BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Defenisi Stroke iskemik didefinisikan sebagai sekumpulan tanda klinik yang berkembang oleh sebab vaskular. Gejala ini berlangsung 24 jam atau lebih; pada umumnya terjadi akibat berkurangnya aliran darah ke otak, yang menyebabkan cacat atau kematian. Stroke jenis ini memiliki ciri khas onset defisit neurologis setempat yang tiba-tiba. Beberapa pasien mengalami perkembangan gejala yang bertahap. Defisit neurologis yang lazim ditemukan meliputi dysphasia, dysarthria, hemianopia, hemiparesis, ataxia, dan sensory loss. Gejala dan tandanya biasanya satu sisi (unilateral). (6) 2.2. Patofisiologi Iskemia jaringan otak biasanya disebabkan oklusi mendadak arteri di otak (biasanya arteri vertebrobasilar) bila ada ruptur plaque,kemudian akan mengaktivasi sistem pembekuan. Interaksi ateroma dengan bekuan akan mengisi lumen arteri sehingga aliran darah mendadak tertutup. (8) Aterosklerosis berhubungan dengan banyak faktor resiko, seperti hipertensi, obesitas, merokok, diabetes mellitus, usia dan kadar kolesterol tinggi. (2) Stroke iskemik terjadi berdasarkan 3 mekanisme yaitu trombosis serebri, emboli serebri dan pengurangan perfusi sistemik umum. (8,12,13,14) 1.
Stroke akibat trombosis serebri Stroke yang disebabkan adanya penyumbatan lumen pembuluh darah otak karena
trombus yang makin menebal, sehingga aliran darah tidak lancar, dan menyebabkan iskemik. Trombosis serebri adalah obstruksi aliran darah yang terjadi pada proses oklusi satu atau lebih pembuluh darah lokal. (8,12,13) Trombosis diawali adanya kerusakan endotel, sehingga tampak jaringan kolagen di bawahnya. Trombosis terjadi akibat interaksi antara trombosit dan dinding pembuluh darah, adanya kerusakan endotel pembuluh darah. (8,12,13) Endotel normal bersifat antitrombosis karena adanya glikoprotein dan proteoglikan melapisi sel endotel dan adanya prostasiklin (PGI 2 ) pada endotel bersifat vasodilator dan inhibisi platelet agregasi. Pada endotel yang rusak, darah berhubungan dengan serat kolagen
Universitas Sumatera Utara
pembuluh darah, merangsang agregasi trombosit dan merangsang trombosit mengeluarkan zatzat yang terdapat di dalam granula-granula di dalam trombosit dan zat-zat yang berasal dari makrofag yang mengandung lemak. Akibat adanya reseptor pada trombosit menyebabkan perlekatan trombosit dengan jaringan kolagen pembuluh darah. (8,12,13,14,15) Otak yang hanya merupakan 2% dari berat badan total, menerima perdarahan 15% dari cardiac output dan memerlukan 20% oksigen yang diperlukan tubuh manusia, sebagai energi yang diperlukan untuk menjalankan kegiatan neuronal. Energi yang diperlukan berasal dari metabolisme glukosa, disimpan di otak dalam bentuk glukosa atau glikogen untuk persediaan pemakaian selama 1 menit, dan memerlukan oksigen untuk metabolisme tersebut, lebih dari 30 detik gambaran EEG akan mendatar, dalam 2 menit aktivitas jaringan otak berhenti, dalam 5 menit maka kerusakan jaringan otak dimulai, dan lebih dari 9 menit akan meninggal. (13) Bila aliran darah jaringan otak berhenti, oksigen dan glukosa yang diperlukan untuk pembentukan ATP menurun, terjadi penurunan Na-KATPase, sehingga membran potensial menurun. K+ berpindah ke ruang CES sementara ion Na dan Ca berkumpul di dalam sel. Hal ini menyebabkan permukaan sel menjadi lebih negatif sehingga terjadi membran depolarisasi. Saat awal depolarisasi membran sel masih reversibel, tetapi bila menetap terjadi perubahan struktural ruang menyebabkan kematian jairngan otak. Keadaan ini terjadi segera apabila perfusi menurun di bawah ambang batas kematian jaringan, yaitu bila aliran darah berkurang hingga di bawah 0,10 ml/100 gr .menit. (12,13,14) Akibat kekurangan oksigen terjadi asidosis yang menyebabkan gangguan fungsi enzimenzim, karena tingginya ion H. Selanjutnya asidosis menimbulkan edema serebral yang ditandai pembengkakan sel, terutama jaringan glia, dan berakibat terhadap mikrosirkulasi. Oleh karena itu terjadi peningkatan resistensi vaskular dan kemudian penurunan dari tekanan perfusi sehingga terjadi perluasan daerah iskemik. (12,13,15) 2.
