BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Definisi Konsep dan Batasan Konsep 1. Partisipasi Partisipasi,
sebagai
suatu
konsep
dalam
pengembangan
masyarakat, digunakan secara umum dan luas. Partisipasi adalah sebuah konsep sentreal, dan prinsip dasar dari pengembangan masyarakat karena, di antara banyak hal, partisipasi terkait erat dengan gagasan HAM. Dalam pengertian ini, partisipasi adalah suatu tujuan dalam dirinya sendiri(Ife dan Tesoriero, 2014: 295). Partisipasi adalah alat dan tujuan, karena membentuk bagian dari dasar kultur yang membuka jalan bagi tercapainya HAM. Perdebatan mengenai „cara‟ dan „tujuan‟ telah dilakukan
secara
kuat
dalam
pustaka
mengenai
pembangunan
danpembedaan antara cara dan tujuan merupakan hal yang penting untuk dijelaskan. Oakley et al ,1991 (dalam Ife dan Tesoriero, 2014) menyajikan analisis perbandingan sebagai berikut : Tabel 1 Perbandingan Partisipasi Partisipasi Sebagai Cara
Berimplikasi pada penggunaan
Berupaya
partisipasi
mencapai
rakyat
tujuan atau sasaran yang telah
dalam
ditetapkan sebelumnya.
sendiri secara lebih berarti.
Merupakan
untuk
upaya
suatu
memberdayakan untuk
berpartisipasi
pembangunan
Berupaya
untuk
mereka
menjamin
pemanfaatan sumber daya yang
peningkatan peran rakyat dalam
ada untuk
inisiatif
mencapai
tujuan
program atau proyek
Partisipasi Sebagai Tujuan
Penekanan
pada
–inisiatif
pembangunan. mencapai
tujuan dan tidak terlalu pada
Fokus
pada
kemampuan
peningkatan rakyat
untuk
aktivitas partisipasi itu sendiri.
berpartisipasi
bukan sekedar
mencapai tujuan-tujuan proyek yang
sudah
ditetapkan
sebelumnya.
Lebih umum dalam program-
Pandangan ini relatif kurang
program
disukai
pemerintah,
yang
oleh
badan-badan
pertimbangan utamnya adalah
pemerintah. Pada prinsipnya
untuk
LSM setuju dengan pandangan
menggerakkan
masyarakat
dan
melibatkan
ini.
mereka dalam meningkatkan efisiansi sistem penyampaian.
Partisipasi
umumnya
jangka
Partisipasi dipandang sebagai
pendek
Partisipasi
suatu proses jangka panjang sebagai
cara
Partisipasi sebagai tujusn relatif
merupakan bentuk pasif dari
lebih aktif dan dinamis.
partisipasi Sumber: Oakley et al. 1991(dalamIfe dan Tesoriero, 2014)
Partisipasi adalah keikutsertaan , peranserta atau keterlibatan yang berkaitan dengan keadaan lahiriyah, Pengertian prinsip partisipasi adalah masyarakat berperan secara aktif dalam proses atau alur tahapan program dan
pengawasannya,
mulai
dari
tahap
sosialisasi,
perencanaan,
pelaksanaan, dan pelestarian kegiatan dengan memberikan sumbangan tenaga, pikiran, atau dalam bentuk materiil. Theodorson (dalam Ikek, 2011) mengemukakan bahwa dalam pengertian sehari-hari, partisipasi merupakan keikutsertaan atau keterlibatan seseorang (individu atau warga masyarakat)
dalam
setiap
kegiatan
tertentu.
Keikutsertaan
atau
keterlibatan yang dimaksud di sini bukanlah bersifat pasif tetapi secara aktif ditujukan oleh yang bersangkutan. Oleh karena itu, partisipasi akan lebih tepat diartikan sebagai keikutsertaan seseorang di dalam suatu
kelompok sosial untuk mengambil bagian dalam kegiatan masyarakat, di luar pekerjaan atau profesinya sendiri (Ikek, 2011). Satu hal yang juga penting dalam konsep partisipasi adalah bahwa partsipasi tidak sekedar dilihat dari aspek fiskal semata. Selama ini, ada kesan bahwa seseorang dikatakan sudah berpartisipasi ketika dia sudah terlibat secara fisik, seperti ikut kerja bakti, ikut menghadiri penyuluhan. Padahal esensi yang terkandung dalam partisipasi sebenarnya tidak sesempit itu. Inisiatif ataupun sumbang saran dari warga masyarakat sebenernya dapat dikatakan sebagai suatu wujud partisipasi. Hal inilah yang kemudian juga mengakibatkan konsep partisipasi sekedar dimaknai sebagai keterlibatan dalam memberikan partisipasi secara material. Keterlibatan masyarakat dan pihak terkait dalam mengidentifikasi masalah dan
kebutuhannya sendiri,
merumuskan dan menyeleksi
alternatif tindakan atau program dan mengimplementasikan
program
serta melakukan monitoring dan evaluasi program sangat penting dalam pembangunan. Kondisi yang mendorong partisipasi menurut Jim Ife & Frank Tesoriero adalah berikut : a. Pertama, orang akan berpartisipasi apabila mereka merasa bahwa isu atau aktivitas tersebut penting . Cara ini dapat secara efektif dicapai jika masyarakat sendiri telah mampu menentukan isu atau aksi, dan telah mendominasi kepentingannya, bukan berasal dari orang luar yang memberikan mereka apa yang harus dilakukan. b. Kedua, orang harus merasa bahwa aksi mereka akan membuat perubahan. Jika orang tidak percaya bahwa aksi masyarakat akan membuat perubahan terhadap prospek peluang kerja lokal, akan kecil insetif untuk berpartisipasi. Perlu dibuktikan bahwa masyarakat dapat memperoleh sesuatu yang akan membuat perbedaan dan akan menghasilkan perubahan.
c. Ketiga, berbagai bentuk partisipasi harus diakui dan dihargai. d. Keempat,
orang harus bisa berpastisipasi dan didukung dalam
partisipasinya. Hal ini berarti bahwa isu-isu seperti keamanan waktu, lokasi kegiatan, dan lingkungan tempat kegiatan akan dilaksanakan sangat penting dan perlu diperhitungkan dalam perencanaan proses berbasis masyarakat. Pola partisipasi didasarkan pada asumsi bahwa hubungan yang harus dibangun harus bersifat egaliter dan berorientasi pada kelompok (Alfitri. 2011: 36-42). Terdapat tiga alasan utama mengapa partisipasi masyarakat mempunyai sifat penting. Pertama, partisipasi masyarakat merupakan suatu alat guna memperoleh informasi mengenai kondisi, kebutuhan, dan sikap
masyarakat
setempat
yang
tanpa
kehadirannya
program
pembangunan atau proyek akan gagal. Kedua, yaitu bahwa masyarakat akan lebih mempercayai proyek atau program pembangunan jika merasa dilibatkan dalam proses persiapan dan perencanaannya, karena mereka akan lebih mengetahui seluk beluk proyek proyek atau program tersebut dan akan mempunyai rasa memiliki terhadap program tersebut. Ketiga, partisipasi menjadi sangat penting karena timbul anggapan bahwa merupakan suatu hak demokrasi, jika masyarakat dilibatkan dalam pembangunan masyarakat. Partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan sebuah program pembangunan mutlak diperlukan, karena masyarakatlah yang pada akhirnya akan melaksanakan program tersebut. Adanya pelibatan masyarakat memungkinkan mereka memiliki rasa tanggung jawab terhadap keberlanjutan program tersebut. Dengan adanya pertisipassi diharapkan potensi dan kreativitas masyarakat dapat lebih tergali. Dengan partisipasi diharapkan berkembangnya aktivitas yang berorientasi pada kompetensi dan tanggung jawab sosial anggota komunitas sendiri. Dengan melibatkan masyarakat dalam keseluruhan proses, maka ketrampilan analisis dan perencanaan menjadi teralihkan kepada mereka (Alfitri, 2011: 204-205).
a. Lingkup Partisipasi Masyarakat Telaah tentang pengertian “partisipasi” pada adasarnya merupakan suatu bentuk keterlibatan atau keikutsertaan secara aktif dan sukarela, baik karena alasan-alasan dari dalam (intrinsik) maupun dari luar (ekstrinsik) dalam keseluruhan proses kegiatan yang bersangkutan. Oleh
karena
itu,
Yadav
(dalam
Totok
Mardikanto,
2013)
mengemukakan tentang adanya empat macam kegiatan yang menunjukkan
partisipasi
massyarakat
di
dalam
kegiatan
pengembangan, yaitu partisipasi dalam: pengambilan keputusan, pelaksanaan kegiatan, pemantauan dan evaluasi, serta partisipasi dalam pemanfaatan hasil-hasil pembangunan. a.1 Partisipasi dalam pengambilan keputusan Partisipasi
masyarakat
dalam
pembangunan
perlu
ditumbuhkan melalui dibukanya forum yang memungkinkan masyarakat banyak berpartisipasi langsung di dalam proses pengambilan keputusan tentang program-program pembangunan di wilayah setempat atau di tingkat lokal. a.2 Partisipasi dalam pelaksanaan kegiatan Partisipasi masyarakat dalam pembangunan, seringkali diartikan sebagai partisipasi masyarakat banyak (yang umumnya lebih miskin) untuk secara sukarela menyumbangkan tenaga di dalam kegiatan, sedangkan lapisan yang diatasnya (yang umunya terdiri dari orang kaya) lebih banyak memperoleh manfaat dari hasil
pembangunan,
proporsional. Maka,
tidak
dituntut
sumbangannya
secara
partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan
pembangunan harus diartikan sebagai pemerataan sumbangan masyarakat dalam bentuk tenaga kerja, uang ataupun dalam bentuk lainnya yang sepadan dengan manfaat yang akan diterima oleh masing-masing warga masyarakat yang bersangkutan.
