BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Kebijakan Pendidikan Dalam memahami apa itu kebijakan pendidikan, maka penting untuk mengetahui pengertian kebijakan publik itu sendiri. George C. Edwards III & Ira Sharkansky (1978 dalam Amtu 2011) mengemukakan bahwa kebijakan publik adalah apa yang dinyatakan dan dilakukan atau tidak dilakakukan oleh pemerintah. Kebijakan publik itu berupa sasaran atau tujuan program-program pemerintah. Karena kebijakan pendidikan merupakan bagian dari kebijakan publik, maka Olsen dkk (dalam Tilaar & Nugroho, 2008) mengemukakan Kebijakan pendidikan merupakan kunci bagi keunggulan, bahkan eksistensi, bagi Negara-bangsa dalam persaingan global, sehingga kebijakan pendidikan perlu mendapatkan prioritas utama dalam era globalisasi. Salah satu argumen utamanya adalah bahwa globalisasi membawa nilai demokrasi. Demokrasi yang memberikan hasil adalah demokrasi yang didukung oleh pendidikan. Menurut Gaffar (2008), kebijakan pendidikan berhubungan berkaitan
dengan
dengan
keputusan-keputusan
perbaikan
dan
yang
penyempurnaan
penyelenggaraan pendidikan. Merujuk pada pendapat Gaffar diatas maka perlu bagi pemerintah selaku 12
pembuat kebijakan untuk memperbaiki pengelolaan pendidikan di daerah secara baik dan benar sehingga tujuan yang ingin didapatkan dalam pendidikan dapat tercapai. Selanjutnya kebijakan pendidikan menurut Tilaar (2006)
merupakan
keseluruhan
proses
dan
hasil
perumusan langkah-langkah startegis pendidikan yang dijabarkan dari visi dan misi pendidikan dalam rangka mewujudkan tercapainya tujuan pendidikan dalam suatu masyarakat untuk suatu kurun waktu tertentu. Maka penting bagi pemerintah dalam menentukan langkah strategis kebijakan pendidikan dalam hal ini penempatan guru yang merata pada setiap tingkat satuan
pendidikan agar
kualitas
sumber daya
manusia (SDM) yang baik dapat diperoleh oleh setiap anak bangsa sesuai dengan tujuan pendidikan nasional yang ingin dicapai. Kemudian Hamid & Malian (2005) mengatakan keberhasilan bangsa ini menghadapi tantangan masa depan abad 21 sangat tergantung pada keberhasilan pemerintah
daerah
dalam
memperbaiki
dan
memperbaharui proses dan hasil pembangunan sektor pendidikan saat ini. Selanjutnya, Fattah (2012) lebih menekankan fungsi sebuah kebijakan dalam pendidikan, antara lain: 1) menyediakan akuntabilitas norma budaya yang menurut pemerintah perlu ada dalam pendidikan, dan 13
2)
melembagakan
mekanisme
akuntabilitas
untuk
dijalankan
melalui
mengukur kinerja siswa dan guru. Oleh
karena
pendidikan
gerakan otonomi daerah atau desentralisasi, menurut pandangan Tilaar
maka
(2002 dalam Mashuri
2009), adalah menjadi suatu keharusan untuk segera diimplementasikan bentuk
dalam sistem
pertanggungjawaban
bernegara sebagai
Pemerintah
dalam
membangun masyarakat yang demokratis, masyarakat berprestasi Sehingga
dan
peningkatan
dalam
konteks
daya
saing
kedaerahan,
bangsa. otonomi
pendidikan harus dapat mengakomudir secara fleksibel berbagai kebutuhan masyarakat di daerah, mampu menciptakan masyarakat lokal yang berprestasi, dan mampu meraih kemajuan daerah setempat melalui suatu kebijakan pendidikan yang tepat. Melihat bahwa kebijakan pendidikan dijalankan dalam era otonomi daerah yang bertujuan untuk mewujudkan berhasilnya tujuan pendidikan nasional akan sangat bergantung pada keberhasilan pemerintah daerah
dalam
memperbaiki
keseluruhan
proses
pendidikan termasuk didalamnya penataan distribusi guru.
14
2.2 Kebijakan Penempatan Otonomi Daerah
Guru
di
Era
Dengan lahirnya Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Otonomi Daerah, Pemerintah telah memberikan sebagian kewenangan serta tugas kepada
pemerintah
daerah
untuk
mengatur
dan
mengelola sistem pemerintahan di daerahnya senidiri, dengan alasan bahwa daerahlah yang lebih memahami setiap masalah maupun potensi yang ada dalam wilayahnya. Salah satu urusan pemerintahan yang diatur dan dikelolah
oleh
daerah
adalah
bidang
pendidikan,
sebagaimana dalam Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang disebutkan
Pemerintah Daerah pasal 14 ayat 1 bahwa
Penyelenggaraan
Pendidikan
merupakan salah satu urusan wajib yang menjadi kewenangan pendidikan mendapat
Pemerintah merupakan perhatian
Kabupaten/Kota. sektor secara
yang
Maka
utama
kusus
dan dalam
penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Kemudian
Peraturan
Pemerintah
Nomor
38
Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, urusan yang menjadi kewenangan daerah terdiri dari urusan wajib dan
urusan
pilihan.
Urusan
wajib
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) adalah urusan 15
pemerintahan
yang
wajib
pemerintahan
daerah
diselenggarakan
provinsi
dan
oleh
pemerintahan
daerah kabupaten/kota, berkaitan dengan pelayanan dasar. Salah satu bidang yang berkaitan dengan pelayanan dasar adalah bidang pendidikan. (Pasal 7 ayat 1 dan 2 PP No 38 Tahun 2007). Dalam
bidang
kabupaten/kota
pendidikan
wajib
Pemerintah
mengalokasikan
sekurang-
kurangnya 20% APBD untuk memenuhi anggaran pendidikan.
