BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Komunikasi Massa Definisi komununikasi massa yang paling sederhana dikemukakan oleh Bittner (Rakhmat, 2003:188), yakni: komunikasi massa adalah pesan yang dikomunikasikan melalui media massa pada jumlah besar orang (mass communication is massage communicated through a mass medium to a large number of poeple). 7 Dari definisi tersebut dapat diketahui bahwa komunikasi massa itu harus menggunakan media massa. Jadi sekalipun komunikasi massa itu disampaikan kepada khalayak yang banyak, seperti rapat akbar dilapangan luas yang dihadiri oleh puluhan ribu orang, jika tidak menggunakan media massa, maka itu bukan komunikasi massa. Wright mengemukakan definisinya sebagai berikut: “This new form can be distinguished from older types by the following major characteristic:it is directed toward relatively large, heterogenous, and anonymous audience; massages are transmitted publicly, of-ten-times to reach most audience members simultaneously, and are transient in character; the communicator tends yang dto be, or to operate within, a complex organization that may involve great expense”. 8 Definisi komunikasi massa yang dikemukakan Wright merupakan definisi
yang lengkap,
yang dapat menggambarkan karakteristik
komunikasi massa secara jelas. Menurut Wright, bentuk baru komunikasi dapat dibedakan dari corak-corak yang lama karena memiliki karakteristik
7
Elvinaro Adriano, Lukiati Komala, Siti Karlinah . Komunikasi Massa. Suatu Pengantar. Bandung: Simbiosa Rekatama. 2007 hal 3 8 Ibid hal 4
8
utama sebagai berikut; diarahkan pada khalayak yang relatif besar, heterogen dan anonim; pesan disampaikan secara terbuka, sering kali dapat mencapai kebanyakan khalayak secara serentak, bersifat sekilas; komunikator cenderung berada atau bergerak dalam organisasi yang kompleks yang melibatkan biaya besar. Kompleksnya komunikasi massa juga dikemukakan oleh Severin & Tankard Jr, dalam bukunya Communication Theories: Origins, Method, And Uses In The Mass Media
yang definisinya sebagai berikut:
Komunikasi massa adalah sebagian keterampilan, sebagian seni dan sebagian ilmu. 9 Keterampilan dalam pengertian bahwa ia meliputi teknikteknik fundamental tertentu yang dapat dipelajari seperti memfokuskan kamera televisi, mengoprasikan tape recorder atau mencatat ketika wawancara. Ia adalah seni dalam pengertian bahwa ia meliputi tantangantantangan kreatif seperti menulis skrip untuk program televisi, mengembangkan tata letak dan estetis untuk iklan majalah atau menampilkan teras berita yang memikat bagi sebuah kisah cerita. Ia adalah ilmu dalam pengertian bahwa ia meliputi prinsip-prinsip tertentu tentang bagaimana
berlangsungnya
komunikasi
dapat
dikembangkan
dan
digunakan untuk membuat berbagai hal menjadi lebih baik. Berbagai definisi komunikasi massa yang dikemukakan para ahli komunikasi saling melengkapi satu sama lain dan dari pengertian komunikasi massa dapat diketahui pula ciri-ciri komunikasi massa yang 9
Ibid hal 5
9
membedakan dari bentuk komunikasi lainnya. Ciri penting dari komunikasi massa adalah bahwa hal tersebut disengaja atau tujuan diarahkan, baik dari titik pandang pengirim pesan maupun penerima. Pengirim mempunyai tujuan-tujuan tertentu dalam memprekarsai tindakan komunikatif. Penerima berpastisipasi dalam kegiatan komunikasi dengan bersifat reseptif terhadap pesan sepanjang tindakan itu akan memenuhi tujuan-tujuan tertentu atau dengan kata lain komunikasi bersifat transaksional.
2.1.1
Karekteristik Komunikasi Massa Karakteristik komunikasi massa adalah sebagai berikut: a.
Komunikator Terlembagakan Secara kronologis dicontohkan proses penyusunan pesan, apabila media komunikasi yang digunakan adalah film, tentu akan lebih banyak orang yang terlibat, seperti penata kamera, penata artistic, pemeran dan lain-lain.
b. Pesan Bersifat Umum Komunikasi
massa
itu
bersifat
terbuka,
artinya
komunikasi massa itu ditujukan untuk semua orang dan tidak ditujukan untuk sekelompok orang tertentu. Pesan komunikasi massa yang dikemas harus memenuhi kriteria penting dan menarik yang dapat berupa fakta, peristiwa, atau opini.
10
c. Komunikannya Anonim dan Heterogen Komunikator tidak mengenal komunikannya (anonim), Disamping itu, komunikan juga bersifat heterogen, karena terdiri dari berbagai lapisan masyarakat yang berbeda yang dapat dikelompokkan berdasarkan faktor: usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, latar belakang budaya, agama, dan tingkat ekonomi. d. Media Massa Menimbulkan Keserempakan Jumlah
sasaran
khalayak
atau
komunikan
yang
dicapainya relatif banyak dan tidak terbatas dan pada waktu yang bersamaan memperoleh pesan yang sama pula. e. Komunikasi Mengutamakan Isi Ketimbang Hubungan Salah satu prinsip komunikasi adalah dimensi isi, menunjukkan muatan atau isi komunikasi, apa yang dikatakan, sedangkan dimensi hubungan menunjukkan bagaimana cara mengatakannya,
yang
juga
mengisyaratkan
bagaimana
hubungan para peserta komunikasi itu. f. Komunikasi massa Bersifat Satu Arah Komunikator aktif menyampaikan pesan, komunikan pun aktif menerima pesan, pada komunikasi massa tidak terjadi pengendalian arus informasi.
11
g. Stimulasi Alat Indra Terbatas Dalam
komunikasi
massa,
stimulasi
alat
indra
bergantung pada jenis media massa. h. Umpan Balik Tertunda (Delayed) dan Tidak Langsung (Indirect) Efektivitas komunikasi seringkali dapat dilihat dari feedback (umpan balik) yang disampaikan oleh komunikan. Dalam proses komunikasi massa, komunikator komunikasi massa tidak dapat dengan segera mengetahui bagaimana reaksi khalayak terhadap pesan yang disampaikannya.
2.1.2
Fungsi Komunikasi Massa Fungsi komunikasi massa menurut Dominick (2001) terdiri
sebagai berikut : 10 1. Surveillence (Pengawasan) Fungsi pengawasan komunikasi massa dibagi dalam bentuk utama, yaitu: (a). Warning of beware surveillance (pengawasan peringatan). Fungsi pengawasan peringatan terjadi ketika media massa menginformasikan tentang ancaman bencana dari angin topan, meletusnya gunung berapi, kondisi yang memprihatinkan di lokasi pasca bencana, (b) Instrumental surveillance (pengawasan instrumental). 10
Fungsi
pengawasan
instrumental
adalah
Op.cit hal 14
12
penyampaian atau penyebaran informasi yang memiliki keguanaan atau dapat membantu khalayak dalam kehidupan sehari-hari. Berita bagaimana harga saham dibursa efek, produk-produk baru, ide-ide tentang mode, dan sebagainya adalah contoh pengawasan instrumental. 2. Interpretation (Penafsiran) Media massa tidak hanya memasok fakta dan data, tetapi juga memberikan penafsiran terhadap kejadian-kejadian penting. Industri media memilih dan memutuskan peristiwa-peristiwa yang dimuat atau ditayangkan. Tujuan penafsiran media ingin mengajak para pembaca atau pemirsa untuk memperluas wawasan dan bahasannya lebih lanjut dalam komunikasi antar persona atau antar kelompok. 3. Linkege (Pertalian) Media massa dapat menyatukan kelompok-kelompok yang memiliki kepentingan, minat yang sama tetapi terpisah secara geografis dipertalikan atau dihubungkan oleh media yang dapat membentuk kesepakatan. 4. Transmission of values (Penyebaran nilai-nilai) Fungsi ini juga disebut sosialisasi. Sosialisasi mengacu pada cara dimana individu mengadopsi perilaku dan nilai kelompok.
13
5. Entertainment (Hiburan) Salah satu kebutuhan dasar manusia merupakan hiburan. Fungsi hiburan tujuannya adalah untuk mengurangi ketegangan pikiran khalayak dan ketegangan sosial, pengalihan perhatian dan sarana relaksasi. Selanjutnya DeVito (1996) menyebutkan fungsi komunikasi massa secara khusus, adalah : 11 1. Fungsi Meyakinkan (to persuade) Fungsi Meyakinkan atau Persuasi bisa datang dalam bentuk: a. Memperkuat sikap, kepercayaan atau nilai seseorang. b. Mengubah sikap, kepercayaan atau nilai sesorang c. Menggerakkan seseorang untuk melakukan sesuatu d. Memperkenalkan etika atau menawarkan sistem nilai tertentu. 2. Fungsi Menganugerahkan status Penganugerahan status (status conferal) terjadi apabila berita yang disebarluaskan melaporkan kegiatan individu-individu tertentu sehingga prestise (gengsi) atau status publik mereka meningkat. Dalam dunia public relation disebut publicity (publisitas). 3. Fungsi Membius (Narcotization) Fungsi media massa yang paling menarik dan paling banyak dilupakan adalah fungsi membiusnya (narcotization). Ketika media
11
Ibid hal 22
14
menyajikan informasi tentang sesuatu, pemirsa atau penerima terbius ke dalam keadaan pasif, seakan-akan berada dalam pengaruh narkotik. 4. Fungsi Menciptakan Rasa Kebersatuan Komunikasi massa mempunyai kemampuan untuk membuat pemirsanya menjadi anggota suatu kelompok karena merasa terhibur dan menyatu dengan cara tersebut. 5. Fungsi Privatisasi Privatisasi adalah kecenderungan bagi seseorang untuk menarik diri dari kelompok sosial dan mengucikan diri ke dalam dunianya sendiri.