a.3 Partisipasi dalam pemantauan dan evaluasi pembangunan Kegiatan pemantauan dan evaluasi program dan proyek pembangunan sangat diperlukan. Bukan saja agar tujuannya dapat dicapai seperti yang diharapkan, tetapi juga diperlukan untuk memperoleh umpan balik tentang masalah-masalah dan kendala yang muncul dalam pelaksanaan pembangunan yang bersangkutan. Dalam hal ini, partisipasi masyarakat untuk mengumpulkan informasi yang berkaitan dengan perkembangan kegiatan serta perilaku aparat pembangunan sangat diperlukan. a.4 Partisipasi dalam pemanfaatan hasil pembangunan Partisipasi
dalam
pemanfaatan
hasil
pembangunan,
merupakan unsur terpenting yang sering terlupakan. Sebab, tujuan pembangunan adalah untuk memperbaiki mutu hidup masyarakat banyak sehingga pemerataan hasil pembangunan merupakan tujuan utama. Di samping itu, pemanfaatan hasil pembangunan akan merangsang kemauan dan kesuakrelaan masyarakat untuk selalu berpartisipasi dalam setiap progrram pemabangunan yang akan datang. b. Bentuk-bentuk Partisipasi Dusseldrop (dalam Totok Mardikanto, 2103) mengidentifikasi beragam bentuk-bentuk kegiatan partisipasi yang dilakukan oleh setiap warga masyarakat dapat berupa: 1) Menjadi anggota kelompok- kelompok masyarakat. 2) Melibatkan
diri
pada
kegiatan-kegiatan
organisasi
menggerakkan partisipasi masyarakat lain. 3) Melibatkan diri pada kegiatan diskusi kelompok 4) Menggerakkan sumberdaya masyarakat. 5) Mengambil bagian dalam proses pengambilan keputusan
untuk
6) Memanfaatkan
hasil-hasil
yang
dicapai
dari
kegiatan
masyarakatnya. Selain itu, Slamet (dalam Totok Mardikanto, 2013) juga mengemukakan adanya keragaman partisipasi berdasarkan input yang disumbangkan, dan keikutsertaannya dalam memanfaatkan hasil pembangunan, seperti berikut: 1) Ikut memberikan input, menerima imbalan atas input yang diberikan, serta ikut pula memanfaatkan hasil pembangunan. 2) Ikut memberikan input, tidak menerima imbalan atas input yang diberikan, tetapi ikut memanfaatkan hasil pembangunannya. Partisipasi seperti ini dapat dijumpai pada petani yang bergotong royong memperbaiki
saluran air pengairan,
atau anggota
masyarakat yang bekerja sama membersihkan lingkungannya. 3) Ikut memberikan input, menerima imbalan atas input yang diberikan tetapi tidak ikut memanfaatkan hasilnya. Partisipasi seperti ini, tidak dapat dilihat pada para pekerja bangunan yang turut dalam pembangunan hotel-hotek berbintang. 4) Ikut menerima imbalan dan menerima hasil pembangunan, tetapi tidak turut memberikan input. 5) Ikut memberikan input, meskipun tidak menerima imbalan atas input yang diberikan, dan juga tidak ikut serta menikmati manfaat hasil pembangunan. c. Tingkatan Partisipasi Dalam Mardikanto (2013), dilihat dari tingkatan atau tahapan partisipasi terdapat 5 (lima) tingkatan, yaitu: 1) Memberikan informasi (Information) 2) Konsultasi (Consultation): yaitu menawarkan pendapat, sebagai pendengar yang baik untuk memberikan umpan-balik, tetapi tidak terlibat dalam implementasi ide dan gagasan tersebut.
3) Pengambilan keputusan bersama (Deciding together), dalam arti memberikan dukungan terhadap ide, gagasan, pilihan-pilihan serta, mengembangkan peluang yang diperlukan guna pemngambilan keputusan. 4) Bertindak bersama (Acting together), dalam arti tidak sekedar ikut dalam pengambilan keputusan, tetapi juga terlibat dan menjalin kemitraan dalam pelaksanaan kegiatannya. 5) Memberikan dukungan (Supporting independent community interest) dimana kelompok-kelompok lokal menawarkan pendanaan, nasehat, dan dukungan lain untuk mengembangkan agenda kegiatan. d. Derajat Kesukarelaan Partisipasi Berkaitan
dengan
tingkat
kesukarelaan
masyarakat
untuk
berpartisipasi, Dusseldorp (dalam Mardikanto, 2013) membedakan adanya beberapa jenjang kesukarelaan sebagai berikut: a) Partisipasi spontan, yaitu peran serta yang tumbuh karena motivasi intrinsik berupa pengalaman, penghayatan dan keyakinannya sendiri. b) Partisipasi terinduksi, yaitu peran serta yang tumbuh karena terinduksi oleh adanya motivasi ekstrinsik (berupa bujukan, pengaruh, dorongan) dari luar, meskipun yang bersangkutan tetap memiliki kebebasan penuh untk berpartisipasi. c) Partisipasi tertekan oleh kebiasaan, yaitu peran serta yang tumbuh keran adanya tekanan yang dirasakan
sebagaimana layaknya
warga masyarakat pada umumnya, atau peran serta yang dilakukan untuk mematuhi kebiasaan, nilai-nilai, atau norma yang dianut oleh masyarakat setempat. Jika tidak berperan serta. Khawatir akan tersisih atau dikucilkan masyarakatnya. d) Partisipasi tertekan oleh alasan sosial-ekonomi, yaitu peran serta yang dilakukan karena takut akan kehilangan status sosial atau menderita kerugian/ tidak memperoleh bagian manfaat dari kegiatan yang dilaksanakan.
e) Partisipasi tertekan oleh peraturan, yaitu peran serta yang dilakukan karena takut menerima hukuman dari peraturan/ ketentuan-ketentuan yang sudah diberlakukan. e. Tipologi Partisipasi Bass et al (dalam Mardikanto, 2013) mengidentifikasi adanya tujuh tipe partisipasi, sebagaimana dikemukakan dalam tabel 1. Tabel 1.1 Tipe Partisipasi
No. 1.
TIPOLOGI Partisipasi Pasif/ Manipulatif
KARAKTERISTIK
2.
Partisipasi Informatif
3.
Partisipasi Konsultatif
4.
Partisipasi Insentif
Masyarakat diberitahu apa yang sedang atau telah terjadi Pengumuman sepihak oleh pelaksanan proyek tanpa memperhatikan tanggapan masyarakat Informasi yang dipertukarkan terbatas pada kalangan profesional di luar kelompok sasaran Masyarakat menjawab pertanyaanpertanyaan penelitian Masyarakat tidak diberi kesempatan untuk terlibat dan mempengaruhi proses penelitian Akurasi hasil penelitian tidak dibahas bersama masyarakat Masyarakat berpartisipasi dengan cara berkonsultasi Orang luar mendengarkan, menganalisis masalah dan pemecahannya Tidak ada peluang untuk pembuatan keputusan bersama Para profesional tidak berkewajiban untuk mengajukan pandangan Masyarakat (sebagai masukan) untuk ditindaklanjuti Masyarakat memberikan korbanan/ jasanya untuk memperoleh imbalan
Tabel 1.1 (Lanjutan...)
5.
Partisipasi Fungsional
6.
Partisipasi Interaktif
7.
Self Mobilization (Mandiri)
berupa insentif/ upah Masyarakat tidak dilibatkan dalam proses pembelajaran atau eksperimen-eksperimen yang dilakukan Masyarakat tidak memiliki andil untuk melanjutkan kegiatan-kegiatan setelah insentif dihentikan. Masyarakat memberikan kelompok untuk mencapai tujuan proyek Pembentukan kelompok (biasanya) setelah ada keputusan-keputusan utama yang disepakati Pada tahap awal, masyarakat tergantung kepada pihak luar, tetapi secara bertahap menunjukkan kemandiriannya. Masyarakat berperan dalam analisis untuk perencanaan kegiatan dan pembentukan atau pengutan kelembagaan Cenderung melibatkan metoda interdisipliner yang mencari keragaman perspektif dalam proses belajar yang terstruktur dan sistematik Masyarakat memiliki peran untuk mengontrol atas (pelaksanaan) keputusankeputusan mereka, sehingga memiliki andil dalam keseluruhan proses kegiatan. Masyarakat mengambil inisiatif sebdiri secara bebas (tidak dipengaruhi oleh pihak luar) untuk mengubah sistem atau nilanilai yang mereka miliki Masyarakat mengembangkan kontak dengan lembaga-lembaga lain untuk mendapatkan bantuan-bantuan teknis dan sumberdaya yang diperlukan Masyarakat memegang kendali atas pemanfaatan sumberdaya yang ada dan satu digunakan.
