D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian umum jembatan
Pengertian jembatan secara umum adalah suatu konstruksi yang berfungsi
untuk menghubungkan dua bagian jalan yang terputus oleh adanya rintanganrintangan seperti lembah yang dalam, alur sungai, danau, saluran irigasi, kali, jalan kereta api, jalan raya yang melintang tidak sebidang dan lain-lain. Secara
umum struktur jembatan terbagi menjadi 3 (tiga) bagian utama yaitu struktur atas (superstructure), struktur bawah (substructure) dan pondasi. Pembagian jenis jembatan dapat dibagi berdasarkan fungsi, lokasi, bahan konstruksi dan tipe struktur, yaitu: Berdasarkan fungsinya jembatan dapat dibedakan menjadi jembatan jalan raya, jembatan jalan kereta api, dan jembatan pejalan kaki atau penyeberangan. Berdasarkan lokasi jembatan dibedakan sebagai berikut: jembatan diatas sungai, jembatan di atas lembah, jembatan di atas jalan yang sudah ada (flyover), jembatan di atas saluran, jembatan di dermaga. Berdasarkan bahan konstruksi, jembatan dapat dibedakan menjadi beberapa macam, antara lain: Jembatan kayu, jembatan beton, jembatan beton prategang, jembatan baja, jembatan komposit. Sebuah perencanaan jembatan yang akan dilaksanakan harus memenuhi pokok-pokok perencanaan sebagai berikut: 1. Kekuatan dan stabilitas struktur 2. Kenyamanan dan keselamatan 3. Kemudahan (pelaksanaan dan pemeliharaan) 4. Ekonomis 5. Pertimbangan aspek lingkungan, sosial dan aspek keselamatan jalan 6. Keawetan dan kelayakan jangka panjang 7. Estetika
Aris Rismayana Hadi, Perencanaan Struktur Atas.....
6
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
2.2. Dasar pemilihan Penentuan lokasi jembatan adalah titik awal sebuah perancangan jembatan
yang terkait dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu baik pertimbangan kelayakan struktural, maupun pertimbangan teknis. Tujuan dari analisis penentuan
lokasi jembatan ini adalah untuk mendapatkan rencana lokasi jembatan yang dapat digunakan sebagai acuan rencana teknis. Dasar utama penempatan jembatan sedapat mungkin tegak lurus terhadap
sumbu rintangan yang dilalui, sependek, sepraktis dan sebaik mungkin untuk dibangun di atas jalur rintangan.Menimbang situasi dan kondisi setempat,
khususnya mengenai ketersediaan lahan maka ada beberapa ketentuan dalam pemilihan lokasi jembatan yang sebaiknya diperhatikan, yaitu : 1. Lokasi jembatan harus direncanakan sedemikian rupa sehingga tidak membutuhkanlahan yang besar sekali. 2. Lahan yang dibutuhkan harus sesedikit mungkin mengenai rumah-rumah penduduk sekitarnya, dan tetap mengikuti/menggunakan as jalan eksisting yang ada. 3. Lokasi jembatan juga harus memperpendek pergerakan kendaraan yang melewatinya 4. Panjang jembatan yang akan dibangun. Karena semakin panjang bentang maka akan semakin mahal. Sehingga diharapkan bila akan membangun jembatan digunakan bentang jembatan yang paling pendek. 2.3. Faktor penentu lokasi Faktor-faktor yang digunakan sebagai acuan dalam menentukan lokasi jembatan Sipatnanam adalah : 1. Aksesibilitas Dengan dibangunnya jembatan diharapkan nantinya akan tersedianya jalan aksesyang mampu menghubungkan ke dua daerah guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi antar kedua kota yang saling terhubung
Aris Rismayana Hadi, Perencanaan Struktur Atas.....
7
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
2. Aspek Pelaksanaan Aspek pelaksanaan adalah segala hal yang berhubungan dengan pelaksanaan
pekerjaan konstruksi jembatan terutama yang berpotensi untuk menambah kesulitan dalam pelaksanaan.