2.2
Media Massa Media massa pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua kategori, yakni media massa cetak dan media elektronik. Media cetak yang dapat memenuhi sebagai media massa adalah surat kabar dan majalah. Sedangkan media elektronik yang memenuhi kriteria sebagai media massa adalah radio siaran, televisi, film, media online (internet). 12
2.3
Film Sebagai Media Komunikasi Massa Definisi film menurut Undang-Undang Republik Indonesia No.8 Tahun 1992 tentang Perfilman adalah karya cipta seni dan budaya yang merupakan media komunikasi massa pandang-dengar yang dibuat
12
Elvinaro Adriano, Lukiati Komala, Siti Karlinah . Komunikasi Massa. Suatu Pengantar. Bandung: Simbiosa Rekatama. 2007 hal 103
15
berdasarkan asas sinematografi dengan direkam pada pita seluloid, pita film, piringan video, dan/atau bahan hasil penemuan teknologi lainnya dalam segala bentuk, jenis, dan ukuran melalui proses kimiawi, proses elektronik, atau proses lainnya, dengan atau tanpa suara, yang dapat dipertunjukkan dan/atau ditayangkan dengan sistem proyeksi mekanik, elektronik, dan/atau lainnya. 2.3.1
Sejarah dan Perkembangan Film Terdapat tiga elemen penting dalam sejarah film. Pertama, penggunaan film untuk propaganda sangatlah signifikan, terutama jika diterapkan untuk tujuan nasional atau kebangsaan, berdasarkan jangkauannya yang luas, sifatnya yang riil, dampak emosional, dan popularitas. Dua elemen lainnya dalam sejarah film adalah munculnya beberapa sekolah seni film dan munculnya gerakan film dokumenter. 13 Walaupun adanya dominasi hiburan dalam sejarah film seringkali menampilkan kecenderungan pembelajaran atau propagandis. Film cenderung lebih rentan daripada media lain terhadap gangguan dari luar dan sering kali tunduk pada tekanan untuk seragam karena terlalu banyak modal yang terlibat. Sejarah perfilman di indonesia diawali dengan film perdana berjudul “Lely van java” yang diproduksi di Bandung pada tahun 1926 oleh seorang yang bernama David. Kemudian disusul oleh “Eulis Atjih” diproduksi Krueger Coorporation pada tahun
13
Deni Mc.Quails. McQuail’s Mass Communication Theory. Jakarta: Salemba Humanika. hal 36
16
1927/1928 kemudian film berikutnya Loetoeng Kasaroeng, Si Conat dan Pareh. Sampai tahun itu, film yang disajikan merupakan film bisu, dan yang mengusahakannya adalah orangorang Belanda dan Cina, sedangkan Film berbicara yang pertama berjudul “Terang Bulan” yang dibintangi Roekiah dan R. Mochtar berdasarkan naskah seorang penulis Indonesia Saerun. 14 Pada saat perang asia timur raya dipenghujung 1941, perusahaan perfilman yang diusahakan oleh orang Belanda dan China itu berpindah tangan kepada pemerintahan Jepang, diantaranya adalah NV Multi film yang berubah menjadi Nippon Eiga Sha yang selanjutnya memproduksi film feature dan documenter. Jepang telah memanfaatkan film untuk media informasi dan propaganda. Namun tatkala bangsa Indonesia sudah memproklamirkan kemerdekaannya, maka pada tanggal oktober 1945 Nippon Eiga Sha diserahkan secara resmi ke pemerintahan Indonesia oleh Ishimoto dari pihak perwakilan militer jepang kepada R.M Soetarto. Sejak 6 oktober lahirlah Berita film Indonesia atau BFI bersama pindahnya pemerintah RI ke Yogyakarta, BFI pun pindah dan bergabung dengan perusahaan film negara yang pada akhirnya berganti nama menjadi perusahaan film nasional. 15
14 15
Onong Uchjana Effendy, M.A. Ilmu, teori, dan filsafat komunikasi. Bandung hal Ibid hal 145
17
2.3.2
Fungsi Film Fungsi film menurut Undang-Undang Perfilman adalah sebagai media komunikasi massa pandang-dengar mempunyai fungsi penerangan, pendidikan, pengembangan budaya, hiburan dan ekonomi. Hal ini pun sejalan dengan misi perfilman nasional sejak 1979, bahwa selain sebagai media hiburan, film nasional dapat digunakan sebagai media edukasi untuk pembinaan generasi muda dalam rangka nation and character building. Fungsi edukasi dapat tercapai apabila film nasional memproduksi film-film sejarah yang objektif, atau film dokumenter dan film yang diangkat dari kehidupan sehari-hari secara berimbang. 16
2.3.3
Jenis Film Jika dilihat dari isinya, film dibedakan menjadi jenis film fiksi dan non fiksi. Sedangkan untuk kelompok dari segi penontonnya, film dibagi menjadi film anak, remaja, dewasa dan semua umur, dan sebagainya. Dari segi pemerannya, film dibedakan pula menjadi film animasi dan non animasi. Sedangkan menurut durasinya, film dibedakan menjadi film panjang dan film pendek.
16
Elvinaro Ardianto, Lukiati Komala, Siti Karlinah. Komunikasi Massa. Suatu Penghantar. Bandung: Simbiosa Rekatama. 2007 hal 145
18
Film fiksi adalah jenis film yang hanya berdasarkan imajinasi yang merupakan rekaan si penulisnya, bukan kenyataan. Sementara film non fiksi adalah jenis film yang isinya bukan fiktif, bukan hasil imajinasi/rekaan. Dengan kata lain film non fiksi adalah film yang bersifat faktual, hal-hal yang terkandung di dalamnya adalah nyata, benar-benar ada dalam kehidupan Film juga dapat dikelompokkan pada jenis film cerita, film berita, film dokumenter, dan film kartun. a. Film Cerita (story film) Adalah jenis film yang mengandung suatu cerita yang lazim dipertunjukkan di gedung-gedung bioskop dan film ini di distribusikan sebagai barang dagangan. Cerita yang diangkat menjadi topik film bisa berupa cerita fiktif atau berdasarkan cerita nyata yang dimodifikasi. b. Film Berita Film berita atau newsreel adalah film mengenai fakta, peristiwa
yang
benar-benar
terjadi.
film
berita
harus
mengandung nilai berita (news value) penting dan menarik. c. Film Dokumenter Dokumenter adalah sebutan yang diberikan untuk film pertama karya Lumiere bersaudara yang berkisah tentang perjalanan yang dibuat sekitar tahun 1890-an. Tiga puluh enam tahun kemudian, kata “dokumenter” kembali digunakan oleh 19
pembuat dan kritikus film asal Inggris John Grierson untuk film Moana (1926) karya Robert Flaherty. 17 Film Dokumenter (Documentary film) didefinisikan oleh Robert Flaherty sebagai “karya ciptaan mengenai kenyataan” (creative treatment of actuality). Berbeda dengan film berita yang merupakan rekaman kenyataan, maka film dokumenter merupakan hasil interpretasi
pribadi
(pembuatnya)
mengenai
kenyataan
tersebut. 18 d. Film Kartun Film kartun (cartoon film) dibuat untuk konsumsi anakanak, sebagian besar film kartun akan membuat kita tertawa karena kelucuan para tokohnya dan ada juga film kartun yang membuat iba penontonnya karena penderitaan tokohnya. Dalam film dikenal juga istilah genre atau bentuk sebuah film berdasarkan keseluruhan cerita. Genre film ada beberapa macam, diantaranya: a. Action-laga Pada genre ini biasanya bercerita mengenai perjuangan seorang tokoh untuk bertahan hidup, biasanya dibumbui adegan pertarungan dan membuat penonton merasakan ketegangan yang dialami tokoh dalam film. b. Comedy-humor
17
Heru Effendy. Mari membuat film. Paduan menjadi produser. Yogyakarta hal 12 Elvinaro Ardianto, Lukiati Komala, Siti Karlinah. Komunikasi Massa. Suatu Penghantar. Bandung: Simbiosa Rekatama. 2007 hal 149
18
20
Adalah film-film yang bercerita mengandalkan kelucuan-kelucuan baik dari segi cerita maupun dari segi penokohan. c. Roman-drama Film genre ini biasanya disukai penonton karena dianggap sebagai gambar nyata sebuah kehidupan. Sehingga pada akhirnya penonton dapat ikut merasakan adegan dalam film dikarenakan kesamaan pengalaman hidup antara si tokoh dalam film dan penonton. d. Misteri-horor Genre misteri biasanya mengetengahkan cerita yang terkadang berada diluar akal manusia, genre ini banyak disukai karena pada dasarnya setiap manusia dibekali rasa penasaran akan apa yang ada di dunia lain diluar dunia manusia. Genre film ini menghibur penontonnya dengan mengaduk-ngaduk rasa takut dan ngeri. Ceritanya selalu melibatknan kematian dan alam gaib.
2.3.4
Unsur Intristik Film Dalam karya film juga mengandung Unsur Intrinstik, yaitu:
1. Tema 2. Alur Cerita/Plot Cerita a. Pengenalan Situasi Cerita b. Menuju adanya Konflik c. Puncak Konflik 21
d. Penyelesaian 3. Latar Cerita a. Latar Tempat b. Latar Waktu c. Latar Suasana Latar suasana yang ada dalam film 4. Penokohan Karakter 5. Amanat 6. Pengambilan Gambar
2.4
Semiotika Semiotika adalah ilmu tentang tanda-tanda. studi tentang tanda dan segala yang berhubungan dengannya, cara berfungsinya, hubungannya dengan tanda-tanda lain, penerimannya dan penerimaannya oleh mereka yang menggunakannya. Kata “semiotika” itu sendiri berasal dari bahasa Yunani, semeion yang berarti “tanda” atau seme yang berarti “penafsir tanda”. Menurut Preminger (2001), ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial atau masyarakat dan kebudayaan merupakan tanda-tanda. Semiotik mempelajari
sistem-sistem,
aturan-aturan,
konvensi-konvensi
yang
memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti. 19 Istilah semeiotics (dilafalkan demikian) diperkenalkan oleh Hippocrates (460-377 SM), penemu ilmu medis barat, seperti ilmu gejala19
Rahmat Kriyantono. Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta: Kencana 2009 hal 263-264
22
gejala. Gejala menurut Hipopocrates, merupakan Semeion-bahasa Yunani untuk “petunjuk” (mark) atau tanda (sign) fisik. 20 Secara terminologis, semiotika dapat diidentifikasi sebagai ilmu yang mempelajari sederetan objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda. 21 Selain istilah semiotika dan semiologi dalam sejarah linguistik ada pula digunakan istilah lain seperti semasiologi, sesemik, dan semik untuk merujuk pada bidang studi yang mempelajari makna atau arti suatu tanda atau lambang. 22 Baik semiotika maupun semiologi, mengandung pengertian yang persis sama, keduanya kurang lebih dapat saling menggantikan karena sama-sama digunakan untuk mengacu pada ilmu tentang tanda. satusatunya perbedaan keduanya menurut Hawkes adalah istilah semiologi biasanya digunakan di Eropa, sementara semiotika cenderung dipakai oleh mereka yang berbahasa Inggris. Perbedaan istilah itu kata Masinambow menunjukkan perbedaan orientasi, semiologi mengacu pada tradisi Eropa yang bermula pada Ferdinand de Saussure (1857-1913), sedangkan semiotika pada tradisi Amerika yang bermula pada Charles Sanders Pierce (1839-1914). 23 Seperti dikatakan Umberto Eco pemakaian istilah semiotik adalah sesuai resolusi yang diambil oleh Komite Internasional di Paris bulan Januari 1969. Pilihan ini kemudian dikukuhkan oleh Association for
20
Marcel Danesi. Pesan, Tanda, dan Makna. Yogyakarta: Jalasutra 2012 hal 6 Indiawan Seto. Semiotika Komunikasi. Jakarta: Mitra Wacana 2011 hal 5 22 Alex Sobur. Semiotika Komunikasi. Bandung: Rosdakarya 2011 hal 11-12 23 Ibid hal 12 21
23
Semiotics Studies pada kongres yang pertama tahun 1974. Dalam konteks ini semiotics atau dalam bahasa Prancis Semiotique menjadi istilah untuk semua peristilahan lama semiology dan semiotics. Semiotika diartikan sebagai studi sistematis tentang tanda-tanda dan komunikasi didefinisikan sebagai suatu upaya untuk memperoleh makna. Kajian semiotika sampai sekarang telah membedakan dua jenis semiotika, yakni semiotika komunikasi dan semiotika signifikansi. Semiotika komunikasi (semiotics of communication) yang identik dengan Pierce menekankan pada teori tentang produksi tanda secara sosial dan proses interpretasi yang tanpa akhir (semiosis) yang salah satu diantaranya mengasumsikan adanya enam faktor dalam komunikasi, yaitu pengirim, penerima kode (sistem tanda), pesan, saluran komunikasi, dan acuan (hal yang dibicarakan). Sedangkan semiotika signifikansi (semiotics of signification) yang berakar pada pemikiran bahasa Saussure memberikan tekanan pada teori tanda dan pemahamannya dalam suatu hal kompteks tertentu, tidak dipersoalkan adanya tujuan berkomunikasi. Sebaliknya yang diutamakan adalah segi pemahaman suatu tanda sehingga proses kognisinya pada penerima tanda lebih diperhatikan daripada proses komunikasinya. Kedua semiotika ini hidup dan saling mendinamisasi.