Sumber: Hobley, 1996 (dalam Mardikanto, 2013)
2. Pengelolaan Lingkungan Pengertian Lingkungan hidup dirumuskan di dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1997, bahwa: “ Lingkungan Hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya.” Pengertian pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi
kebijaksanaan
penataan,
pemanfaatan,
pengembangan,
pemeliharaan, pemulihan, pengawasan, dan pengendalian lingkungan hidup. (Arif, 1998: 3) Berdasarkan definisi mengenai lingkungan hidup yang telah dikemukakan di atas, maka dapat diuraikan unsur-unsur yang terdapat di dalam pengertian lingkungan hidup secara terperinci, antara lain : a. Kesatuan Ruang Maksud kesatuan ruang, yang diberarti ruang adalah suatu bagian tempat berbagai komponen lingkungan hidup bisa menempati dan melakukan proses interkasi di antara berbagai komponen lingkungan hidup tersebut. Jadi, ruang merupakan suatu tempat berlangsungnya ekosistem, misalnya ekosistem pantai, ekosistem hutan. Ruang atau tempat yang mengitari berbagai komponen lingkungan hidup yang merupakan suatu ekosistem satu sama lain pada hakikatnya berwujud pada satu kesatuan ruang. b. Semua benda Benda dapat dikatakan juga sebagai materi atau zat. Materi atau zat merupakan segala sesuatu yang berada pada suatu tempat dan suatu waktu. Pendapat kuno mengatakan suatu benda terdiri atas empat macam materi asal (zat asal), yaitu api, air, tanah, dan udara. Dalam perkembangan sekarang empat materi tersebut tidak dapat lagi disebut zat tunggal (zat asal). Perkembangan ilmu pengetahuan alam dan teknologi, materi adalah apa saja yang mempunyai massa dan
menempati suatu ruang baik yang berbentuk padat, cair dan gas. Materi ada yang dapat dilihat dan dipegang seperti kayu, kertas, batu, makanan, pakaian. Ada materi yang bisa dilihat, tetapi tidak bisa dipegang seperti air, ada pula materi yang tidak bisa dilihat dan dipegang seperti udara, memang udara tidak dapat dilihat dan dipegang, tetapi memerlukan tempat. c. Daya Daya atau yang disebut juga dengan energi atau tenaga merupakan sesuatu yang memberi kemampuan untuk menjalankan kerja atau dengan kata lain energi atau tenaga adalah kemampuan untuk melakukan kerja dalam lingkungan hidup penuh dengan energi yang berwujud seperti energi cahaya, energi panas, energi magnet, energi listrik, energi gerak, energi kimia, dan lain-lain. d. Keadaan Keadaan disebut juga dengan situasi dan kondisi. Keadaaan memiliki berbagai ragam yang satu sama lainnya ada yang membantu berlangsungnya proses kehidupan lingkungan, ada yang merangsang makhluk hidup untuk mlakukan sesuatu, ada juga yang mengganggu berprosesnya interaksi lingkungan dengan baik. Sebgai contoh misalnya kucing atau musang dalam waktu gelap bukannya tidak bisa melihat justru lebih mempertajam matanya untuk mencari mangsa atau makanannya. Dalam keadaan berisik, pada umunya orang sulit untuk tidur nyenyak atau pulas. Dalam keadaan miskin masyarakat cenderung merusak lingkungannya. e. Makhluk Hidup (Termasuk manusia dan perilakunya) Makhluk hidup merupakan komponen lingkungan hidup yang sangat dominan dalam siklus kehidupan. Makhluk hidup memiliki ragam yang berbeda satu sama lainnya. Makhluk hidup seperti binatang dan tumbuh-tumbuhan peranannya dalam lingkungan hidup sangat penting, tetapi makhluk hidup seperti itu tidaklah merusak dan mencemari lingkungan, lain halnya dengan manusia.
Dalam pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1997 menyebutkan bahwa Pengelolaan lingkungan hidup
yang
diselenggarakan dengan asas tanggung jawab negara, asas berkelanjutan, dan
asas
manfaat
bertujuan
untuk
mewujudkan
pembangunan
berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup dalam rangka pembangunan
manusia
Indonesia
seutuhnya
dan
pembangunan
masyarakat Indonesia seluruhnya yang bermaindan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sasaran pengelolaan lingkungan hidup adalah : a. Tercapainya keselarasan, keserasian, dan keseimbangan antara manusia dan lingkungan hidup. b. Terwujudnya manusia Indonesia sebagai insan lingkungan hidup yang memiliki sikap dan tidak memiliki sikap dan tidak melindungi dan membina lingkungan hidup. c. Terjaminnya kepentingan generasi masa kini dan generasi masa depan d. Tercapainya kelestarian fungsi lingkungan hidup e. Terkendalinya pemanfaatan sumber daya secara bijaksana f. Terlindunginya Negara Kesatuan Republik Indonesia terhadap dampak usaha dan/ atau kegiatan d luar wilayah negara yang menyebabkan pencemaran dan/ atau perusakan lingkungan hidup. Masyarakat mempunyai kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan dalam pengelolaan lingkungan hidup., dilakukan dengan cara : a. Meningkatkan
kemandirian,
keberdayaan
massyarakat,
dan
kemitraan. b. Menumbuhkembangkan kemampuan dan kepeloporan masyarakat. c. Menumbuhkan ketanggapsegeraan masyarakat untuk melakukan pengawasan sosial. d. Memberikan saran pendapat
e. Menyampaikan informasi dan/ atau menyampaikan laporan (Arif. 1998: 6-7). Pengelolaan lingkungan hidup merupakan upaya manusia untuk berinteraksi dengan lingkungan guna mempertahankan kehidupan dan mencapai kesejahteraan. Jika dilihat dari pengertian diatas, maka kegiatan yang meliputi pengelolaan dapat dikelompokkan menjadi: 1. Proses, cara, perbuatan mengelola 2. Proses melakukan kegiatan tertentu dengan menggerakkan tenaga orang lain. 3. Proses yang membantu merumuskan kebijakan dan tujuan organisasi 4. Proses yang memberikan pengawasan pada semua hal yang terlibat dalam pelaksanaan kebijakan dan pencapaian tujuan. Sementara menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 adalah bagaimana melakukan manajemen terhadap lingkungan tersebut, atau dengan kata lain bahwa lingkungan tersebut dapat dikelola dengan melakukan pendekatan manajemen. Pendekatan manajemen lingkungan mengutamakan kemampuan manusia dalam mengelola lingkungan, sehingga pandangan tersebut harus diubah dengan melakukan sebuah pendekatan yang lazim disebut dengan “ramah lingkungan”. Ramah lingkungan haruslah juga bersifat mendukung pembangunan ekonomi. Betapa pun, kita masih miskin dan kehidupan sebagian besar rakyat kita belumlah
layak.
Dengan
lain
perkataan,
sikap
dan
kelakuan
prolingkungan hidup tidak boleh bersifat antipembangunan ekonomi. Oleh karena itu, lingkungan hidup Indonesia harus dilindungi dan dikelola dengan baik berdasarkan asas tanggung jawab negara, asas berkelanjutan, dan asas keadilan. Selain itu, pengelolaan lingkungan hidup harus dapat memberikan kemanfaatan ekonomi, sosial, dan budaya yang dilakukan berdasarkan prinsip kehati-hatian, demokrasi lingkungan,
desentralisasi, serta pengakuan dan penghargaan terhadap kearifan lokal dan kearifan lingkungan. 3. Mitigasi Bencana Sebagaimana tercermin dalam sikap reaktif dan serba darurat selama ini dalam penanganan resiko bencana, baik yang tercermin dalam tindakan pemerintah maupun tindakan masyarakat sipil dan komunitas korban. Maka dari itu, diperlukan tindakan utama pada pra penanggulangan bencana yaitu mitigasi bencana. 3.1 Pengertian Mitigasi Bencana Mitigasi bencana adalah istilah yang digunakan untuk menunjuk pada semua tindakan untuk mengurangi dampak dari satu bencana yang dapat dilakukan sebelum bencana itu terjadi, termasuk kesiapan dan tindakan-tindakan pengurangan resiko jangka panjang. Mitigasi bencana mencakup baik perencanaan dan pelaksanaan tindakan-tindakan untuk mengurangi resiko-resiko yang terkait dengan bahaya-bahaya karena ulah manusia dan bahaya alam yang sudah diketahui, dan proses perencanaan untuk respon yang efektif terhadap bencana-bencana yang benar-benar terjadi. Mitigasi berarti mengambil tindakan-tindakan untuk mengurangi pengaruh-pengaruh dari satu bahaya sebelum bahaya itu terjadi. Istilah mitigasi berlaku untuk cakupan yang luas dari aktivitasaktivitas dan tindakan-tindakan perlindungan yang mungkin diawali, dari yang fisik, seperti membangun bangunan-bangunan yang lebih kuat, sampai dengan yang prosedural, seperti teknik-teknik yang baku untuk menggabungkan penilaian bahaya di dalam rencana penggunaan lahan. (Coburn, dkk, 1994: 11) Sedangkan menurut Undang-Undang No.24 Tahun 2007 definisi mitigasi adalah: “Serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana.”
