BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tempe Indonesia merupakan produsen tempe terbesar di dunia dan menjadi pasar kedelai terbesar di Asia. Sebanyak 50 % dari konsumsi kedelai Indonesia dalam bentuk tempe, 40 % tahu dan 10 % produk lain (seperti tauco, kecap, susu kedelai, dan lain-lain). Konsumsi rata-rata tempe per orang per tahun di Indonesia diduga sekitar 6.45 kg (Yudana, 2003) TABEL 1 Kandungan Zat Gizi Kedelai dan Tempe Zat gizi
Satuan
Energi Protein Lemak Hidrat arang Serat Abu Kalsium Fosfor Besi Karotin Vitamin A Vitamin B1 Vitamin C Air Bdd ( berat yang dapat dimakan)
kal Gram Gram Gram Gram Gram mg mg mg mkg SI mg mg gram %
Komposisi zat gizi 100 gram bdd Kedelai Tempe 381 201 40,4 20,8 16,7 8,8 24,9 13,5 3,2 1,4 5,5 1,6 222 155 682 326 10 4 31 34 0 0 0,52 0,19 0 0 12,7 55,3 100
100
Sumber : Dep Kes RI, 1991 Tempe adalah makanan hasil fermentasi tradisional berbahan baku kedelai dengan bantuan jamur Rhizopus oligosporus. Mempunyai ciri-ciri berwarna putih, tekstur kompak, dan flavor spesifik. Dengan adanya proses fermentasi tersebut membuat tempe menjadi lebih mudah dicerna, diserap dan dimanfaatkan di dalam tubuh dibandingkan dalam bentuk kedelai. Oleh karena itu, tempe sangat baik untuk diberikan kepada segala kelompok usia mulai dari bayi hingga lansia. Pengolahan kedelai menjadi tempe juga
akan menurunkan kadar raffinosa dan stakiosa, yaitu senyawa penyebab timbulnya gejala flatulensi (kembung perut) (Retnaningsih, 2007). Menurut hasil percobaan, tempe digolongkan kedalam makanan yang sangat mudah rusak atau busuk dan daya tahannya tidak melebihi daging dan ikan. Kandungan gizi tempe juga mampu bersaing dengan sumber protein yang berasal dari bahan makanan lain, seperti daging, telur dan ikan. Yang menarik adalah dengan kalori yang relative rendah, 149 kkal per 100 gram tempe membantu orang yang sedang diet rendah kalori. Dan dengan kandungan karbohidratnya 12.7 gram tempe sangat cocok untuk dikonsumsi pada penderita diabetes karena tidak mengandung gula. Tempe termasuk bahan makanan yang mengandung vitamin B kompleks, diantaranya vitamin B12 yang berfungsi untuk pembentukan butir darah merah (Liana, 2006).