24
2.4.1
Tanda dan Makna Dalam komunikasi sehari-hari manusia tidak bisa lepas dari gejala penandaan. Gudykunts dan Kim memberikan suatu asumsi bahwa manusia dalam kehidupan komunikasinya dalam budaya tertentu tidak bisa lepas dari simbol-simbol atau tanda-tanda. 24 Hjemselv seorang ahli linguistic mendefinisikan tanda sebagai sesuatu yang mewakili atau berdiri atas suatu yang lain dalam benak seseorang, tanda terdiri dari ekspresi seperti kata-kata, suara atau pun simbol dan isi dari tanda itu sendiri. 25 Tanda adalah sesuatu yang berdiri atas sesuatu yang lain. Tanda memiliki dua dimensi yaitu ekspresi dan isi. Tanda adalah setiap “kesan bunyi” yang berfungsi sebagai “signifikasi” sesuai yang “berarti suatu objek atau konsep dalam dunia pengalaman ingin kita komunikasikan. Jadi tanda merupakan suatu media untuk mengemas maksud atau pesan dalam setiap peristiwa komunikasi dimana manusia saling melempar tanda-tanda tertentu, dari hubungan makna tanda itulah tercapai suatu bentuk konvensi yang disebut kode. Makna menurut Shimp adalah tanggapan internal yang dimiliki atau diacu seseorang terhadap rangsangan dari luar. Makna hadir akibat adanya suatu rangsangan dari luar diri manusia. Pesan dalam komunikasi merupakan suatu rangsangan luar.
24 25
Indiawan Wibowo. Semiotika Komunikasi. Jakarta: Mitra Wacana 2013 hal 144 Ibid hal 145
25
Wilbur Schramm berpendapat bahwa makna selalu bersifat individual, makna dibangun berdasarkan pengalaman pribadi, kombinasi tanggapanberbeda-beda diantara dua indinvidu. BrodBeck membagi corak makna menjadi tiga, yaitu: 1. Makna Inferensial, yakni makna satu kata (lambang) adalah objek, pikiran, gagasan, konsep yang dirujuk oleh kata tersebut. 2. Makna Significance, suatu istilah dihubungkan dengan konsepkonsep lain atau merupakan arti dari istilah tersebut. 3. Makna Intensional, yakni makna yang dimaksud oleh seseorang pemakai
lambang.
Makna
yang
menekankan
maksud
pembicara. 26
2.4.2
Model Semiotika Roland Barthes Barthes melontarkan konsep tentang konotasi dan denotasi sebagai kunci analisisnya. Barthes menggunakan versi yang jauh lebih sederhana saat membahas model ‘glossematic sign’ (tanda-tanda glossematic). Mengabaikan
dimension
dari
bentuk
dan
substansi,
Barthes
mendefinisikan sebuah tanda (sign) sebagai sebuah sistem yang terdiri dari (E) sebuah ekspresi atau signifier dalam hubungannya (R) dengan content (atau signifier) (C): ERC.
26
Sobur (2003) op,cit hal 256
26
Sebuah sistem tanda primer (primary sign system) dapat menjadi sebuah elemen dari sebuah sistem tanda yang lebih lengkap dan memiliki makna yang berbeda ketimbang semula. Dengan begitu, primary sign adalah denotative sedangkan secondary sign adalah satu dari connotative semiotics. Konsep connotative inilah yang menjadi kunci penting dari model semiotika Roland Barthes. Fiske menyebut model ini sebagai Signifikasi dua tahap (two order of signification). Lewat model ini Barthes menjelaskan bahwa signifikasi tahap pertama merupakan hubungan antara signifier (ekspresi) dan Signified (content) di dalam sebuah tanda terhadap realitas eksternal. Itu yang disebut Barthes sebagai denotasi yaitu makna paling nyata dari tanda (sign). Konotasi
adalah
istilah
yang
digunakan
Barthes
untuk
menunjukkan signifikasi tahap kedua. Hal ini menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan perasaan atau emosi dari pembaca serta nilai-nilai kebudayaannya. Konotasi mempunyai makna yang subjektif atau paling tidak intersubjektif. Dengan kata lain, denotasi adalah apa yang digambarkan tanda terhadap objek, sedangkan makna konotasi adalah bagaimana cara menggambarkannya. Konotasi bekerja dalam tingkat subjektif sehingga kehadirannya tidak disadari. Pembaca mudah sekali membaca makna konotasi sebagai fakta denotative. Karena itu, salah satu tujuan analisis
27
semiotika adalah untuk menyediakan metode analisis dan kerangka berfikir dalam mengatasi terjadinya salah baca (misreading) atau salah dalam mengartikan makna suatu tanda. Barthes menciptakan peta tentang bagaimana tanda bekerja:
Gambar 1: Peta tanda Roland Barthes
Dari peta barhes terlihat bahwa tanda denotative (3) terdiri atas penanda (1) dan petanda (2). Akan tetapi pada saat bersamaan, tanda denotatif adalah juga penanda konotatif (4) Dalam konsep barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki tanda tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaanya. dasarnya antara perbedaan antara denotasi dan konotasi. Dalam pengertian secara umum, denotasi biasanya dimengerti sebagai makna harfiah, makna yang sesungguhnya, bahkan kadang padakala juga dirancukan dalam referensi atau acuan. Proses signifikasi yang secara tradisional disebut dengan denotasi ini biasanya mengacu kepada penggunaan bahasa dengan arti yang sesuai dengan apa yang terucap. Tetapi menurut Roland Barthes dan pengikutnya, denotasi
28
merupakan sistem signifikansi tingkat pertama, sementara konotasi tingkat kedua. 27 Pada signifikasi tahap kedua yang berhubungan dengan isi, tanda kerja melalui mitos (myth). Mitos adalah bagaimana kebudayaan menjelaskan atau memahami beberapa aspek tentang realitas atau gejala alam. Mitos merupakan produk kelas social yang sudah mempunyai suatu dominasi. Mitos primitif, misalnya mengenai hidup dan mati, manusia dan dewa, sedangkan mitos saatkini misalnya mengenai feminimitas, maskulinitas, ilmu pengetahuan dan kesuksesan. 28 Mitos adalah suatu wahana dimana ideologi terwujud. Mitos dapat berangkai menjadi Mitologi yang memainkan peranan penting dalam kesatuan-kesatuan budaya. Sedangkan Van Zoest (1991) menegaskan, siapapun bisa menemukan ideologi dalam teks dengan jalan meneliti konotasi-denotasi yang terdapat didalamnya. 29 Dalam pandangan Umar Yunus, mitos tidak dibentuk melalui penyidikan, tetapi melalui anggapan berdasarkan observasi kasar yang digeneralisasikan oleh karenanya lebih banyak hidup dalam masyarakat. Sikap kita terhadap sesuatu ditentukan oleh mitos yang ada dalam diri kita. Sebuah teks, kata Aart van Zoest tidak pernah lepas dari ideologi dan memiliki kemampuan ideologi sebagai konsep sentral dalam analisis
27
Drs. Alex Sobur. Semiotika Komunikasi. Bandung: Rosdakarya 2009 hal 69 Fiske Jhon. Introduction to communication Studies. London hal 88 29 Alex Sobur. Analisis Teks Media. 2001 hal 128-129 28
29
wacana yang bersifat kritis. Hal ini menurutnya, karena teks, percakapan, dan lainnya adalah bentuk dari praktik ideology atau pencerminan dari ideologi tertentu. Secara etimologis ideology berasal daru bahasa Greek, terdiri atas kata idea dan logos. Idea berasal dari kata idein yang berarti melihat, sedangkan kata logi berasal dari kata logos berarti kata-kata. Dan arti kata logia berarti science (pengetahuan) atau teori. Ideologi mempunyai beberapa implikasi penting. Pertama, ideologi secara inheren bersifat sosial, tidak personal atau individual ia membutuhkan ‘share’ diantara anggota kelompok organisasi atau kreativitas dengan orang lainnya. Kedua, ideologi meskipun bersifat sosial, ia digunakan secara internal di antara fungsi koordinatif dan kohesi, tetapi juga membentuk identitas diri kelompok, membedakannya dengan kelompok lain. Ideologi disini bersifat umum, abstrak dan nilai-nilai yang terbagi antar anggota kelompok menyediakan dasar bagaimana masalah harus dilihat. Dengan pandangan semacamitu, wacana lalau tidak dipahami sebagai wacana yang netral dan berlangsung secara ilmuah, karena
dalam
setiap
wacana
selalu
terkandung
ideologi
untuk
mendominasi dan berebut pengaruh. 30
30
Hal 23-24
30
2.5 Representasi Representasi menurut Piliang adalah tindakan menghadirkan atau merepresentasikan sesuatu lewat sesuatu yang lain di luar dirinya, biasannya berupa tanda atau symbol. 31 Representasi dapat didefinisikan lebih jelasnya sebagai penggunaan tanda (gambar, bunyi dan lain-lain) untuk menghubungkan, menggambarkan, memotret, atau mereproduksi sesuatu yang dilihat, diindera, dibayangkan, atau dirasakan dalam bentuk fisik tertentu. 32 Representasi merupakan sebuah fenomena yang dalam bentukbentuk yang berbeda (peristiwa mental, pernyataan verbal, gambar, suara, dan lain-ain) memperlihatkan sebuah ciri simbolis yang menggantikan sebuah objek itu sendiri, dimana objek itu bisa berasal dari dunia peristiwa, manusia, sosial, ide, dan imajiner. Representasi biasanya dipahami sebagai gambaran sesuatu yang akurat atau realita yang terkontruksi, representasi adalah sebuah cara dimana memaknai apa yang diberikan pada benda yang digambarkan. Konsep mengenai representasi ini didasarkan pada sebuah gap representasi yang menjelaskan perbedaan antara makna yang diberikan oleh representasi dan arti beda yang sebenarnya digambarkan, hal ini terjadi antara representasi dan benda yang digambarkan.