Kebijakan
ini
pendidikan
nasional
di
bersangkutan
dapat
dilakukan
agar
sistem
kabupaten/kota
yang
dilaksanakan
secara
efektif,
afesien, dan akuntabel sesuai dengan kebijakan daerah dalam bidang pendidikan. Oleh karena itu agar system pendidikan nasional dapat berjalan dengan baik di daerah, maka penting bagi pemerintah dalam pemenuhan segala kebutuhan yang
mendukung
keberhasilan
penyelenggaraan
pendidikan itu sendiri, salah satunya harus didukung dengan ketersedian tenaga pendidik yang memadai. Yang diperjelas dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 41
ayat
Pemerintah
3
ditegaskan Daerah
bahwa,
wajib
Pemerintah
memfasilitasi
dan
satuan
pendidikan dengan pendidik dan tenaga kependidikan yang diperlukan untuk menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu. 16
Proses desentralisasi di Indonesia dimulai pada tahun 1999, selain mempengaruhi semua proses aspek penyelenggaraan
maupun
pelaksanaan
pendidikan,
tidak terkecuali juga mempengaruhi reformasi guru sebagai bagian dari proses ini, sebagian besar tanggung jawab
yang
terkait
dengan
pengangkatan
dan
penempatan guru dialihkan dari tingkat nasional ke tingkat kabupaten/kota. Badan-badan
pemerintah
pusat
seperti
Kemendiknas, MENPAN, dan BKN tetap memainkan peran dalam pengangkatan guru pegawai negeri sipil dan
manajemen
tanggung
guru.
jawab
Namun
dan
sebagian
kewenangan
besar
menegenai
pengangkatan dan penempatan guru pegawai negeri sipil telah beralih ke tingkat kabupaten/kota. Dalam pengangkatan serta penempatan guru dapat dilaksanakan dengan baik oleh pemerintah kabupaten/kota,
Pemeritah
menetapkan
kebijakan
teknis dalam penataan dan pemerataan guru PNS, melalaui
Peraturan
Pendayagunaan
Bersama
Aparatur
Negara
Menteri dan
Negara Reformasi
Birokrasi, Menteri Pendidikan Nasional, Menteri Dalam Negeri, Menteri Keuangan, dan Menteri Agama Nomor 05/X/PB/2011, Tahun 2011,
SPB/03/M.PAN-RB/10/2011, 158/PMK.01/2011, 11
Tahun
48 2011
tentang Penataan dan Pemerataan Guru Pegawai Negeri
17
Sipil. Dan yang sudah efektif dilaksanakan tanggal 2 januari 2012 secara eksplisit menyatakan bahwa: a. Kebijakan standardisasi teknis dalam penataan dan
pemerataan
pendidikan,
PNS
antarjenjang,
pendidikan Menteri
guru
secara
dan
nasional
Pendidikan
antarsatuan
Nasional.
antarjenis
ditetapkan
oleh
Demikian
juga
Menteri Pendidikan Nasional mengkoordinasikan dan memfasilitasi pemindahan untuk penataan dan pemerataan guru PNS pada provinsi yang berbeda berdasarkan data pembanding dari Badan Kepegawaian Negara (BKN). Dalam memfasilitasi penataan dan pemerataan guru PNS di daerah dan kabupaten/kota,
Menteri
Pendidikan
Nasional
berkoordinasi dengan Menteri Agama. b. Menteri
Agama
berkewajiban
membuat
perencanaan, penataan, dan pemerataan guru PNS antarsatuan antarjenis
pendidikan,
pendidikan
antarjenjang,
yang
menjadi
dan
tanggung
jawabnya. c. Menteri
Dalam
mendukung
Negeri
berkewajiban
pemerintah
daerah
untuk
dalam
hal
penataan dan pemerataan guru PNS antarsatuan pendidikan,
antarjenjang,
dan
antarjenis
pendidikan untuk memenuhi standardisasi teknis yang dikeluarkan oleh Menteri Pendidikan Nasional serta
memasukkan
unsur 18
penataan
dan
pemerataan guru PNS ini sebagai bagian penilaian kinerja pemerintah daerah. d. Menteri
Keuangan
berkewajiban
untuk
mendukung penataan dan pemerataan guru PNS antarsatuan antarjenis
pendidikan, pendidikan
antarjenjang,
sebagai
bagian
dan dari
kebijakan penataan PNS secara nasional melalui aspek pendanaan di bidang pendidikan sesuai dengan kemampuan keuangan negara. e. Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi mendukung penataan dan pemerataan guru PNS antarsatuan pendidikan, antarjenjang, dan antarjenis pendidikan melalui penetapan formasi guru PNS. f. Gubernur atau Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya membuat perencanaan penataan dan
pemerataan
pendidikan,
guru
antarjenjang,
PNS dan
antarsatuan antarjenis
pendidikan yang menjadi tanggung jawab masingmasing. Untuk itu dalam penataan penempatan guru dapat
dijalankan
secara
baik,
pemerintah
kabupaten/kota memiliki tugas seperti yang tercantum dalam Surat Keputusan Bersama 5 Menteri Tahun 2011 Tentang Penataan dan Pemerataan guru PNS adalah sebagai berikut:
19
1. Menyusun
produk
hukum
dalam
bentuk
peraturan bupati/walikota atau produk
hukum
lainnya terkait penataan dan pemerataan guru PNS yang merujuk pada Peraturan Bersama; 2. Sosialisasi program penataan dan pemerataan guru PNS diwilayah kabupaten/kota; 3. Verifikasi data guru dan analisis kebutuhan guru TK, SD, SMP, SMA, dan SMK di setiap satuan pendidikan di wilayah kabupaten/kota; 4. Penyediaan Peta Guru yang menginformasikan tentang kelebihan dan/atau kekurangan guru PNS di
wilayah
kabupaten/kota
dengan
tembusan
disampaikan kepada Badan Kepegawaian Daerah (BKD); 5. Pemindahan guru PNS antarsatuan pendidikan; 6. Penyediaan
dana
antarsatuan
pemindahan
pendidikan
guru di
PNS
wilayah
kabupaten/kota; Selanjutnya dalam penataan dan pemerataan guru PNS pada sekolah dasar, di dalam Surat Keputusan Bersama
(SKB)
5
Menteri,
disebutkan
untuk
kebutuhan guru SD/MI sebagai berikut : 1) Setiap
rombel
terdiri
dari
20-32
siswa
yang
dan
guru
diampu oleh 1 (satu) orang guru kelas. 2) Harus
menyediakan
guru
agama
pendidikan jasmani dan kesehatan.
