan perbedaan sifat mekanis dalam arah pertumbuhan yang berbeda (aksial, radial, dan tangensial) (Tsoumis 1991).
2.5.1. Kekuatan Tekan Maksimum Sejajar Serat Menurut Tsoumis (1991), kekuatan tekan maksimum sejajar serat adalah kemampuan kayu untuk menahan beban atau tekanan yang berusaha memperkecil ukurannya. Kekuatan tekan aksial lebih tinggi dari kekuatan tekan transversal (sampai 15 kali). Pada softwood kekuatan tekan pada arah tangensial lebih tinggi daripada radial, sedangkan untuk hardwood kekuatan tekan radial lebih tinggi dibandingkan tangensialnya. Kekuatan tekan kayu pada arah aksial lebih rendah dibandingkan dengan logam, tetapi jika dibandingkan dengan bahan konstruksi lainnya kekuatan tekan kayu lebih tinggi.
2.5.2. Kekerasan Kekerasan merupakan ukuran kemampuan kayu untuk menahan kikisan pada permukaannya, sifat kekerasan ini dipengaruhi oleh kerapatan kayu, keuletan kayu, ukuran serat, daya ikat antar serat. Nilai yang di dapat dari hasil pengujian merupakan uji pembanding, yaitu besar gaya yang dibutuhkan untuk memasukan bola baja berdiameter 0.444 inchi pada kedalamaan 0.22 inchi.
2.5.3. Modulus of Elasticity (MOE) Menurut Haygreen et al. (2003) kekakuan lentur atau Modulus of Elasticity (MOE) adalah suatu nilai yang konstan dan merupakan perbandingan antara tegangan dan regangan dibawah batas proporsi. Tegangan didefinisikan sebagai distribusi gaya per unit luas, sedangkan renggangan adalah perubahan panjang per unit panjang bahan. Modulus elastisitas (MOE) berkaitan dengan regangan, defleksi dan perubahan bentuk yang terjadi. Besarnya defleksi dipengaruhi oleh besar dan lokasi pembebanan, panjang dan ukuran balok serta MOE kayu itu sendiri. Makin tinggi MOE akan semakin kurang defleksi balok
11
atau gelagar dengan ukuran tertentu pada beban tertentu dan semakin tahan terhadap perubahan bentuk.
2.5.4. Modulus of Rupture (MOR) Menurut Kollman dan Cote (1968) kekuatan lentur atau Modulus of Rupture (MOR) merupakan sifat mekanis kayu yang berhubungan dengan kekuatan kayu yaitu ukuran kemampuan kayu untuk menahan beban atau gaya luar yang bekerja padanya dan cenderung merubah bentuk ukuran kayu tersebut. MOR dihitung dari beban maksimum (beban pada saat patah) dalam uji keteguhan lentur dengan menggunakan pengujian yang sama untruk MOE (Haygreen et al. 2003).
2.6. Jabon [Anthocephalus cadamba (Roxb.) Miq.] 2.6.1. Klasifikasi dan Penyebaran Jabon [Anthocephalus cadamba (Roxb.) Miq.] merupakan jenis pohon cepat tumbuh dengan nama dagang Kadam. Adapun klasifikasi taksonomi jenis ini adalah sebagai berikut (Dallwitz et al. 1995) : Divisi
:
Spermatophyta
Subdivisi :
Angiospermae
Klas
:
Dicotyledoneae
Ordo
:
Rubiales
Famili
:
Rubiaceae
Genus
:
Anthocephalus
Spesies
:
Anthocephalus cadamba Roxb.
Jabon merupakan pohon yang menghuni hutan sekunder di daerah tropis, yaitu mulai dari Nepal, Bangladesh, India, Sri Lanka, Burma, Indo-china, China Selatan, Thailand, ke arah timur melalui Malesia, sampai Papua Nugini. Di Indonesia jabon tersebar di seluruh Sumatera, Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimantan Timur, Seluruh Sulawesi, Nusa Tenggara Barat, dan Irian Jaya. Umumnya tumbuh di tanah aluvial lembab di pinggir sungai dan di daerah peralihan antara tanah rawa dan tanah kering dan kadang-kadang di genangi air. Jenis ini tumbuh dengan baik di tanah liat, tanah lempung podzolik coklat, tanah tuf halus, atau tanah berbatu yang tidak sarang (non-porous). Jabon tumbuh pada
12
ketinggian 0 - 1000 m dpl dengan tipe curah hujan A-D dan suhu rata-rata 2032°C/tahun (Martawijaya et al. 1992).
2.6.2. Deskripsi Botani Jenis
Anthocephalus
cadamba
Roxb.
ini
bersinonim
dengan
Anthocephalus chinensis Lamk. dan Anthocephalus indicus A. Rich. Jabon [Anthocephalus cadamba (Roxb.) Miq.] merupakan pohon yang dapat mencapai tinggi sampai 45 meter, mempunyai batang yang lurus dan silindris dengan batang bebas cabang lebih dari 25 meter. Diameter batang dapat mencapai 100 - 160 cm, batang berbanir dengan tinggi banir hingga 2 meter dan lebar sampai 60 cm. Jabon mempunyai daun tunggal dengan ujung daun berbentuk runcing sampai meruncing serta berdaun penumpu. Jabon mempunyai tajuk yang tinggi dengan cabang mendatar, berbanir sampai ketinggian 1,50 m. Kayunya berwarna putih krem sampai sawo kemerahmerahan, sedikit beralur dangkal. Bunga jenis ini berwarna jingga berukuran kecil, berkelopak rapat, berbentuk bulat. Jabon berbuah setiap tahun mulai bulan Juni-Agustus, buahnya majemuk berbentuk bulat dan lunak, mengandung biji yang sangat kecil, jumlah biji kering udara 18 - 26 juta butir/kg, sedangkan jumlah buah 33 butir/kg atau 320 butir/kaleng minyak tanah. Jabon tidak memiliki hama dan penyakit yang serius, tanaman muda sering dimakan binatang liar seperti rusa dan banteng, serangga dan jamur Gloeosporium anthocephali Desm. and Mont., yang menyerang daun sehingga menyebabkan defoliasi dan mati pucuk (Martawijaya et al. 1992).
