BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kualitas Air Sungai Kualitas air adalah kondisi kualitatif air yang diukur dan atau diuji berdasarkan parameter-parameter tertentu dan metode tertentu berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 1 Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 115 Tahun 2003). Kualitas air dapat dinyatakan dengan parameter kualitas air. Parameter ini meliputi parameter fisik, kimia, dan mikrobiologis. Parameter fisik menyatakan kondisi fisik air atau keberadaan bahan yang dapat diamati secara visual/kasat mata, Parameter fisik meliputi kekeruhan, kandungan partikel/padatan, warna, rasa, bau, suhu, dan sebagainya. Pengelolaan kualitas air menurut Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 01 Tahun 2010 adalah upaya pemeliharaan air sehingga tercapai kualitas air yang diinginkan sesuai peruntukannya untuk menjamin agar kualitas air tetap dalam kondisi alamiah. Peruntukan badan air masing-masing kelas menurut PP No 82 Tahun 2001. Pasal 8 adalah sebagai berikut; •
Kelas satu, adalah air yang peruntukannya dapat digunakan untuk air baku air minum, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut.
•
Kelas dua, adalah air yang peruntukannya dapat digunakan untuk air prasarana/ sarana rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut.
•
Kelas tiga, adalah air yang peruntukannya dapat digunakan untuk air pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut.
•
Kelas empat, adalah air yang peruntukannya dapat digunakan untuk air mengairi pertanaman dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut.
7
2.2
Beban Pencemaran Definisi pencemaran menurut Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No 01 Tahun 2010 adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam air oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu air limbah yang telah ditetapkan. Beban pencemaran adalah jumlah suatu unsur pencemar yang terkandung dalam air atau limbah . Beban pencemaran juga merupakan besaran satuan berat zat pencemar dalam satuan waktu, misal 1 ton BOD/hari (Anonim, 2010).
2.2.1 Sumber dan Jenis Beban Pencemaran
Sumber pencemar (polutan) dapat berupa suatu lokasi tertentu (point
source) dan tak tentu/tersebar (non-point/diffuse source) Sumber pencemar point source misalnya knalpot mobil, cerobong asap pabrik, dan saluran limbah industri. Pencemar yang berasal dari point source bersifat lokal. Efek yang ditimbulkan dapat ditentukan berdasarkan karakteristik spasial kualitas air. Volume pencemar dari point source biasanya relatif tetap. Sumber pencemar non
- point source bersifat menyebar dalam jumlah yang banyak Misalnya limpasan dari daerah pemukiman dan domestik dan limpasan dari daerah perkotaan (Effendi, 2003). Bahan pencemar (polutan) adalah bahan-bahan yang bersifat asing bagi alam atau bahan yang berasal dari alam itu sendiri yang memasuki suatu tatanan ekosistem sehingga mengganggu peruntukan ekosistem tersebut. Berdasarkan cara masuknya ke dalam lingkungan, polutan dikelompokkan menjadi dua, yaitu polutan alamiah dan polutan antropogenik. Polutan alamiah adalah polutan yang memasuki suatu lingkungan (misalnya badan air) secara alami, misalnya akibat letusan gunung berapi, tanah longsor, banjir, dan fenomena alam yang lain. Polutan yang memasuki suatu ekosistem secara alamiah sukar dikendalikan. Polutan antropogenik adalah polutan yang masuk ke badan air akibat aktifitas manusia, misalnya kegiatan domestik (rumah tangga), kegiatan urban (perkotaan), maupun kegiatan industri. Intensitas polutan antropogenik dapat dikendalikan dengan cara mengontrol aktifitas yang menyebabkan timbulnya polutan tersebut (Effendi, 2003). Menurut Effendi (2003) polutan yang memasuki perairan terdiri atas campuran berbagai jenis polutan. Jika diperairan terdapat lebih dari dua jenis
8
polutan, maka kombinasi pengaruh yang ditimbulkan oleh beberapa jenis polutan tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga sebagai berikut : 1. Additive; pengaruh yang ditimbulkan oleh beberapa jenis polutan merupakan penjumlahan dari pengaruh masing-masing polutan. Misalnya, pengaruh kombinasi zinc dan kadmium terhadap ikan 2. Synergism; pengaruh yang ditimbulkan oleh beberapa jenis polutan lebih besar daripada penjumlahan pengaruh dari masing-masing polutan. Misalnya , pengaruh kombinasi copper dan klorin atau pengaruh kombinasi copper dan surfaktan 3. Antagonism; pengaruh yang ditimbulkan oleh beberapa jenis polutan saling mengganggu sehingga pengaruh secara kumulatif lebih kecil atau mungkin hilang. Misalnya pengaruh kombinasi kalsium dan timbal atau zinc atau aluminium. Rao (1991) dalam (Hefni, 2003) mengelompokkan bahan pencemar di perairan menjadi beberapa kelompok, yaitu : 1.