20
3) Wajib
mengajar
bagi
guru
agama
dan
guru
pendidikan jasmani dan kesehatan (penjaskes) yang digunakan dalam perhitungan 24 jam tatap muka perminggu. 4) Menyediakan guru agama sesuai dengan ragam jenis agama yang dianut peserta didik. 5) Apabila
terdapat
anak
berkebutuhan
khusus
dan/atau SD tersebut menyelenggarakan program pendidikan
inklusi,
menyediakan
maka
minimal
SD
satu
tersebut
guru
harus
pendidikan
khusus per enam rombel, dengan perhitungan jam setara dengan guru kelas. Pemberian wewenang mengenai penataan dan pemerataan guru pegawai negeri sipil (PNS)
oleh
pemerintah pusat ke pemerintah daerah melalui SKB 5 Menteri, ini sejalan dengan pendapat Mashuri (2009) yang mengatakan otonomi pendidikan pada dasarnya adalah upaya Pemerintah Pusat untuk memberdayakan daerah melalui pemberian kewenangan penuh kepada daerah
untuk
menyelenggarakan
pendidikan
bagi
masyarakatnya sesuai dengan kekhasan, kesanggupan, dan kebutuhan daerah. Alasannya ialah Pemerintah Daerahlah yang lebih mengetahui segala sesuatu yang menjadi kebutuhan
pembangunan di
wilayahnya.
Dalam konteks inilah sangat diperlukan perangkat hukum
dan
penguatan
kebijakan
yang
dan mengaspirasi 21
mampu
memberikan
segala
kepentingan
daerah
dalam
pendidikannya
menyelenggarakan termasuk
dalam
otonomi pengelolaan
penempatan guru yang merata. Kebijakan penataan serta pemerataan guru PNS melalui
SKB
5
Menteri,
kebijakan
desentralisasi
pemerintah
daerah
merupakan
salah
pendidikan
diberikan
satu
dimana
kewenangan
dalam
mengatur segala kebutuhan guru di wilayahnya. Chan &
Sam
(2005)
mungkin
mengemukakan
timbul
desentralisasi
dalam
pendidikan
kelemahan
implemetasi melalui
yang
kebijakan
Undang-Undang
Otonomi Daerah adalah: 1. Kurang siapnya SDM daerah terpencil 2. Tidak meratanya pendapatan asli daerah (PAD), khususnya daerah-daerah termisikin 3. Mental
korup
yang
telah
membudaya
dan
mendarah daging 4. Menimbulkan raja-raja kecil di daerah surplus 5. Dijadikan komoditas 6. Belum jelasnya pos-pos pendidikan, sehingga akan cukup
merepotkan
Depdiknas
dalam
mengalokasikannya. Jika daerah ingin mengembangkan pendidikan secara profesional dalam hal ini penataan tenaga pendidik,
ciri-ciri
profesionalisme
berikut
perlu
diindahkan, agar dunia pendidikan di daerah otonom tidak diisi dan dikelola oleh orang-orang yang tidak 22
paham tentang subtansi dan hakikat proses pendidikan itu sendiri. Menurut Houle (1980 dalam Hamid & Malian 2005) Ciri-ciri profesionalisme bagi pengelola pendidikan yang dimaksud meliputi: 1) Harus memiliki landasan pengetahuan yang kuat 2) Harus berdasarkan atas kompetensi individual 3) Memiliki sistem seleksi dan sertifikasi 4) Ada kerjasama dan kompetisi yang sehat antar sejawat 5) Adanya kesadaran profesional yang tinggi 6) Memiliki prinsip-prinsip etik (kode etik) 7) Memiliki sistem sanksi profesi 8) Adanya militansi individual 9) Memiliki organisasi profesi Analisa bank dunia (dalam Worldbank document, 2011) tentang pengangkatan dan penempatan guru dilaksanakan dengan dukungan program pendidikan dari pemerintah kerajaan Belanda (Dutch Education Support Program) menegaskan bahwa kelebihan suplai guru dan penempatan yang tidak merata adalah salah satu sumber kurang efesiennya sektor pendidikan. Selain sangat mahal, daerah yang kelebihan suplai harus berjuang mengatasi rendahnya kehadiran guru, sementara daerah yang kekurangan guru kelabakan menggabungkan kelas atau menjalankan dua giliran kelas (shift) untuk mengatasi kekurangan guru. Solusi pemerintah pada masalah tersebut mengharuskan 23
setiap guru untuk mencatatkan 24 jam mengajar setiap minggu agar berhak dapat memperoleh tunjangan profesi. Berdasarkan catatan lembaga penelitian SMERU (2008
dalam
dampak
Worldbank
kebijakan
Document
yang
2011)
diluncurkan tahun
bahwa 2007
tersebut adalah berkurangnya angka absen guru dari 20,1 pada tahun 2003 menjadi 14,8 persen. Kebijakan ini juga membuat pemerintah kabupaten/kota lebih memperhatikan penempatan guru di berbagi sekolah. Suparlan
(2005)
menjelaskan
status
guru