GAMBAR 1 SKEMA PEMBUATAN TEMPE
Skema Cara Tradisional Kedelai
Skema Cara Baru (Kedelai Kupas Kering) Kedelai
Disortasi, dicuci bersih
Dikupas kering
Direbus
Direbus,direndam
Direndam
Dicuci
Dikuliti, dicuci
Direbus / dikukus
Direbus / Dikukus
Ditiriskan dan didinginkan
Didinginkan, ditiriskan
Ditambah laru (Diinokulasi)
Diinokulasi Diperam Dibungkus dan diperam Tempe Tempe
Sumber : Depdikbud, 1996
Tempe memiliki beberapa keunggulan baik dari segi gizi, kesehatan dan keamanan dalam mengkonsumsinya. Berdasarkan keunggulan yang dimiliki tempe, tempe berpotensi untuk dikembangkan dari ciri tradisional yang memiliki pasar terbatas dan bersifat lokal menjadi produk olahan tempe generasi kedua seperti keripik, tepung dan minuman tempe adalah contoh saat ini mulai memasuki pasar yang lebih luas (Winarno, 1993). Khasiat tempe untuk kesehatan diantaranya untuk mencegah desentri dan menormalkan kadar kolesterol dalam darah. Beberapa ahli juga berpendapat bahwa masyarakat yang biasa mengkonsumsi tempe, lebih jarang atau tidak mudah terkena serangan penyakit saluran pencernaan. Sementara penelitian lain menunjukkan, pemberian menu tempe kepada pasien yang mempunyai kadar kolesterol tinggi, dapat menurunkan kadar kolesterolnya ketingkat normal. Hal ini disebabkan asal tempe itu sendiri yang berasal dari kedelai (Depkes, 2007)
B. Tepung Hunkwe Tepung adalah partikel padat yang berbentuk butiran halus atau sangat halus tergantung pemakaiannya. Biasanya digunakan untuk keperluan penelitian, rumah tangga dan bahan baku industri. Tepung bisa berasal dari bahan nabati misalnya tepung terigu dari gandum, tapioka dari singkong, maizena dari jagung, tepung hunkwe dari kacang hijau atau hewani misalnya tepung tulang dan tepung ikan (Anonymous, 2008) Bahan dasar pembuatan tepung hunkwe adalah kacang hijau. Komposisi kimia kacang hijau sangat beragam, tergantung pada varietas, faktor genetik, iklim, maupun kondisi lingkungan. Karbohidrat merupakan komponen terbesar (lebih dari 55 %) kacang hijau, yang terdiri dari pati, gula dan serat. Pati pada kacang hijau memiliki daya cerna yang sangat tinggi yaitu 99.8 %, sehingga sangat baik untuk dijadikan bahan makanan untuk bayi dan anak balita yang sistem pencernaannya belum sesempurna orang dewasa (Siswono, 2004). Tepung hunkwe masih tergolong gluten free. Nama hunkwe dikenal dari merk yang dikeluarkannya. Tepung ini memiliki kekenyalan seperti agar-agar, sehingga paling cocok untuk dibuat makanan penutup atau dessert dan kue-kue kering. TABEL 2
Komposisi Kimia Tepung Hunkwe (dalam 100 gram bahan) Komponen Energi (kal) Protein (gr) Lemak (gr) Karbohidrat (gr) Sumber : Anonymous, 2004
Kandungan gizi 364 4.5 1 83.5
Tepung hunkwe adalah tepung bahan kue yang dibuat dari pati kacang hijau (pati Phaseolus Radiatus L) dengan atau tanpa panambahan zat warna dan atau aroma. Dilihat dari Bau, rasa dan warna harus normal. Sedangkan untuk standar kadar air 14% b/b, serat kasar 0.5% b/b, dan protein 23% b/b (SNI, 1995) Pati kacang hijau diperoleh melalui proses ekstraksi basah, yaitu penumbukan biji supaya terbelah, perendaman dalam air selama tiga jam, penghilangan kulit, kemudian penggilingan (ekstraksi) dengan penambahan air (rasio kacang hijau : air = 1 : 3) dan penyaringan. Bagian filtratnya dibiarkan selama 30 menit supaya terjadi pengendapan pati. Pati yang diperoleh dicuci 2-3 kali supaya bersih, kemudian dikeringkan. Tepung hunkwe yang diperoleh dapat dijadikan bahan baku pembuatan aneka kue dan soun (Astawan, 2008)