31
Yasraf Amir Piliang. Hipersemiotika: Tafsir cultur studies atas matinya makna. Yogyakarta: Jalansutera. 2003 hal 21 32
Marcel Danesi. Pesan, Tanda, dan Makna. Yogyakarta: Jalasutra. 2011 hal 20
31
Menurut Stuart Hall ada dua proses representasi. Pertama, representasi mental, yaitu konsep tentang ‘sesuatu’ yang ada dalam kepala masing-masing (peta konseptual), representasi mental masih merupakan sesuatu yang abstrak. Kedua, ‘bahasa’, yang berperan penting dalam proses kontruksi makna. Konsep abstrak yang ada dalam kepala kita dapat harus
diterjemahkan
dalam
bahasa
yang
lazim,
supaya
dapat
menghubungkan konsep dengan ide-ide tentang sesuatu dengan tanda dari simbol-simbol tertentu. 33 Fiske merumuskan tiga proses yang terjadi dalam representasi. Pertama, realitas, dalam proses ini peristiwa atau ide dikonstruksi sebagai realitas oleh media dalam bentuk bahasa gambar ini umumnya berhubungan dengan aspek seperti pakaian, lingkungan, ucapan ekspresi, dan lain-lain. Di sini realitas selalu ditandakan dengan sesuatu yang lain. Kedua, representasi, dalam proses ini realitas digambarkan dalam perangkat perangkat teknis, seperti bahasa tulis, gambar, grafik, animasi, dan lain-lain. Ketiga, tahap ideologis, dalam proses ini peristiwa-peristiwa dihubungkan dan diorganisasikan ke dalam konvensi-konvensi yang diterima secara ideologis. Bagaimana kode-kode representasi dihubungkan dan diorganisasikan ke dalam koheren social atau kepercayaan dominan yang ada dalam masyarakat. Menurut Davit Croteau dan William Hoynes, representasi merupakan hasil dari suatu proses penyeleksian yang menggarisbawahi 33
Indiawan Seto Wahtu. Semiotika Komunikasi. Jakarta: Mitra Wacana Media. 2011 hal 148
32
hal-hal tertentu dan hal lain diabaikan. Dalam representasi media, tanda yang akan digunakan untuk melakukan representasi tentang sesuatu mengalami proses seleksi. Mana yang sesuai dengan kepentingankepentingan dan pencapaian tujuan-tujuan komunikasi ideologisnya itu yang digunakan sementara tanda-tanda lain diabaikan. Maka selama relitas dalam representasi media tersebut harus memasukkan atau mengeluarkan komponennya dan juga melakukan pembatasan pada isu-isu tertentu sehingga mendapatkan realitas yang bermuka banyak bisa dikatakan tidak ada representasi realita terutama di media yang benar-benar “benar” atau “nyata”. 34 Representasi bekerja pada hubungan tanda dan makna. Konsep representasi sendiri bisa berubah-ubah. Menurut Nuraini Julianti, representasi berubah-ubah akibat makna yang juga berubah-ubah. Setiap waktu terjadi proses negosiasi dalam pemaknaan.
2.6
Budaya Budaya adalah bentuk jamak dari kata budi dan daya yang berarti cinta, karsa dan rasa. Kata “budaya” sebenarnya berasal dari bahasa Sansakerta budhayah yaitu bentuk jamak kata buddhi, yang berarti akal atau budi. 35 Dalam bahasa inggris, kata budaya berasal dari kata culture,
34
Ibid hal 149 Setiadi M Elly, Hakam A Kama, Effendi Ridwan. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta:Kencana. 2008 hal 27 35
33
dalam bahasa Belanda berarti cultuur, dalam bahasa latin, berasal dari kata colera. Merujuk arti budaya dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, budaya bisa diartikan sebagai, pikiran, akal budi, sesuatu mengenai kebudayaan yang sudah berkembang (beradab, maju), dan Sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan yang sudah sukar dirubah. Secara pendekatan teori dalam tradisi antropologi, Cliftort Geerzt (dalam Martin dan Nakayama, 1997:47) mengartikan budaya sebagai nilai secara historis memiliki karakteristiknya sendiri dan bisa dilihat dari simbol-simbol yang muncul. Simbol tersebut bermakna sebagai sebuah sistem
dari
konsep ekspresi
komunikasi
dimana manusia
yang
mengandung makna dan yang terus berkembang seiring pengetahuan manusia dalam menjalani kehidupan ini. Oleh karena itu, dalam definisi budaya merupakan nilai, kebiasaan, atau kepercayaan yang akan terus berkembang. 36 Definisi budaya dalam perspektif semiotika diartikan sebagai persoalan makna. Menurut Thwaites (2002:1) menjelaskan bahwa budaya adalah sekumpulan praktik sosial yang melaluinya makna di produksi, di sirkulasikan, dan dipertukarkan. Makna ini tersebut berada dalam tataran komunikasi baik komunikasi antarindividu maupun komunikasi yang terjadi dalam kelompok. Sifat ilmiah makna pada dasarnya tidaklah bisa
36
Rulli Nasrullah. Komunikasi Antarbudaya di era budaya siber. Jakarta. 2012 hal 15
34
kekal karena manusia selalu dipengaruhi oleh aspek-aspek sosial, misalnya pendidikan, politik, ekonomi, dan sebagainya. Seorang antropolog, yaitu E.B Tylor memberikan definisi mengenai kebudayaan sebagai hal kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat, dan lain kemampuankemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapat dan dipelajari oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Kebudayaan terdiri atas segala sesuatu yang dipelajari oleh pola-pola prilaku normatif, artinya mencakup segala tata cara atau pola-pola berpikir, merasakan dan bertindak. 37 Koentjaraningrat mengartikan bahwa kebudayaan adalah seluruh sistem gagasan, milik dari manusia dengan belajar dan mengemukakan bahwa kebudayaan itu dibagi atau digolongkan dalam tiga wujud, yaitu: 38 1. Wujud sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, dan peraturan. Tempatnya ada di alam pikiran. 2. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat. Wujud tersebut dinamakan sistem sosial, karena menyangkut tindakan dan kelakuan berpola manusia, wujud ini bisa diobservasi. Merupakan perwujudan budaya dalam bentuk kongkret, dalam bentuk perilaku dan bahasa. 3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.
37 38
Jacobus Sanjabar. Sistem Sosial Budaya Indonesia. Bogor: Ghalia.1997 hal Ibid hal 29
35
Disebut pula kebudayaan fisik karena hampir semua merupakan hasil
fisik.
kebudayaan
fisik
ini
merupakan
perwujudan
kebudayaan dalam bentuk materi/artefak. Budaya merupakan nilai-nilai yang muncul akibat interaksi antarmanusia disuatu wilayah atau negara tertentu. Karena budaya muncul dalam wilayah tertentu, tentu saja budaya memiliki keragaman, perbedaan, hingga keunikan yang membedakan antara satu wilayah dengan wilayah lainnya. Perbedaan inilah yang bisa memunculkan dua sisi bertolak belakang. Sisi positif, perbedaan budaya memberikan khazanah tersendiri bagi kelompok masyarakat tersebut bahwa mereka memiliki ciri khusus yang bisa membedakan dengan kelompok lain. Juga akan memunculkan ikatan yang sangat kuat antara anggota kelompok masyarakat yang tidak hanya terjadi di wilayah tempat dimana mereka berada saja, melainkan di berbagai wilayah. Adapun sisi negatifnya, perbedaan budaya bisa menyebabkan terjadinya perbedaan persepsi dalam tataran tertentu perbedaan persepsi ini bisa menimbulkan konflik antar individu atau kelompok dalam berkomunikasi. Disinilah pentingnya pemahaman bahwa komunikasi memberikan pengaruh terhadap budaya dan juga terhadap interaksi baik selaku individu atau dalam kelompok.
36
2.6.1
Unsur-unsur kebudayaan
Unsur pokok kebudayaan menurut Bronislaw Malinowski, adalah: 39 a. Sistem norma yang memungkinkan kerja sama antara para anggota masyarakat di dalam upaya menguasai alam sekelilingnya. b. Organisasi ekonomi c. Alat-alat dan lembaga pendidikan d. Organisasi kekuatan
2.6.2
Sistem Kebudayaan Sistem kebudayaan suatu daerah akan menghasilkan jenisjenis kebudayaan yang berbeda. Jenis kebudayaan ini dapat dikelompokkan menjadi : a. Kebudayaan material, antara lain hasil cipta, karsa, yang berwujud benda, barang, alat pengolahan alam, seperti gedung, pabrik, jalan, rumah, dan sebagainya. b. Kebudayaan non-material, Merupakan hasil cipta, karsa yang berwujud kebiasaan, adat istiadat, ilmu pengetahuan, dan sebagainya. - volkways (norma kelaziman)
- norma hukum
- mores (norma kesusilaan)
- mode (fashion)
39
Elly M Setiadi, Kama A Hakam, Ridwan Effendi. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta:Kencana. 2008.hal 34
37
2.6.3
Karakteristik kebudayaan Poin inti dari berbagai penggunaan definisi yang berbeda tentang kebudayaan, terasa bahwa budaya harus memiliki semua karakteristik berikut, yaitu sesuatu yang sifatnya kolektif dan bagi semua orang dengan kata lain tidak ada budaya individual murni. Budaya harus memiliki bentuk ekspresi simbolik, baik sengaja maupun tidak. Budaya juga memiliki pola, tatanan, atau kebiasaan dan
karenanya
memiliki
dimensi
evaluatif.
Terdapat
kesinambungan yang dinamis dari waktu ke waktu. Ciri-ciri utama kebudayaan adalah sebagai berikut: 40 a. Dibentuk dan dipraktikakan secara kolektif b. Terbuka kepada ekspresi simbolik c. Tertata dan dinilai secara berbeda-beda d. Memiliki pola yang sistematis e. Dinamis dan berubah-ubah f. Memiliki batas keruangan g. Dikomunikasikan dari waktu ke waktu dan dimana-mana.
