BAB I PENDAHULUAN Seiring dengan meningkatnya penyakit saluran pernapasan di masyarakat, kita akan mendapati lebih banyak pasien hamil dengan penyalit saluran pernapsan daripada sebelumnya. Pada kehamilan terjadi perubahan fungsi dan anatomi tubuh termasuk saluran pernapasan. Juga terjadi perbedaan patofisiologi penyakit pada saluran pernapasan selama kehamilan. Perawatan pasien dengan penyakit saluran pernapasan sebaiknya dilakukan bersama dengan dokter spesialis penyakit dalam. Untuk mendapatkan hasil yang optimal, perlu dipahami penyakit saluran pernapasan dan pengaruhnya terhadap kehamilan serta penatalaksanaannya berdasarkan evidenced based selama kehamilan, persalinan, dan nifas. Sampai sekarang belum ada kesepakatan tentang definisi asma yang dapat diterima semua ahli. Definisi yang banya dianut saat ini adalah yang dikemukakan oleh The American Thoracic Societyyaitu asma adalah suatu penyakit dengan cirri meningatnya respon trakhea dan bronkus terhadap berbagai rangsangan dengan manifestasi adanya penyempitan jalan napas yang luas dan derajatnya dapat berubah-ubah baik secara spontan maupun sebagai hasil pengobatan. Asma adalah penyakit paru yang heterogen dengan obstruksi saluran pernapasan yang sembuh sebagian atau total, spontan atau dengan terapi. Serangan umumnya singkat, walaupun jarang, asma dapat berakibat fatal. Secara tradisional asma dapat diklasifikasikan dua kelompok yaitu alergi ( ekstrinsik ) dan idiosinkrasi (intrinsik). Asma ekstrinsik merupakan asma yang dipicu oleh alergen atau mediator IgE. Umumnya terdapat pada orang dan / atau riwayat keluarga dengan penyakit alergi. Sedangkan asma intrinsik jika tidak ditemukan alergen spesifik sebagai pemicunya, dan terdapat pada pasien tanpa riwayat alergi dalam keluarganya. Prevalensi asma terjadi pada 4-8% populasi umum. Pada kehamilan prevalensinya 14%. Di Indonesia prevalensi asma berkisar 5-7 %. 3,4,5 Kepustakaan lain menyatakan asma berpengaruh pada 1-9% wanita atau pada 200.000 - 376.000 kehamilan di Amerika setiap tahunnya. Rata - rata morbiditas dan mortalitas pada wanita hamil sebanding dengan populasi umum. Rata - rata mobilitas asma di Amerika adalah 2,1 per 100.000. Asma bronkial merupakan salah satu penyakit saluran napas yang sering dijumpai kehamilan dan persalinan. Pengaruh kehamilan terhadap timbulnya serangan asma selalu sama terhadap setiap penderita, bahkan pada seorang penderita asma, serangan tidak sama pada kehamilan pertama dan berikutnya. Penyakit ini menimbulkan yang serius pada wanita hamil. Asma yang tidak terkontrol dengan baik, dapat berpengaruh terhadap ibu dan janin. Terdapat risiko yang jelas baik pada ibu maupun janin, bila gejala asma memburuk. Pada penelitian menyatakan asma dihubungkan dengan meningkatnya kematian perinatal dua kali lipat. Selain itu juga meningkatkan risiko komplikasi berupa hiperemesis, preeklampsia, dan perdarahan pada pasien yang mengidap asma, begitupula halnya terjadi peningkatan angka kematian neonatal dan persalinan prematur. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya penanganan aktif pasien hamil untuk menghindari eksaserbasi akut asma bronkhial.
1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 DEFINISI Asma adalah radang kronis pada jalan nafas yang berkaitan dengan obstruksi reversible dari spasme, edema, dan produksi mucus dan respon yang berlebihan terhadap stimuli. (Varney, Helen. 2003) Asma adalah suatu penyakit dengan ciri meningkatnya respon trakea dan bronkhus terhadap berbagai rangsangan dengan manifestasi adanya penyempitan jalan nafas yang luas dan derajatnya dapat berubah-ubah secara spontan maupun sebagai hasil pengobatan (Soeparman, 1990) Asma adalah keadaan klinis yang ditandai oleh masa penyempitan bronkus yang reversibel, dipisahkan oleh masa di mana ventilasi jalan nafas terhadap berbagai rangsang. (Sylvia Anderson (1995 : 149) Asma adalah suatu inflamasi kronis saluran nafas yang melibatkan sel eosinofil, sel mast, sel netrofil, limfosit dan makrofag yang ditandai dengan wheezing, sesak nafas kumatkumatan, batuk, dada terasa tertekan dapat pulih kembali dengan atau tanpa pengobatan (Cris Sinclair, 1994) Asma bronkiale didefinisikan sebagai penyakit dari sistem pernafasan yang meliputi peradangan dari jalan nafas dengan gejala bronkospasme yang reversibel. (Crocket (1997)
II.2 ETIOLOGI Sebagian besar penyempitan pada saluran nafas disebabkan oleh semacam reaksi alergi. Alergi adalah reaksi tubuh normal terhadap allergen, yakni zat-zat yang tidak berbahaya bagi kebanyakan orang yang peka. Alergen menyebabkan alergi pada orang-orang yang peka. Alergen menyebabkan otot saluran nafas menjadi mengkerut dan selaput lendir menjadi menebal. Selain produksi lendir yang meningkat, dinding saluran nafas juga menjadi membengkak. Saluran nafas pun menyempit, sehingga nafas terasa sesak. Alergi yang diderita pada penderita asma biasanya sudah ada sejak kecil. Asma dapat kambuh apabila penderita mengalami stres dan hamil merupakan salah satu stress secara psikis dan fisik, sehingga daya tahan tubuh selama hamil cenderung menurun, daya tahan tubuh yang menurun akan memperbesar kemungkinan tersebar infeksi dan pada keadaan ini asma dapat kambuh. (Ilmu Penyakit Dalam)
II.3 FAKTOR PREDISPOSISI Faktor-faktor yang dapat menimbulkan serangan asma atau sering disebut sebagai faktor pencetus adalah: Alergen Alergen adalah sat-zat tertentu bila dihisap atau di makan dapat menimbulkan serangan 2
asthma, misalnya debu rumah, tungau debu rumah (Dermatophagoides pteronissynus) spora jamur, serpih kulit kucing, bulu binatang, beberapa makanan laut dan sebagainya. Infeksi Saluran Nafas Infeksi saluran nafas terutama oleh virus seperti influenza merupakan salah satu faktor pencetus yang paling sering menimbulkan asthma bronkiale. Diperkirakan dua pertiga penderita asthma dewasa serangan asthmanya ditimbulkan oleh infeksi saluran nafas (Sundaru, 1991). Stress Adanya stressor baik fisik maupun psikologis akan menyebabkan suatu keadaan stress yang akan merangsang HPA axis. HPA axis yang terangsang akan meningkatkan adeno corticotropic hormon (ACTH) dan kadar kortisol dalam darah. Peningkatan kortisol dalam darah akan mensupresi immunoglobin A (IgA). Penurunan IgA menyebabkan kemampuan untuk melisis sel radang menurun yang direspon oleh tubuh sebagai suatu bentuk inflamasi pada bronkhus sehingga menimbulkan asma bronkiale. Olah raga/ kegiatan jasmani yang berat Sebagian penderita asthma bronkiale akan mendapatkan serangan asthma bila melakukan olah raga atau aktifitas fisik yang berlebihan. Lari cepat dan bersepeda paling mudah menimbulkan serangan asthma. Serangan asthma karena kegiatan jasmani (Exercise induced asthma /EIA) terjadi setelah olah raga atau aktifitas fisik yang cukup berat dan jarang serangan timbul beberapa jam setelah olah raga. Obat – obatan Beberapa pasien asthma bronkiale sensitif atau alergi terhadap obat tertentu seperti penicillin, salisilat, beta blocker, kodein dan sebagainya. Polusi udara Pasien asthma sangat peka terhadap udara berdebu, asap pabrik / kendaraan, asap rokok, asap yang mengandung hasil pembakaran dan oksida fotokemikal, serta bau yang tajam. Lingkungan Kerja Diperkirakan 2 – 15% pasien asthma bronkiale pencetusnya adalah lingkunagn kerja (Sundaru, 1991).