Emboli serebri Selain oklusi trombotik pada tempat aterosklerosis arteri serebral, infark iskemik dapat
diakibatkan oleh emboli yang timbul dari lesi atheromatus yang terletak pada pembuluh darah yang lebih distal. Gumpalan-gumpalan kecil dapat terlepas dari trombus yang lebih besar dan dibawa ke tempat-tempat lain dalam aliran darah. Bila embolus mencapai arteri yang terlalu sempit untuk dilewati dan menjadi tersumbat, aliran darah fragmen distal akan berhenti,
Universitas Sumatera Utara
mengakibatkan infark jaringan otak distal karena kurangnya nutrisi dan oksigen. Emboli merupakan 32% dari penyebab stroke. (12,13,14) Stroke emboli dapat diakibatkan dari embolisasi dari arteri di sirkulasi pusat dari berbagai sumber. Selain gumpalan darah, agregasi trombosit, fibrin, dan potongan-potongan plak atheromatous, bahan-bahan emboli yang diketahui masuk ke sirkulasi pusat termasuk lemak, udara, tumor atau metastasis, bakteri, dan benda asing. Tempat yang paling sering terserang embolus serebri adalah arteri serebri media, terutama bagian atas. (8,12,15) Emboli akan lisis, pecah atau tetap utuh dan menyumbat pembuluh darah sebelah distal, tergantung pada ukuran, komposisi, konsistensi, dan umur plak tersebut, dan juga tergantung pada pola dan kecepatan aliran darah. Sumbatan pada pembuluh darah tersebut (terutama pembuluh darah di otak) akan menyebabkan matinya jaringan otak, dimana kelainan ini tergantung pada adanya pembuluh darah yang adekuat. (8,12,15) 3.
Hipoperfusi sistemik Pengurangan perfusi sistemik dapat mengakibatkan kondisi iskemik karena
kegagalan pompa jantung atau proses perdarahan atau hipovolemik. Berkurangnya aliran darah ke seluruh bagian tubuh karena adanya gangguan denyut jantung.
(12)
Gambar 2.1. Stroke trombotik dan stroke embolik (12)
Universitas Sumatera Utara
2.3. Faktor resiko stroke iskemik Stroke dapat dicegah dengan memanipulasi faktor-faktor resikonya. Faktor resiko stroke ada yang tidak dapat diubah, tetapi ada yang dapat dimodifikasi dengan perubahan gaya hidup atau secara medik. Menurut Sacco 1997, Goldstein 2001, faktor-faktor resiko pada stroke adalah : (2,12,14) 1. Hipertensi Hipertensi merupakan faktor resiko mayor yang dapat diobati. Insidensi stroke bertambah dengan meningkatnya tekanan darah dan berkurang bila tekanan darah dapat dipertahankan di bawah 140/90 mmHg, baik pada stroke iskemik, perdarahan intrakranial maupun perdarahan subarachnoid. 2. Penyakit jantung Meliputi penyakit jantung koroner, kongestif, hipertrofi ventrikel kiri, aritmia jantung dan atrium fibrilasi merupakan faktor resiko stroke. 3. Diabetes mellitus Diabetes mellitus adalah faktor resiko stroke iskemik. Resiko pada wanita lebih besar daripada pria. Bila disertai hipertensi, resiko akan menjadi lebih besar. 4. Viskositas darah Meningkatnya viskositas darah baik karena meningkatnya hematokrit maupun fibrinogen akan meningkatkan resiko stroke. 5. Pernah stroke sebelumnya atau TIA (Trancient Ischemic Attack) 50% stroke terjadi pada penderita yang sebelumnya pernah stroke atau TIA. Beberapa laporan menyatakan bahwa 1/3 penderita TIA kemungkinan akan mengalami TIA ulang, 1/3 tanpa gejala lanjutan dan 1/3 akan mengalami stroke. 6. Peningkatan kadar lemak darah Ada hubungan positif antara meningkatnya kadar lipid plasma dan lipoprotein dengan aterosklerosis serebrovaskular; ada hubungan positif antara kadar kolesterol total dan trigliserida dengan resiko stroke; dan ada hubungan negatif antara menigkatnya HDL dengan resiko stroke.