3. Pertimbangan Ekonomi Dari keseluruhan faktor yang ada, faktor ekonomi adalah faktor yang paling
krusial, karena seluruh dari ketiga alternatif lokasi yang ada beserta dengan kekurangan dan kelebihannya memungkinkan untuk dijadikan lokasi Jembatan
apabila dananya mencukupi, akan tetapi karena terbatasnya dana yang ada maka beberapa pertimbangan harus dipikirkan demi mendapatkan perancangan yang efektif dan efisien. 2.4. Klasifikasi jembatan menurut kelas muatan bina marga Didasarkan pada prosentase muatan hidup yang dapat melewati jembatan dibandingkan dengan kendaraan standar, yaitu terdiri atas : 1. Jembatan Kelas Standar (A/I) : Merupakan jembatan kelas standar dengan perencanaan 100 % muatan “T” dan 100 % muatan “D”. Dalam hal ini lebar jembatan adalah (1,00 + 7,00 + 1,00) meter. 2. Jembatan Kelas Sub Standar (B/II) : Merupakan jembatan kelas standar dengan perencanaan 70 % muatan “T” dan 70 % muatan “D”. Dalam hal ini lebar jembatan adalah (0,50 + 6,00 + 0,50) meter. 3. Jembatan Kelas Low Standar (C/III) : Merupakan jembatan kelas standar dengan perencanaan 50 % muatan “T” dan 50 % muatan “D”. Dalam hal ini lebar jembatan adalah (0,50 + 3,50 + 0,50) meter. 2.5. Jembatan rangka (Truss Bridge) Umur rencana jembatan pada umumnya disyaratkan 50 tahun, namun untuk jembatan penting, jembatan panjang atau yang bersifat khusus, disyaratkan mempunyai umur rencana 100 tahun.Jembatan rangka dapat terbuat dari bahan kayu atau logam. Jembatan rangka kayu (wooden truss) termasuk tipe klasik yang
Aris Rismayana Hadi, Perencanaan Struktur Atas.....
8
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
sudah banyak tertinggal mekanika bahannya. Jembatan rangka kayu, hanya terbatas untuk mendukung beban yang tidak terlalu besar. Pada perkembangannya
setelah ditemukan bahan baja, tipe rangka menggunakan rangka baja, dengan berbagai macam bentuk.
Jembatan rangka tersusun dari batang-batang yang dihubungkan satu sama
lain dengan pelat buhul, dengan pengikat paku keling, baut atau las. Batangbatang rangka ini hanya memikul gaya dalam aksial (normal) tekan atau tarik,
tidak seperti pada jembatan gelagar yang memikul gaya-gaya dalam momen lentur dan gaya lintang. Jembatan rangka telah menjadi kekuatan yang efektif dan efisien
untuk jembatan bentang panjang lebih dari 150 tahun. Tipe-tipe jembatan rangka dapat dilihat pada gambar di bawah ini:
Gambar 2.1.Tipe-tipe jembatan rangka Sumber : /http:google.com/picture/jenis-jenis jembatan rangka
Aris Rismayana Hadi, Perencanaan Struktur Atas.....
9
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
2.6. Dasar umum perencanaan Perencanaan harus berdasarkan pada suatu prosedur yang memberikan
jaminan keamanan, kenyamanan, dan keawetan selama umur rencana jembatan. Perencanaan kekuatan elemen baja sebagai komponen struktur jembatan yang
diperhitungkan terhadap lentur, geser, aksial, puntir serta kombinasinya, harus didasarkan pada cara perencanaan berdasarkan Beban dan Kekuatan Terfaktor (PBKT). Perencanaan Beban dan Kekuatan Terfaktor (PBKT) harus memenuhi
kriteria keamanan untuk semua jenis gaya dalam. Kekuatan rencana tidak kurang dari pengaruh aksi rencana sebagai berikut: 𝜙𝑅𝑛 ≥ dampak dari
𝛾𝑖 𝑄𝑖
(2.1)
Di mana pada sisi kiri mewakili kekuatan rencana dari penampang komponen struktur jembatan, yang bisa dihitung dari Rn (besaran ketahanan atau kekuatan nominal dari penampang komponen struktur) dikalikan dengan suatu faktor reduksi kekuatan ϕdan sisi kanan mewakili dampak batas ultimit atau yang paling membahayakan dari beban-beban, yang dihitung berdasarkan penjumlahan terkombinasi dari jenis-jenis beban yang berbeda Qiyang masing-masing diberikan suatu faktor beban γi Perencanaan secara PBKT dilakukan untuk mengantisipasi suatu kondisi batas ultimit, yang terjadi antara lain: a. Terjadi keruntuhan lokal pada satu atau sebagian komponen struktur jembatan. b. Kehilangan keseimbangan statis akibat keruntuhan atau kegagalan pada sebagian komponen struktur atau keseluruhan struktur jembatan. c. Keadaan purna-elastis atau purna-tekuk di mana satu bagian komponen jembatan atau lebih mencapai kondisi runtuh. d. Kerusakan akibat fatik dan/atau korosi sehingga terjadi kehancuran. e. Kegagalan dari pondasi yang menyebabkan pergeseran yang berlebihan atau keruntuhan bagian utama dari jembatan.
Aris Rismayana Hadi, Perencanaan Struktur Atas.....