II.4 SISTEM PERNAFASAN SELAMA KEHAMILAN Selama kehamilan terjadi perubahan fisiologi sistem pernafasan yang disebabkan oleh perubahan hormonal dan faktor mekanik. Perubahan-perubahan ini diperlukan untuk mencukupi peningkatan kebutuhan metabolik dan sirkulasi untuk pertumbuhan janin, plasenta dan uterus. Selama kehamilan kapasitas vital pernapasan tetap sama dengan kapasitas sebelum hamil yaitu 3200 cc, akan tetapi terjadi peningkatan volume tidal dari 450 cc menjadi 600 cc, yang menyebabkan terjadinya peningkatan ventilasi permenit selama kehamilan antara 19-50 3
%. Peningkatan volume tidal ini diduga disebabkan oleh efek progesteron terhadap resistensi saluran nafas dan dengan meningkatkan sensitifitas pusat pernapasan terhadap karbondioksida. Dari faktor mekanis, terjadinya peningkatan diafragma terutama setelah pertengahan kedua kehamilan akibat membesarnya janin, menyebabkan turunnya kapasitas residu fungsional, yang merupakan volume udara yang tidak digunakan dalam paru, sebesar 20%. Selama kehamilan normal terjadi penurunan resistensi saluran napas sebesar 50%. Perubahan-perubahan ini menyebabkan terjadinya perubahan pada kimia dan gas darah. Karena meningkatnya ventilasi maka terjadi penurunan pCO2 menjadi 30 mm Hg, sedangkan pO2 tetap berkisar dari 90-106 mmHg, sebagai penurunan pCO2 akan terjadi mekanisme sekunder ginjal untuk mengurangi plasma bikarbonat menjadi 18-22 mEq/L, sehingga pH darah tidak mengalami perubahan. Secara anatomi terjadi peningkatan sudut subkostal dari 68,5 – 103,5 selama kehamilan. Perubahan fisik ini disebabkan karena elevasi diafragma sekitar 4 cm dan peningkatan diameter tranversal dada maksimal sebesar 2 cm. Adanya perubahan-perubahan ini menyebabkan perubahan pola pernapasan dari pernapasan abdominal menjadi torakal yang juga memberikan pengaruh untuk memenuhi peningkatan konsumsi oksigen maternal selama kehamilan. Laju basal metabolisme meningkat selama kehamilan seperti terbukti oleh peningkatan konsumsi oksigen. Selama melahirkan, konsumsi O2 dapat meningkat 20-25 %. Bila fungsi paru terganggu karena penyakit paru, kemampuan untuk meningkatkan konsumsi oksigen terbatas dan mungkin tidak cukup untuk mendukung partus normal, sebagai konsekuensi fetal distress dapat terjadi.
II.5 PENGARUH PERUBAHAN HORMONAL SELAMA KEHAMILAN Keadaan hormonal selama kehamilan sangat berbeda dengan keadaan tidak hamil dan mengalami perubahan selama perjalanan kehamilan. Perubahan-perubahan ini akan memberikan pengaruh terhadap fungsi paru. Progesteron tampaknya memberikan pengaruh awal dengan meningkatkan sensitifitas terhadap CO2, yang menyebabkan terjadinya hiperventilasi ringan, yang bisa disebut sebagai dispnea selama kehamilan. Lebih lanjut dapat dilihat adanya efek relaksasi otot polos. Pengaruh total progesteron selama kehamilan karena peningkatannya yang mencapai 50-100 kali dari keadaan tidak hamil, masih diperdebatkan dengan adanya berbagai temuan klinis yang terbuka diperdebatkan. Selama kehamilan kadar estrogen meningkat, dan terdapat data-data yang menunjukkan bahwa peningkatan ini menyebabkan menurunnya kapasitas difusi pada jalinan kapiler karena meningkatnya jumlah sekresi asam mukopolisakarida perikapiler. Estrogen memberikan pengaruh terhadap asma selama kehamilan.dengan menurunkan klirens metabolik glukokortikoid sehingga terjadi peningkatan kadar kortisol. Estrogen juga mempotensiasi relaksasi bronkial yang diinduksi oleh isoproterenol. Kadar kortisol bebas plasma meningkat selama kehamilan, demikian pula kadar total kortisol plasma. Peningkatan kadar kortisol ini seharusnya memberikan perbaikan terhadap keadaan penderita asma, akan tetapi dalam kenyataannya tidak demikian. Tampaknya 4
beberapa wanita hamil refrakter terhadap kortisol meskipun terjadi peningkatan kadar dalam serum 2-3 kali lipat. Hal ini mungkin disebabkan terjadinya kompetisi pada reseptor glukoortikoid oleh progesteron, deoksikortikosteron dan aldosteron yang semuanya meningkat selama kehamilan. Semua tipe prostaglandin meningkat dalam serum maternal selama kehamilan, terutama menjelang persalinan aterm. Meskipun dijumpai adanya peningkatan kadar matabolit prostalandin PGF 2x yang merupakan suatu bronkokonstriktor kuat, dalam serum sebesar 10%-30%, hal ini tidak selalu memberikan pengaruh buruk pada penderita asma selama persalinan. Pada jaringan janin ditemukan histamin dalam konsentrasi tinggi. Sebagai respon terhadap stimulus ini maka plasenta menghasilkan histaminase (diaminoksidase) dalam jumlah besar mencapai 1000 kali lipat dibandingkan wanita yang tidak hamil. Penelitian dewasa ini belum membuktikan perubahan biokkimiawi ini dengan pengaruh klinik yang ditimbulkannya.