GAMBAR 2 Skema Pembuatan Tepung Kacang Hijau Kacang Hijau Sortasi Rebus hingga kulit pecah (1 jam) Pengeringan dengan oven suhu 65 o selama 17 jam Haluskan dengan blender Ayak dengan shive (80 mesh) Sumber : Sitompul dan Maulizawartika, 2005
Bagian yang tidak mengendap pada proses pembuatan pati dapat diolah lebih lanjut menjadi protein isolat. Proses pembuatannya dilakukan dengan cara mendidihkan (suhu 100o C selama 10 menit) cairan hasil samping pati, kemudian proteinnya diendapkan dengan penambahan asam asetat glasial hingga pH mencapai 4,5. Endapan protein yang diperoleh dipisahkan melalui proses penyaringan dan dikeringkan pada suhu 80-90oC selama 8 jam. Kadar protein pada isolat dapat mencapai 70-85 % dan lemaknya 1,01 %. Protein isolat dapat digunakan untuk meningkatkan kadar protein dan mutu gizi produk bakery (roti) dan makanan bayi (Astawan, 2008) Pati yang mengalami gelatinisasi dapat dikeringkan, tetapi molekul-molekul tersebut tidak dapat kembali lagi kesifat-sifatnya sebelum gelatinisasi. Bahan yang kering tersebut masih mampu menyerap air kembali dalam jumlah yang besar. Sifat inilah yang digunakan dalam pembuatan produk instant (Winarno, 1997) Gelatinisasi menurut Fardiaz (1996) adalah proses perubahan sifat fisik pati karena adanya air pemberian energi, kadang-kadang tekanan selama waktu tertentu. Pada awal proses gelatinisasi granula pati yang berisi amilosa dan amilopektin mulai menyerap air. Penyerapan air meningkat dengan meningkatnya suhu pemanasan yang menyebabkan granula pati membengkak (swelling). Pada saaat membengkak amilosa mulai berdifusi keluar granula dan akhirnya terbentuk matriks gel setelah granula runtuh. Suhu disaat granula pati pecah disebut suhu gelatinisasi. Suhu gelatinisasi berbeda-beda untuk tiap jenis bahan dan merupakan suatu kisaran. Suhu gelatinisasi dapat ditentukan dengan viscometer, misalnya : jagung 62-70o C, beras 68-78o C, gandum 34,5-64o C, kentang 58-60o C, tapioca 52-64o C (Winarno, 1997).
C. Chips Tempe Pembuatan chips tempe merupakan salah satu bentuk produk olahan tempe yang merupakan salah satu alternative dalam memperpanjang daya simpan tempe melalui proses pengeringan. Di samping itu pembuatan chips tempe dapat memberikan nilai tambah tempe (Estuti, 2005). Chips tempe juga dibuat sama seperti snack food. Snack food merupakan produk makanan ringan hasil proses ekstruksi. Menurut Matz (1984), ekstruksi bahan pangan adalah proses pada bahan pangan agar mengalir dengan paksa melalui suatu lubang
pengeluaran yang dirancang untuk membentuk hasil ekstruksi yang menggelembung dan ringan, setelah bahan pangan tersebut mengalami beberapa perlakuan seperti pencampuran, pemanasan, dan pencetakan. Beberapa produk ekstruksi ini antara lain macaroni, chips jagung dan produk modifikasi lainnya. Produk-produk ekstruksi yang telah populer di Indonesia adalah jenis makanan ringan. Makanan ringan produk ekstruksi dibuat dalam berbagai bentuk (seperti bola, collet, curl, tabung, cincin, topi dan cendawan) dengan berbagai flavor (Ahza, 1996). Metode dalam pembuatan chips tempe yaitu : 1. Steaming (Pengukusan) Steaming atau mengukus adalah memasak makanan dengan mempergunakan uap air panas (steam). Uap air panas yang dipergunakan dengan tekanan biasanya seperti timbulnya uap air pada waktu perebusan, tetapi juga mempunyai tekanan yang agak tinggi karena mempergunakan alat tertentu yang tertutup rapat. Tekanan uap air