10
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
2.7. Komponen jembatan rangka 2.7.1. Struktur bawah
Struktur bawah jembatan merupakan struktur yang dibangun untuk
mentransfer gaya pada struktur atas (jembatan rangka dan beban hidup) langsung
ke tanah. Pada umumnya struktur bawah dapat berupa kelapa jembatan (abutment) dan pilar (piers).
2.7.2. Struktur atas
Struktur atas terdiri dari beberapa komponen yang lebih banyak
dibandingkan dengan komponen struktur bawah jembatan. Komponen tersebut secara umum berupa rangka utama, portal ujung, gelagar melintang, gelagar memanjang, ikatan angin / lateral bracing, plat buhul, dan lantai kendaraan. 1. Rangka Utama 2. Portal Ujung 3. Gelagar Melintang (Cross Girder / Cross Beam) 4. Gelagar Memanjang (Stringer) 5. Ikatan Angin (Lateral Bracing) 6. Pelat Buhul (Gusset Plate) 7. Bearing, Seismic Buffer, dan Lateral Stop 8. Lantai Kendaraan 2.8. Pembebanan jembatan 2.8.1 Data beban Dalam perencanaan jembatan, pembebanan yang diberlakukan pada jembatan jalan raya, adalah mengacu pada standar “RSNI T-02-2005 Pembebanan Untuk Jembatan”. Standar ini menetapkan ketentuan pembebanan dan aksi-aksi yang akan digunakan dalam perencanaan jembatan jalan raya. Adapun beberapa penyesuaian yang tertulis dalam peraturan ini adalah perubahan dan/atau penyempurnaan yang dilakukan oleh instansi terkait dari peraturan pembebanan sebelumnya, point penyesuaiannya adalah sebagai berikut:
Aris Rismayana Hadi, Perencanaan Struktur Atas.....
11
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
a) Gaya rem dan gaya sentrifugal yang semula mengikuti Autoroads, dikembalikan ke peraturan Nr. 12/1970 dan Tata Cara SNI 03-1725-1989
yang sesuai AASHTO.
b) Faktor beban ultimit dari “Beban Jembatan” BMS-1992 direduksi dari
nilai 2 ke 1,8 untuk beban hidup yang sesuai AASHTO.
c) Kapasitas beban hidup keadaan batas ultimit (KBU) dipertahankan sama sehingga faktor beban 1,8 menimbulkan kenaikan kapasitas beban hidup
keadaan batas layan (KBL) sebesar 2/1,8 – 11,1 %.
d) Kenaikan beban hidup layan atau nominal (KBL) meliputi :
d1) Beban “T” truk desain dari 45 ton menjadi 50 ton. d2) Beban roda desain dari 10 ton menjadi 11,25 ton. d3) Beban “D” terbagi rata (BTR) dari q = 8 kPa menjadi 9 kPa d4) Beban “D” garis terpusat (BGT) dari p = 44 kN/m menjadi 49 kN/m. e) Beban mati ultimit (KBU) diambil pada tingkat nominal (faktor beban = 1) dalam pengecekan stabilitas geser dan guling dari pondasi langsung Sesuai standar ini, beban truk legal adalah 50 ton dengan konfigurasi satu truk setiap jalur sepanjang bentang jembatan. Rangkaian truk legal diperhitungkan berdasarkan kasus konfigurasi kendaraan dan kapasitas actual jembatan. Jembatan direncanakan untuk menahan beban hidup yang sesaat melewati jembatan. Dengan demikian kemacetan lalu lintas di atas jembatan harus dihindari. Untuk memudahkan dalam perhitungan pembebanan jembatan ini maka aksi-aksi (beban, perpindahan dan pengaruh lainnya) dikelompokkan menurut peraturan tadi ke dalam beberapa kelompok sesuai dengan peraturan pembebanan jembatan di Indonesia, yaitu : a.
Aksi dan beban tetap
b.
Beban lalu lintas
c.
Aksi lingkungan
d.
Aksi-aksi lainnya
Aris Rismayana Hadi, Perencanaan Struktur Atas.....