Limbah yang menyebabkan penurunan kadar oksigen terlarut Semua limbah yang dioksidasi, terutama limbah domestik, termasuk dalam kategori limbah penyebab penurunan kadar oksigen terlarut (oxygen
demanding waste). Oksigen sangat penting bagi kelangsungan hidup organisme pada ekosistem perairan. Kadar oksigen terlarut di perairan dipengaruhi oleh proses aerasi, fotosintesis, respirasi dan oksidasi limbah. Aerasi adalah proses transfer oksigen dari atmosfer ke perairan melalui proses difusi. Apabila kadar oksigen terlarut di perairan mencapai saturasi dan berada dalam kesetimbangan dengan kadar oksigen di atmosfer maka proses aerasi tidak akan berlangsung. Transfer oksigen dari udara ke dalam air berlangsung apabila kadar oksigen pada badan air belum mencapai tingkat jenuh (saturasi), dan sebaliknya. Pada siang hari, proses fotosintesis menghasilkan oksigen di perairan. Sebaliknya, pada malam hari oksigen justru dimanfaatkan oleh makhluk hidup untuk keperluan respirasi. Penurunan kadar oksigen di perairan juga diakibatkan oleh keberadaan limbah organik yang membutuhkan oksigen untuk melakukan perombakan atau dikenal dengan istilah dekomposisi (Anonim, 2007). 2.
Limbah yang mengakibatkan timbulnya penyakit Air mudah tercemar oleh mikroorganisme berbahaya (patogen) yang masuk melalui limbah. Berbagai metode untuk mengidentifikasi bakteri patogen di perairan telah banyak dikembangkan. Akan tetapi, penentuan semua jenis
9
bakteri patogen membutuhkan waktu dan biaya yang besar, sehingga penentuan grup bakteri coliform dianggap sudah cukup baik dalam menilai tingkat higienitas perairan. Escherichia coli adalah salah satu bakteri coliform total tidak berbahaya yang ditemukan dalam tinja manusia. Keberadaan E. coli secara berlimpah menggambarkan bahwa perairan tersebut tercemar oleh kotoran manusia, yang mungkin juga disertai dengan cemaran bakteri patogen. 3. Limbah yang merupakan senyawa organik Bahan organik baik yang alami maupun sintesis masuk ke badan air, sebagai hasil dari aktifitas manusia. Penyusun utama bahan organik biasanya berupa polisakarida (karbohidrat), polipeptida (protein), lemak (fats), asam nukleat (nucleid acid). Setiap bahan organik memiliki karakteristik fisika, kimia, dan toksisitas yang berbeda. Limbah organik juga mengandung bahan-bahan organik sintesis yang toksik. Beberapa contoh bahan organik yang bersifat toksik terhadap organisme akuatik adalah minyak, fenol, pestisida, surfaktan, dan
polychlorinated biphenyl (PCBs). Berbeda dengan limbah organik alami yang relatif mudah diurai secara biologis, senyawa organik sintetik pada umumnya tidak dapat diurai secara biologis (non biodegradable). Senyawa organik sintesis juga bersifat persisten atau bertahan dalam waktu yang lama di dalam badan air serta bersifat kumulatif. Bahan buangan organik pada umumnya berupa limbah yang dapat membusuk atau terdegradasi oleh mikroorganisme, sehingga hal ini dapat mengakibatkan semakin berkembangnya mikroorganisme dan mikroba patogen pun ikut juga berkembang baik dimana hal ini dapat mengakibatkan berbagai macam penyakit. Limbah pertanian dari penggunaan pestisida jenis klorotalonil maupun pestisida golongan klor-organik lainnya, susah larut dalam air. Senyawanya dapat berikatan dengan senyawa organik lain yang bersifat asam (Manuaba ,2007).
4.