mempunyai implikasi terhadap peran dan fungsi yang menjadi tanggung jawabnya. Guru memiliki kesatuan peran dan fungsi yang tidak terpisahkan, antara kemampuan mendidik, membimbing, mengajar, dan melatih. Keempat kemampuan tersebut merupakan kemampuan integratif, antara yang satu dengan yang lain tidak dapat dipisahkan. Selanjutnya Danim (2011)
juga menjelaskan
guru bermakna sebagai pendidik profesional dengan tugas
utama
mendidik,
mengajar,
membimbing,
mengarahkan, melatih, menilai, mengevaluasi peserta didik pada jalur pendidikan formal. Tugas utama itu akan efektif jika guru memiliki derajat profesionalitas tertentu yang tercermin dari kompetensi, kemahiran, kecakapan, atau ketrampilan yang memenuhi standar mutu atau norma etik tertentu. 24
Lebih jelasnya dalam UU No. 14 Tahun 2005 Tentag Guru dan Dosen, pasal 1 ayat 1 disebutkan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama
mendidik,
mengarahkan,
melatih,
mengajar,
membimbing,
menilai,
mengevaluasi
dan
peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Wrightman mengemukakan
(1997 peran
dalam guru
Usman
adalah
2005)
terciptanya
serangkaian tingkah laku yang saling berkaitan yang dilakukan
dalam
suatu
situasi
tertentu
serta
berhubungan dengan kemajuan perubahan tingkalaku dan perkembangan siswa yang menjadi tujuannya. Hamalik
(2006),
masalah
guru
merupakan
masalah yang senantiasa mendapat perhatian, baik oleh
pemerintah
maupun
oleh
masyarakat
pada
umumnya dan ahli pendidikan khususnya. Pemerintah memandang
bahwa
guru
merupakan
media
yang
sangat penting dalam mengemban tugas-tugas sosial budaya yang berfungsi mempersiapkan generasi muda, sesuai dengan cita-cita bangsa. Dalam peningkatan kualitas pendidikan nasional yang diharapkan keberadaan serta peran seorang guru sangatlah penting, namun secara umum guru yang tersebar di Indonesia sangat tidak merata. Kurang lebih 55 % (persen) dari sekolah memiliki kelebihan guru, 25
sementara 34 % (persen) kekurangan. Sebagian besar sekolah di daerah perkotaan dan sebagian di daerah pedesaan,
mengalami
kelebihan
jumlah
guru,
sementara 66 % (persen) sekolah di daerah terpencil mengalami
kekurangan tenaga guru yang serius.
Kebijakan baru pemerintah, yang menyediakan insentif finansial tambahan bagi guru yang bekerja di daerah terpencil merupakan langkah awal yang tepat, tetapi hal ini hanya akan meningkatkan kualitas pelayanan jika dibarengi dengan penerapan sistem pemantauan yang baik, yang idealnya dilaksanakan oleh masyarakat setempat (Public Disclosure Authorized 38778 v.1). Chan & Sam (2005) menjelaskan bahwa masalah kuantitas dan kualitas guru saat ini, juga merupakan hal yang dilematis. Secara objektif jumlah guru saat ini memang kurang memadai, namun hal ini tidak dapat dipukul rata begitu saja karena ternyata jumlah yang sedikit ini salah satu indikatornya adalah masalah pemerataan guru. Guru akan tersebar dengan lebih merata bila formula
penempatan
yang
digunakan
mengalokasikan guru ke sekolah, dirubah.
untuk Saat ini,
tiap sekolah menerima alokasi standar untuk guru berdasarkan jumlah kelas, tidak peduli jumlah murid per kelas. Distribusi guru akan lebih merata jika jumlah guru ditentukan oleh besarnya jumlah murid, dengan memberikan kemudahan bagi sekolah yang 26
lebih
kecil.
Reformasi
ini
bisa
dibarengi
dengan
memberikan fleksibilitas yang lebih besar dalam hal kisaran bidang studi yang harus diajarkan oleh guru (Public Disclosure Authorized 38778 v.1). Selanjutya secara umum keberadaan
guru di
Indonesia sangatlah beragam, Worldbank Document (2011) mengememukan komposisi dan karakter tenaga kerja kependidikan di Indonesia dari segi gender, usia, tingkat pendidikan, remunerasi, beban kerja, rasio murid-guru, dan faktor-faktor lain: 1. Gender:
Secara
tenaga
umum,
kependidikan
perimbangan
sangat
baik.
gender Namun
sebagian besar kepala sekolah adalah laki-laki. Begitu
pula,
guru
perempuan
lebih
banyak
tersebar di wilayah perkotaan, sedangkan guru laki-laki lebih banyak di wilayah-wilayah terpencil. 2. Usia: Usia sebagian besar guru berkisar antara 35 dan
50
tahun.