Universitas Sumatera Utara
7. Merokok Resiko stroke meningkat sebanding dengan banyaknya jumlah rokok yang dihisap per hari. 8. Obesitas Sering berhubungan dengan hipertensi dan gangguan toleransi glukosa. Obesitas tanpa hipertensi dan DM bukan merupakan faktor resiko stroke yang bermakna. 9. Kurangnya aktivitas fisik/olahraga Aktivitas fisik yang kurang memudahkan terjadinya penimbunan lemak. Timbunan lemak yang berlebihan akan menyebabkan resistensi insulin sehingga akan menjadi diabetes dan disfungsi endotel. 10. Usia tua Usia berpengaruh pada elastisitas pembuluh darah. Makin tua usia, pembuluh darah makin tidak elastis. Apabila pembuluh darah kehilangan elastisitasnya, akan lebih mudah mengalami aterosklerosis. 11. Jenis kelamin (pria > wanita) 12. Ras (kulit hitam > kulit putih)
2.4. Gambaran klinis stroke iskemik Stroke iskemik merupakan penyakit progresif dengan berbagai macam tampilan klinis, dari yang ringan hingga yang berat. Gambaran klinis stroke iskemik dapat berupa kelemahan anggota tubuh (jarang pada kedua sisi), hiperrefleksia anggota tubuh, kelemahan otot-otot wajah, dysarthria,dysfagia, peningkatan reflex muntah, diplopia, nystagmus, kelemahan otot mata, dan penurunan kesadaran. (12,14,16) 2.5. Diagnosis stroke iskemik Untuk mendiagnosis kasus stroke, idealnya dengan observasi klinis sindrom/kumpulan gejala dan perjalanan penyakit, serta karakteristik patofisiologi dan mekanisme penyakit yang dikonfirmasi dengan data-data patologis, laboratoris, elektrofisiologi, genetik, atau radiologis. (12,14,16)
Universitas Sumatera Utara
2.5.1. Pemeriksaan radiologis •
Head CT-Scan: Pada kasus stroke, Head CT-Scan dapat menentukan dan memisahkan antara jaringan otak yang infark dan daerah penumbra. Selain itu,bagus juga menilai kalsifikasi jaringan. Berdasarkan beberapa studi terakhir, CT-Scan dapat mendeteksi lebih dari 90% kasus stroke iskemik, dan menjadi baku emas dalam diagnosis stroke. (12,14,16)
•
Magnetic Resonance Imaging(MRI): Lebih sensitif bila dibandingkan Head CT-Scan. MRI juga dapat digunakan pada kompresi spinal. Kelemahan alat ini adalah tidak dapat mendeteksi adanya emboli paru, udara bebas dalam peritoneum dan fraktur. Kelemahan lainnya adalah prosedur pemeriksaan lebih rumit dan lama, pemeriksaan sangat mahal serta tidak dapat dipakai pasien yang memakai alat pacemaker jantung dan alat bantu pendengaran. (12,14,16)
2.5.2. Pemeriksaan laboratorium Pemeriksaan laboratorium pada stroke akut meliputi; hematologi lengkap, kadar gula darah, elektrolit, ureum, kreatinin, profil lipid, enzim jantung, analisis gas darah, protrombin time (PT) dan activated parsial thromboplastin time (aPTT), kadar fibrinogen serta D-dimer. Polisitemia vera dan trombositemia esensial merupakan kelainan darah yang dapat menyebabkan stroke. Polisitemia, nilai hematokrit yang tinggi menyebabkan hiperviskositas
dan
mempengaruhi
darah
otak.