Limbah yang merupakan senyawa anorganik dan mineral Senyawa anorganik terdiri atas logam dan logam berat yang pada umumnya bersifat toksik. Davis dan Cornwell (1991) dalam Hefni (2003) mengemukakan, bahan anorganik yang dianggap toksik adalah arsen (As), barium (Ba), kadmium (Cd), kromium (Cr), timbal (Pb), air raksa (Hg), selenium (Se) dan perak (Ag). Senyawa anorganik dapat berasal dari limbah domestik, dan industri. Limpasan perkotaan merupakan sumber utama timbal (Pb) dan seng (Zn) (Davis dan Cornwell, 1991 dalam Hefni, 2003). Bahan buangan
10
anorganik pada umumnya berupa limbah yang tidak dapat membusuk dan sulit didegradasi
oleh
mikroorganisme.
Dalam
perairan,
buangan
anorganik
menyebabkan terjadinya peningkatan jumlah ion logam di dalam air, sehingga hal ini dapat mengakibatkan air menjadi bersifat sadah, karena mengandung ion kalsium (Ca) dan ion yang bersifat toksik. 5.
Sedimen Sedimen meliputi tanah dan pasir yang masuk ke badan air akibat erosi atau banjir. Pada dasarnya, sedimen tidak bersifat toksik. Sedimen berupa bahan-bahan tersuspensi di dalam air. Keberadaan sedimen dalam badan air air mengakibatkan terjadinya peningkatan kekeruhan perairan, yang selanjutnya menghambat penetrasi cahaya dan transfer oksigen dari atmosfer ke perairan. Peningkatan
kekeruhan
akan
menghambat
daya
lihat
(visibilitas)
dan
terganggunya kehidupan organisme akuatik. 6. Minyak Minyak tersebar di perairan dalam bentuk terlarut, lapisan film yang tipis yang terdapat di permukaan, emulsi dan fraksi yang terserap. Di perairan, interaksi dari bentuk minyak ini sangat kompleks, dipengaruhi oleh nilai specific gravity, titik didih, tekanan permukaan, viskositas, kelarutan dan penyerapan. Kadar minyak mineral dan produk-produk petroleum yang diperkenankan terdapat dalam air minum berkisar antara 0,01 – 0,1 mg/liter. Kadar yang melebihi 0,3 mg/liter bersifat toksik terhadap beberapa jenis ikan air tawar (UNESCO/WHO/UNEP, 1992).
2.2.2 Penentuan Beban Pencemaran Berdasarkan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup nomor 1 tahun 2010 tentang tata laksana pengendalian pencemaran air, metode untuk menentukan beban pencemaran
dikelompokkan
berdasarkan
sumber
pencemar tertentu (point source) dan sumber tak tentu (non point source). Penentuan
beban
pencemar
dari
sumber
tertentu
(point
source)
berdasarkan data primer dari lapangan maupun data sekunder hasil pemantauan instansi yang berwenang. Data kuantitas dan kualitas pencemar air dari sumber tertentu dievaluasi dan dikaji dengan menggunakan metode estimasi sebagai berikut : I,j
= Ci x V x OpHrs/1.000.000
Keterangan :
11
I,i
= Besar beban/emisi pencemar atau parameter i, kg/tahun
C,i
= Konsentrasi jneis pencemar i dalam buangan air limbah, mg/l (data pemantauan lapangan)
V
= Laju alir buangan air limbah liter/jam
OpHrs
=Jumlah jam operasi per tahun, jam/tahun
1 000. 000 = faktor konversi, mg/kg (Sumber : Permen LH no 01 tahun 2010) Beban pencemar dari sumber tak tentu (non point source) diperkirakan dengan terlebih dahulu menentukan faktor emisi yang bersifat spesifik untuk masing-masing kategori kegiatan. Metode estimasi untuk setiap kelompok kegiatan yang menghasilkan air limbah kategori sumber tak tentu (non Point
source) sebagai berikut : Kegiatan dan penggunaan barang konsumsi menghasilkan emisi berupa : a. Emisi polutan dari proses sanitasi dan pencucian b. Emisi yang berkaitan dengan kepadatan penduduk Hasil penelitian Irianto dan Iskandar, 2007 emisi air limbah domestik seperti Tabel 1 Tabel 1. Emisi air limbah domestik No Parameter Faktor Emisi (gr/hari) 1. TSS 38 2. BOD 40 3. COD 55 4. Minyak dan Lemak 1,22 5. Detergen 0,189 6. NH4-N 1,8 7. NO2-N 0,002 8. NO3-N 0,01 9. Organik-N 0,11 10. Total-N 1,95 11. PO4-P 0,17 12. Total-P 0,21 13. S 1,3 14. Phenol 0,001 15. Coli Tinja 3 E +14 Sumber : Irianto dan Iskandar, 2007 dalam Puslitbang SDA Anonim (2010) mengatakan bahwa emisi BOD untuk limbah domestik seperti pada Tabel 2 :
12
Tabel 2. Klasifikasi emisi BOD di Indonesia No Daerah
Klasifikasi
Rentang Beban
Rata-rata Beban
Rasio
gr BOD/orang/hari
gr BOD/orang/hari
ekivalen kota
1.