2.7 Budaya Yogyakarta 2.7.1 Asal-usul Nama Yogyakarta Menurut sejarah Babad Gianti, Yogyakarta atau Ngayogyakarta (bahasa jawa) adalah nama pemberian dari Paku Buwono II (Raja Mataram 40
Denis McQuail’s. McQuail’s Mass Communication Theory. hal 123
38
tahun 1719-1727) sebagai penganti nama pesanggrahan Gartitawati. Kata Ngayogya merupakan kata dasar dari Yogya yang artinya pantas atau baik. Ngayogya artinya menuju cita-cita yang baik dan kerta artinya aman, sejahtera. Nyayogyakarta artinya mencapai kesejahteraan (bagi negeri dan rakyatnya). Nama tersebut bukan di ciptakan oleh pendiri Keraton Ngayogyakarta
Hadiningrat
yakni
Pangeran
Mangkubumi
(Sultan
Hamengkubuwono I), tetapi di cita- citakan kurang lebih 37 tahun sebelumnya, yakni Paku Buwono I (Pangeran Puger, adik Amangkurat I), raja ke 2 Keraton Kartasura. Sumber lain mengatakan, nama Yogyakarta diambil dari nama (ibu) kota Sanskrit Ayodhya dalam epos Ramayana. Menurut
sejarahnya,
Yogyakarta
dibangun
oleh
Pangeran
Mangkubumi pada tahun 1755 dimana ia telah mendirikan Keraton Yogyakarta, karena beliau telah tersisih mengenai pembagian wilayah dengan saudara laki-lakinya Susuhunan Surakarta. Beliau kemudian mengangkat dirinya sebagai sultan dengan gelar Hamengkubuwono yang berarti alam semesta berada di pangkuan raja. Bagi orang Jawa, Yogyakarta merupakan simbol perlawanan mereka terhadap penjajah ditandai Perang Jawa yang dipimpin oleh Pangeran Diponogoro menentang Belanda yang berlaku pada masa revolusi kemerdekaan. Yogyakarta menjadi pusat perlawanan terhadap kolonial dan bahkan menjadi Ibukota Indonesia pada tahun 1946-1949 karena semula Jakarta diduduki oleh Belanda.
39
2.7.2
Lambang Keraton
Gambar 2: Lambang Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat
Lambang yang selalu menghiasi bangunan-bangunan Keraton Yogyakarta disebut Praja Cihna, nama tersebut diambil dari bahasa Sansekerta Praja yang berarti Abdi Negara dan Cihna yang berarti Sifat Sejati. Makna secara mendalam lambang Keraton Yogyakarta: Lar utawa swiwine peksi garuda kang megar, minangka gegambaran agung lan wibawane praja sarta sang nata. Swiwi garuda megar, sanggite keagungan sarta kawibawane karaton –dalem sarta salira–dalem. Kanthi madhep, manteb, teteg, sawiji, greged, sengguh ora mingkuh anggone gasata pusering nagari-dalem, cihnane panentrem, pangayem, pangayom. Artinya
:
Sayap
burung
Garuda
yang
mengepak
lebar
menggambarkan keagungan dan kewibawaan Keraton (sebagai lembaga eksekutif) yang tegas, mantap, kuat, total, dinamis, optimis dan pantang menyerah, dalam membawa kemakmuran / kesejahteraan Negara-rakyat, sebuah sifat wajib seorang pemimpin, penentram, dan pelindung. Ka. Aksara jawa Ha-Ba Aksara jawa mengku werdi hangadeg jejeg kanthi adeg-adeg kabudayan asli jati diri kapribaden bangsa sarta nagari pribadi. Tembung Ha-ba
40
minangka cekakan asma-dalem Hamengku Buwana, kang werdine lenggah jumeneng-dalem kuwi pindhane priyagung kang mangku, mengku, lan mengkoni jagad saisine. Artinya: Aksara Jawa yang tertulis tegak menjadi simbol kebudayaan asli bangsa juga jati diri kepribadian bangsa dan Negara. Kata Ha – Ba merupakan singkatan dari nama Hamengku Buwono, yang bertahta dengan agung memangku, memimpin dan memelihara dunia (negara) beserta isinya (sumber daya alam dan manusia). Da. Angka Jawa Angka jawa, mratelakake urute lenggah jumeneng-dalem Ngarsa Dalem ingkang sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwana ing Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Miturut jaman kalakone kanthi hangadeg jejeg alelambaran jati-diri. Artinya: Aksara Jawa, menjelaskan urutan Sultan Hamengku Buwono yang sedang atau pernah bertahta di Yogyakarta. Ta. Kembang Padma Kembang padma utawa kembang Terate kang awujud wit sarta gagang lan kembange urip rumambat kemambang ana sadhuwure banyu. Lire pinter nglenggahake laras karo papan sarta wektu jumenenge. Artinya: Bungan Padma (teratai) berwujud tumbuhan dengan tangkai dan bunganya, hidup merambat, mengapung di atas air. Mempunyai arti memiliki kecerdasan/kebijakan dalam memposisikan diri pada tempat dan waktu dengan benar. Sa. sulur
41
Sulur sanggite tetuwuhan kang uripe mrambat. Kang werdine kuncara lan adiluhunge kabudayan bangsa nusantara kang tansah lestari maju lan ngrembaka migunani tumrap bangsa lan manungsane kang arupa-rupa. Artinya: Tumbuhan Sulur yang hidup merambat, melambangkan kejayaan dan kemuliaan kebudayaan bangsa nusantara yang lestari berkembang dan bermanfaat bagi bangsa dan rakyat yang beraneka ragam.
2.7.3
Sistem Budaya (Kebudayaan Material Yogyakarta) Kebudayaan material antara lain hasil cipta, karsa, yang berwujud
benda, barang, alat pengolahan alam, seperti gedung, pabrik, jalan, rumah, dan sebagainya. A. Keraton Nyayogyakarta Lebih dari 200 tahun yang lalu, tempat dimana Keraton Yogyakarta sekarang berada merupakan daerah rawa yang dikenal dengan nama Umbul Pachetokan, yang kemudian dibangun menjadi pesanggrahan yang bernama Ayodya. Bangunan ini didirikan oleh Pangeran Mangkubumi, yang kemudian bergelar Sri Sultan Hamengku Buwono I, pada tahun 1775. Beliau yang memilih tempat tersebut sebagai tempat untuk membangun bangunan tersebut, tepat di antara sungai Winongo dan sungai Code, sebuah daerah berawa yang dikeringkan. Bangunan Keraton membentang dari utara ke selatan. Halaman depan dari Keraton disebut alun-alun utara dan halaman belakang
42
disebut alun-alun selatan. Desain bangunan ini menunjukkan bahwa Keraton, Tugu dan Gunung Merapi berada dalam satu garis/poros yang dipercaya sebagai hal yang keramat. Pada waktu lampau Sri Sultan biasa bermeditasi di suatu tempat pada poros tersebut sebelum memimpin suatu pertemuan atau memberi perintah pada bawahannya. Keraton adalah tempat bersemayam ratu-ratu, berasal dari kata ka-ratu-an, atau kadang-kadang disebut juga kedaton yang berasal dari ke-datu-an. Dalam bahasa Indonesia, tak lain adalah istana. Tetapi keraton adalah sebuah istana yang mengandung arti keagamaan, falsafah dan kebudayaan. Dan sesungguhnya Keraton Yogyakarta penuh dengan arti-arti yang abru disebutkan ini. Segala sesuatu didalamnya, dari arsitektur bangunannya, letak bangsal-bangsalnya, ukiran-ukirannya, hiasannya sampai pada warna gedung-gedungnya mempunyai arti. Pohon-pohonyang ditanam di kawasan ini juga tidak sembarangan, melainkan terdiri dari jenis-jenis yang ada maknanya. Konon semuaitu mengandung nasihat agar manusia cinta dan menyerahkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa,berlaku sederhana, berhati-hati dalam bertingkah laku sehari-hari dan sebagainya. 41 Arsitek Keraton tak lain adalah Sri Sultan Hamengku Buwono I, yang terkenal sebagai ahli bangunan, perwira perang yang perkasa, sekaligus sebagai pemuka kebatinan. Waktu masih muda, baginda bergelar pangeran Mangkubumi Sukowati dan dapat julukan, menurut 41
Tahta Untuk Rakyat, celah-celah kehidupan Sultan Hamengku Buwono IX, Gramedia Jakarta 1982 Hal 114
43
Dr.F.Pigeund dan Dr. L. Adam dimajalah Jawa tahun 1940: "de bouwmeester van zijn broer Sunan P.B II" ("arsitek dari kakanda Sri Sunan Paku Buwono II"). Kompleks Keraton terletak di tengah-tengah, luasnya lebihkurang 14.000 m2, tetapi daerah Keratonnya membentang antara sungai Code dan sungai Winanga, membujur dari utara ke selatan, dari Tugu sampai Krapyak. Nama kampong-kampungnya memperlihatkan bahwa jaman dulu penghuninya mempunyai tugas tertentu di Keraton. Kompleks Keraton dikelilingi oleh sebuah tembok lebar, beteng namanya. Panjangnya 1 km, berbentuk 4 segi, tingginya 3 ½ m, lebarnya 3 sampai 4 m. Di beberapa tempat di beteng itu ada gang untuk menyimpan senjata dan amunisi, di keempat sudutnya terdapat bentuk bangunan yang diberi lubang-lubang kecil untuk mengintai musuh. Di sekeliling tembok beteng ini terdapat parit yang lebar dan dalam. 42 Setiap bagian dari bangunan mempunyai nama tersendiri. Bangsal pertemuan Keraton disebut Pagelaran. Ini adalah tempat diadakannya pertemuan resmi pegawai Keraton. Bangsal Manguntur Tangkil adalah singgasana Sultan. Bangsal ini disebut Siti Hinggil. Siti berarti tanah, Hinggil berarti tinggi. Jadi tempat ini disebut Siti Hinggil karena dibangun lebih tinggi dibanding dataran di sekitarnya. Pada waktu yang lampau tempat ini merupakan pulau kecil di tengah rawa. Gerbang depan disebut
42
Hal 114
44
Danapratopo, gerbang ini dikawal oleh dua patung yang disebut Gupala. Salah satunya bernama Cingkorobolo dan lainnya Boloupoto. Kedua arca tersebut dimaksudkan untuk menjaga Keraton dari gangguan atau niat jahat. Bagian utama dari bangunan disebut Purworetno, yaitu tempat Sultan melakukan tugas-tugasnya. Selain Purworetno ada dua gedung yang digunakan untuk menyimpan barang-barang yang disebut Panti Sumbaga. Gedung ini merupakan perpustakaan pribadi Sultan sedangkan bangunan yang merupakan tempat tinggal Sri Sultan adalah Gedong Kuning. Daerah Keraton terletak di hutan Garjitawati dekat desa Beringin dan desa Pacetokan. Karena daerah ini dianggap kurang memadai untuk membangun sebuahKeraton dengan bentengnya, maka aliran Sungai Code dibelokkan sedikit ke timur dan aliran Sungai Winanga sedikit ke barat. Keraton Yogyakarta dibangun pada tahun 1256 atau tahun Jawa 1682, diperingati dengan sebuah condrosengkolo memet di pintu gerbang Kemagangan dan di pintu Gading Mlati, berupa dua ekor naga berlilitan satu sama lainnya. Dalam bahasa jawa : "Dwi naga rasa tunggal" Artinya: Dwi=2, naga=8, rasa=6, tunggal=I, Dibaca dari arah belakang 1682. warna naga hijau, Hijau ialah symbol dari pengharapan. Disebelah luar dari pintu gerbang itu, di atas tebing tembok kanan kiri ada hiasan juga terdiri dari dua (2) ekor naga bersiap-siap untuk mempertahankan diri. Dalam bahasa Jawa: ""Dwi naga rasa wani"", artinya: Dwi=2, naga=8, rasa=6, wani=1 jadi 1682.