Mitigasi adalah istilah kolektif yang digunakan untuk mencakup semua aktivitas yang dilakukan dalam mengantisipasi munculnya suatu potensi kejadian yang mengakibatkan kerusakan, termasuk kesiapan dan tindakan-tindakan pengurangan resiko jangka panjang. Bagian paling kritis dari pelaksanaan mitigasi adalah pemahaman penuh akan sifat bencana. Dalam setiap negara dan dalam setiap daerah, tipe-tipe bahayabahaya yang dihadapi berbeda-beda. Beberapa negara rentan terhadap banjir, yang lain mempunyai sejarah-sejarah tentang kerusakan badai tropis, dan yang lain dikenal sebagai daerah gempa bumi. Kebanyakan negara rentan terhadap beberapa kombinasi dari berbagai bahaya dan semua menghadapi kemungkinan bencan-bencana teknologi sebagai akibat kemajuan pembangunan industri. Pengaruh dari bahaya-bahaya yang mungkin muncul dan kerusakan yang mungkin diakibatkan tergantung pada apa yang ada di daerah itu: orang-orangnya, rumahrumahnya, sumber daya kehidupan dan infrastruktur. Setiap negara berbeda-beda. Untuk lokasi atau negara tertentu penting untuk mengetahui tipe-tipe bahaya yang mungkin ditemui. Pemahaman bahaya-bahaya mencakup memahami tentang: a. Bagaimana bahaya-bahaya mencakup itu muncul b. Kemungkinan terjadi dan besarannya c. Mekanisme fisik kerusakan d. Elemen-elemen dan aktivitas-aktivitas yang paling rentan terhadap pengaruh-pengaruhnya e. Konsekuensi-konsekuensi kerusakan. Mitigasi mencakup tidak hanya menyelamatkan hidup dan mereka yang terluka dan mengurangi kerugian-kerugian harta benda, akan tetapi
juga
mengurangi
konsekuensi-konsekuensi
yang
saling
merugikan dari bahaya-bahaya alam terhadap aktivitas-aktivitas ekonomi dan institusi-institusi sosial. Jika sumber-sumber mitigasi
terbatas, sumber-sumber tersebut harus ditargetkan pada yang paling efektif untuk elemen-elemen yang paling rentan dan mendukung tingkat aktivitas-aktivitas masyarakat yang ada. Penilaian kerentanan merupakan aspek penting dari perencanaan mitigasi yang efektif. Kerentanan secara tidak langsung menyatakan baik kerawanan terhadap kerusakan fisik dan kerusakan ekonomi dan kurangnya sumber-sumber daya untuk pemulihan yang cepat. 3.2 Tindakan-Tindakan dalam Mitigasi Bencana Deskripsi tindakan-tindakan yang mungkin dilakukan untuk mengurangi pengaruh-pengaruhnya, jelas bahwa tindakan perlindungan bersifat kompleks dan perlu dibangun lewat serangkaian aktivitas yang dilakukan
pada
waktu
yang
bersamaan.
Pemerintah
dapat
mempengaruhi para individu kearah perlindungan diri mereka sendiri dan masyarakat lain. Pemerintah dapat menetapkan serangkaian peralatan dan menggunakan kekuasaan mereka dalam banyak cara untuk mempengaruhi keamanan masyarakat. Kekuasaan legislatif, fungsi-fungsi administratif, pembelajaran dan dimulainya proyek semua adalah alat-alat yang dapat mereka terapkan untuk bisa membawa perubahan. Kekuasaan-kekuasaan persuasi kedang kala diklasifikasikan kedalam dua tipe: Pasif dan Aktif. Kedua hal ini diringkas di bawah ini: 1. Tindakan-tindakan mitigasi pasif Otoritas-otoritas mencegah aksi-aksi yang tidak dikehendaki lewat pengendalian-pengendalian dan hukuman-hukuman dengan cara:
Persyaratan yang sesuai dengan undang-undang perancangan
Pengontrolan kepatuhan dari kontrol-kontrol di lapangan
Memaksakan
tindakan
hukum,
penutupan terhadap para pelanggar
Pengendaluan penggunaan lahan
denda,
perintah-perintah
Penolakan dari sarana-sarana dan infrastruktur terhadap daerahdaerah dimana pembangunan tidak diperbolehkan
Asuransi wajib
1.1 Persyaratan-persyaratan dari sistem-sistem pengendalian pasif a. Satu sistem pengendalian yang dapat dilaksanakan b. Penerimaan oleh masyarakat yang terkena bencana tentang tujuan-tujuan dan otoritasmenerapkan pengendalian c. Kemampuan ekonomi dari masyarakat yang tertimpa bencana untuk mematuhi peraturan-peraturan 2. Tindakan-tindakan mitigasi aktif Otoritas-otoritas
mempromosikan
tindakan-tindakan
yang
dikehendaki lewat insentif-insentif:
Perencanaan pengendalian dispensasi
Pendidikan dan pelatihan
Bantuan ekonomi (hibah dan pinjaman istimewa)
Subsidi-subsidi peralatan keamanan, materi bangunan yang lebih aman,dsb
Penyediaan fasilitas-fasilitas: bangunan-bangunan yang lebih aman, tempat-tempat
Penampungan dan penyimpanan
Peningkatan kesadaran dan penyebaran informasi untuk umum
Promosi asuransi sukarela
Pembentukan organisasi-organisasi masyarakat
2.1 Program-program aktif a. Bertujuan untuk menciptakan budaya kemanan diri langgeng di daerah-daerah
yang
pemerintah
daerahnya
lemah
atau
kemampuannya jelek sekali untuk mematuhi kontrol-kontrol yang ada
b. Memerlukan anggaran yang banyak, tenaga kerja yang terampil dan administrasi yang luas. c. Bermanfaat di daerah-daerah berpenghasilan rendah, daerahdaerah pedesaan atau ditempat lain dimana tidak ada hak hukum eksternal atas penggunaan tanah atau aktivitas bangunan. (Coburn, 1994) B. Penelitian Terdahulu Sebagaimana bahan pertimbangan dalam penelitian ini akan dicantumkan hasil penelitian terdahulu oleh peneliti lain yang pernah penulis baca yaitu: Dalam penelitian ini penulis bertujuan untuk Penelitian yang dilakukan oleh Aliedha Noorrafisa Putri tahun 2010, dengan judul Partisipasi Perempuan Dalam Pengelolaan Sampah Melalui “ Bengkel Kerja Kesehatan Lingkungan” Di Dusun Badegan Bantul mengetahui bagaimana partisipasi perempuan dalam pengelolaan sampah rumah tangga melalui sebuah lembaga masyarakat yakni Bengkel Kerja Kesehatan Lingkungan (BKKLBM) di Dusun Badegan Bantul serta bagaimana BKKLBM berperan dalam pemberdayaan perempuan dan pengelolaan lingkungan hidup. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan metode studi kasus. Partisipasi perempuan dalam hal pengelolaan sampah rumah tangga masing-masing dapat terbilang baik. Hal ini diperoleh dari wawanvara penulis dengan penduduk setempat serta dicocokkan dengan data yang dimiliki oleh BKKLBM. Partisipasi tersebut berupa pemilahan sampah berdasarkan jenisnya, menabung sampah di Bank Sampah milik BKKLBM, membuat kerajinan dari sampah, dan sebagainya. Adapun peran BKKLBM sendiri sebagai fasilitator pemberdayaan untuk peduli dengan sampah dan mencintai lingkungan. Peran dalam pengelolaan linkungan dirintis BKKLBM mulai dari hal kecil dan sederhana namun tepat guna, seperti pengelolaan air sederhana, pembuatan kompos, biopori, serta daur ulang sampah yang sudah mulai digeluti secara profesional.
Partisipasi perempuan Dusun Badegan dalam pengelolaan sampah tidak lepas dari peran BKKLBM selaku fasilitator. BKKLBM mengembangkan sebuah terobosan baru dalam pengelolaan sampah yang melibatkan seluruh elemen
masyarakat.