Trombositemia
meningkatkan
kemungkinan terjadinya agregasi dan terbentuknya trombus. Kadar glukosa darah untuk mendeteksi adanya hipoglikemia dan hiperglikemia dimana dapat dijumpai gejala neurologis. Pemeriksaan elektrolit bertujuan mendeteksi gangguan natrium, kalium, kalsium, fosfat dan magnesium yang semuanya dapat menyebabkan depresi susunan saraf pusat. Analisis gas darah perlu dilakukan untuk mendeteksi penyebab metabolik, hipoksia dan hiperkapnia. Profil lipid dan enzim jantung untuk menilai faktor resiko stroke. PT dan aPTT untuk menilai aktivitas koagulasi serta monitoring terapi. Sedangkan D-dimer diperiksa untuk mengetahui aktivitas fibrinolisis. (12,14,16)
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.2 Patofisiologi stroke iskemik (14) 2.6. Hubungan Mean Platelet Volume (MPV) dan Stroke Iskemik Trombosit merupakan sel darah terkecil dengan diameter 1-3 μm, berbentuk lempeng dan tidak berinti.Trombosit dilepaskan oleh megakariosit matang yang dihasilkan di sumsum tulang dan bersirkulasi dalam darah 7 - 10 hari.Trombosit dapat melekat pada pembuluh darah yang rusak, dan berperan dalam hemostasis primer. Dalam proses hemostasis, trombosit melindungi dari perdarahan dan mengkatalisis bekuan darah yang stabil melalui kaskade koagulasi. Trombosit juga berfungsi melindungi dari infeksi melalui fagositosis antigen patogen. Trombosit bersifat heterogen dalam hal ukuran, densitas dan kemampuan hemostasis. Ukuran trombosit (MPV) merupakan marker dari fungsi trombosit dimana trombosit yang lebih besar secara potensial lebih reaktif karena memiliki granul yang lebih padat, respon agregasi terhadap ADP dan kolagen yang lebih besar dan dapat melepaskan serotonin, β-tromboglobulin (β-TG) dan tromboxane A2 (TXA2) yang lebih banyak per unit volume, serta dihubungkan dengan penuruna masa perdarahan (Bleeding time). (1,2,19) Peningkatan MPV merupakan gambaran karakteristik pada stroke iskemik, hal ini dapat muncul sebelum kejadian serebrovaskular akut dan dapat bertahan selama periode yang panjang (3-6 bulan). MPV yang tinggi di hubungkan dengan volume kerusakan serebral yang luas dan resiko outcome yang buruk selama periode awal post-stroke. Pada studi cross-sectional
Universitas Sumatera Utara
multisenter dengan 776 pasien stroke iskemik atau transient ischemic attack, pasien dengan baseline quintile MPV yang paling tinggi (11,3-15,3 fl) menderita stroke yang lebih berat 1 minggu setelah masuk rumah sakit dengan modified Rankin Scale Score (mRS) 3-6 (meninggal atau dependence). (2,17,20) Studi A.Arikanoglu dkk yang meneliti hubungan MPV dan CRP pada 63 pasien stroke iskemik, pasien dibagi menjadi 2 grup yaitu pasien yang meninggal dalam 10 hari pertama dan yang bertahan. Didapatkan bahwa MPV pasien stroke lebih tinggi dibandingkan kontrol (8,6±1,95 fl vs 7,93±0,82;p=0,027). MPV dan CRP pasien yang meninggal signifikan lebih tinggi daripada yang bertahan (9.24±1,98 fl dan 10.8±7 mg/dl vs 8.09±1,75 fl dan 3.2±3.5 mg/dl;p<0,05). Didapati pula korelasi yang positif antara MPV dan CRP pada pasien stroke iskemik. (3) Studi Greisennegger dkk yang menilai apakah MPV berhubungan dengan keparahan dan outcome pada pasien dengan kejadian serebrovaskular iskemik akut pada populasi kulit putih. Studi ini menilai hubungan MPV dan keparahan stroke berdasarkan modified Rankin Scale (mRS) dan pengaruh MPV terhadap keparahan stroke setelah menyingkirkan faktor perancu lainnya. Didapatkan bahwa pasien dengan MPV yang paling tinggi signifikan memiliki resiko yang lebih tinggi untuk mendapat stroke berat yang didefinisikan mRS score 3-6 (OR=2.6;p<0.001).(4) PROGRESS studi yang melaporkan substudi yang menilai hubungan MPV dengan resiko stroke dan major coronary event diantara 3134 partisipan. Didapati bahwa kejadian stroke 402 dan major coronary event 160. MPV berkorelasi positif dengan resiko stroke dengan peningkatan resiko relatif 11% per femtoliter peningkatan MPV. (18) Beberapa faktor resiko kardiovaskular dan kombinasinya dengan morfologi dan trombogenesis telah diteliti diantaranya : (2,12,14) A. Merokok Merokok dan paparan terhadap nikotin dapat berpengaruh terhadap fungsi trombosit namun terdapat faktor perancu antara lain usia, jenis kelamin, durasi merokok dan faktor resiko lainnya.