12
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Masing-masing dari pembebanan tersebut dihitung agar mendapatkan nilai aksi nominal, sementara itu untuk menghitung beban rencana dikalikan dengan faktor
beban masing-masing aksi. Secara ringkas bias dilihat dalam Tabel 2.1. Tabel 2.1.Ringkasan aksi-aksi rencana
Aksi
Pasal No
Nama
Simbol (1)
Lamanya waktu (3)
Faktor beban pada keadaan batas Daya Layan K U;;XX; S;;XX; Normal Terkurangi 1.00 1.1 * (3)
5.2 Berat sendiri
PMS
Tetap
5.3 Beban mati tambahan
PMA
Tetap
1.00
2.00
0.70/0.80 (3)
5.4 Penyusutan dan rangkak
PSR
Tetap
1.00
1.00
N/A
5.5 Prategang
PPR
Tetap
1.00
1.00
N/A
5.6 Tekanan tanah
PTA
Tetap
1.00
* (3)
* (3)
5.7 Beban pelaksanaan tetap PPL
Tetap
1.00
1.25
0.80
6.3 Beban lajur "D"
TTD
Tran
1.00
1.80
N/A
6.4 Beban truk "T"
TTT
Tran
1.00
1.80
N/A
6.7 Gaya rem
TTB
Tran
1.00
1.80
N/A
6.8 Gaya sentrifugal
TTR
Tran
1.00
1.80
N/A
6.9 Beban trotoar
TTP
Tran
1.00
1.80
N/A
TTC
Tran
* (3)
* (3)
N/A
7.2 Penurunan
PES
Tetap
1.00
N/A
N/A
7.3 Temperatur
TET
Tran
1.00
1.20
0.80
7.4 Aliran/benda hanyutan
TEF
Tran
1.00
* (3)
N/A
7.5 Hidro/Daya apung
TEU
Tran
1.00
1.00
1.00
7.6 Angin
TEW
Tran
1.00
1.20
N/A
7.7 Gempa
TEQ
Tran
N/A
1.00
N/A
8.1 Gesekan
TBF
Tran
1.00
1.30
0.80
8.2 Getaran
TVI
Tran
1.00
N/A
N/A
8.3 Pelaksanaan
TCL
Tran
* (3)
* (3)
* (3)
6.10 Beban-beban tumbukan
Sumber : RSNI T-02-2005
2.8.2.Beban mati/sendiri Beban sendiri dari bagian bangunan yang dimaksud adalah berat dari bagian tersebut dan elemen-elemen struktural dan non struktural yang dipikulnya. Masing-masing berat berat elemen ini harus dianggap sebagai aksi yang terintegrasi pada waktu menerapkan faktor beban biasa dan yang terkurangi. Berat isi dari berbagai bahan adalah sebagai berikut:
Aris Rismayana Hadi, Perencanaan Struktur Atas.....
13
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Tabel 2.2.Jenis-jenis beban mati
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Bahan Campuran alumunium Lapisan permukaan beraspal Besi tuang Timbunan tanah dipadatkan Kerikil dipadatkan Aspal beton Beton ringan Beton Beton prategang Beton bertulang Timbal Lempung lepas Batu pasangam Neoprin Baja Kayu (ringan) Kayu (keras) Air murni Air garam Besi tempa
Sumber : RSNI T-02-2005
Berat/Satuan isi (kN/m3 ) 26,7 22,0 71,0 17,2 18,8-22,7 22,0 12,25-19,6 22,0-25,0 25,0-26,0 23,5-25,5 111 12,5 23,5 11,3 77,0 7,8 11,0 9,8 10,0 75,5
Kerapatan Masa (kg/m3) 2720 2240 7200 1760 1920-2320 2240 1250-2000 2240-2560 2560-2640 2400-2600 11400 1280 2400 1150 7850 800 1120 1000 1025 7680
2.8.3. Beban mati tambahan Beban mati tambahan adalah berat seluruh bahan yang membentuk suatu beban pada jembatan yang merupakan elemen non struktural dan besarnya berubah selama umur rencana. Beban mati tambahan diantaranya: -
Perawatan permukaan khusus
-
Pelapisan ulang dianggap sebesar 50 mm aspal beton
-
Sandaran, pagar pengaman dan penghalang beton.
-
Perlengkapan umum seperti pipa air dan penyaluran.
2.8.4. Beban hidup (beban lalu lintas) Menurut RSNI T-02-2005 beban hidup adalah semua beban yang berasal dari berat kendaraan-kendaraan dan pejalan kaki yang dianggap bekerja pada jembatan. Beban lalu lintas untuk perencanaan jembatan terdiri atas beban lajur “D” dan beban truk “T”. Beban lajur “D” bekerja pada seluruh lebar jalur Aris Rismayana Hadi, Perencanaan Struktur Atas.....
14
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
kendaraan dan menimbulkan pengaruh pada jembatan yang ekuivalen dengan suatu iring-iringan kendaraan yang sebenarnya. Jumlah total beban lajur “D” yang
bekerja tergantung pada lebar jalur kendaraan itu sendiri.