panas akan bertambah tinggi bila terjadi ditempat yang tertutup rapat misalnya pada rice cooker, steamer, steam oven, dan lain-lain. Pada alat yang ditutup rapat ini tidak berlaku banyak steam yang terbuang keluar, sehingga tekanan steam semaksimal mungkin dapat dipergunakan. Proses memasak steaming cocok untuk bahan makanan yang tidak mudah kehilangan warna, aroma, rasa, selama proses pemanasan (Sudiara, 1996). Pada pembuatan chips tempe proses ini diperlukan untuk mematangkan adonan tanpa merusak bentuk, warna, rasa dan aroma. Prinsip dasar proses steaming akan berhasil baik bila dilakukan dengan alat yang tertutup rapat, untuk mencegah hilangnya tekanan uap air panas. Bila dilakukan dengan menggunakan panci, maka panci harus dapat ditutup rapat. Makanan yang cocok untuk steaming adalah makanan yang dapat dimasak perlahan-lahan, tidak mudah kehilangan tekstur, warna, aroma maupun rasa selama dimasak. Jenis makanan yang mudah bercampur dengan air, perlu ditutup selama proses untuk mencegah jatuhnya titik-titik air timbul karena pengembunan air (Sudiara, 1996). Pada kondisi tertentu chips yang dihasilkan sangat keras. Hal ini dapat dikurangi dengan blanching atau pemanasan pendahuluan atau penurunan kadar air sebelum penggorengan. Chips yang tebal mudah mengalami case hardening. Pengeringan parsial
sebelum penggorengan dapat membantu juga menekan kehilangan kerenyahan produk setelah disimpan akibat penyerapan air (Ahza, 1996). 2. Pengeringan Pengeringan adalah suatu metode untuk mengeluarkan atau menghilangkan sebagian air dari suatu bahan dengan cara menguapkan atau mengeluarkan sebagian air tersebut dengan menggunakan energi panas. Kandungan air bahan dikurangi sampai suatu batas mikroorganisme tidak dapat tumbuh lagi (Desroisier, 1992). Menurut Marliyati (1992), pengeringan juga bertujuan agar volume bahan pangan menjadi lebih kecil sehingga mempermudah pengangkutan, menghemat biaya angkutan dan menghemat ruang untuk pengangkutan, pengepakan maupun penyimpanan Pada pengeringan, walaupun secara fisik dan kimia masih terdapat molekulmolekul air yang terikat, air ini tidak akan dipergunakan untuk kepentingan mikroba. Demikian pula enzim tidak mungkin aktif pada bahan yang dikeringkan, karena reaksi biokimia memerlukan air sebagai medianya. Jadi pada pengeringan diusahakan bahwa kadar air yang tertinggal tidak memungkinkan enzim dalam mikroba menjadi aktif, sehingga bahan pangan yang dikeringkan dapat disimpan lebih lama (Marliyati, 1992). Menurut Marliyati (1992), selain faktor positif yang menguntungkan, pengeringan juga mempunyai beberapa kerugian yaitu karena sifat asal bahan yang dikeringkan dapat dirubah seperti perubahan sifat fisik (warna dan bentuk), sifat kimia dan kandungan zat gizi sehingga mutu menjadi menurun. Selain itu, beberapa bahan kering perlu dibasahkan kembali (rehidrasi) sebelum digunakan Makanan yang dikeringkan mempunyai nilai gizi yang lebih rendah dibandingkan dengan bahan segarnya. Selama pengeringan juga dapat terjadi perubahan warna, tekstur, aroma dan lainnya, meskipun perubahan-perubahan tersebut dapat dibatasi seminimal mungkin, dengan jalan memberikan perlakuan pendahuluan terhadap bahan pangan yang dikeringkan (Winarno, Srikandi Fardiaz, Dedi Fardiaz, 1984). Pada umumnya bahan pangan yang dikeringkan berubah warnanya menjadi coklat. Perubahan warna tersebut disebabkan oleh reaksi-reaksi “browning”
non