BKKLBM
memberikan
pemahaman
mengenai
pengelolaan sampah dari sumbernya kepada masyarakat Dusun Badegan. Hal tersebut dilakukan dengan cara sosialisasi per RT secara kontinue yang melibatkan ibu-ibu kader PKK dan Dasawisma. Selain sosialisasi para pengurus BKKLBM juga tidak segan untuk mempelopori penggunaan teknologi sederhana dan tepat guna yang menggunakan bahan-bahan yang mudah ditemukan di sekitar masyarakat. Teknologi yang berwawasan lingkungan tersebut seperti sodis (penggunaan energi matahari untuk memasak air), pembuatan chlorine diffuser (disinfektan air sumur), dan sebagainya. Partisipasi perempuan Dusun Badegan dalam hal pengelolaan sampah rumah tangga tidak akan berjalan baik tanpa adanya peran BKKLBM dalam memberdayakan perempuan serta mendorong perempuan dalam pengelolaan lingkungan. Sehingga kedua hal tersebut saling berkaitan satu sama lain. Berbagai peran yang dilakukan oleh BKKLBM telah menimbulkan dampakdampak positif seperti meningkatnya kualitas perempuan dalam hal kesehatan lingkungan, kualitas lingkungan Dusun Badegan yang semakin membaik serta munculnya lapangan pekerjaan baru dari mendaur ulang sampah. Persamaan penelitian yang berjudul Partisipasi Perempuan Dalam Pengelolaan Sampah Melalui “ Bengkel Kerja Kesehatan Lingkungan” Di Dusun Badegan Bantul ini dengan penelitian yang akan dilakukan oleh penulis adalah keduanya mengangkat tema yang sama yaitu partisipasi perempuan dalam pengelolaan lingkungan ataupun sampah. Terdapat pertanyaan yang sama dalam rumusan
masalah antara penelitian
sebelumnya dengan penelitian yang akan dilaksanakan penulis, yaitu bagaimana partisipasi perempuan dalam pengelolaan lingkungan atau sampah. Selain adanya persamaan, terdapat juga perbedaan dalam penelitian
terdahulu dengan penelitian yang akan dilakukan penulis, yaitu penelitian terdahulu
menggunakan
membandingkan
lembaga
bagaimana
tingkat
masyarakat
BKKLBM
untuk
partisipasi
perempuan
dalam
pengelolaan sampah di lapangan dengan data yang dimiliki oleh BKKLBM. Akan tetapi, penelitian yang akan dilakukan penulis, hanya ingin mengetahui bagaimana partisipasi perempuan dalam pengelolaan lingkungan serta mengetahui apasajakah faktor pendorong dan penghambat dari adanya partisipasi tersebut. Penelitian dilakukan oleh S.Darmadi tahun 2010, dengan judul “ Partisipasi Perempuan Dalam Pelaksanaan Kegiatan Lingkungan Betonisasi Jalan Pada Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perkotaan di Kelurahan Bulakan Kecamatan Sukoharjo Kabupaten Sukoharjo. Dalam penelitian ini berusaha untuk meneliti tentang bagaimanakah partisispasi perempuan di Kelurahan Bulakan dalam pelaksaan kegiatan lingkungan betonisasi jalan program PNPM-MP. Yang dilihat dari sisi gender dan ditunjang dengan menggunakan paradigma definisi sosial dengan menggunakan teori tindakan sosial dan teori partisipasi, dimana dalam teori ini dikatakan bahwa tindakan sosial adalah tingkah laku individu yang berlangsung
dalam
hubungannya
dengan
faktor
lingkungan
yang
menghasilkan akibat-akibat atau perubahan dalam faktor lingkungan menimbulkan perubahan terhadap tingkah laku. Sedangkan partisipasi merupakan keterlibatan mental dan emosi serta fisik seseorang atau kelompok masyarakat dalam usaha untuk mencapai tujuan dalam program ini dengan cara merencanakan, melaksanakan, menggunakan dan disertai tanggung jawab. Seseorang dikatakan berpartisipasi apabila terlibat dalam salah satu atau lebih dari satu kegiatan dalam mencapai tujuan tersebut. Dengan demikian seseorang yang ikut dalam rapat-rapat atau pertemuan dengan mengajukan usul dan saran sudah bisa dikatakan berpartisipasi. Bagi seseorang yang tingkat kecerdasan tidak terlalu tinggi dan tidak mampu berfikir secara
konsepsional, mereka bukan berarti tidak berpartisipasi dengan ikut melaksanakan hasil keputusan yang telah disepakati bersama. Seseorang bisa juga dikatakan berpartisipasi apabila mau menggunakan hasil dari pada keputusan yang telah disepakati bersama. Demikian juga dengan ikut bertanggung jawab terhadap hasil kegiatan-kegiatan, seseorang bisa dikatakan berpartisipasi. Dalam melihat partisipasi perempuan dalam pelaksanaan
betonisasi
jalan
dikelurahan
Bulakan,
penelitian
ini
menggunakan pendapat yang dikemukakan oleh Dusseldorp, dimana partisipasi perempuan dalam penelitian ini diklasifikasikan menjadi 9 tipe partisipasi. Dalam penelitian ini peneliti hanya menggunakan 1 tipe partisipasi, yakni partisipasi berdasarkan derajat kesukarelaan. Partisipasi berdasarkan derajat kesukarelaan terlihat dari adanya motivasi perempuan dalam mengikuti tahaptahap
kegiatan
dalam
Kegiatan
Lingkungan.
Secara
umum
keikutsertaan perempuan dalam Kegiatan Lingkungan tidak dilatar belakangi adanya unsur paksaan dari pihak manapun. Dengan pendekatan tersebut dapat menjelaskan bagaimana partisipasi perempuan dalam pelaksanaan betonisasi jalan yang merupakan bagian salah satu kegiatan Lingkungan PNPM-MP di Kelurahan Bulakan, Kecamatan Sukoharjo, Kabupaten Sukoharjo. Dari penelitian ini dapat diketahui persamaan serta perbedaan dari penelitian yang akan dilakukan oleh penulis. Persamaan antara penelitian terdahulu ini dengan penelitian yang akan dilakukan oleh penulis adalah keduanya mengangkat tema yang sama yaitu partisipasi perempuan. Namun untuk perbedaannya, dalam penelitian yang dilakukan oleh S. Darmadi adalah mengangkat partisipasi perempuan terhadap betonisasi jalan. Sedangkan permasalahan
penelitian tentang
yang
akan
partisipasi
dilakukan perempuan
penulis
mengangkat
terhadap
pengelolaan
lingkungan sebagai upaya mitigasi bencana. Dengan adanya penelitian ini, maka penelitian ini berkontribusi memberikan data-data yang akan digunakan untuk membandingkan data temuan lapangan dari hasil penelitian
yang akan penulis lakukan nantinya. Karena dalam penelitian dahulu ini dapat diketahui bagaimana contoh partisipasi yang dilakukan oleh perempuan. Gender dan Pengelolaan Lingkungan di Asia Selatan: Dapatkah masa lalu yang romantic membantu masa depan yang diinginkan? Beberapa pembahasan dalam jurnal ini membahas tentang bagaimana sulitnya perempuan di Asia Selatan untuk bisa ikut berpartisipasi dalam menjaga dan mengelola lingkungan terutama yang sedang dibicarakan disana adalah masalah hutan. Dalam jurnal ini dijelaskan beberapa kendala bagi kaum perempuan untuk bisa ikut menjadi anggota secara formal dalam pengelolaan lingkungan ataupun hutan, beberapa kendala yang dihadapi adalah: 1. Kendala logistik, terkait beban kerja ganda perempuan: perempuan memiliki hari kerja yang lebih lama dibandingkan dengan laki-laki, dan dianggap bahwa mereka tidak bisa mengikuti pertemuan-pertemuan apabila menjadi anggota karena harus sibuk dengan pekerjaan rumah tangga mereka. Apabila perempuan ikut dalam keanggotaan organisasi seperti kaum laki-laki maka dianggap mereka akan jarang bisa mengikuti pertemuan panjang. 2. Bias laki-laki: petugas hutan (pria) jarang sekali melakukan konsultasi dengan perempuan. Dengan hal itu maka banyak perempuan mengeluhkan bahwa jika ada sengketa, petugas selalu melakukan crosscheck dengan kaum laki-laki dan mengabaikan kaum perempuan. 3. Kendala sosial: adanya pengasingan perempuan dan adanya rasa ketidaksetujuan dari adanya kehadiran perempuan di depan umum. Adanya anggapan bahwa perempuan kurang mampu dari pada laki-laki atau bahwa partisipasi mereka dalam forum publik itu tidak tepat atau tidak diperlukan. Perempuan desa mengklaim bahwa pertemuan komite dianggap hanya untuk kaum pria saja, yang pendapatnya dianggap sudah mewakili keluarga tanpa perlu ada pendapat dari perempuan.
4. Tidak adanya “massa kritis” perempuan: mereka tidak bisa bertindak secara individual, tetapi mereka akan mampu berbicara untuk kepentingan mereka jika mereka hadir dalam jumlah besar. 5. Banyak perempuan menemukan bahwa ketika mereka menghadiri pertemuan, pendapat mereka diabaikan sehingga mereka “putus asa”. Pengalaman perempuan memunculkan beberapa asumsi ekofeminisme: Pertama, bahwa gerakan perempuan dan gerakan lingkungan berdiri untuk tujuan egaliter yang sama. Seperti pengalaman diatas menunjukan, agenda untuk “penghijauan” tidak perlu mencakup agenda untuk mengubah hubungan gender. Kedua, dalam kaitannya dengan kalin ekofeminisme bahwa perempuan harus memiliki saham khusus dalam perlindungan lingkungan. Tnggapan kaum laki-laki dapat ditelusuri terutama untuk ketergantungan mereka pada hutan lokal yaitu untuk pengahsilan tambahan dan untuk pencarian kayu kecil guna perbaikan dan alat-alat. Tanggapan perempuan dihubungkan lebih dengan ketersediaan bahan bakar, pakan ternak, dll yang mereka lebih bertanggung jawab secara langsung.