Beban truk “T” adalah satu kendaraan berat dengan 3 as yang ditempatkan
pada beberapa posisi dalam lajur lalu lintas rencana. Tiap as terdiri dari dua bidang kontak pembebanan yang dimaksud sebagai simulasi pengaruh roda kendaraan berat. Hanya satu truk “T” diterapkan per lajur lalu lintas rencana. 2.8.4.1.Lajur lalu lintas rencana
Lajur lalu lintas rencana harus mempunyai lebar 2,75 m. Jumlah
maksimum lajur lalu lintas yang digunakan untuk berbagai lebar jembatan bisa dilihat dalam Tabel 2.3. 2.8.4.2. Intensitas dari beban “D” 1) Beban lajur “D” terdiri dari beban tersebar merata (BTR) yang digabung dengan beban garis (BGT) seperti terlihat dalam Gambar 2.3. Tabel 2.3.Jumlah lajur rencana
Tipe Jembatan (1)
Lebar Jalur Kendaraan (m) (2)
Satu lajur
4,0 - 5,0
1
5,5 - 8,25
2 (3)
11,3 - 15,0
4
Dua arah, tanpa median
Jumlah Lajur Lalu Lintas Rencana (nI)
Sumber : RSNI T-02-2005
Catatan : -
Lebar jalur kendaraan adalah jarak minimum antara kerb atau rintangan untuk satu arah atau jarak antara kerb/rintangan/median dengan median untuk banyak arah.
-
Lebar minimum yang aman untuk dua-lajur kendaraan adalah 6,0 m. Lebar jembatan antara 5,0 m sampai 6,0 m harus dihindari oleh karena hal ini akan memberikan kesan kepada pengemudi seolah-olah memungkinkan untuk menyiap.
Aris Rismayana Hadi, Perencanaan Struktur Atas.....
15
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
2) Beban terbagi rata (BTR) mempunyai intensitas q kPa, dimana besarnya q
tergantung pada panjang total yang dibebani “L” seperti berikut: Gambar 2.2.Beban lajur “D”
𝐿 ≤ 30 m ∶ 𝑞 = 9,0 kPa ...................................................................... (2.2) 𝐿 > 30 m ∶ 𝑞 = 9,0 0,5 +
15 𝐿
kPa .................................................... (2.3)
Dimana : q = intensitas beban terbagi rata (BTR) dalam arah memanjang jembatan L = panjang total jembatan yang dibebani (meter) Hubungan antara panjang bentang yang dibebani dengan intensitas beban “q” dapat dilihat pada gambar berikut,
Gambar 2.3.Besar intensitas beban berdasarkan panjang bentang yang dibebani
3) Beban garis terpusat (BGT) dengan intensitas p (kN/m) harus ditempatkan tegak lurus terhadap arah lalu lintas pada jembatan. Besarnya intensitas p adalah 49,0 kN/m. Untuk mendapatkan momen lentur negatif maksimum pada Aris Rismayana Hadi, Perencanaan Struktur Atas.....
16
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
jembatan menerus, BGT kedua yang identik harus ditempatkan pada posisi dalam arah melintang jembatan pada bentang lainnya.
4) Susunan beban “D” pada arah memanjang jembatan Pada struktur jembatan yang terletak diatas banyak perletakan (gelagar
menerus), susunan beban “D” dapat dilakukan berselang-seling untuk mendapatkan gaya lintang, momen dan reaksi dalam keadaan maksimum. 5) Penyebaran beban “D” pada arah melintang jembatan
Beban “D” harus disusun pada arah melintang sedemikian rupa sehingga
menimbulkan momen maksimum. Penyusunan komponen BTR dan BGT dari
beban “D” pada arah melintang harus sama. Penempatan beban ini dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut : a. Bila lebar jalur kendaraan kurang atau sama dengan 5,5 m, maka beban “D” harus ditempatkan pada seluruh jalur dengan intensitas 100%. b. Apabila lebar jalur lebih besar dari 5,5 m, beban “D” harus ditempatkan pada jumlah lajur lalu lintas rencana (nl) yang berdekatan, tabel (2.3), dengan intensitas 100%. Hasilnya adalah beban garis ekuivalen sebesar nl x 2,75 q kN/m dan beban terpusat ekuivalen sebesar nl x 2,75 p kN, kedua-duanya bekerja berupa strip pada jalur sebesar nl x 2,75 m. c. Lajur lalu lintas rencana yang memberntuk strip ini bisa ditempatkan dimana saja pada jalur jembatan. Beban “D” tambahan harus ditempatkan pada seluruh lebar sisa dari jalur dengan intensitas sebesar 50%. Susunan pembebanan ini bisa dilihat dalam gambar 2.4 Distribusi beban hidup dalam arah melintang digunakan untuk memperoleh momen dan gaya lintang dalam arah longitudinal pada gelagar jembatan dengan mempertimbangkan beban lajur “D” tersebar pada seluruh lebar balok (tidak termasuk kerb dan trotoar) dengan intensitas 100% untuk panjang terbebani yang sesuai.
Aris Rismayana Hadi, Perencanaan Struktur Atas.....