2.6.3. Karakteristik Kayu Jabon Kayu teras jabon berwarna putih, kayu gubal tidak dapat dibedakan dari kayu teras, teksturnya agak halus sampai agak kasar, arah seratnya lurus, sedangkan kesan raba permukaan kayunya licin atau agak licin. Pori pada kayu jabon bergabung dua sampai tiga dalam arah radial, jarang soliter, diameter 130220µ, frekuensi 2 - 5/mm², parenkimnya agak jarang seringkali 2 - 3 garis bersambungan dalam arah tangensial diantara jari-jari, dan bersinggungan dengan pori, sedangkan jari-jarinya uniseriet, tinggi 580µ, lebar 44µ, frekuensi 2 - 3/mm,
13
panjang seratnya 1979µ, diameter 54µ, tebal dinding 3,2µ, dan diameter 47,6µ (Martawijaya et al. 1992). Kayu jabon mempunyai berat jenis 0,42 (0,29 - 0,56) dengan kelas kuat III-IV, penyusutan sampai kadar air 12% adalah 3,0% (radial) dan 6,9% (tangensial). Kayu jabon termasuk kelas awet V dan kelas keterawetan sedang yang berarti kayu jabon tergolong tidak awet pada kondisi terbuka dan bersentuhan dengan tanah, sedangkan pada kondisi tertutup kayu mempunyai ketahanan sedang. Kayu jabon mudah digergaji, dapat dibentuk, dibuat lubang persegi, dan diamplas dengan hasil yang baik, sedangkan penyerutan, pemboran, dan pembubutan hanya memberikan hasil yang sedang. Kayu jabon termasuk mudah dikeringkan dengan sedikit cacat berupa pecah dan retak ujung serta sedikit mencekung, Perekatan vinir kayu jabon dengan urea formaldehida (UF) menghasilkan kayu lapis yang memenuhi persyaratan standar Indonesia, Jepang, dan Jerman (Martawijaya et al. 1992). Secara detail sifat mekanis kayu jabon dapat disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Sifat mekanis kayu jabon Sifat
Satuan
Keteguhan lentur statis Tegangan padabatas proporsi kg/cm2 Tegangan pada batas patah kg/cm2 Modulus elastisitas kg/cm2 Usaha sampai batas proporsi kg/cm2 Usaha sampai batas patah kgm/dm2 Keteguhan pukul Radial kgm/dm3 Tangensial kgm/dm3 keteguhan tekan sejajar arah kg/cm2 serat, tegangan maksimum Kekerasan (JANKA) Ujung kg/cm2 Sisi kg/cm2 Keteguhan geser Radial kg/cm2 Tangensial kg/cm2 Keteguhan belah Radial kg/cm Tangensial kg/cm Keteguhan tarik tegak lurus arah serat Radial kg/cm2 Tangensial kg/cm2 Sumber : Martawijaya et al. 1989
Kondisi Basah
Kondisi Kering
294 516 42.900 0,53 5,4
387 691 68.000 0,80 6,0
20,2 20,6
22,3 24,2
279
374
275 239
409 268
36,6 46,4
48,4 59,1
46,2 55,0
36,1 55,1
32,6 38,4
25,0 31,4
14
Saat ini jabon menjadi andalan industri perkayuan untuk bahan baku vinir dan kayu lapis. Kemampuan tumbuh jabon sepadan dengan sengon apabila mendapat perawatan yang optimal. Dari hasil uji coba yang telah dilakukan oleh Soerianegara & Lemmens (1994), keunggulan tanaman jabon dapat diuraikan dari beberapa sisi, diantaranya adalah diameter batang dapat tumbuh berkisar 10 cm/tahun, masa produksi jabon singkat hanya 4 – 5 tahun, berbatang silinder dengan tingkat kelurusan yang sangat bagus, permukaan kayu licin, berwarna putih kekuningan mirip meranti kuning, batang mudah dikupas, dikeringkan, direkatkan, bebas dari cacat mata kayu dan susutnya rendah serta tidak memerlukan pemangkasan karena pada masa pertumbuhan cabang akan rontok sendiri (self pruning).
2.6.4. Pemanfaatan Pohon jabon merupakan jenis pohon yang dapat digunakan untuk pohon ornamental dan naungan atau untuk reforestasi dan agroforestri. Sedangkan kayunya dapat digunakan untuk berbagai macam kegunaan, diantaranya adalah untuk korek api, peti pembungkus, cetakan beton, mainan anak-anak, vinir, kayu lapis, pulp dan kertas, kayu lamina, serta konstruksi darurat yang ringan (Martawijaya et al. 1992), obat tradisional (daun dan kulit kayu), serta bunga dan buahnya dapat dimakan (Soerianegara & Lemmens 1994).