Ketiga, kekhawatiran
perempuan dalam kebanyakan kasus, upaya perlindungan dimulai hanya ketika masyarakat menghadapi kekurangan kayu untuk kehidupan mereka. Pembahasan di atas menunjukan bahwa adanya hubungan antara masyarakat dengan alam, dan bagaimana minta dan kesadaran mereka untuk mau melindungainya. Sehari-hari mereka tergantung pada alam untuk bertahan hidup, dalam hal ekonomi, sosial, dan politik. Sejatinya, perempuan dan lakilaki dari rumah tangga miskin sama-sama tergantung pada sumber daya alam. Mereka memiliki kepentingan dalam regenerasi lingkungan. Dengan pembahasan yang dalam jurnal ini, menunjukan bahwa adanya pembedaan pembagian kerja yang menganggap bahwa perempuan dianggap tidak cocok dan tidak tepat apabila ikut dalam kinerja kaum laki-laki yang berkutat dengan alam. Dengan adanya jurnal internasional ini bermanfaat bagi penelitian yang akan dilakukan oleh penulis.
Penulis bisa membuktikan bahwa tidak hanya kaum laki-laki yang bisa menyelesaikan masalah pengelolaan lingkungan. Namun dalam penelitian yang akan dilakukan oleh penulis ini akan menunjukan bagaimana partisipasi kaum perempuan dalam mengatasi masalah-masalah lingkungan yang bisa dilajukan oleh kelompoknya sendiri tanpa ada bantuan dari kaum laki-laki yang akan menunjukan hasil-hasil yang maksimal. Berbicara masalah lingkungan tentunya sangat dekat dengan yang namanya perempuan. Abila dalam pembahasan jurnal tersebut menganggap bahwa pendapat dan partisipasi kaum perempuan dalam masalah lingkungan tidak tepat dan tidak diperlukan, itu merupakan hal yang keliru karena justru kaum perempuanlah yang sangat dekat dengan lingkungan dan mengetahui bagaimana untuk bisa menjaga alam dan melestarikan lingkungannya. Wanita dan Pengelolaan Lingkungan Melalui Pendidikan Jarak Jurnal ini membahas tentang perempuan yang selalu berada di akhir penerimaan bencana lingkungan di dunia. Sebagai hasil dari dampak negatif, hal itu menjadi penting bahwa perempuan terbawa dalam proses pengambilan keputusan, sehingga suara mereka didengar. Di dalam rumah tangga, perempuan memainkan peran penting dalam keluarga seperti menjaga kebersihan lingkungan, limbah dan juga manajemen pengendalian polusi. Meskipun perempuan menduduki posisi penting dalam pertumbuhan manusia, namun
peran mereka dalam pengelolaan lingkungan jarang
dipahami. Namun, dalam mempertimbangkan situasi pendidikan di Afrika dimana pendidikan pada wanita tidak konsisten dengan posisi otoritas perempuan yang mampu menyebabkan perubahan lingkungan yang positif dalam masyarakat. Pembahasan dalam jurnal ini menekankan pada penggunaan pendidikan terbuka dan jarak jauh untuk membuat kesadaran lingkungan dan pendidikan yang akan menempatkan perempuan dalam posisi yang lebih baik dalam menghadapi tantangan manajemen lingkungan.
Pendidikan lingkungan dan penciptaan kesadaran penting jika iklim global merupakan masalah yang harus diselesaikan. Pendidikan terbuka dan jarak menciptakan peluang untuk mendidik dan memberdayakan orang dalam jumlah besar di berbagai waktu dan tempat. Perempuan dalam kemudi urusan tersebut. Mereka memiliki kapasitas untuk berkontribusi melalui rumah, tempat kerja, pasar dan pemerintah, oleh karena itu perlu diberdayakan. Jika di masa depan dibentuk keputusan kunci untuk mengurangi kerentanan dampak lingkungan dan perubahan iklim khususnya di kalangan perempuan dan anak-anak. Dengan pembahasan yang terdapat di dalam jurnal internasional ini, mampu berkontribusi dalam penelitian yang akan dilakukan oleh penulis. Isi dalam pembahasan jurnal hampir sama dengan tema yang diangkat oleh penulis yaitu partisipasi perempuan dalam pengelolaan lingkungan. Sehingga pembahasan dalam jurnal inni bisa dijadikan bahan untuk membandingkan data yang ditemukan penulis dalam penelitian di lapangan. Apakah memang perlu adanya campur tangan dari kaum perempuan untuk bisa mengatasi kerentanan dari lingkungan sekitar mereka. Karena mengingat perempuan memang sangat sering berinteraksi dengan lingkungan seperti di rumah ataupun di tempat-tempat lain. Interaksi yang sering tersebutlah yang menjadikan kaum perempuan dirasa mampu untuk mengetahui dan memahami bagaimana untuk memperlakukan lingkungan dengan baik. Maka dari itu, penulis tertarik untuk bisa meneliti dan membahas masalah perempuan dengan pengelolaan lingkungannya seperti yang dibahas dalam jurnal internasional ini. Model Strategi Mitigasi Berbasis Kepentingan Perempuan pada Komunitas Survivor di Wilayah Rawan Banjir Penelitian ini bertujuan untuk memahami bagaimana fokus manajemen bencana pada peran serta masyarakat dalam penanggulangan bencana. Masyarakat tidak hanya sebagai objek bencana tapi juga sebagai pelaku
bencana. Program ini didasarkan pada masyarakat sebagai korban bencana, harus diberdayakan dengan pengetahuan dan ketrampilan yang memadai, sehingga mampu menangani dampak bencana dan upaya pengurangan risiko. Namun program tersebut jarang atau bahkan tidak pernah melibatkan perempuan sebagai korban bencana alam. Dampaknya justru perempuan korban yang paling menderita ketika bencana banjir. Bila ada bencana seperti banjir di Lamongan dan Bojonegoro, perempuan selalu di tempat kedua. Tujuan dari penelitian ini sebagai model formulasi masukan dari strategi mitigasi dan manajemen pengembangan bencana alam berdasarkan kepentingan perempuan di daerah rawan banjir dari orang-orang yang selamat di Jawa Timur. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pembentukan komunitas Survivor di mana perempuan yang memiliki berbagai pengetahuan, pengalaman budaya, dan kredibilitas tidak pernah terlibat dalam mitigasi bencana banjir dalam menemukan beberapa hal yang mereka butuhkan seperti air, makanan, pemukiman dan kesehatan bagi keluarga mereka. Komunitas Survivor sangat penting untuk merumuskan solusi untuk menstabilkan wilayahnya. Hal ini dikarenakan perempuan selalu diabaikan dalam penanganan bencana. Komunitas survivor yang dibentuk untuk perempuan dalam masyarakat dan tingkat nasional adalah penting sebagai tanggapan terhadap kebutuhan perempuan saat bencana. Program penanganan bencana di Kabupaten Bojonegoro dan Lamongan masih mengacu pada stereotype bias gender, yaitu kebijakan penanggulangan bencana seringkali menempatkan laki-laki pada peran gendernya sebagai kepala keluarga, pengambil keputusan, tulang punggung ekonomi keluarga, terlibat dalam kegiatan kegotongroyongan, serta menempatkan peran perempuan sebagai ibu rumah tangga, mengurus kegiatan domestik. Hal ini merupakan hambatan bagi kaum perempuan, untuk tidak pernah dilibatkan seperti dalam pelatihan penanganan bencana, sehingga akses untuk mendapatkan informasi tidak didapat secara langsung, atau didapat melalui orang lain atau suami. Akibatnya bisa terjadi distorsi informasi, dan ketika
terjadi bencana, perempuan tidak dapat melakukan tindakan apa yang seharusnya mereka lakukan. Dalam hal ini perempuan tidak memeperoleh keadilan dalam mendapatkan akses dan informasi dari kebijakan berkaitan dengan program penanganan bencana. Para pengambil kebijakan dan pelaksanaan penanggulangan bencana sering memahami penanganan bencana tidak berpihak atau disebut netral gender. Pelaksana penanggulangan bencana umumnya melihat masyarakat terkena bencana sebagai kelompok homogen, padahal perempuan dan laki-laki berbeda, bukan hanya secara biologis saja tetapi juga berbeda dalam kebutuhan, peran dan status gender. Pembahasan dalam jurnal ini menunjukan hal yang sama dengan penelitian yang akan dilakukan oleh penulis yaitu tentang perempuan dan mitigasi bencana. Dalam kasus di Kabupaten Lamongan ini menunjukkan bahwa masih adanya bias gender yang mengesampingkan partisipasi perempuan dalam ikut serta mengelola dan mengatasi dampak bencana. Pembahasan dalam jurnal ini dapat
dijadikan
data
bagi
penulis
untuk
membandingkan
dengan
penelitiannya dan membuktikan bahwa perempuan dapat ikut serta dalam menanggulangi dampak bencana.