Kota
Tinggi
37,5 – 42,5
40
1
2.
Pinggiran
Sedang
27,5 – 37,5
32,5
0,8125
Pedalaman Rendah
22,5 – 27,5
25
0,625
kota 3.
Sumber : Balai Lingkungan Keairan Pusat Litbang Sumber Daya air
Beban pencemar dapat diestimasi dengan beberapa rumus berikut : (1) Beban pencemar = faktor emisi x kepadatan populasi x rasio ekivalen kota (Iskandar, 2007) (2) Beban pencemar = jumlah penduduk x
x faktor emisi (tabel 1)
(Anonim, 2010) (3) Beban pencemar = Luas daerah pemukiman x kepadatan penduduk x faktor emisi (PerMenLH no 01 tahun 2010)
Keterangan: : koefisien transfer beban, (0,3 – 0,8), yang merupakan pendekatan dari estimasi air limbah yang masuk ke sungai berdasarkan jarak pemukiman terhadap sungai. Asumsi yang digunakan adalah semakin dekat dengan sungai semakin besar peluang membuang limbah langsung ke sungai. Sebaliknya semakin jauh dari sungai masyarakat semakin rendah peluang membuang limbah secara langsung ke sungai (Kurniawan, 2003) Jarak
0
- 100 m ; nilai
=1
Jarak 100 m - 500 m ; nilai
= 0,85
Jarak 500 m – 1 km
; nilai
= 0,5
Jarak
; nilai
= 0,3
1 km
Sumber pencemar kegiatan pertanian berasal dari sisa pemakaian pupuk dan jerami yan merupakan sisa hasil panen. Pupuk yang dipakai per Ha sawah terdiri dari komposisi 200 kg Nitrogen, 100 kg Phospor, 100 kg kalium, selain itu untuk pencegahan hama dipakai juga pestisida 2 l/Ha sawah. Pupuk yang
13
digunakan hanya 80 % yang efektif diserap, sedangkan sisanya 20% terbawa aliran terutama pada saat musim hujan. Jerami padi merupakan produksi sampingan pada saat musim panen. Setiap ha sawah menghasilkan 3 ton jerami padi, dan setiap tonnya menghasilkan 30 kg BOD. Emisinya diperkirakan sebanyak 20% dari jerami tersebut terbawa ke dalam aliran sungai (Anonim, 2010). Emisi dari kegiatan pertanian untuk setiap parameter dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Emisi dari kegiatan pertanian No
Jenis Pertanian
1.