II.6 PREVALENSI Di Indonesia, prevalensi asma sekitar 5 - 6 % dari populasi. Prevalensi asma dalam kehamilan sekitar 3,7 – 4 %. Hal tersebut membuat asma menjadi salah satu permasalahan yang biasa ditemukan dalam kehamilan.
II.7 GEJALA KLINIS Penilaian secara subyektif tidak dapat secara akurat menentukan derajat asma. Gejala klinik bervariasi mulai dari wheezing ringan sampai bronkokonstriksi berat. Pada keadaan ringan, hipoksia dapat dikompensasi hiperventilasi. Namun, bila bertambah berat akan terjadi kelelahan yang menyebabkan retensi O2 akibat hiperventilasi. Bila terjadi gagal napas, ditandai asidosis, hiperkapnea, adanya pernapasan dalam, takikardi, pulsus paradoksus, ekspirasi memanjang, penggunaan otot asesoris pernapasan, sianosis sentral, sampai gangguan kesadaran. Keadaan ini bersifat reversible dan dapat ditoleransi. Namun, pada kehamilan sangat berbahaya akibat adanya penurunan kapasitas residu. Manifestasi klinis asma ditandai dengan dyspnea, kesesakan dada, wheezing, dan batuk malam hari, di mana hanya menjadi tanda dalam beberapa kasus. Pasien melaporkan gejala seperti gangguan tidur dan nyeri dada. Batuk yang memicu spasme atau kesesakan dalam saluran pernapasan, atau berlanjut terus, dapat berbahaya. Beberapa serangan dimulai dengan batuk yang menjadi progresif lebih “sesak”, dan kemudian bunyi wheezing terjadi. Ada pula yang berbeda, beberapa penderita asma hanya dimulai wheezing tanpa batuk. Beberapa yang lain tidak pernah wheezing tetapi hanya batuk selama serangan asma terjadi. Selama serangan asma, mucus cenderung menjadi kering dan sukar, sebagian karena cepat, beratnya pernapasan umumnya terjadi saat serangan asma. Mucus juga menjadi lebih kental karena sel-sel mati terkelupas.
5
Kontraksi otot bronkus menyebabkan saluran udara menyempit atau konstriksi. Hal ini disebut brokokonstriksi yang memperbesar obstruksi yaitu asma. Dengan demikian ada derajat asma : 1. Tingkat pertama : secara klinis normal, tetapi asma timbul jika ada faktor pencetus. 2. Tingkat kedua : penderita asma tidak mengeluh dan pada pemeriksaan fisik tanpa kelainan tetapi fungsi parunya menunjukkan obstruksi jalan nafas. Disini banyak ditemukan pada penderita yang baru sembuh dari serangan asma. 3. Tingkat ketiga : penderita tidak ada keluhan tetapi pada pemeriksaan fisik maupun maupun fungsi paru menunjukkan tanda-tanda obstruksi jalan nafas. 4. Tingkat keempat : penderita mengeluh sesak nafas, batuk dan nafas berbunyi.Pada pemeriksaan fisik maupun spirometri akan dijumpai tanda-tanda obstruksi jalan napas. 5. Tingkat kelima : adalah status asmatikus, yaitu suatu keadaan darurat medik berupa serangan akut asma yang berat, bersifat refrakter terhadap pengobatan yang biasa dipakai. Scoggin membagi perjalanan klinis asma sebagai berikut : 1. Asma akut intermiten : Di luar serangan, tidak ada gejala sama sekali. Pemeriksaan fungsi paru tanpa provokasi tetap normal. Penderita ini sangat jarang jatuh ke dalam status asmatikus dan dalam pengobatannya sangat jarang memerlukan kortikosteroid. 2. Asma akut dan status asmatikus: Serangan asma dapat demikian beratnya sehingga penderita segera mencari pertolongan. Bila serangan asma akut tidak dapat diatasi dengan obat-obat adrenergik beta dan teofilin disebut status asmatikus. 3. Asma kronik persisten (asma kronik): Pada asma kronik selalu ditemukan gejala-gejala obstruksi jalan napas, sehingga diperlukan pengobatan yang terus menerus. Hal tersebut disebabkan oleh karena saluran nafas penderita terlalu sensitif selain adanya faktor pencetus yang terus-menerus. Modifikasi asma berdasarkan National Asthma Education Program (NAEPP) yaitu : 1.
Asma Ringan
Singkat (< 1 jam ) eksaserbasi symptomatic < dua kali/minggu. Puncak aliran udara ekspirasi > 80% diduga akan tanpa gejala. 2.
Asma Sedang
Gejala asma kambuh >2 kali / mingggu Kekambuhan mempengaruhi aktivitasnya Kekambuhan mungkin berlangsung berhari-hari 6
Kemampuan puncak ekspirasi /detik dan kemampuan volume ekspirasi berkisar antara 60-80%. 3.
Asma Berat
Gejala terus menerus menganggu aktivitas sehari-hari Puncak aliran ekspirasi dan kemampuan volume ekspirasi kurang dari 60% dengan variasi luas Diperlukan kortikosteroid oral untuk menghilangkan gejala.