17
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Gambar 2.4.Penyebaran beban ”D” pada arah melintang jembatan
2.8.4.3. Pembebanan truk “T” Pembebanan truk “T” terdiri dari kendaraan truk semi-trailer yang mempunyai susunan dan berat as seperti terlihat dalam Gambar 2.5. Berat dari masing-masing as disebarkan menjadi 2 beban merata sama besar yang merupakan bidang kontak antara roda dengan permukaan lantai. Jarak antara 2 as tersebut bisa diubah-ubah antara 4,0 m sampai 9,0 m untuk mendapatkan pengaruh terbesar pada arah memanjang jembatan. Terlepas dari panjang bentang
Aris Rismayana Hadi, Perencanaan Struktur Atas.....
18
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
atau susunan bentang, hanya ada satu kendaraan truk “T” yang bisa ditempatkan pada satu lajur lalu lintas rencana. Kendaraan truk “T” ini harus ditempatkan di
tengah-tengah lajur tersebut. Gambar 2.5.Pembebanan Truk “T”
2.8.5. Faktor beban dinamis a) Faktor beban dinamis (FBD) merupakan hasil interaksi antara kendaraan yang
bergerak dengan jembatan. Besarnya FBD tergantung kepada frekuensi dasar dari suspensi kendaraan. b) Besarnya BGT dari pembebanan lajur “ D” dan beban roda dari pembebanan Truk “T” harus cukup untuk memberikan terjadinya interaksi antara kendaraan dengan jembatan. c) Untuk pembebanan “D”, FBD merupakan fungsi dari penjang bentang ekuivalen seperti tercantum dalam gambar 2.6. Untuk bentang tunggal panjang bentang ekuivalen diambil sama dengan panjang bentang sebenarnya. Untuk bentang menerus panjang bentang ekuivalen LE digunakan rumus : LE=
𝑳𝒂𝒗 . 𝑳𝒎𝒂𝒌𝒔 ………………………………(2.4)
Dimana : Lav = panjang bentang rata-rata dari kelompok bentang yang disambungkan secara menerus Lmax = panjang bentang maksimum dalam kelompok bentang yang disambung secara menerus.
Aris Rismayana Hadi, Perencanaan Struktur Atas.....
19
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
d) Untuk pembebanan truk “T”, FBD diambil 30%. Harga FBD yang dihitung digunakan pada seluruh bagian bangunan yang berada diatas permukaan tanah.
Gambar 2.6.Faktor beban dinamis “FBD” untuk BGT, pembebanan lajur “D”
Catatan : Untuk L ≤ 50 m
FBD = 0,40
Untuk 50 m < L < 90 m
FBD = 0,40 – 0,0025 . (L-50)
Untuk L > 90 m
FBD = 0,30
2.8.6. Gaya rem Bekerjanya gaya-gaya di arah memanjang jembatan, akibat gaya rem dan traksi, harus ditinjau untuk kedua jurusan lalu lintas. Pengaruh ini diperhitungkan senilai dengan gaya rem sebesar 5% dari beban lajur D yang dianggap ada pada semua jalur lalu lintas, (tabel 2.3 dan gambar 2.4), tanpa dikalikan dengan faktor beban dinamis dan dalam satu jurusan. Gaya rem tersebut dianggap bekerja horizontal dalam arah sumbu jembatan dengan titik tangkap 1,8 m di atas permukaan lantai kendaraan. Beban lajur D disini tidak direduksi karena bentang lebih dari 30 m, digunakan rumus beban “D” diatas.
Gambar 2.7.Gaya dari beban lajur “D”
Aris Rismayana Hadi, Perencanaan Struktur Atas.....
20
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Hubungan antara besar gaya rem yang diperhitungkan dengan penjang bentang jembatan dipat dilihat pada gambar berikut,
Gambar 2.8.Gaya rem per lajur 2,75 meter keadaan batas ultimate (KBU)
2.8.7. Pembebanan untuk pejalan kaki Semua elemen dari trotoar atau jembatan penyeberangan yang langsung memikul beban pejalan kaki harus direncanakan untuk beban nominal 5 kPa. Jembatan pejalan kaki dan trotoar pada jembatan jalan raya harus direncanakan untuk memikul beban per m2 dari luas yang dibebani seperti pada Gambar 2.9.
Gambar 2.9.Pembebanan pejalan kaki
2.8.8. Beban angin Beban angin adalah beban yang diperhitungkan pada gelagar induk,. Luas ekuivalen diambil sebagai luas pada bidang pengaruh dari pada jembatan dalam elevasi proyeksi tegak lurus. Untuk jembatan rangka batang diambil 30% dari luas yang dibatasi unsur rangka terluar. Angin harus dianggap bekerja secara merata pada seluruh bangunan atas. Seperti terlihat pada Gambar 2.10. Aris Rismayana Hadi, Perencanaan Struktur Atas.....