Universitas Sumatera Utara
B. Hipertensi Perjalanan hipertensi ditandai dengan aktivasi trombosit terutama akibat efek simpatis dan sistem renin angiotensin, shear stress, peningkatan produksi ROS, gangguan regulasi kalsium, disfungsi endotel dan penurunan bioavaibilitas NO. C. Diabetes Gangguan endotel dan fungsi trombosit ditambah dengan efek injuri hiperlipidemia terhadap dinding sel pembuluh darah memicu vaskulopati dan trombosis. Beberapa faktor yang berperan terhadap aktivasi trombosit dan pelepasan agen proinflamasi dan protrombotik pada diabetes antara lain inflamasi sistemik, stres oksidatif, gangguan metabolisme kalsium, penurunan bioavaibilitas NO dan peningkatan fosforilasi protein seluler. Trombosit pasien diabetes hiperaktif, hiposensitif terhadap efek antiagregasi prostasiklin dan NO dan memproduksi lebih banyak tromboxane A2 sehingga menghambat efek antiplatelet aspirin dan clopidogrel. D. Dislipidemia dan Obesitas Hiperkolesterolemia merupakan faktor resiko vaskular yang berinterksi dengan agen inflamasi dan protrombotik dan menghasilkan aterogenesis. Dislipidemia memicu pelepasan ligand CD40, IL-1β, platelet factor 4 dan kemokin lainnya dari trombosit. Over produksi sitokin trombosit ini akan memobilisasi progenitor trombosit dari sumsum tulang dan menyebabkan trombositosis.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 1. Prospective studies on MPV in prothrombotic disease state (2) Ref [100]
P 1,716 post-MI M aged <70 y from 21 centers
T < 24 h
Endpoint MI and death within 2y
[101]
122 P with STEMI on thrombolysis (91% M; MA 58.5 y) 388 P with STEMI and PCI (72.2% M; MA 60 y)
A few min
Coronary artery occlusion(TIMI flow grade 0-1) and inhospital mortality
30 min
[107]
617 P with STEMI and PCI (82% M; MA 64 y)
<1 h
Impaired reperfusion (based on TIMI scale) and 6-m all-cause mortality Impaired reperfusion (based on TIMI scale) and 1-m mortality
[122]
3,134 P (71% M; MA 65 y) with CVD
24-48 h
Stroke during a mean follow-up of 3.9 y
[126]
25,923 subjects aged 25-94 y
<12 h
VTE during 19942007
[127]
192 P with acute PE (113 F, 79 M; MA 64 y)
< 30 min
1-m mortality
[102]
Main Results 126 P had MI and 88 P died. Their baseline MPV and fibrinogen were↑ . P at the highest quartile of MPV were twice more likely to develop MI or die compared to P at the lowest quartile. MPV was ↑ in P with failed thrombolysis (P=0.019). Cut-off value 8.6 fl was used. The failure was more frequent in P with MPV >8.6 fl (31.8% vs. 16%; P=0.048). Mortality was ↑ at the highest tertile of MPV (> 10.3 fl). MPV> 10.3 fl predicted “no-reflow” (adjusted OR 4.7, 95%CI 2.3-9.9; P<0.0001) and 6-m mortality (OR 3.2, 95%CI 1.1.-9.3; P=0.0084). MPV was ↑ in P with TIMI 0-1 compared to TIMI 2-3 (median MPV 9 fl vs. 8.5 fl; P<0.0001). MPV predicted successful reperfusion (OR 0.63, 95%CI 0.51-0.78; P<0.0001). 1fl increment of MPV was associated with a 15% ischemic stroke RR ↑.