Parameter Limbah Pertanian BOD N P TSS Pestisida ;/ha/musim Kg/ha/musim tanam tanam
Sawah (jerami padi yang 18 20 10 0,04 membusuk 2. Palawija (humus yang terkikis) 9 10 5 2,4 3. Perkebunan lain (humus yang 4,5 3 1,5 1,6 terkikis) Sumber : Balai Lingkungan Keairan Pusat Litbang Sumber Daya air
2.3
0,16 0,08 0,024
Kapasitas Asimlasi
Kapasitas asimilasi didefinisikan sebagai kemampuan badan air dalam menerima beban pencemar, tanpa menyebabkan terjadinya penurunan kualitas air yang ditetapkan sesuai peruntukannya (Quano, 1993). Kapasitas asimilasi atau kapasitas homeostatis merupakan kemampuan badan air dalam menetralisir atau membersihkan sendiri (self purification) terhadap beban pencemar sampai kondisi tidak tercemar. Sungai dikatakan berada dalam kondisi tercemar, apabila mengalami perubahan karakteristik fisik, kimia dan biologi. Perubahan karakteristik disebabkan adanya tekanan ekologis yang berkaitan dengan fungsi sungai sebagai badan air penerima limbah. Pada awalnya limbah yang masuk ke sungai dapat secara alami dinetralisir sampai pada kondisi tidak tercemar. Namun apabila konsentrasi limbah yang masuk lebih besar daripada kemampuan sungai dalam menetralisir lmbah, maka akan terjadi pencemaran. Bahan pencemar (polutan) dapat berupa gas, bahan-bahan terlarut, dan partikulat. Pencemar memasuki badan air dengan berbagai cara, misalnya melalui atmosfer, tanah,
14
limpasan (run off) pertanian, limbah domestik dan perkotaan, pembuangan limbah industri, dan lain-lain (Effendi, 2003). Konsentrasi dari partikel polutan yang masuk ke perairan akan mengalami tiga macam fenomena yaitu pengenceran (dilution), penyebaran (dispersion) dan reaksi penguraian (decay of reaction). Pengenceran terjadi pada arah vertical ketika air limbah sampai di permukaan perairan, sedangkan penguraian merupakan pengenceran pada permukaan perairan ketika limbah tercampur karena arus (Quano, 1993). Metode yang digunakan untuk menentukan nilai kapasitas asimilasi dikemukakan oleh Quano (1993), sebagai berikut : -
Metode hubungan antara kualitas air dan beban pencemaran Kapasitas asimilasi ditentukan dengan cara memplotkan nilai-nilai kualitas air suatu perairan pada kurun waktu tertentu dengan beban pencemaran dalam suatu grafik. Selanjutnya direferensikan dengan nilai baku mutu air kelas II Peraturan Pemerintah no 82 tahun 2001.
-
Metode arus bermuatan partikel Kapasitas asimilasi ditentukan dengan cara membandingkan konsentrasi limbah dengan konsentrasi air sungai yang menerima limbah, dengan memperhitungkan kecepatan aliran, perbedaan konsentrasi dan debit sungai.
-
Metode penurunan oksigen dari streeter dan phelps Kapasitas asimilasi ditentukan dengan cara mengamati pengurangan nilai oksigen terlarut. Faktor yang diperhitungkan dalam metode ini antara lain waktu perjalanan limbah di sungai. Kapasitas asimilasi juga merupakan kemampuan sungai dalam menerima bahan organik bersifat mudah terurai secara biologis (biodegradable) yang banyak membutuhkan oksigen untuk proses dekomposisi, sehingga menurunkan kadar
oksigen
dalam
badan
air.
Sungai
mampu
melakukan
asimilasi
penambahan oksigen dari atmosfer melalui proses reaerasi sehingga kandungan oksigen terlarut dalam perairan mencukupi untuk kehidupan organisme (Hasham, 2004).
Ada dua konsep yang berhubungan dengan kapasitas asimilasi menurut (Gang et al.2004) yaitu beban kritis (critical load) dan kemampuan membersihkan diri (self purification).
Beban kritis merupakan beban yang
mampu diterima oleh badan air untuk membersihkan diri secara alami.
15
Penentuan kapasitas asimilasi sangat sulit karena ada beberapa sifat dari organisme yang berbeda. Misalnya organisme yang bersifat mudah terurai secara biologis dan yang sulit terurai secara biologis. Penentuan kapasitas asimilasi sangat penting sebagai bahan masukan pengambilan kebijakan pengendalian pencemaran air (Lee et al. 2008).