21
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Gambar 2.10.Bidang jembatan yang diterpa angin
Gaya nominal ultimit dan daya layan jembatan akibat beban angin tergantung kecepatan angin rencana seperti berikut, 𝑇𝐸𝑊 = 0,0006 𝐶𝑤 (𝑉𝑤 )2 𝐴𝑏
(𝑘𝑁)
(2.5)
Dimana : Vw = Kecepatan angin rencana (m/s) untuk keadaan batas yang ditinjau. Kecepatan angin rencana harus diambil seperti yang diberikan dalam tabel 2.4. Cw= koefisien seret dalam tabel 2.5 Ab = luas equivalen bagian samping jembatan (h x L) (m2) Kecepatan angina rencana diberikan oleh tabel berikut, Tabel 2.4.Kecepatan angina rencana, Vw
Keadaan batas
Lokasi Sampai 5 km dari pantai
> 5 km dari pantai
Daya layan
30 m/s
25 m/s
Ultimit
35 m/s
30 m/s
Sumber : RSNI T-02-2005
Aris Rismayana Hadi, Perencanaan Struktur Atas.....
22
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Koefisien seret diberikan oleh tabel berikut, Tabel 2.5.Koefisien seret, Cw
Tipe jembatan
Cw
Bangunan atas masif (1), (2)
b/d = 1,0
2,1 (3)
b/d = 2,0
1,5 (3)
b/d ≥ 6,0 Bangunan atas rangka
1,25 (3) 1,2
Sumber : RSNI T-02-2005
Apabila suatu kendaraan sedang berada diatas jembatan, beban garis merata tambahan arah horisontal harus diterapkan pada permukaan lantai seperti diberikan dengan rumus, 𝑇𝐸𝑊 = 0,0012 𝐶𝑤 (𝑉𝑤 )2 𝐴𝑏
(𝑘𝑁)
(2.6)
Dimana : Cw = 1,2 Ab = luas equivalen bagian samping jembatan (m2)
h = 4,10
Gambar 2.11.Beban akibat angina (PEW) yang dipikul lantai jembatan
Aris Rismayana Hadi, Perencanaan Struktur Atas.....
23
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Gambar 2.12.Luas ekuivalen bagian samping kendaraan (Ab)
2.9. Pengaruh getaran Getaran yang diakibatkan oleh adanya kendaraan yang lewat diatas jembatan akibat pejalan kaki pada jembatan merupakan keadaan batas daya layan apabila tingkat getaran menimbulkan bahaya. Getaran pada jembatan harus diselidiki untuk keadaan batas daya layan terhadap getaran. Satu lajur lalu lintas rencana dengan pembebanan “beban lajur D”, dengan faktor beban 1,0 harus ditempatkan sepanjang bentang agar diperoleh lendutan statis maksimum pada trotoar Lendutan ini jangan melampaui apa yang diberikan dalam Gambar 2.13 untuk mendapatkan tingkat kegunaan pejalan kaki.
Gambar 2.13.Lendutan statis maksimum untuk jembatan
Aris Rismayana Hadi, Perencanaan Struktur Atas.....
24
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
2.10. Kombinasi beban Kombinasi beban untuk keadaan batas daya layan dan keadaan batas ultimit.
Aksi rencana digolongkan kedalam aksi tetap dan transien aksi rencana ditentukan dari aksi nominal yaitu mengalikan aksi nominal dengan faktor beban yang
memadai. Kombinasi pada keadaan ultimit terdiri dari jumlah pengaruh aksi tetap dengan satu pengaruh transien.