II.8 PATOFISIOLOGI ASMA PADA KEHAMILAN Pada asma terdapat penyempitan saluran pernafasan yang disebabkan oleh spasme otot polos saluran nafas, edema mukosa dan adanya hipersekresi yang kental. Penyempitan ini akan menyebabkan gangguan ventilasi (hipoventilasi), distribusi ventilasi tidak merata dalam sirkulasi darah pulmonal dan gangguan difusi gas di tingkat alveoli. Akhirnya akan berkembang menjadi hipoksemia, hiperkapnia dan asidosis pada tingkat lanjut. Ciri patofisiologi asma adalah inflamasi kronis and hiperaktif bronkial termasuk interaksi antara banyak sel dan mediator radang. Sel infiltrate saluran pernapasan yang radang termasuk T sel aktif, terdiri dari yang terbesar adalah eosinofil dan limfosit TH2. Karena alasan inilah, agen anti-inflamasi merupakan hal pokok dalam pengawasan asma persisten. Walaupun kortikosteroid mengurangi produksi sitokin dan chemokines pada pasien asma atau dengan rhinitis dan alur pengobatan utama untuk banyak pasien, leukotriene modifiers and antagonis juga bersifat anti-inflamasi. Timbulnya serangan asma disebabkan terjadinya reaksi antigen antibodi pada permukaan sel mast paru, yang akan diikuti dengan pelepasan berbagai mediator kimia untuk reaksi hipersentifitas cepat. Terlepasnya mediatormediator ini menimbulkan efek langsung cepat pada otot polos saluran nafas dan permiabilitas kapiler bronkus. Mediator yang dilepaskan meliputi bradikinin, leukotrien C,D,E, prostaglandin PGG2, PGD2a, PGD2, dan tromboksan A2. Mediator-mediator ini menimbulkan reaksi peradangan dengan bronkokonstriksi, kongesti vaskuler dan timbulnya edema, di samping kemampuan mediator-mediator ini untuk menimbulkan bronkokontriksi, leukotrien juga meningkatkan sekresi mukus dan menyebabkan terganggunya mekanisme transpor mukosilia. Pada asma dengan kausa non alergenik terjadinya bronkokontriksi tampaknya diperantarai oleh perubahan aktifitas eferen vagal yang mana terjadi ketidak seimbangan antara tonus simpatis dan parasimpatis. Saraf simpatis dengan reseptor beta-2 menimbulkan bronkodilatasi, sedangkan saraf parasimpatis menimbulkan bronkokontriksi. Patofisiologi asma yang terbaru berbicara mengenai konsep inflamasi saluran pernapasan mutakhir dan strategi terapeutik di masa mendatang. Perubahan fisiologis selama kehamilan mengubah prognosis asma, Hal ini berhubungan dengan perubahan hormonal selama kehamilan. Bronkodilatasi yang dimediasi oleh progesteron serta peningkatan kadar kortisol serum bebas merupakan salah satu perubahan fisiologis kehamilan yang dapat memperbaiki gejala asma, sedangkan
7
prostaglandin F2 dapat memperburuk gejala asma karena efek bronkokonstriksi yang ditimbulkannya (Nelson and Piercy, 2001). Pengaruh kehamilan pada asma Perubahan hormonal yang terjadi selama kehamilan mempengaruhi hidung , sinus dan paru. Peningkatan hormon estrogen menyebabkan kongesti kapiler hidung, terutama selama trimester ketiga, sedangkan peningkatan kadar hormon progesteron menyebabkan peningkatan laju pernapasan (ACAAI, 2002). Beecroft dkk mengatakan bahwa jenis kelamin janin dapat mempengaruhi serangan asma pada kehamilan. Pada studi prospektif blind, ditemukan 50% ibu bayi perempuan mengalami peningkatan gejala asma selama kehamilan dibandingkan dengan 22,2% ibu bayi laki-laki. Ibu dengan bayi laki-laki menunjukkan perbaikan gejala asma (44,4%), sementara tidak satu pun ibu dari bayi perempuan mengalami perbaikan. Penelitian ini menyimpulkan bahwa gejolak adrenergik yang dialami ibu selama mengandung janin laki-laki dapat meringankan gejala asma (Frezzo et al., 2002). Ada hubungan antara keadaan asma sebelum hamil dan morbiditasnya pada kehamilan. Pada asma ringan 13 % mengalami serangan pada kehamilan, pada asma moderat 26 %, dan asma berat 50 %. Sebanyak 20 % dari ibu dengan asma ringan dan moderat mengalami serangan intrapartum, serta peningkatan risiko serangan 18 kali lipat setelah persalinan dengan seksio sesarea jika dibandingkan dengan persalinan per vaginam. Pengaruh kehamilan terhadap timbulnya serangan asma pada setiap penderita tidaklah sama, bahkan pada seorang penderita asma serangannya tidak sama pada kehamilan pertama dan kehamilan berikutnya. Biasanya serangan akan timbul mulai usai kehamilan 24 minggu sampai 36 minggu, dan akan berkurang pada akhir kehamilan. Pengaruh asma pada ibu dan janin sangat bergantung dari frekuensi dan beratnya serangan asma, karena ibu dan janin akan mengalami hipoksia. Keadaan hipoksia jika tidak segera diatasi tentu akan memberikan pengaruh buruk pada janin, berupa abortus, persalinan prematur, dan berat janin yang tidak sesuai dengan umur kehamilan. Efek kehamilan pada asma tidak dapat diprediksi. Turner et al dalam suatu penelitian yang melibatkan 1054 wanita hamil yang menderita asma menemukan bahwa 29% kasus membaik dengan terjadinya kehamilan, 49% kasus tetap seperti sebelum terjadinya kehamilan, dan 22% kasus memburuk dengan bertambahnya umur kehamilan. Sekitar 60% wanita hamil yang mendapat serangan asma dapat menyelesaikan kehamilannya dengan baik. Sekitar 10% akan mengalami eksaserbasi pada persalinan. Mabie dkk (1992) melaporkan peningkatan 18 kali lipat resiko eksaserbasi pada persalinan dengan seksio sesarea dibandingkan dengan pervaginam Pengaruh asma pada kehamilan Asma pada kehamilan pada umumnya tidak mempengaruhi janin, namun serangan asma berat dan asma yang tak terkontrol dapat menyebabkan hipoksemia ibu sehingga berefek pada janin (Nelson and Piercy, 2001). Hipoksia janin terjadi sebelum hipoksia ibu terjadi. Asma pada kehamilan berdampak penting bagi ibu dan janin selama kehamilan dan persalinan. Dampak yang terjadi dapat berupa kelahiran prematur, usia kehamilan muda,
8
hipertensi pada kehamilan, abrupsio plasenta, korioamnionitis, dan seksio sesaria (Liu et al.,2000; Bhatia and Bhatia,2000).
II.9 DIAGNOSIS DAN PEMANTAUAN PENYAKIT Diagnosis asma ditegakkan berdasar gejala episodic obstruksi aliran jalan nafas, yang bersifat reversibel atau reversibel sebagian. Derajat berat asma dapat dikelompokkan sebagai asma intermiten, asma persisten ringan, asma persisten sedang dan asma persisten berat, tergantung pada frekwensi dan derajat berat gejalanya, termasuk gejala malam, episode serangan dan faal paru (Sharma, 2004). Kelompok kerja National Asthma Education and Prevention Program (NAEPP) berpendapat bahwa pasien asma persisten harus dievaluasi minimal setiap bulannya selama kehamilan. Evaluasi termasuk riwayat penyakit (frekuensi gejala, asma malam hari, gangguan aktivitas, serangan dan penggunaan obat ), auskultasi paru, serta faal paru (NAEPP, 2005). Uji spirometri dilakukan pada diagnosis pertama kali, dan dilanjutkan dengan pemantauan rutin pada kunjungan pasien selanjutnya, tetapi pengukuran APE dengan peak flow meter biasanya sudah cukup. Pasien dengan VEP1 60-80% prediksi meningkatkan risiko terjadinya asma pada kehamilan, dan pasien dengan VEP1 kurang dari 60% prediksi memiliki risiko yang lebih tinggi (NAEPP, 2005). Asma pada kehamilan berhubungan dengan kejadian Intra Uterine Growth Retardation (IUGR) dan kelahiran prematur, sangatlah penting untuk menegakkan waktu kehamilan secara akurat melalui pemeriksaan USG pada trimester pertama. Menurut pendapat kelompok kerja NAEPP, evaluasi aktivitas dan perkembangan janin dengan pemeriksaan USG rutin dipertimbangkan bagi : 1) wanita dengan asma terkontrol; 2) wanita dengan asma sedang sampai berat, mulai kehamilan minggu ke-32; 3) wanita setelah pulih dari serangan asma berat (NAEPP, 2005).