2. 4 SUNGAI CIDURIAN 2.4.1 Kondisi geografis Daerah Penelitian Provinsi Banten merupakan lokasi keberadaan Sungai Cidurian. Agar diperoleh gambaran tentang daerah penelitian, berikut ini diuraikan tentang kondisi umum wilayah yang dilalui Sungai Cidurian. Secara geografis letak Sungai Cidurian antara 106°00’30” BT dan 6°40’ LS. Luas Sungai Cidurian ± 815 km dengan panjang sungai 81,5 km, mempunyai dua anak sungai, yaitu Sungai Cimandaya dan Sungai Cibeureum (Anonim, 2010). Wilayah aliran Sungai Cidurian ini dibatasi oleh Laut Jawa di bagian Utara , wilayah aliran Sungai Ciujung di bagian Barat, wilayah aliran Sungai Cisadane-Ciliwung di bagian timur, wilayah aliran sungai Cibaliung-Cibareno di bagian selatan. Sungai Cidurian mengalir dari sumber mata air yang berada di komplek G. Gede ke Laut Jawa dengan melewati empat kabupaten yaitu Kabupaten Bogor, Kabupaten Lebak, Kabupaten Serang dan Kabupaten Tangerang. Sungai Cidurian ini mempunyai tiga anak sungai utama, yaitu Sungai Cidurian Hulu, Sungai Cibeureum dan Sungai Cipangaur terletak pada daerah Cilaang dan pertemuan sungai Cidurian dan Sungai Cibeureum pada daerah Cikande. Topografi Sungai Cidurian yang merupakan daerah dataran dengan kemiringan antara 0,00012 – 0,00025 (satuan ) terletak pada daerah muara sungai sampai dengan daerah pertemuan dengan Cibeureum dan Sungai Cidurian dan untuk topografi yang landai ke arah terjal (daerah pegunungan) terletak pada daerah pertemuan Sungai Cidurian dengan Sungai Cipangaur sampai ke arah hulu dengan kemiringan 0,0004 – 0,0007 (Anonim, 2009). Lahan yang ada di kiri kanan Daerah Aliran Sungai Cidurian secara umum merupakan daerah perbukitan, perkebunan, hutan, sawah, pemukiman, industri dan sebagainya. Jenis lahan yang ada sangat dipengaruhi oleh keberadaan tempat tersebut terhadap topografi sungai yang ada.
16
Secara rinci, lahan yang ada di kiri kanan sungai dapat diuraikan sebagai berikut : a. Daerah bagian hulu sungai : hutan, perkebunan, galian golongan C (pasir), persawahan, perkotaan, pemukiman b. Daerah bagian tengah sungai : kebun, persawahan, pemukiman, galian golongan C (pasir), jaringan irigasi, industri c. Daerah bagian hilir sungai : kebun, pemukiman, galian golongan C (pasir), industri, perkotaan, tambak
2.4.2 Peuntukan Sungai Cidurian Berdasarkan keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Barat Nomor 34 tahun 1996, dari hulu Sungai Cidurian beserta anak-anak sungainya sampai dengan muara sungai Cidurian di Desa Tenjoayu Kec. Tirtayasa Kab. Serang, termasuk golongan B, C, dan D, yaitu untuk pemanfaatan air baku air minum, perikanan, peternakan, pertanian, dll. Berdasarkan
Peraturan
pemerintah
No
82
th
2001,
tentang
Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran air, Sungai Cidurian masuk dalam klasifikasi mutu air kelas II, III dan IV, yaitu untuk peruntukkan prasarana/sarana rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar, pertanian dan peternakan. Pemanfaatan lahan di DAS Cidurian terbesar adalah sebagai kawasan budi daya pertanian. Hanya sebagian kecil yang merupakan kawasan lindung, berada pada wilayah Kecamatan Cibeber, Kabupaten Lebak. Menurut data dari Balai Pengelolaan Sumber Daya Air Provinsi Banten, Sungai Cidurian dimanfaatkan untuk kegiatan industri dan irigasi. Perusahaan Daerah Air Minum memanfaatkan Sungai Cidurian untuk penyediaan kebutuhan air bersih bagi masyarakat.
2.4.3. Debit Sungai Cidurian Debit maksimum bulanan Sungai Cidurian yang diamati di Stasiun Bendung Ranca Sumur mulai dari tahun 2001 sampai tahun 2010 sebesar 602,189 m³/detik yang terjadi pada Bulan Mei tahun 2001 dan debit minimum sebesar 1,166 m³/detik yang terjadi pada bulan September tahun 2010 (Anonim
17
2010). Rasio terbesar antara debit rata-rata pada saat musim hujan terjadi pada tahun 2007 yaitu 1 : 2,90.. Debit rata-rata bulanan Sungai Cidurian yang diamati di stasiun pengamatan Bendung Ranca Sumur dapat dilihat pada Lampiran 9. Debit Sungai Cidurian bagian hulu sebesar 272,9 m³/detik dan bagian hilir 536,61 m³/detik berdasarkan data dari Status Lingkungan Hidup Kabupaten Tangerang (Anonim, 2010).