C. Landasan Teori Di
dalam
penelitian
yang
akan
dilaksanakan
untuk
mengkaji
permasalahan tentang partisipasi kelompok perempuan Joyosuran (KPJ) dalam pengelolaan lingkungan sebagai upaya mitigasi bencana banjir di kelurahan Joyosuran Pasar Kliwon Surakarta, peneliti akan menggunakan pendekatan teori sosiologi sebagai landasannya. Sehingga perlu kiranya untuk mengetahui definisi Sosiologi. Sosiologi pada hakikatnya bukanlah semata-mata ilmu murni (pure science) yang hanya mengembangkan ilmu pengetahuan secara abstrak demi peningkatan kualitas ilmu itu sendiri, namun sosiologi juga dapat menjadi ilmu
terapan (applied science)
yang menyajikan cara-cara untuk
mempergunakan pengetahuan ilmiahnya guna memecahkan masalah praktis atau masalah sosial yang ditanggulangi.
Secara umum sosiologi jelas merupakan ilmu sosial yang objeknya adalah masyarakat. Sosiologi merupakan ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri karena telah memenuhi segenap unsur-unsur ilmu pengetahuan yang ciri-ciri utamanya adalah bersifat empiris, teoritis, kumulatif dan non etis. Menurut William F. Ogburn dan Mayer F. Nimkoff. Sosiologi adalah penelitian secara ilmiah terhadap interaksi sosial dan hasilnya yaitu organisasi sosial (Soerjono Soekanto, 1990: 21). Sedangkan Menurut Selo Soemardjan dan Solaeman Sumardi mendefinisikan sosiologi sebagai ilmu masyarakat yang mempelajari struktur sosial dan proses sosial, termasuk perubahan sosial. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa sosiologi merupakan ilmu yang objeknya adalah masyarakat yang dilihat dari sudut hubungan antar manusia dan proses yang timbul dari hubungan antar manusia dan proses yang timbul dari hubungan manusia dalam masyarakat. Dalam Ritzer (2002) sosiologi ada tiga paradigma yang digunakan untuk menelaah masalah sosial yang ada dalam masyarakat. Ketiga paradigma itu adalah paradigma fakta sosial, paradigma definisi sosial dan paradigma perilaku sosial. Penelitian ini termasuk pada jenis penelitian kualitatif yang menggunakan paradigma definisi sosial yang merupakan salah satu aspek khusus dari teori Weber yaitu berupa analisa tentang tindakan-tindakan sosial. Teori Weber adalah tentang bagaimana perilaku individu dapat mempengaruhi masyarakat secara luas. Inilah yang disebut sebagai memahami tindakan sosial. Tindakan sosial dapat dipahami dengan memahami niat, ide, nilai, dan kepercayaan sebagai motivasi sosial. Menurut Weber dalam Ritzer (2002), perilaku manusia yang merupakan perilaku sosial harus mempunyai tujuan tertentu, yang terwujud dengan jelas. Artinya, perilaku itu harus mempunyai arti bagi pihak-pihak yang terlibat, yang kemudian berorientasi terhadap perilaku yang sama pada pihak lain (Soerjono Soekanto, 1985: 8). Menurut Weber, metode yang bisa dipergunakan untuk memahami arti subjektif tindakan sosial seseorang
adalah dengan Verstehen. Verstehen (pemahaman) adalah kemampuan untuk berempati atau kemampuan untuk menempatkan diri dalam kerangka berpikir orang lain yang perilakunya mau dijelaskan dan sanitasi serta tujuan-tujuannya mau dilihat menurut perspektif itu (Dwi Narwoko & Bagong S, 2006: 18). Bagi Weber pentingnya “pemahaman” dalam arti teknis murni adalah bahwa hal itu memberikan petunjuk pada pengamatan dan penafsiran teoritis terhadap keadaan kejiwaan subyektif manusia yang sedang dipelajari perilakunya. Dengan lain kata, “pemahaman” merupakan sarana penelitian sosiologi yang bertujuan untuk memberikan pengertian yang lebih mendalam, mengenai hubungan antara keadaan tertentu dengan proses perilaku yang terjadi (Soerjono Soekanto, 1985: 10). Tindakan sosial yang dimaksud Weber dapat Jhonson (1986) dapat berupa tindakan yang nyata diarahkan kepada orang lain, dapat juga tindakan yang bersifat subyektif yang mungkin terjadi karena pengaruh positif dari situasi tertentu atau persetujuan secara pasif dalam situasi tertentu. Weber dalam Jhonson (1986) menggunakan metodologi tipe idealnya untuk menjelaskan makna tindakan yang akan berhubungan erat dengan partisipasi, yang mempengaruhi sistem dan struktur sosial masyarakat. Keempat tipe tindakan sosial dasar yakni: a. Tindakan Rasionalitas Instrumental (Zwekrational Action) Yaitu tindakan sosial dimana di dalam tindakan ini aktor tidak hanya sekedar menilai cara yang terbaik untuk mencapai tujuannya, tetapi juga menentukan nilai dari tujuan itu sendiri. Dalam Zwekrational tujuan bukan merupakan hal yang bersifat absolut atau mutlak tetapi dapat juga menjadi cara untuk mencapai tujuan lain berikutnya. Bila Aktor berkelakukan dengan cara yang paling rasional maka mudah memahami tindakan itu. Tindakan sosial ini dilakukan seseoran berdasarkan atas pertimbangan dan pilihan sadar yang berhubungan dengan tujuan tindakan itu dan ketersediaan alat yang dipergunakan untuk mencapainya.
b. Tindakan Rasionalitas berorientasi nilai (Werkrational Action) Tindakan rasional ini adalah bahwa alat yang ada hanya merupakan pertimbangan dan perhitungan yang sadar, sementara tujuan-tujuan sudah ada di dalam berhubungannya dengan nilai akhir bagi individu yang
bersangkutan
dan
bersifat
norasional,
sehingga
tidak
memperhitungkan alternatif. Dalam tindakan tipe ini aktor tidak dapat menilai apakah cara-cara yang dipilihnya itu merupakan cara yang paling tepat untuk mencapai tujuannya yang lain. Dalam tindakan ini memang tujuan dan cara-cara pencapaiannya cenderung sukar untuk dibedakan. Namun tindakan ini rasional karena cara-cara kerjanya sudah menentukan tujuan yang diinginkan. Tindakan tipe kedua ini masih rasional meskipun tidak serasional tindakan tipe pertama, karena tindakan itu dapat dipertanggung jawabkan untuk dipahami. c. Tindakan Afektif (Affectual Action) Yaitu tindakan yang dibuat-buat. Tindakan yang dipengaruhi oleh perasaan emosi dan kepura-puraan dari Aktor. Tindakan ini sukar dipahami, karena kurang atau tidak rasional. Tipe tindakan ini di dominasi oleh perasaan atau emosi tanpa reflesi intelektual atau perencanaan sadar. Tindakan afektif sifatnya spontan, tidak rasional, dan merupakan ekspresi emosional dari individu. d. Tindakan Tradisional Dalam tindakan ini seseorang memperlihatkan perilaku tertentu karena kebiasaan yang diperoleh dari nenek moyang, tanpa refleksi yang sadar atau perencanaan Tindakan yang didasarkan atas kebiasaankebiasaan dalam mengerjakan sesuatu dimasa lalu saja (Jhonson, 1986: 220-222). Meskipun Weber membedakan empat bentuk tindakan ideal tipikal, Weber sepenuhnya sadar bahwa tindakan tertentu biasanya terdiri dari kombinasi dari keempat tipe tindakan ideal tersebut. Selain itu, Weber berargument bahwa sosiologi harus memiliki kesempatan yang lebih baik
untuk memahami tindakan yang lebih memiliki variasi rasional ketimbang tindakan yang didominasi oleh tindakan satu tradisi (Ritzer, 2008: 138). Bertolak dari konsep dasar tentang tindakan sosial dan antara hubungan sosial itu, Weber mengemukakan lima ciri pokok yang menjadi penelitian sosiologi yaitu: 1. Tindakan manusia yang menurut aktor mengandung makna subyektif, ini meliputi berbagai tindakan nyata. 2. Tindakan nyata yang bersifat membatin sepenuhnya dan bersifat subyektif 3. Tindakan yang meliputi pengaruh positif dari situasi-situasi, tindakan yang sengaja diulang serta tindakan dalam bentuk persetujuan secara diam-diam. 4. Tindakan itu diarahkan kepada seseorang atau kepada beberapa individu 5. Tindakan itu memperhatikan tindakan orang lain dan terarah paa orang lain itu (Ritzer, 2002: 39). Dalam paradigma definisi sosial terdapat salah satu aspek yang sangat khusus dari karya Weber, yakni dalam analisanya tentang tindakan sosial (sosial action). Mempelajari perkembangan suatu pranata secara khusus di luar tanpa memperlihatkan tindakan manusianya sendiri, menurut Weber berarti mengabaikan segi-segi yang prinsipil dari kehidupan sosial. Perkembangan dari suatu hubungan sosial dapat pula diterangkan melalui tujuan-tujuan dari manusia yang melakukan hubungan sosial itu dimana ketika ia mengambil manfaat dari tindakannya, memberikan perbedaan makna kepada tindakan itu sendiri dalam perjalanan waktu. Dengan demikian tindakan manusia tanpa kecuali, sepanjang yang dimaksudkan sebagai tindakan yang menyatakan keterlibatan manusia secara individual pantas dikategorikan pula sebagai fakta sosial. Weber sebagai pengemuka exemplar dari paradigma ini mengartikan sosiologi sebagai studi tentang tindakan sosial antar hubungan sosial. Kedua hal itulah yang menurutnya menjadi pokok persoalan sosiologi. Inti tesisnya adalah “ tindakan yang penuh arti” dari individu. Yang dimaksudnya dengan tindakan sosial itu