II.10 PENATALAKSANAAN ASMA PADA KEHAMILAN Penatalaksanaan asma selama kehamilan membutuhkan pendekatan kooperatif antara dokter kandungan, bidan, dokter paru serta perawat yang khusus menangani asma dan ibu hamil itu sendiri. Tujuan serta terapi pada prinsipnya sama dengan pada penderita asma yang tidak hamil. Terapi medikasi asma selama kehamilan hampir sama dengan terapi penderita asma tidak hamil, dengan pelega kerja singkat serta terapi harian jangka panjang untuk mengatasi inflamasi (Nelson and Piercy, 2001). Pentingnya pengobatan asma adalah mencegah kematian, kegagalan pernapasan, status asmatikus, perawatan di ruang emergensi, dan cacat wheezing. Penatalaksaan asma kronis pada kehamilan harus mencakup hal-hal berikut. Penilaian obyektif fungsi paru dan kesejahteraan janin Pasien harus mengukur PEFR 2 kali sehari dengan target 380 – 550 liter/menit. Tiap pasien memiliki nilai baseline masing-masing sehingga terapi dapat disesuaikan.
9
Menghindari faktor pencetus asma Mengenali serta menghindari faktor pencetus asma dapat meningkatkan kesejahteraan ibu dengan kebutuhan medikasi yang minimal (NAEPP, 2005). Asma dapat dicetuskan oleh berbagai faktor termasuk alergi, infeksi saluran napas atas, sinusitis, exercise, aspirin, obatobatan anti inflamasi non steroid (NSAID), dan iritan, misalnya: asap rokok, asap kimiawi, kelembaban, emosi (Kramer, 2001; ACAAI, 2002). Di samping itu, pencetus terkemuka serangan asma termasuk serbuk/tepung, tungau, jamur, amukan hewan, makanan, dan hormone. Pada umumnya kucing merupakan hewan kesayangan yang menyebabkan asma. Semua hewan pengerat, kelinci, dan hewan peliharaan dapat menyebabkan asma, termasuk kecoak. Gastroesophageal reflux (GER) dikenal sebagai pencetus asma dan terjadi pada hampir 1/3 wanita hamil. Asma yang dicetuskan oleh GER dapat disebabkan oleh aspirasi isi lambung kedalam paru sehingga menyebabkan bronkospasme, maupun aktivasi arkus refleks vagal dari esofagus ke paru sehingga menyebabkan bronkokonstriksi (Kahrilas, 1996). Wanita hamil perokok harus berhenti merokok, dan menghindari paparan asap tembakau serta iritan lain di sekitarnya. Wanita hamil yang merokok berhubungan dengan peningkatan risiko wheezing dan kejadian asma pada anaknya (Blaiss, 2004; Nelson and Piercy, 2001; NAEPP, 2005). Edukasi Mengontrol asma selama kehamilan penting bagi kesejahteraan janin. Ibu hamil harus mampu mengenali dan mengobati tanda-tanda asma yang memburuk agar mencegah hipoksia ibu dan janin. Ibu hamil harus mengerti cara mengurangi paparan agar dapat mengendalikan faktor-faktor pencetus asma (NAEPP, 2005). Terapi farmakologi selama kehamilan Kelompok kerja NAEPP merekomendasikan prinsip serta pendekatan terapi farmakologi dalam penatalaksanaan asma pada kehamilan dan laktasi (tabel.1). Prednison, teofilin, antihistamin, kortikosteroid inhalasi, β2 agonis dan kromolin bukan merupakan kontra indikasi pada penderita asma yang menyusui. Rekomendasi penatalaksanaan asma selama laktasi sama dengan penatalaksanaan asma selama kehamilan (NAEPP, 2005). Terapi asma modern dengan teofilin, kortikosreoid dan beta agonis menurunkan risiko komplikasi kehamilan menjadi rendah baik pada ibu maupun janin. Farmakoterapi tdak boleh bersifat teratogenik pada janin atau berbahaya pada ibu. Penggunaan beta agonis, seperti metaproterenol, dan albuterol, dapat digunakan dalam pengobatan darurat pada asma berat dalam kehamilan, tetapi penggunaan jangka panjang seharusnya dihindari pada kehamilan muda, terutama sekali sejak efek pada janin tidak diketahui.(Greenberger, 1985). Tahap 1: Asma Intermitten Bronkodilator kerja singkat, terutama β2 agonis inhalasi direkomendasikan sebagai pengobatan pelega cepat untuk mengobati gejala pada asma intermiten. Aksi utama β2 agonis adalah untuk merelaksasikan otot polos jalan napas dengan menstimulus β2 reseptor, sehingga meningkatkan siklik AMP dan menyebabkan bronkodilatasi. Salbutamol adalah β2 agonis inhalasi yang memiliki profil keamanan baik. Belum terdapat data yang membuktikan kejadian cidera janin pada penggunaan β2 agonis inhalasi kerja singkat maupun kontra indikasi selama menyusui (NAEPP, 2005).