2.4.4 Permasalahan di Sungai Cidurian Permasalahan
utama
yang
dialami
Sungai
Cidurian
adalah
pencemaran air sungai dan kerusakan DAS Cidurian. Indikator kerusakan DAS Cidurian adalah adanya fluktuasi debit yang sangat tinggi antara musim hujan dan musim kemarau. Selain itu adanya lahan kritis di daerah hulu yang mengakibatkan terjadinya erosi dan sedimentasi di daerah hilir. Pencemaran di Sungai Cidurian disebabkan oleh pencemaran limbah domestik, industri, pertanian dan peternakan. Sumber polutan dari domestik adalah aktifitas penduduk yang memanfaatkan Sungai Cidurian untuk MCK. Jumlah penduduk di DAS Cidurian berjumlah ± 1.656.769 orang (BPS Banten 2010) orang. Sumber polutan dari industri adalah aktifitas perusahaan yang air limbahnya belum memenuhi Baku Mutu Lingkungan. Berdasarkan data dari BLHD Provinsi Banten, tahun 2009 (Laporan Pemantauan Kualitas Sungai Cidurian), industri yang membuang limbahnya di Sungai Cidurian adalah ; PT. Tunas Sumber Idea Kreasi Kimia, PT. Kulit Murni Asia Tenggara, PT. Frans Putratex, PT. Sari Daya Plasindo, , PT. Shinta Woo Sung, PT. Panca Plaza Indo Textile, PT. Singlong Brother Industri, PT. Eka Nindya Karsa, Pt. Platinum Resin, PT. Mariza Sari Murni. Hasil pemantauan dari Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Kabupaten Serang, kualitas air Sungai Cidurian cenderung mengalami penurunan, dari 18 parameter yang dipantau, empat parameter berada diatas baku mutu, yaitu COD, nitrit, H₂S dan kekeruhan. Hasil pemantauan dari BLHD Provinsi Banten, 2009, diketahui beberapa parameter yang melebihi baku mutu berdasarkan PP 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air kelas II yaitu COD, BOD, Zn, E coli dan total coli. Kelas air Sungai Cidurian adalah kelas III dan IV.
18
2.5
Pengendalian Pencemaran Air Sungai Manajemen pengelolaan kualitas air dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan yaitu :
1. Pendekatan dari sumber titik (point source) melalui teknologi pengolahan limbah Pemerintah melalui Keputusan Menteri Lingkungan Hidup, menetapkan Baku Mutu Bagi Limbah untuk berbagai kegiatan, mulai dari industri, rumah sakit, perhotelan. Baku Mutu yang dimaksud dalam KepMenLH No 55 Tahun 1995, tentang baku mutu limbah industri. 2. Pendekatan dari pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air menurut PP 82 tahun 2001, antara lain penetapan status mutu air sesuai dengan Pasal 14 (1) PP 82 Tahun 2001. Status mutu air ditetapkan untuk menyatakan: a. kondisi cemar, apabila mutu air tidak memenuhi baku mutu air; b. kondisi baik, apabila mutu air memenuhi baku mutu air. dan pedoman penentuan status mutu air ditetapkan lebih lanjut dengan Keputusan Menteri. Sejalan dengan hal diatas Pasal 15 (1) PP 82 Tahun 2001. Dalam hal status mutu air menunjukkan kondisi cemar, maka Pemerintah dan Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota sesuai dengan kewenangan masing-masing melakukan upaya penanggulangan pencemaran dan pemulihan kualitas air dengan menetapkan mutu air sasaran. (2) Dalam hal status mutu air menunjukkan kondisi baik, maka pemerintah dan pemerintah propinsi, pemerintah kabupaten/kota sesuai dengan kewenangan masing-masing mempertahankan dan meningkatkan kualitas air, pemantauan kualitas air sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran menyatakan bahwa untuk menjamin kualitas air yang dinginkan sesuai peruntukannya agar tetap dalam kondisi alamiahnya, maka perlu dilakukan upaya pengelolaan kualitas air. 3. Pendekatan daya tampung beban pencemaran dengan memadukan antara potensi beban pencemaran dari berbagai sumber dengan kualitas air. Dasar hukum penetapan daya tampung beban pencemaran, diatur dalam Undang-undang No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dalam pasal 1,8,12,16,17 dan 19. Secara tegas disebutkan dalam undang-undang tersebut, pentingnya pertimbangan daya tampung dan daya dukung lingkungan dalam pengelolaan lingkungan hidup. Peraturan Pemerintah no 82 Tahun 2001 pasal 20 dan 23 juga mengatur penetapan daya tampung, dan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup no 110 Tahun 2003 tentang pedoman penetapan daya tampung beban pencemaran air pada sumber air.