45
Tahunnya sama, tetapi dekorasinya tak sama. Ini tergantung dari arsitektur, tujuan dan sudut yang dihiasinya. Warna naga merah. Merah ialah simbol keberanian. Di halaman Kemegangan ini dahulu diadakan ujian-ujian beladiri memakai tombak antar calon prajurit-prajurit Keraton. Luas Keraton Yogyakarta adalah 14.000 m². Didalamnya terdapat banyak bangunan, halaman dan lapangan. Mulai dari halaman Keraton ke utara: 1. Kedaton/Prabayeksa 2. Bangsal Kencana 3. Regol Danapratapa (pintu gerbang) 4. Sri Manganti 5. Regol Srimanganti (pintu gerbang) 6. Bangsal Ponconiti (dengan halaman Kemandungan) 7. Regol Brajanala (pintu gerbang) 8. Siti Inggil 9. Tarub Agung 10. Pagelaran (tiangnya berjumlah 64) Angka 64 itu menggambarkan usia Nabi Muhammad 64 tahun Jawa, atau usia 62 tahun Masehi. 11. Alun-alun Utara dihias dengan 12. Pasar (Beringharjo) 13. Kepatihan 14. Tugu
Kalau dari halaman Keraton pergi ke selatan, terdapat: 1. Regol Kemagangan (pintu gerbang) 2. Bangsal Kemagangan, Bangsal adalah bangunan terbuka 3. Regol Gadungmlati (pintu gerbang) 4. Bangsal Kemandungan 5. Regol Kemandungan (pintu gerbang) 6. Siti Inggil 7. Alun-alun Selatan 8. Krapyak = sebuah podium tinggi dari batu untuk Sri Sultan, kalau baginda sedang memperhatikan tentara atau kerabatnya 46
memperlihatkan ketangkasannya mengepung, membawa atau mengejar rusa 9. Gedong = bangunan tertutup/berdinding 10. Plengkung = pintu gerbang benteng 11. Selogilang = lantai tinggi dalam sebuah bangsal semacam podium rendah, tempat singgasana Sri Sultan. 12. Tratag = bangunan, biasanya tempat berteduh, beratap anyamanyaman bamboo dengan tiang-tiang tinggi, tanpa dinding. Dipemerintahan Sri Sultan H.B. VII semua tratag Keraton dimuliakannya dan diberi atap seng, tetapi arsitekturnya tetap tak berubah.
Di tengah-tengah halaman Kemandungan-Kidul berdirilah sebuah bangsal, namanya Bangsal Kemandungan. Bangsal ini bekas pesanggrahan Sri Sultan H.B.Id di desa Pandak, Karangnangka waktu perang giyanti (1746-1755). Komplek Keraton itu dikelilingi oleh sebuah tembok lebar, beteng namanya. Panjangnya 1 km berbentuk empat persegi, tingginya 3,5 m, lebarnya 3 sampai 4m.di beberapa tempat di beteng itu ada gang atau jalan untuk menyimpan senjata dan amunisi, di ke-empat sudutnya terdapat bastion-bastion dengan lobang-lobang kecil di dindingnya untuk mengintai musuh. Tiga dari bastion-bastion itu sekarang masih dapat dilihat. Beteng itu di sebelah luar di kelilingi oleh parit lebar dan dalam. Lima buah plengkung atau pintu gerbang dalam beteng menghubungkan komplek Keraton dengan dunia luar. Plengkung-plengkung itu adalah: 1. Plengkung Tarunasura atau plengkung Wijilan di sebelah timur laut 2. Plengkung Jogosuro atau Plengkung Ngasem di sebelah Barat daya 3. Plengkung Jogoboyo atau Plengkung Tamansari di sebelah barat 4. Plengkung Nirboyo atau Plengkung Gading di sebelah selatan
47
5. Plengkung Tambakboyo atau Plengkung Gondomanan di sebelah timur Fasilitas Lokasi Kompleks Keraton Yogyakarta : 1. Alun-alun Utara dan Selatan
9. Masjid Agung
2. Bangsal Sri Manganti
10. Perpustakaan/Widyabudaya
3. Siti Hinggil
11. Bangsal Trajumas
4. Sasono Hinggil
12. Museum Kristal
5. Bangsal Proboyeksa
13. Museum HB.IX
6. Gedong Jene
14. Museum Cangkir
7. Bangsal Kencana
15. Museum Lukis
8. Museum Kereta
B. Istana Taman Sari Masa setelah Perjanjian Giyanti, Pangeran Mangkubumi membangun
keraton
sebagai
pusat
pemerintahan
Kasultanan
Ngayogyakarta Hadiningrat. Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar Sultan Hamengku Buwono I membangun keraton di tengah sumbu imajiner yang membentang di antara Gunung Merapi dan Pantai Parangtritis. Titik yang menjadi acuan pembangunan keraton adalah sebuah umbul (mata air). Untuk menghormati jasa istri-istri Sultan karena telah membantu selama masa peperangan, beliau memerintahkan Demak Tegis seorang arsitek berkebangsaan Portugis dan Bupati Madiun sebagai mandor untuk membangun sebuah istana di umbul yang terletak 500 meter selatan keraton. Istana yang
48
dikelilingi segaran (danau buatan) dengan wewangian dari bungabunga yang sengaja ditanam di pulau buatan di sekitarnya itu sekarang dikenal dengan nama Taman Sari. Taman Sari di Yogyakarta adalah sebuah lokasi di lingkungan Keraton Yogyakarta Hadiningrat. Taman Sari tidak hanya terdapat istana air saja, tetapi juga terdapat masjid di bawah tanah. Sebuah masjid yang unik dan menyimpan banyak sejarah. Untuk menuju masjid harus melewati puluhan anak tangga dan melewati loronglorong. Diamati lebih jauh, bangunan keraton dan sekitarnya tidak lepas dari strategi militer. Ada hitung-hitungan dari sisi pertahanan dan keselamatan penghuninya dari serangan musuh. Itu tidak lepas dari pendirinya Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar Sultan Hamengku Buwono I adalah seorang panglima perang. Dalam membangun keraton tidak hanya melihat dari sisi kemegahan dan keindahan saja tetapi juga dari sisi keamanan mengingat keraton sebagai pusaat pemerintahan. Keamanan itu bukan hanya dari sisi lahir tetapi juga dari sisi batin. Termasuk pula pemilihan lokasi keraton yang kemudian menjadi ibukota kerajaan dan sekarang dikenal dengan sebutan Yogyakarta. 43
43
http://puskonbaranahan.com/index.php/artikel/75-bangunan-militer-keraton, diakses 10 nov 2013
49
Pangeran Mangkubumi setelah bergelar Sultan Hamengku Buwono I dalam merancang bangunan keraton belajar dari Keraton Kartasura yang hanya mementingkan keindahan dan kemegahan. Sultan Hamengku Buwono I tidak ingin Keraton Nggayogyakarta mengalami hal yang sama. Oleh karena itu, pembangunannya tetap menggunakan strategi militer. Memasuki bagian dalam keraton melalui regol, orang tidak bisa langsung lurus masuk. Harus belok ke kiri atau kanan, sebab ada tembok yang berfungsi sebagai perisai. Musuh tidak akan bisa menyerang langsung ke dalam karena terhalang oleh tembok tersebut. Atau paling tidak, bisa menghambat lajunya musuh. Salah satu bangunan yang merupakan bagian dari keraton adalah Taman Sari yang juga disebut istana air. Di Taman Sari ada kolam yang bisa digunakan untuk berenang para putri. Di bangunan itu ada beberapa lorong bawah tanah yang menghubungkan ke luar keraton. Kelihatannya hanya sebuah tempat rekreasi, namun sebetulnya bagian dari strategi militer. Lorong-lorong tersebut bisa digunakan oleh raja dan keluarganya untuk meloloskan diri dari sergapan musuh. Bisa meloloskan diri ke luar kota tanpa diketahui oleh musuh. Taman Sari bisa tiba-tiba berubah menjadi danau kecil. Musuh tidak akan bisa mengejar karena permukaan Taman Sari sudah tertutup dengan air.
50
Kemudian ada benteng yang mengililingi keraton. Tidak terlalu tinggi namun tebalnya sampai lima meter. Kemudian di luar benteng, ada parit yang disebut jagang cukup dalam, cukup menyulitkan bagi musuh yang akan menggapai benteng. Ada kopel penjagaan untuk mengawasi keadaan di luar dan dalam benteng. Keraton dikelilingi oleh benteng tersebut. Benteng itu mempunyai lima gapura (plengkung), pada masa lampau ada jerujinya besi sebagai daun pintu. Kokoh sekali.
C. Tugu Golong Gilig (Tugu Yogyakarta)
Gambar 3: Perubahan Bentuk Tugu Yogya
Tugu Jogja atau yang lebih dikenal sebagai Tugu Malioboro ini mempunyai nama lain Tugu Golong Gilig atau Tugu Pal Putih (white paal) merupakan penanda batas utara kota tua Jogja. Tugu Yogya adalah tugu yang memiliki mitos yang sangat bersejarah sehingga menjadi salah satu keistimewaan yang dimiliki kota Jogja. Tugu ini dibangun pada tahun 1755 oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I, pendiri Keraton Yogyakarta yang mempunyai nilai simbolis 51
dan merupakan garis yang bersifat magis menghubungkan Laut Selatan, Keraton Jogja dan Gunung Merapi. Pada saat awal berdirinya, bangunan ini secara tegas menggambarkan Manunggaling Kawula Gusti, semangat persatuan rakyat dan penguasa untuk melawan penjajahan. Semangat persatuan atau yang disebut golong gilig itu tergambar jelas pada bangunan tugu, tiangnya berbentuk gilig (silinder) dan puncaknya berbentuk golong (bulat), hingga akhirnya dinamakan Tugu Golong-Gilig. Keberadaan Tugu ini juga sebagai patokan arah ketika Sri Sultan Hamengku Buwono I pada waktu itu melakukan meditasi, yang menghadap puncak gunung Merapi. Bangunan Tugu Jogja saat awal dibangun berbentuk tiang silinder yang mengerucut ke atas, sementara bagian dasarnya berupa pagar yang melingkar, sedangkan bagian puncaknya berbentuk bulat. Ketinggian bangunan tugu golong gilig ini pada awalnya mencapai 25 meter. Kondisi Tugu Yogya ini berubah total pada 10 Juni 1867, di mana saat itu terjadi bencana alam gempa bumi besar yang mengguncang Yogyakarta, yang membuat bangunan tugu runtuh. Runtuhnya tugu karena gempa inilah yang membuat keadaan dalam kondisi transisi karena makna persatuan benar-benar tak tercermin pada bangunan tugu.