enzimatik yang paling sering terjadi adalah reaksi antara asam organic dengan gula pereduksi, dan antara asam-asam amino dengan gula pereduksi. Reaksi antara asam-asam
amino dengan gula pereduksi dapat menurunkan nila gizi protein yang terkandung didalamnya (Winarno et al, 1984). 3. Penggorengan Penggorengan adalah satuan operasi dalam pengolahan bahan makanan menggunakan minyak sebagai medium pengantar panas. Berdasarkan jenis alat dan jumlah minyak yang digunakan penggorengan dibagi tiga, yaitu alat penggorengan ceper (shallow fryer), deep fat fryer, vacuum fryer. Alat penggorengan ceper ini terdiri dari permukaan metal yang dipanaskan. Cara penggorengannya dengan menggunakan sedikit minyak goreng atau shortening, sedangkan sumber panas yang digunakan adalah pemanas listrik. Cara penggorengan dengan deep fat fryer adalah semua bahan terendam minyak selama proses penggorengan prosesnya lebih cepat dan permukaan terkena panas yang seragam. Cara yang lain yaitu vacum fryer adalah modifikasi dan pengembangan tekanan penggorengan rendam dengan aplikasi tekanan vakum selama proses. Inti penggorengan ini adalah untuk menurunkan titik didih air dan minyak, tetapi dengan aroma tetap tertahan dalam hasil penggorengan (Marliyati, 1992). Reaksi selama proses penggorengan yaitu terjadi reaksi pembentukan aroma, karamelisasi, pergerakan pada bahan. Perubahan menjadi senyawa warna, polimer, pengaroma atau gas, kadar air bahan mempengaruhi mutu produk akhir (Marliyati, 1992). Selama
proses
penggorengan
juga
terjadi
reaksi
pembentukan
aroma,
karamelisasi, pengerakan pada bahan, pencoklatan, serta pelucutan gula, protein dan lemak dari bahan yang digoreng, yang oleh pemanasan akan diubah menjadi senyawa warna, polimer, pengaroma atau gas (uap) (Ahza, 1996). D. Protein Protein merupakan salah satu kelompok bahan makronutrien. Tidak seperti bahan makronutrien lain (lemak dan karbohidrat), protein berperan lebih penting dalam pembentukan biomolekul daripada sebagai sumber energi. Namun demikian apabila organisme sedang kekurangan energi, maka protein ini terpaksa dapat juga digunakan sebagai sumber energi. Kandungan energi rata-rata protein 4 kilo/gram atau setara dengan kandungan energi karbohidrat (Sudarmadji, Haryono, dan Suhardi, 1989) Keistimewaan lain dari protein ini adalah strukturnya yang mengandung N, disamping C, H, O (seperti karbohidrat dan lemak), S dan kadang-kadang P, Fe dan Cu
(sebagai senyawa kompleks dengan protein). Dengan demikian maka salah satu cara terpenting yang cukup spesifik untuk menentukan jumlah protein secara kuantitatif adalah dengan penentuan kandungan N yang ada dalam makanan atau bahan lain. Apabila unsure N ini dilepaskan dengan cara destruksi (perusakan bahan sampai terurai unsur-unsurnya) dan N yang terlepas ditentukan jumlahnya secara kuantitatif (dengan titrasi atau cara lain), maka jumlah protein dapat diperhitungkan atas dasar kandungan rata-rata unsur N misalnya ammonia, asam amino bebas dan asam nukleat. Oleh sebab itu cara penentuan jumlah protein melalui penentuan jumlah N total hasilnya disebut jumlah protein kasar atau crude protein (Sudarmadji et al, 1989) Protein dalam bahan makanan yang dikonsumsi manusia akan diserap usus dalam bentuk asam amino. Sampai sekarang baru dikenal 24 macam asam amino endogen. Asam amino eksogen tidak dapat dibentuk oleh tubuh manusia, karena itu disebut asam amino essensial, artinya harus didapatkan dari makanan sehari-hari. Yang tergolong asam amino essensial adalah