Fakta
ini
adalah
akibat
pengembangan sekolah dasar besar-besaran yang terjadi selama tahun 1980-an. Akibatnya, 30 persen guru pegawai negeri sipil ini akan pensiun dalam 10 tahun. Keniscayaan ini memberikan sebuah kesempatan unik bagi penataan ulang tenaga kerja kependidikan. 3. Tingkat
pendidikan:
Tingkat
pencapaian
pendidikan guru secara umum sangat rendah, hanya 37 persen yang bergelar sarjana S1 atau 27
DIV. Dengan persyaratan baru untuk sertifikasi, proporsi
guru
yang
bergelar
S1/D-IV
akan
meningkat 5 persen per tahun seiring dengan masuknya guru-guru baru yang lebih terdidik dan yang telah meningkatkan kemampuan ke dalam sistem. 4. Sekolah
swasta:
Sekitar
48
persen
sekolah
dikelola swasta; institutsi-institusi ini melayani 31 persen murid dan mempekerjakan 38 persen dari keseluruhan guru. Oleh karena itu sekolah swasta memainkan
peran
penting
pendidikan
nasional.
dalam
Pemerintah
sistem memiliki
hubungan yang unik dengan sekolah-sekolah swasta dan menempatkan guru pegawai negeri sipil untuk bekerja di sana. Pemerintah juga memberikan tunjangan fungsional bagi seluruh guru
sekolah
swasta,
yang
juga
berhak
mendapatkan tunjangan sertifikasi. Oleh karena itu manajemen guru sekolah swasta merupakan bahan
pertimbangan
dalam
reformasi
sistem
pendidikan di negeri ini. 5. Remunerasi: Secara historis gaji guru selalu kecil. Namun kenaikan gaji pegawai negeri sipil selama empat tahun terakhir adalah 17 persen setiap tahun. Sebagai tambahan, perubahan-perubahan baru-baru
ini
telah
memberikan
tunjangan
fungsional bagi semua guru (setara 10 persen gaji 28
dasar
pegawai
negeri
sipil)
dan
tambahan
tunjangan baru yang dapat melipatgandakan, bahkan sampai tiga kali lipat gaji dasar guru, untuk
beberapa
situasi
tertentu.
Dengan
peningkatan ini, gaji guru menjadi semakin baik dan profesi pengajar menjadi semakin menarik. 6. Beban kerja: Beban kerja guru pada umumnya sangat
rendah,
khususnya
pada
sekolah
menengah, di mana hanya 20 persen guru saja yang memenuhi ketentuan baru sertifikasi yang mewajibkan guru mengajar minimum 24 jam per minggu. 7. Rasio Murid-Guru (Student-Teacher Ratio, STR): STR di sekolah-sekolah Indonesia jauh lebih rendah dibanding negara-negara lain. Tren terus menurunnya
rasio
ini
memunculkan
kekhawatiran akan efisiensi sistem pendidikan. 8. Penyebaran: Bertolakbelakang dengan pandangan umum, sekolah-sekolah di pedesaan umumnya tidak kekurangan guru. Yang sering terjadi adalah kekurangan guru yang berkualifikasi. Tingkat pendidikan lebih dari 30 persen guru di sekolahsekolah
kecil
di
pedesaan
hanya
sekolah
menengah saja atau lebih rendah lagi. 9. Proses pengangkatan: Proses ini berbeda-beda tergantung dari jenis guru. Pada prosedur yang berlaku
sekarang,
kabupaten/kota 29
yang
mengangkat guru, namun pemerintah pusat yang menggaji. Hal ini menciptakan insentif yang buruk bagi kabupaten/kota untuk terus menambah jumlah guru pegawai negeri sipil mereka. Jumlah pengangkatan yang tinggi sejak desentralisasi pendidikan terjadi pada guru yang
diangkat
sekolah,
Bantuan
sebagian
karena
dana
Operasional Sekolah (BOS) yang disalurkan ke sekolah
diperbolehkan
untuk
membiayai
hal
tersebut. Dengan dibuatkannya petunjuk teknis mengenai penataan
dan
pemerataan
guru
melalui
surat
keputusan bersama (SKB) 5 menteri, yang didalamnya menjelaskan proses pelaksanaan penempatan guru yang merata pada setiap jenjang pendidikan, sangat penting bagi pelaksana kebijakan di daerah untuk menindaklanjuti kewenangan yang diberikan dengan baik sehingga penempatan guru pada setiap jenjang pendidikan dapat merata sesuai kebutuhan. Agar penempatan guru dapat dilaksanakan secara merata dan sesuai kebutuhan, pemerintah daerah perlu untuk memilih orang-orang yang mempunyai kepedulian yang tinggi terhadap pendidikan serta memiliki
kemampuan
dalam
proses
pengelolaan
pendidikan. Dan juga pemerintah selaku pembuat kebijakan penting untuk melaksanakan pengawasan secara baik, sehingga dalam penempatan guru benar30
benar
dilaksanakan
secara
baik
tanpa
adanya
kepentingan tertentu diluar urusan pendidikan.