There were 186 (42%) unprovoked events (DVT and PE). Those with MPV > 9.5 fl had a 1.5fold ↑ risk of unprovoked VTE compared to those with MPV<8.5 fl (HR 1.5, 95%CI 1.0-2.3; P=0.04). MPV was in non-survivors compared to survivors (P<0.01). Kaplan-Meier curves revealed differences in 7- (18% vs. 4%; P<0.01) and 30-day mortality rates (18% vs. 7%, P<0.05) between P with MPV>10.9 fl and < 10.9 fl. MPV predicted 7- (HR 2.0, 95%CI 1.3-3.0; P<0.001)and 30-day mortality (HR 1.7, 95%CI 1.2-2.5; P<0.01).
Antiplatelet Effects NS
NS
Abciximab ↓ mortality in P with MPV> 10.3 fl (OR 0.02, 95%CI 0.01-0.48; P=0.0165). MPV>8.95 fl predicted mortality in those who were not on abciximab compared to those who were (HR 3.67) P received perindopril plus indapamide or perindopril. Baseline and follow-up MPV were not different. NS
Aspirin intake did not differ between survivors and nonsurvivors and P with ↑ and ↓ MPV.
2.7. Hubungan C-Reaktif Protein (CRP) dan Stroke Iskemik Gambaran utama dari inflamasi dan kerusakan jaringan adalah peningkatan kadar protein fase akut misalnya C-reaktif protein (CRP), serum amiloid-A, D-dimer dan fibrinogen. CRP adalah salah satu protein fase akut yang ditemukan dalam darah, kadarnya akan meningkat sebagai respon pada proses inflamasi. Secara fisiologis berfungsi untuk mengikat fosfocholine
Universitas Sumatera Utara
yang terdapat pada permukaan sel yang telah mengalami kematian, yang akan mengikat system komplemen melalui c1q. CRP merupakan anggota dari protein pentraxin dengan berat molekul 25106 Da. Istilah CRP pertama kali dilaporkan oleh Tiller dan Francis pada tahun 1930, disebabkan senyawa ini dapat bereaksi dengan polisakarida C somatik dari Streptococcus pneumonia. Kadarnya akan meningkat 100x dalam 24-48 jam setelah terjadi luka jaringan. CRP secara normal ada dalam serum manusia dalam jumlah kecil dengan kadar< 1 mg/L dan akan meningkat dalam waktu 24-48 jam setelah sel dirangsang oleh senyawa inflamasi. Sitokin dari IL-6 merupakan stimulator utama produksi dan sekresi CRP oleh sel hati. Pada kultur sel hepatosit, ditemukan bahwa IL-6 adalah penginduksi utama untuk transkripsi m-RNA, CRP, IL1 sendiri tidak aktif tetapi sinergis dengan IL-6. Promotor gen CRP terdiri dari 2 acute phase respons elements (APRE). APRE 2 mengandung NF IL-6 binding site yang merupakan faktor transkripsi yang diinduksi oleh IL-6 dan diaktivasi oleh protein kinase C (PKC) dependent phosphorylation.Sitokin lain seperti IL-1, TNF-α dan Transforming Growth Factor (TGF-β) juga berperan dalam sintesis CRP.(10,21,22,23) Penelitian laboratorium maupun klinis menunjukkan bahwa aterosklerosis bukan sekedar penyakit dengan deposisi lemak, namun terutama juga merupakan suatu proses inflamasi dari mulai awal terjadi aterogenesis sampai timbul gejala klinis yang disertai dengan rupturnya plak dan thrombosis. Monosit, makrofag dan limfosit T terdapat dalam plak aterosklerosis di dinding arteri. Pada daerah bahu plak yaitu daerah yang paling rentan terhadap rupture plak banyak terdapat sel inflamasi seperti monosit dan makrofag. Sitokin IL-6, TNFα yang menstimulasi produksi protein fase akut oleh hati seperti CRP meningkatkan kejadian vascular. CRP merupakan penanda dini dari mediator inflamasi lain seperti IL-6 dan TNFα pada proses inflamasi yang terjadi pada aterosklerosis. (23,24) Peningkatan CRP adalah non spesifik tetapi merupakan penanda respon fase akut yang sensitive terhadap senyawa infeksius, stimulus imunologik, kerusakan jaringan dan inflamasi akut lainnya. Peningkatan kadar CRP juga terjadi pada inflamasi kronik, yang meliputi penyakit autoimun dan malignansi. Inflamasi kronik merupakan komponen yang penting dalam perkembangan dan progresi aterosklerosis. Pada reaksi inflamasi, kadar CRP parallel dengan respon inflamasi yang akan terus meningkat sampai tiga bulan atau lebih pada penderita yang perjalanan klinisnya buruk dan kembali turun pada kadar yang tidak terdeteksi setaelah inflamasi mereda selama 6 bulan. Kadar CRP yang diperiksa dari dalam darah donor yang sehat