lisin, valin, leusin, isoleusin, motionin, fenilalanin, histidin, dan arginin (Winarno, 1993) Protein dalam bahan makanan sangat penting dalam proses kehidupan organisme yang heterotoph seperti hawan dan manusia. Protein alamiah mula-mula dibentuk dari unit-unit asam amino bebas yang dirakit sama sekali baru (de novo) oleh organisme autrotoph (tumbuh-tumbuhan dan mikroorganisme tertentu) dari unsur-unsur anorganik C, H, O, N dan S yang ada dalam tanah dan udara (Sudarmadji et al, 1989) Pada organisme yang sedang tumbuh protein sangat penting dalam pembentukan sel-sel baru. Oleh sebab itu apabila organisme kekurangan protein dalam bahan makanannya maka organisme tersebut akan mengalami hambatan pertumbuhan ataupun dalam proses biokimianya. Pentingnya protein dalam jaringan hewan dapat ditunjukkan oleh kadarnya yang tinggi yaitu antara 80 – 90 % dari seluruh bahan organic yang ada dalam jaringan hewan (Sudarmadji et al, 1989). Berdasarkan sumbernya, protein pangan dibedakan menjadi 2 yaitu : protein hewani dan nabati kecuali kedelai umumnya bernilai biologis rendah (Nursanyoto, 1992). Mutu protein dinilai dari perbandingan asam-asam amino yang terkandung dalam protein tersebut. Protein yang berasal dari hewani seperti daging, telur dan susu dapat menyediakan asam-asam amino essensial dalam suatu perbandingan yang menyamai
kebutuhan manusia, karenanya disebut protein dengan mutu tinggi. Protein tergolong bermutu rendah apabila terdapat asam amino pembatas, misalnya pada serealia, asam amino pembatasnya asam amino metionin (Winarno, 2004). Dalam pemanasan protein dapat mengalami denaturasi, artinya strukturnya berubah dari bentuk anting ganda yang kuat menjadi kendur dan terbuka, sehingga memudahkan bagi enzim pencernaan untuk menghidrolisis dan memecahnya menjadi asam-asam amino. (Winarno, 1993) Denaturasi dapat berubah sifat protein menjadi sukar larut dan makin kental. Keadaan ini disebut koagulasi. Koagulasi dapat ditimbulkan dengan pemanasan, asam, perlakuan mekanis, garam (Gaman dan Sherrington, 1994). Dengan adanya pemanasan, protein dalam bahan makanan akan mengalami perubahan dan membentuk persenyawaan dengan bahan lain, misalnya antara asam amino hasil perubahan protein dengan gula-gula pereduksi yang membentuk senyawa rasa dan aroma makanan. Protein murni dalam keadaan tidak dapat dipanaskan hanya memiliki rasa dan aroma yang tidak berarti (Sudarmadji et al, 1989). Dengan demikian perlakuan pemanasan dalam bahan makanan memang perlu dilakukan untuk mempersiapkan bahan sehingga sesuai dengan selera konsumen. Namun demikian pemanasan yang berlebihan atau perlakuan lain mungkin akan merusakkan protein apabila dipandang dari sudut gizinya (Sudarmadji et al, 1989).
B. Sifat Organoleptik Uji organoleptik adalah pengujian secara subjektif yaitu pengujian penerimaan selera makanan yang berdasarkan uji kegemaran dan analisa perbedaan untuk menilai secara organoleptik diperlukan beberapa persyaratan yaitu lingkungan dengan suasana tenang dan bersih, dengan demikian dapat dengan benar diketahui mutu produk yang dihasilkan (Soekarto dan Soekarno, 1985) Menurut Winarno (1993), uji organoleptik adalah pengujian secara subjektif yaitu suatu pengujian penerimaan selera makan (acceptance) yang didasarkan atas kegemaran (preference) dan analisa pembeda (difference analysis). Untuk menilai atau menguji secara organoleptik diperlukan beberapa persyaratan, yaitu suasana tenang dan bersih, peralatan yang bebas bau, sample dan panelis.