2.3 Implementasi Kebijakan 2.3.1 Konsep Implementasi Kebijakan Implementasi kebijakan merupakan tahap yang krusial dalam proses kebijakan publik. Suatu program kebijakan harus diimplemetasikan agar mempunyai dampak atau tujuan yang diinginkan. Implementasi kebijakan merupakan tahap dari proses kebijakan segera setelah penetapan undang-undang (Winarno, 2012). Kemudian, implementasi
Wahab
(2012)
kebijakan
menganggap
sebagai
bentuk
pengoperasionalisasian atau penyelenggaraan aktivitas yang telah ditetapkan berdasarkan undang-undang dan menjadi
kesepakatan
bersama
diantara
beragam
pemangku kepentingan (stakeholder), actor, organisasi (public atau privat), prosedur, dan teknik secara sinergistis yang digerakkan untuk bekerjasama guna menerapkan
kebijakan
kearah
tertentu
yang
dikehendaki. Sementara itu, Grindle (1980 dalam Winarno 2012)
mengatakan
bahwa
secara
umum,
tugas
implementasi adalah membentuk suatu kaitan (linkage) yang
memudahkan
tujuan-tujuan
kebijakan
bisa
direalisasikan sebagai dampak dari suatu kegiatan pemerintah. Selanjutnya van Meter dan van Horn 31
membatasi kebijakan sebagai tindakan-tindakan yang dilakukan
oleh
individu-individu
(atau
kelompok-
kelompok) pemerintah maupun swasta yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan-keputusan kebijakan sebelumnya. Ripley & Franklin (1982 dalam Winarno 2012) berpendapat bahwa implementasi adalah apa yang terjadi
setelah
undang-undang
ditetapkan
yang
diberikan otoritas program, kebijakan, keuntungan (benefit), atau suatu jenis keluaran yang nyata (tangible output). Implementasi mencangkup tindakan-tindakan (tanpa
tindakan-tindakan)
oleh
berbagai
aktor,
khususnya para birokrat, yang dimaksudkan untuk membuat program berjalan. Hal ini senada dengan pendapat Van Meter dan Van Hom (1975 dalam Wahab 2012) yang merumuskan proses implementasi sebagai “those actions by public or private individuals (or group) that are directed at the achievement of objective set fort in prior policy decision” (tindakan-tindakan
yang
dilakukan
baik
oleh
indivual/pejabat-pejabat atau kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuantujuan
yang
telah
digariskan
dalam
keputusan
kebijakan). Selajutnya Sabatier dan Mazmanian (1986 dalam Amtu
2011)
merupakan
menyatakan; fungsi
dari
implementasi tiga
32
variable
kebijakan yaitu:
1)
karakteristik masalah; 2)struktur manajemen program yang tercermin dalam berbagai macam peraturan yang mengoperasikan kebijakan; dan 3) factor-faktor diluar peraturan. Nugroho (2009) implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai
tujuannya.
Untuk
mengimplementasikan
kebijakan publik, ada dua pilihan langkah yang ada, yaitu langsung mengimplementasikan dalam bentuk program atau melalui formulasi kebijakan derivate atau turunan dari kebijakan publik tersebut.
1.3.2 Model Implementasi Kebijakan (George C. Edwards III) Menurut
Edwards
III,
studi
implementasi
kebijakan adalah krusial bagi public administration dan public policy. Implementasi kebijakan adalah salah satu tahap kebijakan publik, antara pembentukan kebijakan dan
konsekuensi-konsekuensi
kebijakan
bagi
masyarakat yang dipengaruhinya. Jika suatu kebijakan tidak tepat atau tidak dapat mengurangi masalah yang merupakan sasaran dari kebijakan,
maka
kebijakan
mengalami
kegagalan
itu
sekalipun
mungkin kebijakan
akan itu
diimplementasikan dengan sangat baik. Sementara itu, suatu kebijakan yang telah direncanakan dengan baik, mungkin
juga
akan
mengalami 33
kegagalan,
jika
kebijakan tersebut kurang diimplementasikan dengan baik oleh para pelaksana kebijakan. Edwards III, membicarakan faktor-faktor atau variabel krusial dalam implementasi kebijakan adalah komunikasi,
sumber-sumber,
kecendrungan
atau
kecendrungan-
tingkahlaku–tingkahlaku
dan
struktur birokrasi. a) Komunikasi Secara umum Edwards membahas tiga hal penting dalam proses komunikasi kebijakan, yakni transmisi,
konsistensi,
Menurut
Edwards,
dan
kejelasan
persyaratan
(clarity).
pertama
bagi
implementasi kebijakan yang efektif adalah bahwa mereka
yang
mengetahui
apa
melakukan yang
keputusan
harus
mereka
harus lakukan.
Keputusan-keputsan kebijakan dan perintah-perintah harus diteruskan kepada personil yang tepat sebelum keputusan-keputusan
dan
perintah-perintah
itu
dapat diikuti. Transmisi. Faktor pertama yang berpengaruh terhadap komunikasi kebijakan adalah transmisi. Sebelum pejabat dapat mengimplementasikan suatu keputusan,
ia
harus
menyadari
bahwa
suatu
keputusan telah dibuat dan suatu perintah untuk pelaksanaannya telah dikeluarkan. Hal ini tidak selalu merupakan proses yang langsung sebagaimana nampaknya. Banyak sekali ditemukan keputusan34
keputusan
tersebut
diabaikan
atau
jika
tidak
demikian, seringkali terjadi kesalahpahaman terhadap keputusan-keputusan yang dikeluarkan. Kejelasan. Faktor kedua yang dikemukakan Edwards adalah kejelasan. Jika kebijakan-kebijakan diimplementasikan
sebagaimana
yang
diinginkan,
maka petunjuk-petunjuk pelaksanaan tidak hanya harus diterima oleh para pelaksana kebijakan, tetapi komunikasi kebijakan tersebut harus jelas, seringkali intruksi-intruksi yang diteruskan kepada pelaksanapelaksana kabur dan tidak menetapkan kapan dan bagaimana
suatu
program
dilaksanakan.