10
Tahap 2 : Asma Persisten Ringan Terapi yang dianjurkan untuk pengobatan kontrol jangka lama pada asma persisten ringan adalah kortikosteroid inhalasi dosis rendah. Kortikosteroid merupakan terapi preventif dan bekerja luas pada proses inflamasi. Efek klinisnya ialah mengurangi gejala beratnya serangan, perbaikan arus puncak ekspirasi dan spirometri, mengurangi hiperresponsif jalan napas, mencegah serangan dan mencegah remodeling dinding jalan napas (NAEPP, 2005). Kortikosteroid mencegah pelepasan sitokin, pengangkutan eosinofil jalan napas dan pelepasan mediator inflamasi (NAEPP, 2003). Kortikosteroid inhalasi mencegah eksarsebasi asma dalam kehamilan dan merupakan terapi profilaksis pilihan (Nelson and Piercy, 2001). Dibandingkan dengan kortikosteroid inhalasi lainnya, budesonid lebih banyak digunakan pada wanita hamil. Belum terdapat data yang menunjukkan bahwa penggunaan kortikosteroid inhalasi selain budesonid tidak aman selama kehamilan. Oleh karenanya, kortikosteroid inhalasi selain budesonid juga dapat diteruskan pada pasien yang sudah terkontrol dengan baik sebelum kehamilan, terutama bila terdapat dugaan perubahan formulasi dapat membahayakan asma yang terkontrol (NAEPP, 2005). Kortikosteroid oral selama kehamilan meningkatkan risiko preeklampsia, kelahiran prematur dan berat bayi lahir rendah (Nelson and Piercy, 2001; Gluck and Gluck,2005; NAEPP,2005; Sharma,2004). Bagaimanapun juga, mengingat pengaruh serangan asma berat bagi ibu dan janin, penggunaan kortikosteroid oral tetap diindikasikan secara klinis selama kehamilan (Nelson and Piercy, 2001). Selama kehamilan, penggunaan prednison untuk mengontrol gejala asma penting diberikan bila terdapat kemungkinan terjadinya hipoksemia ibu dan oksigenasi janin yang tidak adekuat (Greenberger, 1997). Prednisolon dimetabolisme sangat rendah oleh plasenta (10%). Beberapa studi menyebutkan tidak ada peningkatan risiko aborsi, bayi lahir mati, kelainan kongenital, reaksi penolakan janin ataupun kematian neonatus yang disebabkan pengobatan ibu dengan steroid (Nelson and Piercy,2001; NAEPP,2003; Rotschild et al.,1997) Kromolin sodium memiliki toleransi dan profil keamanan yang baik, tetapi kurang efektif dalam mengurangi manifestasi asma baik secara objektif maupun subjektif bila dibandingkan dengan kortikosteroid inhalasi. Kromolin sodium memiliki kemampuan anti inflamasi, mekanismenya berhubungan dengan blokade saluran klorida. Kromolin ialah suatu terapi alternatif, bukan terapi yang dianjurkan bagi asma persisten ringan (NAEPP, 2005). Antagonis reseptor leukotrien (montelukast dan zafirlukast) digunakan untuk mempertahankan terapi terkontrol pada pasien asma sebelum hamil. Menurut opini kelompok kerja NAEPP, saat memulai terapi baru untuk asma pada kehamilan, antagonis reseptor leukotrien merupakan terapi alternatif, dan tidak dianjurkan sebagai terapi pilihan bagi asma persisten ringan (NAEPP, 2005). Teofilin menyebabkan bronkodilatasi ringan sampai sedang pada asma. Konsentrasi rendah teofilin dalam serum beraksi sebagai anti inflamasi ringan. Teofilin memiliki potensi toksisitas serius bila dosisnya berlebihan atau terdapat interaksi dengan obat lain (misal dengan eritromisin). Penggunaan teofilin selama kehamilan membutuhkan dosis titrasi yang hati-hati serta pemantauan ketat untuk mempertahankan konsentrasi teofilin serum 5 – 12 mcg/mL. Penggunaan teofilin dosis rendah merupakan terapi alternatif, tapi tidak dianjurkan pada asma persisten ringan (NAEPP, 2005).
11
Tahap 3 : Asma Persisten Sedang Terdapat dua pilihan terapi : kombinasi kortikosteroid inhalasi dosis rendah dan β2 agonis inhalasi kerja lama atau meningkatkan dosis kortikosteroid inhalasi sampai dosis medium. Data yang menunjukkan keefektivan dan atau keamanan penggunaan kombinasi terapi ini selama kehamilan sangat terbatas, tetapi menurut data uji coba kontrol acak pada orang dewasa tidak hamil menunjukkan bahwa penambahan β2 agonis inhalasi kerja lama pada kortiko steroid inhalasi dosis rendah menghasilkan asma yang lebih terkontrol daripada hanya meningkatkan dosis kortikosteroid (NAEPP, 2005). Profil farmakologi dan toksikologi β2 agonis inhalasi kerja lama dan singkat hampir sama, terdapat justifikasi bahwa β2 agonis inhalasi kerja lama memiliki profil keamanan yang sama dengan salbutamol, dan β2 agonis inhalasi kerja lama aman digunakan selama kehamilan. Contoh β2 agonis inhalasi kerja lama adalah salmeterol dan formoterol (NAEPP, 2005). Bracken dkk menyimpulkan bahwa tidak ditemukan perbedaan yang signifikan pada berat lahir dan panjang lahir bayi, kelahiran prematur, maupun preeklampsia, pada penggunaan β2 agonis inhalasi kerja lama bila dibandingkan dengan Salmeterol selama kehamilan (Gluck and Gluck, 2005). Tahap 4 : Asma Persisten Berat Jika pengobatan asma persisten sedang telah dicapai tetapi masih membutuhkan tambahan terapi, maka dosis kortikosteroid inhalasi harus dinaikkan sampai batas dosis tinggi, serta penambahan terapi budesonid. Jika cara ini gagal dalam mengatasi gejala asma, maka dianjurkan untuk penambahan kortikosteroid sistemik (NAEPP, 2005).
12
BAB III LAPORAN KASUS
Data Pasien Nama Umur Pekerjaan Agama Suku/Bangsa Alamat
Data Suami : Ny.R/SD Nama : 27 tahun Umur : IRT Pekerjaan : Islam Agama : Jawa/Indonesia Suku/Bangsa : Waruduwur RT 04 RW 03. Mundu. Cirebon
Tanggal masuk RS Rujukan Keterangan rujukan
: Tn. M/SD : 30 tahun : Nelayan : Islam : Jawa/Indonesia
: 03-06-2013 Waktu : Pk 13.30 WIB : Bidan Devi : G3P2A0 parturient aterm dengan riwayat asma bronkiale
III.1 Anamnesa Keluhan Utama Sesak, batuk, mulas-mulas dan keluar lendir bercampur darah. Riwayat Penyakit Sekarang Seorang wanita G3P2A0 merasa hamil 9 bulan datang ke RSUD Gunung Jati dengan keluhan sesak napas. Sesak napas dirasakan ± sejak 3 hari SMRS dan terasa memberat pada malam hari. Dalam 1 minggu ini pasien mengaku sudah 2 kali terbangun pada saat malam hari karena sesak napas dan selama 3 hari ini sesak napas muncul setiap hari dan keluhan tidak berkurang seperti biasanya setelah pasien menggunakan obat semprot yang dibelinya di apotik terdekat tanpa resep dokter. Sesak napas tidak disertai dengan napas yang berbunyi “ngik”. Pasien juga mengeluhkan dadanya terasa berat dan batuk berdahak ± 3 hari. Dahak berwarna putih dan tidak terdapat darah. Tidak ada nyeri dada dan tidak ada demam. Sewaktu kecil pasien tidak pernah mengalami keluhan sesak napas. Sesak napas pertama kali muncul ± 1 tahun yang lalu terutama saat udara dingin. Saat pertama kali mengalami keluhan sesak napas, pasien datang ke mantri untuk berobat. Kemudian, pasien diberi obat semprot untuk meredakan sesak napasnya. Semenjak saat itu, pasien tidak pernah lagi datang berobat ke petugas kesehatan. Namun, dia tetap membeli obat semprot ke apotik dan menggunakannya saat keluhan sesak napasnya muncul. Awalnya, keluhan sesak napas jarang dirasakan oleh pasien, kadang sesak napas timbul 2 x sebulan, 1 x sebulan, bahkan pasien sempat berbulan-bulan tidak merasakan sesak napas. Namun, sejak usia kehamilan memasuki minggu ke-9 keluhan sesak napas menjadi semakin sering dirasakannya (hampir setiap hari). Sehari sebelum masuk RS pasien mulai merasakan mulas-mulas. Mulas dirasakan semakin sering dan keluar lendir bercampur darah. Kemudian pasien memeriksakan diri ke bidan. Saat di bidan pasien juga merasakan sesak sehingga bidan merujuk ke RSUD Gunung Jati. 13