adalah tindakan individu sepanjang tindakannya itu mempunyai makna atau arti subyektif bagi dirinya dan diarahkan kepada tindakan orang lain. Sebaliknya tindakan individu yang diarahkan kepada benda mati semata tanpa dihubungkan dengan tindakan orang lain bukan merupakan tindakan sosial. Secara definisi Weber merumuskan sosiologi sebagai ilmu yang berusaha untuk menafsirkan dan memahami tindakan sosial serta antar hubungan sosial untuk sampai kepada penjelasan kausal. Tindakan sosial yang dimaksud Weber dapat berupa tindakan yang nyatanyata diarahkan kepada orang lain. Juga dapat berupa tindakan yang bersifat “membatin” atau bersifat subyektif yang mungkin terjadi karena pengaruh positif dari situasi tertentu. Atau merupakan tindakan perulangan dengan sengaja sebagai akbiat dari pengaruh situasi yang serupa. Tindakan sosial dapat pula dibedakan dari sudut waktu sehingga tindakan yang diarahkan kepada waktu sekarang , waktu berlalu atau waktu yang akan datang. Dilihatdari segi sasarannya, maka “ pihak sana” yang menjadi sasaran tindakan sosial si aktor dapat berupa seorang individu atau sekumpulan orang. Dengan membatasi suatu perbuatan sebagai suatu tindakan sosial, maka perbuatan-perbuatan lainnya tidak termasuk ke dalam obyek penyelidikan sosiologi. Persoalannya sekarang adalah: bagaimana mempelajari tindakan sosial itu? Persoalan ini jelas menyangkut metode. Weber menganjurkan melalui penafsiran dan pemahaman (interpretative understanding) atau menurut terminologi Weber sendiri dengan: verstehen, jelas disini bahwa untuk mempelajarinya tidak mudah. Bila seseorang hanya berusaha meneliti perilaku (behavior) saja dia tidak akan yakin bahwa perbuatan itu mempunyai arti subyektif dan diarahkan kepada orang lain. Peneliti sosiologi harus mencoba menginterpretasikan tindakan si aktor. Dalam artian yang mendasar, sosiolog harus memahami motif dari tindakan si aktor (Ritzer, 2002: 37-42).
D. Kerangka Pemikiran Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi
alam itu
sendiri,
kelangsungan
perikehidupan, dan
kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. Kekayaan sumber daya alam yang terdapat di dalam lingkungan hidup manusia dapat menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat apabila dikelola, diolah dan dimanfaatkan dengan baik dan benar. Namun dewasa ini berbagai masalah lingkungan hidup mulai banyak terjadi dan menyebabkan kondisi lingkungan semakin rusak tidak terkendali. Segala macam aktifitas yang dilakukan manusia pada akhirnya akan memberikan dampak negatif bagi lingkungan. Manusia dan alam, merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Manusia hidup berdampingan dengan alam. Kajian tentang hubungan manusia dan alam/ lingkungan hidup telah ada sejak lama. Sosiologi sendiri termasuk salah satu bidang ilmu yang juga memberikan perhatian pada bidang lingkungan. Sosiologi lingkungan dicanangkan keberadaanya oleh Riley Dunlap dan William Cotton di tahun 1987 ( Susilo, 2012: 5). Kesadaran manusia akan pentingnya menjaga lingkungan saat ini dirasa mulai pudar. Selama ini, manusia cenderung mengeksploitasi alam dengan kandungan di dalamnya secara besar-besaran tanpa peduli dengan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan. Pertumbuhan penduduk adalah salah satu penyebab terjadinya kerusakan lingkungan. Segala macam aktivitas manusia sekarang menimbulkan adanya sampah. Semakin besarnya pertumbuhan penduduk, maka sampah yang dihasilkanpun akan semakin banyak. Sampah merupakan salah satu benda yang menjadi penyebab rusaknya lingkungan apabila tidak bisa dikelola dengan benar. Masalah sampah dapat ditimbulkan oleh beberapa faktor, antara lain rendahnya kesadaran masyarakat akan pentingnya pengelolaan lingkungan/ sampah, kurangnya perhatian dari pemerintah dan rendahnya tanggung jawab dunia industri terhadap dampak kepentingan ekonomisnya.
Permasalahan sampah merupakan hal yang krusial. Apabila sampah tidak bisa diatasi keberadaannya, maka akan menimbulkan masalah yang jauh lebih besar, misalnya tumpukan sampah yang dibuang di sungai sebagai akibat tindak adanya tempat pembuangan sampah di pemukiman warga akan menyebabkan terjadinya bencana banjir. Dampak yang ditimbulkan banjir akan dirasakan oleh masyarakat itu sendiri. Lambat laun, budaya yang tercipta di lingkungan masyarakat menjadi budaya yang tidak mencintai lingkungan. Membuang sampah dan limbah rumah tangga di sungai, terbiasa memakai plastik, sterofoam dan bahan yang sulit diurai tanah yang lain dianggap sebagai suatu hal yang lumrah. Masyarakat kita tanpa sadar telah “turut berperan” dalam membuat kerusakan di bumi. Sampah yang semakin lama semakin menumpuk, terutama tumpukan sampah yang berada di sungai-sungai akan mengakibatkan bencana bagi masyarakatnya sendiri. Oleh karena itu, perlu adanya solusi yang konkret serta efektif sebagai upaya penyelamatan lingkungan dan mitigasi bencana. Upaya penanggulangan atau pengurangan dampak bencana terutama banjir yang diakibatkan karena adanya perilaku yang tidak sadar lingkungan oleh masyarakat yang suka membuang sampah di sungai adalah sangat penting untuk masa sekarang ini. Bencana banjir telah terjadi di beberapa daerah di Indonesia ini, maka upaya pengurangannya tidak hanya dilakukan oleh pemerintah setempat. Akan tetapi, peran serta masyarakat setempat akan lebih membantu dalam usaha tersebut. Menyediakan ruang partisipasi bagi masyarakat terutama perempuan dalam mengelola lingkungan atau sampah secara tidak langsung juga dapat dikatakan sebagai upaya mitigasi bencana. Perempuan diajak untuk lebih proaktif dalam menangani kasuskasus mengenai lingkungan di wilayah mereka. Perempuan dianggap yang paling dekat dengan lingkungan, oleh karena itu perempuanlah yang dijadikan jembatan untuk bisa memulihkan kembali lingkungan sekitar mereka. Seperti halnya kelompok perempuan yang ada di Kelurahan Joyosuran yang menjadi tempat penelitian penulis, mereka menjadi motor penggerak untuk melakukan pengelolaan lingkungan sebagai upaya
mengurangi dampak bencana yang terjadi di daerah mereka. Dengan begitu, lambat laun penanggulangan lingkungan lebih bisa diatasi oleh partisipasi dari perempuan yang menghasilkan kestabilan lingkungan tersebut. Dalam meneliti partisipasi perempuan tersebut, penulis menggunakan teori tindakan sosial, dimana dengan menggunakan teori tersebut dapat digunkan untuk menganalisisi hasil temuan penelitian yang berkaitan dengan tindakan dan kegiatan pengelolaan lingkungan yang dilakukan oleh Kelompok Perempuan Joyosuran (KPJ). Beberapa konsep partisipasi juga digunakan untuk lebih memperjelas bagaimana partisipasi yang dilakukan oleh perempuan di Joyosuran, seperti konsep bentuk partisipasi, tipologi partisipasi, derajat partisipasi dan tingkatan dari partisipasi tersebut. Kerangka pemikiran lebih disederhanakan sebagai berikut:
Problem Lingkungan Sebagai Akibat Adanya Bencana Banjir
Faktor Pendorong Adanya Partisipasi Masyarakat
Partisipasi Masyarakat Dalam Pengelolaan Lingkungan
Upaya Mitigasi Bencana Banjir Bagan 1. Kerangka Pemikiran
Faktor Penghambat Adanya Partisipasi Masyarakat