52
Pada tahun 1889, keadaan Tugu benar-benar berubah, saat pemerintah Belanda merenovasi seluruh bangunan tugu. Kala itu Tugu dibuat dengan bentuk persegi dengan tiap sisi dihiasi semacam prasasti yang menunjukkan siapa saja yang terlibat dalam renovasi itu. Bagian puncak tugu tak lagi bulat, tetapi berbentuk kerucut yang runcing. Ketinggian bangunan pun menjadi lebih rendah, yakni hanya setinggi 15 meter atau 10 meter lebih rendah dari bangunan semula. Sejak saat itulah, tugu ini disebut sebagai De Witt Paal atau Tugu Pal Putih. Perombakan bangunan Tugu saat itu sebenarnya merupakan taktik Belanda untuk mengikis persatuan antara rakyat dan raja, namun melihat perjuangan rakyat dan raja di Yogyakarta yang berlangsung sesudahnya, akhirnya upaya tersebut tidak berhasil. 44
D. Wayang Wayang telah ada sebelum masuknya budaya Hindu. Wayang dikenal sejak zaman prasejarah yaitu sekitar 1500 tahun sebelum Masehi dimana masyarakat Indonesia masih memeluk kepercayaan animism berupa pemujaan roh nenek moyang yang disebut “Hyang atau Dahyang” yang diwujudkan dalam bentuk arca atau gambar. Sebelum masa neoliticum, pertunjukan wayang merupakan upacara keagamaan yang diadakan pada malam hari. Pertunjukan ini 44
http://indonesiaindonesia.com/f/93763-asal-usul-tugu-malioboro-salah-satu/ diakses 20 April 2013
53
menggambarkan kepahlawanan dari tokoh-tokoh dalam mitos. Saat ini wayang disajikan dalam bentuk yang lebih bervariasi dibandingkan wayang dimasa lampau yang lebih mencerminkan nenek moyang. Wayang berasal dari kata wewayangan atau wayangan, yang berarti bayangan. Arti harfiah dari pertunjukan wayang adalah pertunjukan bayang-bayang. Arti filsafat yang lebih dalam lagi adalah bayangan kehidupan manusia, atau angan-angan manusia tentang kehidupan manusia masa lalu. Dalam buku wayang, asal-usul filsafat dan masa depannya telah ditinjau menurut etomologi wayang. Dalam bahasa Jawa berarti bayangan, dalam bahasa Melayu berarti bayangbayang, dalam bahasa Bikol baying, artinya barang yang dapat dilihat secara nyata. Dalam bahasa Aceh bayeng, bahasa Bugis wayang adalah bayang. Dari akar kata yung, yang, ying, yong, yeng, antara lain terdapat dalam kata layang berarti terbang, doyong berarti miring, atau tidak stabil selalu bergerak. Royong berarti pindah atau beralih tempat, bergerak dari satu tempat ke tempat yang lain. Kata dasar itu dapat mempunyai maksud menyatakan bayangan yang selalu bergerak tidak tetap, dinamis, selalu bergerak kian kemari, terbang, tidak pasti. 45 Cerita dalam wayang dibawakan oleh seseorang yang disebut dalang. Sang dalang memainkan seluruh karakter aktor wayang kulit yang merupakan orang-orangan berbahan kulit kerbau dengan dihias motif hasil kerajinan tatah sungging (ukir kulit). Ia harus mengubah
45
Bagyo Suharyono. Wayang Beber Wonosari.Wonogiri:Bina Citra Pustaka. 2005 hal 26
54
karakter suara, berganti intonasi, mengeluarkan guyonan dan bahkan menyanyi. Untuk menghidupkan suasana, dalang dibantu oleh musisi yang memainkan gamelan dan suara merdu para sinden yang menyanyikan lagu-lagu Jawa. Setiap pagelaran wayang menghadirkan kisah atau lakon yang berbeda. Ragam lakon terbagi menjadi 4 kategori yaitu lakon pakem, lakon carangan, lakon gubahan dan lakon karangan. Lakon pakem memiliki cerita yang seluruhnya bersumber pada perpustakaan wayang sedangkan pada lakon carangan hanya garis besarnya saja yang bersumber pada perpustakaan wayang. Lakon gubahan tidak bersumber pada cerita pewayangan tetapi memakai tempat-tempat yang sesuai pada perpustakaan wayang, sedangkan lakon karangan sepenuhnya bersifat lepas. Cerita wayang bersumber pada beberapa kitab tua misalnya Ramayana, Mahabharata, Pustaka Raja Purwa dan Purwakanda. Kini, juga terdapat buku-buku yang memuat lakon gubahan dan karangan yang selama ratusan tahun telah disukai masyarakat seperti Abimanyu kerem, Doraweca, Suryatmaja Maling dan sebagainya. Diantara semua kitab tua yang dipakai, Kitab Purwakanda adalah yang paling sering digunakan oleh dalang-dalang dari Keraton Yogyakarta. Masyarakat Jawa sangat menggemari wayang karena ceritanya berisi pelajaran-pelajaran tentang kebajikan yang dapat digunakan sebagai panduan tingkah laku dalam kehidupan sehari-hari.
55
Menurut daftar paling lengkap yang ditulis dan dibahas para pakar, di Indonesia terdapat delapan puluh jenis wayang. Diantara adalah Wayang Kulit, Wayang Golek, Wayang Klithik, Wayang Suluh, Wayang Purwa, Wayang Krucil, Wayang Dupara, Wayang Adam Makrifat, Wayang Thengul, Wayang Wong, Wayang Kancil, Wayang Pancasila, Wayang Jawa, Wayang Perjuangan, Wayang Topeng, dan Wayang Beber. Beberapa penjelasan diantaranya adalah sebagai berikut: 46 a) Wayang Kulit Wayang
dalam
bentuknya
yang
asli
merupakan
permainan bayangan kreasi orang-orang Jawa yang berisi aspekaspek budaya Jawa. Wayang kulit dibuat dari kulit kerbau atau sapi yang dipoles dan disepuh. Kemunculannya memiliki cerita tersendiri, terkait dengan masuknya Islam Jawa. Salah satu anggota Wali Songo menciptakannya dengan mengadopsi Wayang Beber yang berkembang pada masa kejayaan HinduBudha. Adopsi itu dilakukan karena wayang terlanjur lekat dengan orang Jawa sehingga menjadi media yang tepat untuk dakwah menyebarkan Islam, sementara agama Islam melarang bentuk seni rupa. Alhasil, diciptakan wayang kulit dimana orang hanya bisa melihat bayangan. b) Wayang Beber
46
Op.cit hal 2
56
Wayang Beber adalah jenis pertunjukan wayang dengan gambar-gambar sebagai objek pertunjukan. Gambar-gambar tersebut dilukiskan pada selembar kertas atau kain, berurutan sesuai
dengan
narasi
ceritera.
kertas
atau
kain
yang
dipergunakan berukuran 1 meter, panjang 4 meter. Biasanya terdiri dari empat adegan ini digulung dalam satu gulung,dan apabila dipertunjukkan gambar tersebut dibentangkan dari gulungannya. Gambar-gambar tersebut dituturkan satu demi satu oleh seorang dalang. Penuturan narasi diiringi musik gamelan sederhana, berupa gamelan slendro yang tidak lengkap. Gambar-gambar wayang beber di lukis dengan seni lukis tradisional, yang disebut Sungging, secara cermat dan rumit. Satu ceritera Wayang Beber biasanya terdiri dari lima atau enam gulungan. 47 Wayang beber juga disebut Wayang Karebet diambil dari nama putera (Mas Karebet) Ki Ageng Kebo Kenongo. c) Wayang Wong Dalam bahasa Jawa ‘wong’ berarti manusia. Wayang wong berarti wayang yang diperankan oleh manusia. Ceritacerita wayang wong sama dengan cerita-cerita wayang kulit namun fungsi dalang lebih dari sekedar mengatur setting, ia juga berperan sebagai pengarah panggung.
47
Ibid hal 2-3
57
d) Wayang Tengul Wayang golek atau wayang yang terbuat dari kayu tampil dalam bentuk boneka 3 dimensi. Cerita-ceritanya diambil dari cerita Menak. Masyarakat senang menonton pertunjukan ini karena gerakannya mirip dengan gerakan manusia. Wayangwayang ini diberi pakaian yang berwarna-warni untuk memperindah penampilan. e) Wayang Khlitik Wayang klithik dibuat dari kayu tipis. Namanya diambil dari suara "klithik-klithik" yang ditimbulkan saat mereka dimainkan. Cerita epik Damarwulan biasa ditampilkan dalam pertunjukan wayang klithik. E. Batik Batik adalah salah satu kerajinan khas Indonesia terutama daerah Yogyakarta. Batik yogya terkenal karena keindahannya, baik corak maupun warnanya. Seni batik sudah ada diturunkan oleh nenek moyang. Kata "batik" berasal dari gabungan dua kata bahasa Jawa yaitu Amba, yang bermakna "menulis" dan titik yang bermakna "titik". Batik adalah salah satu cara pembuatan bahan pakaian. Selain itu batik bisa mengacu pada dua hal. Yang pertama adalah teknik pewarnaan kain dengan menggunakan malam untuk mencegah
58
pewarnaan sebagian dari kain. Dalam literature internasional, teknik ini dikenal sebagai wax-resist dyeing. Pengertian kedua adalah kain atau busana yang dibuat dengan teknik tersebut, termasuk penggunaan motif-motif tertentu yang memiliki kekhasan. Batik Indonesia, sebagai keseluruhan teknik, teknologi, serta pengembangan motif dan budaya terkait, oleh UNESCO telah ditetapkan sebagai warisan kemanusiaan untuk budaya lisan dan nonbendawi (Masterpieces of the Oral and Intangible Heritage of Humanity) sejak 2 Oktber 2009. Batik Jawa adalah sebuah warisan kesenian budaya orang Indonesia, khususnya daerah Jawa yang dikuasai orang Jawa dari turun temurun. Batik Jawa mempunyai motif-motif yang berbeda-beda. Perbedaan motif ini biasa terjadi dikarnakan motif-motif itu mempunyai makna, maksudnya bukan hanya sebuah gambar akan tetapi mengandung makna yang mereka dapat dari leluhur mereka, yaitu penganut agama animisme, dinamisme atau Hindu dan Budha. a) Jenis-jenis Batik Jenis Batik diketegorikan menurut pembuatannya yaitu teknik pembuatan dan asal pembuatannya. Jenis Batik menurut teknik pembuatannya yaitu: 1. Batik tulis adalah kain yang dihias dengan teksture dan corak batik menggunakan tangan.