Riwayat Penyakit Dahulu Riwayat asma (+), penderita biasa minum obat warung atau ke Puskesmas jika tidak berkurang. Riwayat penyakit hepatitis, hipertensi, gangguan jantung, diabetes melitus serta TBC disangkal oleh pasien. Riwayat Operasi Riwayat operasi disangkal oleh pasien. Riwayat Pernikahan Pasien mengaku, ini merupakan kehamilan dari pernikahan yang kedua dengan lama perkawinan adalah 2 tahun. Riwayat Obstetri NO KEHAMILAN/PARTUS UMUR 1. Laki-laki/aterm/paraji/spontan 13 thn 2. Perempuan/aterm/paraji/spontan 3 thn 3. Sekarang Kehamilan Sekarang Hari pertama haid terakhir (HPHT) Hari perkiraan lahir (HPL)
KEADAAN ANAK Hidup Hidup
KET
: 21-08-2012 : 28-05-2013
Riwayat ANC Lebih dari 8 kali kontrol kehamilan dengan bidan di Puskesmas. III.2 Status Praesens Keadaan Umum Tanda-tanda Vital Tekanan Darah Frekuensi Nadi Frekuensi Nafas Suhu Tinggi Badan Berat Badan Konjungtiva Anemis Konjungtiva Ikterik Mammae Jantung Paru-paru Edema
: Sedang : 120/80 mmHg : 88 kali/menit : 28 kali/menit : 36,7C : 153 cm : 55 kg : Tidak : Tidak : Simetris, putting susu menonjol : BJ I/II reguler, murmur (-), gallop, (-) : Vesikuler +/+, rhonki (-/-), whezzing (+/+) : -
III.3 Pemeriksaan Obstetri Pemeriksaan Luar Tinggi Fundus Uteri Letak Anak DJJ His
-
: 33cm : Memanjang, puka, preskep : 144 x/menit : 2x/10’ 20”
14
Pemeriksaan Dalam Vulva/vagina Porsio Pembukaan Selaput ketuban Bagian terendah
: Tidak ada kelainan : tebal lunak : 2-3 cm : (+) : Kepala
Hodge : masih tinggi
III.4 Pemeriksaan Penunjang Darah Leukosit : 10,1 x 103/mm3 Eritrosit : 3,94 x 106/mm3 Hemoglobin : 12,3 gr/dL Hematokrit : 37,2 % Trombosit : 228 x 103/mm3 III.5 Diagnosis G3P2A0 parturient aterm (37-38 minggu) bronkiale
MCV MCH MCHC MPV FDW
: 94 m3 : 31,1 pg : 33,0 gr/dL : 7,3 m3 : 12,8 %
kala 1 fase laten dengan riwayat asma
III.6 Penatalaksanaan Tanggal 03-06-2013 Jam 17.00 konsul dr. Samsudin, SpOG Advice : - Observasi - Konsul penyakit paru Jam 18.00 Konsul penyakit paru dr. Ali, Sp.P Advice = - Aminophilin 1 ½ amp/kolf - Nebu Combivent 3x1 - Metil Prednisolon 2x125 mg - Ranitidin 2x1 Jam 18.30 Pemeriksaan dalam V/V t.a.k Portio tebal, lunak Pembukaan 2-3 cm Ketuban (+) Presentasi kepala, Hodge I-II caput Diagnosis = parturient aterm kala I fase laten dengan riwayat asma Jam 23.30 Pemeriksaan dalam V/V t.a.k Portio tebal, lunak Pembukaan 2-3 cm Ketuban (+) Presentasi kepala, Hodge I-II caput Diagnosis = parturient aterm kala I fase laten dengan riwayat asma
15
Tanggal 04-06-2013 Jam 06.45 konsul dr. Samsudin, SpOG Advice : - Observasi Jam 10.00 Pemeriksaan USG dengan dr.Hardiansyah,Sp.OG - Hamil tunggal hidup, letak kepala - Punggung kanan - Pulsasi jantung (+), teratur - Ketuban (+), cukup - Plasenta terletak di corpus depan - Usia kehamilan : BPD = 9,6 cm ᵙ 39-40 minggu - TBJ = 3450 gr Kes = Gravida 39-40 mgg janin tunggal hidup Advice = - Cefotaxim 2x1 gr Jam 15.30 Pemeriksaan dalam V/V t.a.k Portio tebal, lunak Pembukaan 4-5 cm Ketuban (+) Presentasi kepala, Hodge I-II caput Diagnosis = parturient aterm kala I fase aktif dengan riwayat asma Jam 17.20 konsul dr. Hardiansyah, SpOG Advice : - terapi lanjutkan Jam 19.30 Pemeriksaan dalam V/V t.a.k Portio tebal, lunak Pembukaan 5-6 cm Ketuban (+) Presentasi kepala, Hodge II-III caput Diagnosis = parturient aterm kala I fase aktif dengan riwayat asma Jam 23.30 Pemeriksaan dalam V/V t.a.k Portio tebal, lunak Pembukaan 7-8 cm Ketuban (-) → pecah spontan jernih Presentasi kepala, Hodge II-III caput Diagnosis = parturient aterm kala I fase aktif dengan riwayat asma
III.7 Resume Pasien berusia 27 tahun, G3P2A0 datang dengan sesak, batuk, dan mulas disertai keluar lender bercampur darah. Gerakan janin masih dapat dirasakan dengan baik. Riwayat penyakit asma diketahui. Riwayat penyakit sistemik yang lain dan tindakan operasi disangkal. Pasien merupakan rujukan dari Bidan, dikarenakan pada pemeriksaan didapatkan pasien sesak dan memiliki riwayat asma. Dari pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 120/80 mmHg, frekuensi nadi 88 kali/menit, frekuensi nafas 28 16
kali/menit, suhu di axilla 36,5C. Status general dalam batas normal kecuali pada auskultasi thoraks terdengar whezzing +/+. Pada pemeriksaan obstetri ditemukan tinggi fundus uteri 33 cm, his 2x/10’ selama 20”, denyut jantung janin 144 kali/menit. Setelah pemeriksaan, pasien langsung diberikan pengobatan asma. III.8 Follow Up Kamar Bersalin 03-06-2013 Jam His DJJ TD 13.30 2x/10’20” 144x/menit 110/80mmHg 14.30 2x/10’30” 142x/menit 110/80mmHg
N RR T 85x/menit 28x/menit 36,7C 80x/menit 24x/menit 36,9C
15.30
2x/10’30”
146x/menit 110/80mmHg
88x/menit 24x/menit 37,0C
16.30
3x/10’35”
136x/menit 120/80mmHg
86x/menit 22x/menit 36,7C
17.30
3x/10’35”
140x/menit 120/80mmHg
84x/menit 23x/menit 36,7C
18.30
3x/10’35”
144x/menit 120/80mmHg
84x/menit 23x/menit 36,9C
19.30
3x/10’40”
144x/menit 120/80mmHg
84x/menit 23x/menit 36,7C
20.30
3x/10’40”
140x/menit 110/80mmHg
85x/menit 24x/menit 36,8C
21.30
3x/10’40”
148x/menit 110/80mmHg
80x/menit 23x/menit 36,7C
22.30
4x/10’35”
146x/menit 120/80mmHg
82x/menit 23x/menit 36,7C
23.30
4x/10’35”
144x/menit 120/80mmHg
85x/menit 24x/menit 36,6C
00.30
4x/10’35”
140x/menit 110/80mmHg
84x/menit 23x/menit 36,7C
01.30
4x/10’40”
144x/menit 110/80mmHg
85x/menit 23x/menit 36,7C
02.30
4x/10’40”
148x/menit 110/80mmHg
85x/menit 24x/menit 36,8C
Tanggal 04-06-13 Pkl 23.35 Bayi lahir spontan ditolong oleh bidan yang dilakukan di kamar bersalin RSUD Gunung Jati. Bayi dengan jenis kelamin laki-laki, berat badan 3900 gram, panjang badan 50 cm, dengan nilai APGAR 6/8. Tidak ditemukan adanya kelainan. Pkl 23.45 Plasenta lahir spontan. Keadaan umum post partum sedang. TD 120/80, nadi 84 x/mnt, respirasi 22 x/mnt, suhu 36,5oc. Pengeluaran darah ± 250 cc. Plasenta utuh.