Ketidakjelasan pesan komunikasi yang disampaikan berkenaan
dengan
implementasi
kebijakan
akan
mendorong terjadi interpretasi yang salah bahkan mungkin bertentangan dengan makna pesan awal. Konsistensi. Jika implementasi kebijakan ingin berlangsung
efektif,
maka
perintah-perintah
pelaksana harus konsisten dan jelas. Di sisi yang lain, perintah-perintah implementasi kebijakan yang tidak konsisten akan mendorong para pelaksana mengambil tindakan yang sangat longgar dalam menafsirkan dan mengimplementasikan kebijakan. Bila hal ini terjadi, maka
akan
berakibat
pada
ketidak
efektifan
implementasi kebijakan karena tindakan yang sangat longgar besar kemungkinan tidak dapat digunakan untuk melaksanakan tujuan-tujuan kebijakan. 35
b) Sumber-sumber Perintah-perintah
implementasi
mungkin
diteruskan secara cermat, jelas dan konsisten, tetapi jika para pelaksana kekurangan sumber-sumber yang diperlukan untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan, maka implementasi inipun cenderung tidak efektif. Sumber-sumber yang penting meliputi : staf yang memadai serta keahlian-keahlian yang baik untuk melaksanakan tugas-tugas mereka, wewenang dan fasilitas-fasilitas menerjemahkan
yang usul-usul
diperlukan di
atas
untuk
kertas
guna
melaksanakan pelayanan-pelayanan publik. Staf.
Sumber
yang
paling
penting
dalam
melaksanakan kebijakan adalah staf. Namun jumlah staf
tidak
selalu
mempunyai
efek
positif
bagi
implementasi kebijakan. Hal ini berarti bahwa jumlah staf yang banyak tidak secara otomatis mendorong implementasi yang berhasil. Hal ini disebabkan oleh kurangnya kecakapan yang dimiliki oleh para pegawai pemerintah ataupun staf, namun di sisi yang lain kekurangan staf juga akan menimbulkan persoalan yang pelik menyangkut implementasi kebijakan yang efektif. Implementasi yang cenderung tidak efisien, lebih pada kurangnya kualitas sumber daya dan rendahnya motivasi para pegawai. Informasi.
Informasi
merupakan
sumber
penting yang kedua dalam implementasi kebijakan. 36
Informasi mempunyai dua bentuk. Pertama, informasi mengenai bagaimana melaksanakan suatu kebijakan. Pelaksana-pelaksana dilakukan
dan
perlu
mengetahui
bagaimana
apa
mereka
yang harus
melakukannya. Bentuk kedua dari informasi adalah data tentang ketaatan personil-personil lain terhadap peraturan-peraturan
pemerintah.
Pelaksana-
pelaksana harus mengetahui apakah orang-orang lain yang
dilibatkan
dalam
pelaksanaan
kebijakan
mentaati undang-undang atau tidak. Wewenang. Sumber lain yang pentig dalam pelaksanaan
implementasi
adalah
wewenang.
Wewenang akan berbeda-beda dari satu program keprogram yang lain serta mempunyai banyak bentuk yang berbeda. Terdapat banyak pembatasan pada penggunaan
wewenang
yang
efektif.
Sekalipun
demikian, sanksi-sanksi dapat memainkan peranan yang penting dalam pelaksanaan kebijakan. Fasilitas. Fasilitas fisik bisa pula merupakan sumber-sumber pentig dalam implementasi. Seorang pelaksana mungkin mempunyai staf yang memadai, mungkin memahami apa yang harus dilakukan, dan mungkin mempunyai wewenang untuk melakukan tugasnya, tetapi tanpa bangunan sebagai kantor untuk melakukan koordinasi, tanpa perlengkapan, tanpa
pembekalan,
maka
besar
kemungkinan
implementasi yang direcanakan tidak akan berhasil. 37
c) Kecendrungan-kecendrungan Kecendrungan dari para pelaksana kebijakan merupakan
factor
ketiga
yang
mempunyai
konsekuensi-konsekuensi penting bagi implementasi kebijakan yang efektif. Jika para pelaksana bersikap baik terhadap suatu kebijakan tertentu, dan hal ini berarti adanya dukungan, kemungkinan besar mereka melaksanakan
kebijakan
diinginkan
oleh
para
Demikian
pula
sebagaimana
pembuat
sebaliknya
keputusan bila
yang awal.
tingkahlaku-
tingkahlaku atau prespektif-prespektif para pelaksana berbeda dengan para pembuat keputusan, maka proses pelaksanaan suatu kebijakan menjadi semakin sulit (Winarno, 2012) Dampak
dari
kecendrungan-kecendrungan.
Menurut Edwards, banyak kebijakan masuk ke dalam “zona
ketidakacuhan”.
dilaksanakan
secara
Ada efektif
kebijakan karena
yang
mendapat
dukungan dari para pelaksana kebijakan, namun kebijakan-kebijakan lain mungkin akan bertantangan secara
langsung
dengan
pandangan-pandangan
pelaksana kebijakan atau kepentingan-kepentingan pribadi atau organisasi dari para pelaksana. Pengangkatan
birokrat.