59
2. Batik cap adalah kain yang dihias dengan teksture dan corak batik yang dibentuk dengan cap (biasanya terbuat dari tembaga). 3. Batik lukis adalah proses pembuatan batik dengan cara langsung melukis pada kain putih. F. Kerajinan Perak Seni perak merupakan salah satu kerajinan khas warisan budaya leluhur yang turun-temurun telah dilakukan oleh masyarakat yang bertempat tinggal di daerah Kotagede sebuah daerah di tenggara kota Yogyakarta yang merupakan bekas Ibukota kerajaan Mataram Islam. Pusat kerajinan perak tersebar di sepanjang jalan di Kotagede, seperti di jalan Kemasan atau Tegalgendu. Menurut sejarah yang ada, keberadaan pengrajin perak muncul seiring dengan lahirnya Mataram serta peran dari Verenigde OostIndische Compagnie (VOC) yang masuk ke Yogyakarta sekitar abad ke-16. Sejarah mencatat, waktu itu banyak pedagang VOC yang memesan alat-alat rumah tangga dari emas, perak, tembaga dan kuningan ke penduduk setempat di wilayah Kotagede. Seiring berjalannya waktu, sampai saat ini masyarakat dikawasan Kotagede masih banyak berprofesi sebagai pengrajin perak, karena kerajinan perak menjadi produk yang paling banyak diminati. Dalam perkembangannya itu pula kerajinan perak menjadi ciri khas daerah
60
Kotagede dan juga sebagai salah satu mata pencaharian utama masyarakat Kotagede. Pengrajin perak Kotagede terkenal dengan produknya yang unik, halus dan telaten dalam menggarap produk peraknya sehingga menghasilkan karya seni yang bernilai tinggi. Motif kerajinan perak Kotagede biasanya bercorak tumbuhtumbuhan, motif daun dan bunga teratai. Ciri khas yang tetap dipertahankan adalah pengerjaan produksi kerajinan secara manual dengan tetap mengandalkan ketrampilan tangan. Baik kerajinan perak lempengan atau kerajinan perak filigri (seutas kawat perak tipis dipilih satu persatu dan dirangkai sedemikian rupa untuk memperoleh bentuk yang dikehendaki) dikerjakan dengan penuh ketelitian. Sebagian lagi memerlukan proses yang berbeda, misalnya dengan melalui proses pembakaran untuk memperoleh perak bakar yang juga banyak digemari. G. Gamelan Gamelan adalah musik yang tercipta dari paduan bunyi gong, kenong dan alat musik Jawa lainnya. Gamelan yang berkembang di Yogyakarta adalah Gamelan Jawa, sebuah bentuk gamelan yang berbeda dengan Gamelan Bali ataupun Gamelan Sunda. Gamelan Jawa memiliki nada yang lebih lembut dan slow, berbeda dengan Gamelan Bali yang rancak dan Gamelan Sunda yang sangat mendayu-dayu dan didominasi suara seruling. Perbedaan itu wajar, karena Jawa memiliki
61
pandangan hidup tersendiri yang diungkapkan dalam irama musik gamelannya. Pandangan hidup Jawa yang diungkapkan dalam musik gamelannya adalah keselarasan kehidupan jasmani dan rohani, keselarasan
dalam
berbicara
dan
bertindak
sehingga
tidak
memunculkan ekspresi yang meledak-ledak serta mewujudkan toleransi antar sesama. Wujud nyata dalam musiknya adalah tarikan tali rebab yang sedang, paduan seimbang bunyi kenong, saron kendang dan gambang serta suara gong pada setiap penutup irama. Tidak ada kejelasan tentang sejarah munculnya gamelan. Perkembangan musik gamelan diperkirakan sejak kemunculan kentongan, rebab, tepukan ke mulut, gesekan pada tali atau bambu tipis hingga dikenalnya alat musik dari logam. Perkembangan selanjutnya setelah dinamai gamelan, musik ini dipakai untuk mengiringi pagelaran wayang, dan tarian hingga akhirnya dilengkapi dengan suara para sinden. Seperangkat gamelan terdiri dari beberapa alat musik, diantaranya satu set alat musik serupa drum yang disebut kendang, rebab dan celempung, gambang, gong dan seruling bambu. Komponen utama yang menyusun alat-alat musik gamelan adalah bambu, logam, dan kayu. Masing-masing alat memiliki fungsi tersendiri dalam pagelaran musik gamelan, misalnya gong berperan menutup sebuah irama musik yang panjang dan memberi keseimbangan setelah sebelumnya musik dihiasi oleh irama gending.
62
Gamelan Jawa adalah musik dengan nada pentatonis. Satu permainan gamelan komplit terdiri dari dua putaran, yaitu slendro dan pelog. Slendro memiliki 5 nada per oktaf, yaitu 1 2 3 5 6 [C- D E+ G A] dengan perbedaan interval kecil. Pelog memiliki 7 nada per oktaf, yaitu 1 2 3 4 5 6 7 [C+ D E- F# G# A B] dengan perbedaan interval yang besar. Komposisi musik gamelan diciptakan dengan beberapa aturan, yaitu terdiri dari beberapa putaran dan pathet, dibatasi oleh satu gongan serta melodinya diciptakan dalam unit yang terdiri dari 4 nada. Sebagai
sebuah
pertunjukan
tersendiri,
musik
gamelan
biasanya dipadukan dengan suara para penyanyi Jawa (penyanyi pria disebut wiraswara dan penyanyi wanita disebut waranggana). Pertunjukan musik gamelan yang digelar kini bisa merupakan gamelan klasik ataupun kontemporer. Salah satu bentuk gamelan kontemporer adalah jazz-gamelan yang merupakan paduan paduan musik bernada pentatonis dan diatonis.
2.7.4
Sistem Budaya (Kebudayaan Non-Material) A. Bahasa dan Tata Krama Menurut Murdock 1964:222 Bahasa orang Jawa tergolong subkeluarga Hesperonesia dari keluarga Malayo-Polinesia. 48 Bahasa Jawa
48
Koentjaraningrat. Kebudayaan Jawa. Jakarta: PN Balai Pustaka 1984, hal 17
63
memiliki sejarah
kesusastraan yang panjang dan berkembang melalui
beberapa fase yang dapat dibedakan atas dasar beberapa ciri idiomatic yang khas dan beberapa lingkungan yang berbeda. Bahasa yang digunakan di Yogyakarta dipengaruhi dalam bahasa kesusastraan di Kerajaan Mataram. Bahasa ini adalah bahasa yang dipakai dalam karya-karya kesusastraan karangan para pujangga Keraton Kerajaan Mataram abad ke-18 dan ke-19, yang terletak di daerah aliran Sungai Bengawan Solo di tengah kompleks pegunungan Merapi-Merbabu-Lawu di Jawa Tengah, di mana bertemu juga lembah Sungai Opak dan Praga. Penggunaan bahasa yang di pakai dalam percakapan sehari-hari dalam masyarakat Jawa adalah Bahasa Jawa masakini. Penggunaan bahasa pergaulan
abad ke-20 ditandai oleh suatu
sistem tingkat-tingkat yang sangat rumit, terdiri dari paling sedikit sembina gaya bahasa. Sistem ini menyangkut perbedaan-perbedaan kedudukan,pangkat, umur, serta tingkat keakraban antara yang menyapa dengan yang disapa. Dalam konsepsi orang Jawa, berbegai gaya ini menyebabkan berbagai gaya itu dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu (1) perbedaan morfologi yang disebabkan karena penggunaan awalan atau akhiran yang lain, dan (2) perbedaan sintaksis karena penggunaan sinonim yang lain, pertikel yang lain, kata ganti orang yang lain, atau kata penunjuk yang lain. Kecuali ketiga gaya yang paling dasar, yaitu tak resmi, gaya setengah-resmi, dan gaya resmi yaitu Ngoko, Madya, Krama, ada enam gaya lain yang terbentuk dari kombinasi dari ketiga gaya dasar 64
tadi. Dalam bahasa Jawa juga ada suatu kosa-kata yang terdiri dari kirakira 300 kata yang wajib dipakai untuk membicarakan milik, bagian tubuh, tindakan atau sifat-sifat orang kedua yang sederajat, atau orang ketiga yang lebih tinggi kedudukannya atau lebih senior umurnya. Kosa-kata itu disebut Krama Inggil.
49
Selain itu ada basa Kedhaton atau Bagongan,
yang sangat berbeda dari gaya bahasa lain, dan hanya digunakan dalampembicaraan-pembicaraan resmi dalam keraton di Surakarta dan Yogyakarta. Adat sopan-santun Jawa yang menuntut penggunaan gaya bahasa yang tepat tergantung dari interaksi tertentu, memaksa orang untuk terlebih dahulu menentukan setepat mungkin kedudukan orang yang diajak berbicara dalam hubungan dengan kedudukannya sendiri. Terdapat beberapa sub-daerah yang membedakan logat jawa berdasarkan keadaan geografisnya. Yogyakarta yang termasuk daerah di tengah-tengah
kawasan
kompleks
gunung
Merapi-Merbabu-Lawu
mempergunakan logat Jawa Tengah Solo-Yogya. Daerah ini merupakan daerah pusat kebudayaan Jawa-Keraton, yang dianggap sebagai daerah sumber dari nilai-nilai dan norma-norma Jawa. Dengan demikian maka Logat Solo-Yogya juga dianggap sebagai “bahasa Jawa yang beradab”. 50 Bahasa Jawa Ngoko itu dipakai untuk orang yang Sudah dikenal akrab, dan terhadap orang yang lebih muda usianya serta lebih rendah 49 50
Ibid, hal 21 Ibid hal 23-24
65
derajat atau status sosialnya. Lebih khusus lagi adalah bahasa Jawa Ngoko Lugu dan Ngoko Andap. Sebaliknya, bahasa Jawa Krama dipergunakan untuk bicara dengan yang belum dikenal akrab, tetapi yang sebaya dalam umur maupun derajat dan juga terhadap orang yang lebih tinggi umur serta status sosialnya. Dari kedua macam derajat bahasa ini kemudian ada variasi berbagai dan kombinasi-kombinasi antara kata-kata dari bahasa Jawa Ngoko dan Krama misalnya bahasa Jawa Madya, yang terdiri dari tiga macam bahasa yaitu Madya Ngoko, Madyaantara, dan Madya Krama. Ada bahasa Krama Inggil yang terdiri dari orang-orang yang lebih tua umur atau lebih tinggi derajat sosialnya, bahasa Kedaton (atau bahasa Bagongan) yang khusus dipergunakan dikalangan istana, bahasa Jawa Krama Desa atau bahasa orang-orang di desa-desa, dan akhirnya bahasanya akhirnya bahasa Jawa Kasar yakni salah satu macam bahasa daerah yang diucapkan oleh orang-orang yang sedang dalam keadaan marah atau mengumpat seseorang. 51
51
Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan Di Indonesia, Jakarta: Djambatan 2004. hal 329330
66