17
BAB IV PEMBAHASAN
Pasien dengan inisial Ny. R 24 tahun, G3P2A0, merasa hamil 40 minggu, datang ke kamar bersalin RS Gunung Jati pada tanggal 03-06-13. Berdasarkan anamnesa didapatkan bahwa pasien datang dengan keluhan sesak, batuk, dan mulas-mulas. Gerak janin masih dirasakan . Kehamilan ini adalah kehamilan yang ketiga. Pasien memiliki riwayat asma. Berdasarkan HPHT tanggal 21-08-2012, maka diperoleh taksiran partus 28-05-2013, dimana saat ini umur kehamilan pasien 37-38 minggu.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 120/80 mmHg, frekuensi nadi 88 kali/menit, frekuensi nafas 28 kali/menit, suhu di axilla 36,5C. Status general dalam batas normal kecuali pada auskultasi thoraks terdengar whezzing +/+. Pada pemeriksaan obstetri ditemukan tinggi fundus uteri 33 cm, his 2x/10’ selama 20”, denyut jantung janin 144 kali/menit. Pemeriksaan Dalam Vulva/vagina tidak ada kelainan, Porsio tebal lunak, Pembukaan 2- 3 cm , Selaput ketuban (+), bagian terendah kepala dengan Hodge : masih tinggi. Dari pemeriksaan USG didapatkan kesan gravid aterm 39 – 40 minggu sesuai biometri janin dan gerak janin baik.
Ketika datang pasien langsung dikonsultasikan ke dokter spesialis kandungan yang sedang jaga, dr. Samsudin, Sp.OG dan diberi saran untuk konsul ke penyakit paru di RS Gunung Jati. Dari spesialis penyakit paru pasien mendapat terapi Aminophilin 1 ½ amp/kolf, Nebu Combivent 3x, Metil Prednisolon 2x125 mg, dan Ranitidin 2x1.
18
BAB V KESIMPULAN Selama kehamilan terjadi perubahan fisiologi sistem pernafasan yang disebabkan oleh perubahan hormonal dan faktor mekanik. Perubahan-perubahan ini diperlukan untuk mencukupi peningkatan kebutuhan metabolik dan sirkulasi untuk pertumbuhan janin, plasenta dan uterus.
Keadaan hormonal selama kehamilan sangat berbeda dengan keadaan tidak hamil dan mengalami perubahan selama perjalanan kehamilan. Perubahan-perubahan ini akan memberikan pengaruh terhadap fungsi paru. Misalnya, progesteron memberikan pengaruh awal dengan meningkatkan sensitifitas terhadap CO2 yang menyebabkan terjadinya hiperventilasi ringan, yang bisa disebut sebagai dispnea selama kehamilan. Lebih lanjut dapat dilihat adanya efek relaksasi otot polos. Pengaruh total progesteron selama kehamilan karena peningkatannya yang mencapai 50-100 kali dari keadaan tidak hamil, masih diperdebatkan dengan adanya berbagai temuan klinis yang terbuka diperdebatkan.
Pengaruh asma pada ibu terhadap janin sangat tergantung dari frekuensi dan beratnya serangan asma karena iu dan janin akan mengalami hipoksia. Keadaan hipoksia jika tidak segera diatasi akan memberikan pengaruh buruk pada janin seperti, persalinan prematur, abortus, dan intrauterine growth retriction.
19
DAFTAR PUSTAKA
Cunningham, F. Gary. 2006. Obstetric Williams. Ed. 21. Vol. 2. EGC Price, Sylvia Anderson et al. Patofisiologi Konsep Klinik Proses-Proses Penyakit. Jilid 2. Edisi 4. Price, Sylvia & Wilson Lorraine. 2006. Buku Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6. Jakarta : EGC Prawirohardjo, Sarwono. 2008. Ilmu Kebidanan. Revisi 20. Jakarta : PT. Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Soedarto. 2007. Sinopsis Kedokteran Tropis. Surabaya : Airlangga University Press. Mirmayanti, Bernadeta. 21 Desember 2007. Penggunaan Obat Antituberkulosis Pada Ibu Hamil. http://yosefw.wordpress.com/2007/12/21/Penggunaan-ObatAntituberkulosis-Pada-Ibu-Hamil/ Frieri, Marianne. Management of Asthma in Women. 402-412 WOMEN’S HEALTH IN PRIMARY CARE. Volume 7 Number 8 September 2004. Greenberger, Paul A. dan Patterson, Roy. 1985. Management of Asthma during Pregnancy. (34 – 36). Obstetrical and Gynecological Survey. Williams and Wilkins (Eds.) Vol. 1 Number 1. January 1986. Rosenstreich, David L et al. Asthma and the Environment (24-29). JOURNAL OF ASTHMA Editor David G. Tinkelman, M. D etc. Vol. 40 2003 Warouw, Najoan Nan. Penyakit Saluran Pernapasan. (810 -813). Abdul Bari Syaifuddun (Eds.). 2008. Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo. Ed. 4 Cet. 1. Jakarta : PT Bina Husada Sarwono Prawirohardjo. Wray, Betty B. and McCann, William. 1-4, Bronchial Asthma---“The Plumbing” JOURNAL OF ASTHMA Editor David G. Tinkelman, M. D etc. Vol. 40 2003 Manuaba, I Bagus Gde. 2007. Pengantar Kuliah Obstetri. Jakarta : EGC Laksmi, Purwita W dkk. 2008. Penyakit-penyakit pada Kehamilan: Peran Seseorang Internis. Jakarta: Interna Publishing
20