Universitas Sumatera Utara
didapatkan median 0,8 mg/L. kadar normal akan berbeda pada setiap laboratorium, secara umum dikatakan normal kadarnya bila didaptkan antara 0-0,1 mg/dl atau kurang dari 10 mg/L. Pada keadaan aktif dapat meningkat sampai lebih dari 500 mg/L, nilai tersebut akan keluar setelah 24 jam pemeriksaan. Jika terjadi proses inflamasi akut kadarnya akan mulai meningkat 6 jam berikutnya dan mencapai puncaknya dalam 48 jam, CRP memiliki waktu paruh ± 12-19 jam, selama inflamasi terjadi kadarnya akan terus konstan sampai proses tersebut berhenti. (21,24,25) Konsentrasi CRP di CSF terus meningkat setelah hari ke tiga. Peningkatan CRP memiliki korelasi dengan skor klinis pada hari ke 21, kadar CRP pada hari pertama tidak dapat memberikan prognostik. Titer CRP maksimal pada penderita defisit neurologi yang berat, sedangkan pada penderita dengan good neurological recovery titer CRP rendah. Peningkatan signifikan titer CRP di CSF pada hari ketiga tampaknya merupakan kriteria prognostik buruk pada pembentukan inflamasi inflamasi otak. Penelitian Winbeck dkk yang melakukan serial CRP pada awitan stroke kurang dari 12 jam, 24 Jam dan kurang dari 48 jam menunjukkan adanya hubungan yang kuat antara kada pemeriksaan pada 12-24 jam dengan outcome yang buruk pada iskemik akut. (23) Beberapa studi mencoba menghubungkan kadar CRP pada fase akut stroke dengan perburukan stroke dan outcome
pada bulan ke tiga dan dalam 1 tahun pertama serta
memprediksi serangan stroke berulang dan resiko kematian dalam tahun pertama didapatkan nilai < 5 mg/L untuk nilai normal, 5-33 mg/L untuk resiko sedang dan > 33 mg/L untuk resiko sangat tinggi. (25,26,27) Konsentrasi normal pada manusia normal adalah sekitar dibawah 10 mg dan kadarnya akan sedikit meningkat pada usia lanjut. Kadar cukup tinggi ditemukan pada wanita hamil trimester terakhir, inflamasi sedang dan infeksi virus sekitar 10-40 mg/L dan kadarnya akan meningkat menjadi 40-200 mg/L bila didapatkan pada proses inflamasi aktif dan infeksi bakteri, sedangkan pada infeksi bakteri yang parah serta luka bakar akan didapatkan peningkatan sampai > 200 mg/L. (26,27)
Universitas Sumatera Utara
Gambar2.3. Mekanisme peningkatan CRP (27) Studi Di Napoli dkk yang menilai hubungan CRP pada saat masuk rumah sakit dan pada waktu keluar rumah sakit dengan outcome 1 tahun terhadap 193 pasien , didapatkan dengan cutoff CRP 1,5 mg/dl pada saat keluar dari rumah sakit memberikan sensitivitas dan spesifitas yang optimal terhadap terhadap outcome yang buruk. CRP pada saat masuk dan pulang merupakan prediktor terhadap kejdian vaskular baru atau kematian dalam 1 tahun.CRP pada saat keluar dari rumah sakit merupakan predictor independen paling kuat terhadap outcome yang buruk setelah 1 tahun.(21) Studi Shantikumar dkk yang menilai hubungan CRP, komplemen C3 terhadap mortalitas jangka panjang pada pasien stroke iskemik. 394 subjek penelitian dengan stroke iskemik akut yang selamat setelah > 30 hari dinilai CRP dan C3 dengan median follow up 7,4 tahun. Didapatkan CRP pasien yang meninggal signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan yang selamat (10,8 mg/dl vs 3,8 mg/dl). Hal ini mendukung terdapatnya hubungan antara CRP dan post stroke mortalitas, menunjukkan terdapatnya aktivasi platelet dan disfungsi sel endothelial yang diinduksi oleh inflamasi. (22)
Universitas Sumatera Utara