Kecendrungan-
kecendrungan pelaksana menimbulkan hambatanhambatan
yang
nyata
terhadap
implementasi
kebijakan. Menurut Edwards, salah satu teknik yang 38
disarankan
untuk
mengatasi
kecendrungan
para
pelaksana adalah dengan memanupulasi insentifinsentif. Oleh karena pada umumnya orang bertindak menurut
kepentingan
mereka
sendiri,
maka
memanupulasi insentif-insentif oleh para pembentuk kebijakan tingkat besar kemungkinan mempengaruhi tindakan-tindakan
para
pelaksana-pelaksana
kebijakan. d) Struktur birokrasi Birokrasi merupakan salah satu badan yang paling sering bahkan secara keseluruhan menjadi pelaksana kebijakan. Birokrasi baik secara sadar atau tidak sadar memilih bentuk-bentuk organisasi untuk kesepakatan kolektif, dalam rangka memecahkan masalah-masalah sosial dalam kehidupan moderen. Struktur birokrasi berkenaan dengan kesesuaian organisasi
birokrasi
yang
menjadi
penyelenggara
implementasi publik. Di Indonesia sering terjadi inefektivitas kurangnya
impelementasi koordinasi
lembaga-lembaga
dan
Negara
kebijakan
karena
kerjasama
diantara
dan/atau
pemerintahan
(Nugroho, 2009). Ripley dan Franklin (1982 dalam Winarno 2012) berdasarkan pengamatan yang dilakukan terhadap birokrasi di Amerika Serikat, mengidentifikasi enam karakteristik birokrasi, yakni:
39
1. Birokrasi dimanapun berada, dipilih sebagai instrument
sosial
menangani
yang
ditujukan
masalah-masalah
untuk yang
didefinisikan sebagai urusan publik. 2. Birokrasi merupakan institusi yang dominan dalam pelaksanaan program kebijakan, yang tingkat kepentingannya berbeda-beda untuk masing-masing tahap. 3. Birokrasi mempunyai sejumlah tujuan yang berbeda 4. Fungsi birokrasi berada dalam lingkungan yang luas dan kompleks 5. Birokrasi jarang mati, naluri untuk bertahan hidup tidak perlu dipertanyakan lagi 6. Birokrasi bukan merupakan sesuatu yang netral
dalam
pilihan-pilihan
kebijakan
mereka, tidak juga secara penuh dikontrol oleh kekuatan kekuatan yang berasal di luar dirinya. Selanjutnya
menurut
Edwards,
ada
dua
karakteristik utama dari birokrasi, yakni prosedurprosedur kerja ukuran-ukuran dasar atau sering disebut sebagai Standard Operating Procedures (SOP) dan fragmentasi. SOP merupakan salah satu dari aspek-aspek
struktural
organisasi.
Dengan
paling
dasar
menggunakan
dari
suatu
SOP,
para
pelaksana dapat memanfaatkan waktu yag tersedia. 40
Selain
itu,
tindakan
SOP
dari
juga para
menyeragamkan pejabat
dalam
tindakanorganisasi-
organisasi yang kompleks dan tersebar luas, yang pada gilirannya dapat menimbulkan fleksibilitas yang besar (orang dapat dipindahkan dengan mudah dari suatu tempat ke tempat lain) dan kesamaan yang besar dalam penerapan peraturan-peraturan. Sifat kedua dari struktur birokrasi yang berpengaruh dalam pelaksanaan kebijakan adalah fragmentasi organisasi. Fragmentasi mengakibatkan pandanganpandangan
yang
sempit
dari
banyak
lembaga
birokrasi. Maka suatu kebijakan yang telah dibuat dan dikeluarkan perlu untuk diimplementasikan secara baik, agar tujuan-tujuan kebijakan yang ingin dicapai dapat diselesaikan secara tepat. Demikian halnya dalam kebijakan penempatan guru sangat penting bagi para pembuat kebijakan melaksanakan atau mengimplementasikannya melihat
berbagai
factor
dengan yang
baik.
Dengan
mempengaruhinya,
berdasarkan padangan Edwards III ada empat factor atau variable krusial yang dapat mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan dalam hal ini kebijakan penempatan guru, antara lain komunikasi, sumber-sumber,
kecendrugan-kecendrungan
struktur birokrasi.
41
dan
Ke-empat
factor
ini
saling
mempengaruhi
sehingga dapat dikatakan apabila salah satu dari factor yang dikemukakan Edwards III bermasalah atau
tidak
mendukung
maka
akan
dapat
mempengaruhi kebehasilan implementasi kebijakan itu sendiri, sehingga sangat dibutuhkan kerjasama yang
baik
dari
birokrasi
yang
para
pelaksana
memiliki
kebijakan
kewenangan
atau dalam
implementasi kebijakan penempatan guru. 2.4 Penelitian Yang Relevan 1. Penelitian yang dilakukan oleh Suranto tentang Pengaruh
Implementasi
Kebijakan
Pembagian
Kewenangan Bidang Pendidikan Terhadap Kualitas Pelayanan Pendidikan Dasar
(Studi
Di Kota
Yogyakarta), Hasil penelitian menunjukkan dengan mengacu model
Edward III (1980), implementasi
kebijakan
pembagian
pendidikan
di
kota
kewenangan Yogyakarta
bidang
berpengaruh
signifikan terhadap kualitas pelayanan pendidikan dasar.
Sedangkan
secara
parsial,
dimensi
komunikasi, sumberdaya dan struktur birokras berpengaruh signifikan terhadap kualitas pelayanan pendidikan
dasar.
Sementara
disposisi
tidak
berpengaruh signifikan. Peneliti merekomendasikan perlunya modifikasi model
Edward III (1980)
dengan mempersempit konsep disposisi terbatas sebagai disposisi elite, serta perlunya penelitian 42
variabel bebas selain yang telah diteliti. Penelitian ini juga merekomendasikan saran-saran praktis bagi
Pemerintah
Kota
Yogyakarta
untuk
meningkatkan kinerjanya. Dalam penelitian Suranto terlihat bahwa Factorfaktor
atau
Edwards
III
variabel
yang
memiliki
dikemukakan
pengaruh
yang
oleh cukup
signifikan dalam keberhasilan suatu implementasi kebijakan,
hanya
factor
disposisi
yang
tidak
berpengaruh signifikan, sehingga penting bagi para pembuat
serta
pelaksana
kebijakan
untuk
memperhatikan factor-faktor seperti komunikasi, sumber daya, disposisi, dan struktur birokrasi dalam menjalankan program kebijakan.
43