Dalam uji organoleptik indera yang berperan dalam pengujian adalah indra penglihatan, penciuman, dan pencicip, peraba dan pendengaran, untuk produk pangan yang paling jarang digunakan adalah indera untuk menilai sehingga didapat suatu kesan terhadap mutu rangsangan (Rahayu, 1998) Dalam penilaian ini dilakukan uji hedonic (kesukaan) yaitu dengan cara bahan yang akan diuji disiapkan dengan kode, panelis diminta menilai produk sesuai tingkatan kesukaan, meliputi rasa, warna, aroma dan tekstur chips tempe. Skala penilaian meliputi suka, agak suka, agak tidak suka, dan tidak suka. Dalam uji organoleptik yang diamati meliputi tekstur yang dapat berupa sifat kuat, tidak mudah hancur, cukup kuat, kurang kuat, mudah hancur. Rasa yaitu gurih, cukup gurih, kurang gurih, tidak gurih. Bau atau aroma misalnya harum, cukup harum, kurang harum dan tidak harum. Warna yang terdapat pada chips tempe seperti kuning kecoklatan, kuning cerah, coklat, kehitaman. Aroma adalah penilaian secara indrawi menggunakan indra penciuman atau hidung. Aroma dapat dengan cepat memberikan hasil penilaian suatu produk apakah disukai atau tidak disukai (Sitompul dan Maulizawartika. 2005). Menurut Estuti (2005), aroma tempe mulai terbentuk setelah 30 jam fermentasi oleh karena itu waktu fermentasi terbaik untuk pembuatan produk keripik tempe. Sedangkan chips tempe selama proses pengolahan dengan menggunakan suhu tinggi diperkirakan aroma banyak yang menguap. Warna adalah penilaian secara indrawi menggunakan indra penglihatan atau mata. Dalam menilai mutu komoditi, cara yang terutama masih digunakan adalah dengan penglihatan (Sitompul dan Maulizawartika. 2005) Rasa adalah penilaian secara indrawi menggunakan indra pengecap atau lidah. Rasa juga merupakan salah satu faktor mutu yang dapat mempengaruhi suatu produk pangan (Sitompul dan Maulizawartika. 2005). Pada rasa terdapat kesan adanya rasa ikutan (after taste) yang rata-rata dinyatakan oleh panelis yaitu rasa agak getir setelah chips tempe dikonsumsi. Soekarto dan Soekarno (1985) mengatakan bahwa puting-puting pengecap yang terdapat didaerah belakang lidah adalah daerah kepekaan rasa pahit. Rasa pahit atau getir yang terdapat pada pada bahan pangan nabati disebabkan oleh adanya komponen-komponen tertentu yaitu alkaloid-alkoloid seperti kafein, teobromin, kuinon,
dan glikosida. Rasa pahit dapat diimbulkan oleh bahan pangan yang dipanggang atau digoreng (roasting), oksidasi lemak dan hidrolisis protein (Estuti, 2005) Tekstur adalah penilaian secara indrawi menggunakan indra peraba atau kulit. Tekstur juga merupakan salah satu faktor mutu yang dapat mempengaruhi suatu produk pangan dilihat dari bentuknya. Menurut Robetson (1967) dalam Estuti (2005), kerenyahan makanan gorengan hanya dipengaruhi oleh tebal tipisnya bagian hati dan lapisan luar hati dari makanan yang digoreng. Pada makanan tipis seperti chips tempe, bagian hati hampir tidak ada. Produk chips tempe hamper seluruhnya terdiri dari bagian lapisan luar dari hati (crust). Ketebalan awal produk yang seragam dan pengembangannya yang tidak begitu besar setelah digoreng dapat menyebabkan nilai kerenyahan yang tidak berbeda nyata.
C. Kerangka Konsep
Variable Pengaruh Subtitusi tepung hunkwe : 0, 5, 15, 20 %
Variable Terkendali Adonan Bentuk Penambahan putih telur Pengukusan Pengeringan Penggorengan (jenis minyak, waktu & suhu)
CHIPS TEMPE
Variable Terpengaruh Kadar Protein Sifat Organoleptik chips tempe
D. Hipotesis Ada pengaruh subtitusi tepung hunkwe terhadap kadar protein dan sifat organoleptik chips tempe.