Gaya rem TTB atau gaya sentrifugal TTR bisa digabungkan dengan
pembebanan lajur “D” yaitu TTD atau pembebanan truk “T” yaitu TTT, dan kombinasinya bisa dianggap sebagai satu aksi untuk kombinasi beban. Pada
keadaan batas ultimit, tidak diadakan aksi transien lain untuk kombinasi dengan aksi gempa. Ringkasan dari kombinasi beban yang lazim diberikan dalam Tabel 2.6 Tabel 2.6.Kombinasi beban Aksi
1
2
X
X
Kelayanan 3 4
5
6
1
2
Ultimit 3 4
5
6
X
X
X
X
X
X
X
Aksi Permanen : Berat sendiri Beban mati tambahan Susut rangkak Pratekan
X
X
X
Pengaruh beban tetap pelaksanaan Tekanan tanah Penurunan Aksi Transien : Beban lajur "D" atau beban truk "T"
X
O
O
O
O
X
O
O
O
Gaya rem atau gaya sentrifugal
X
O
O
O
O
X
O
O
O
Beban pejalan kaki Gesekan perletakan O Pengaruh suhu O Aliran/hanyutan/batang kayu dan hidrostatik/apung O Beban angin Aksi Khusus : Gempa
X O O
X X O O
O O X O
O O O X
O O X O
O O O X
O O O O
O O O O
X O O
O
O O O O X
Beban tumbukan Pengaruh getaran
X
X
Beban pelaksanaan
X
X
"X" berarti beban yang selalu aktif
(1) = aksi permanen "x" KBL
Aksi permanen "x" KBU + beban aktif "x" KBU +
"O" berarti beban yang boleh dikombinasi dengan
+ beban aktif "x" KBL + 1 beban "o" KBL
+ 1 beban "o" KBL
beban aktif, tunggal atau seperti ditunjukan
(2) = aksi permanen "x" KBL + beban aktif "x" KBL + 1 beban "o" KBL + 0,7 beban "o" KBL (3) = aksi permanen "x" KBL + beban aktif "x" KBL + 1 beban "o" KBL + 0,5 beban "o" KBL + 0,5 beban "o" KBL
Sumber: RSNI T-02-2005
Aris Rismayana Hadi, Perencanaan Struktur Atas.....
25
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
2.11. Pelat lantai jembatan 2.11.1. Umum
Pelat adalah struktur bidang yang datar/tidak melengkung yang tebalnya
jauh lebih kecil dari dua dimensi yang lain. Geometri pelat dapat dibatasi oleh
garis lurus, atau garis lengkung. Kondisi tepi pelat dapat berupa bebas, jepit, atau jepit elastis. Secara geometric pelat lantai jembatan dapat digolongkan menjadi 2 type yaitu :
a. Pelat satu arah (one way slab)
Pelat satu arah adalah pelat yang memikul momen lentur pada satu arah atau pelat yang mengalami lendutan dalam satu arah. Pelat lantai dapat dikatakan pelat satu arah bila perbandingan sisi terpanjang terhadap sisi terpendek
I𝑌 I𝑋
≥ 2,5 .
b. Pelat dua arah (two way slab) Pelat dua arah adalah pelat yang memikul momen lentur pada dua arah (Ix dan Iy) atau pelat yang mengalami lendutn dalam dua arah (Ix dan Iy). Pelat lantai dapat dikatakan pelat dua arah bila perbandingan sisi terpanjang terhadap sisi terpendek
I𝑌 I𝑋
< 2,5 .
Gambar 2.14.Pelat lantai
Gambar 2.15aPelat lantai satu arahGambar 2.15bPelat lantai dua arah
Aris Rismayana Hadi, Perencanaan Struktur Atas.....
26
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Dalam merencanakan pelat lantai yang perlu dipertimbangkan tidak hanya pembebanan, tetapi juga ukuran dan syarat-syarat tumpuan pada tepi. Syarat
syarat tumpuan menentukan jenis perletakan dan jenis penghubung di tempat tumpuan.
Sistem pelat lantai biasanya tebuat dari beton bertulang yang dicor di
tempat, namun dengan kemajuan teknologi saat ini penggunaan prategang banyak diaplikasikan pada konstruksi beton sebagai pengganti tulangan utama .
2.11.2. Perencanaan pelat lantai terhadap lentur
Perhitungan kekuatan dari suatu penampang yang terlentur harus
memperhitungkan keseimbangan dari tegangan dan kompatibilitas regangan, serta konsisten dengan anggapan : -
Bidang rata yang tegak lurus sumbu tetap rata setelah mengalami lentur.
-
Beton todak diperhitungkan dalam memikul tegangan tarik.
-
Distribusi tegangan tekan ditentukan dari hubungan tegangan-regangan beton.
-
Regangan batas beton yang tertekan diambil sebesar 0,003.
Hubungan distribusi tegangan tekan beton dan regangan dapat dianggap dipenuhi oleh distribusi tegangan beton persegi ekivalen, yang diasumsikan bahwa tegangan beton = 0,85 f’c terdistribusi merata pada daerah tekan ekivalen yang dibatasi oleh tepi tertekan terluar dari penampang dan suatu garis yang sejajar dengan sumbu netral sejarak a = β1c dari tepi tertekan terluar tersebut. Jarak c dari tepi dengan regangan tekan maksimum ke sumbu netral harus diukur dalam arah tegak lurus sumbu tersebut.
𝑑=
𝑎 2
Gambar 2.16.Regangan dan tegangan pada penampang beton bertulang
Aris Rismayana Hadi, Perencanaan Struktur Atas.....
27
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Faktor β1 harus diambil sebesar: β1 = 0,85
untuk f’c ≤ 30 MPa
β1 = 0,85 – 0,008 (f’c – 30)
untuk f’c >30 MPa
2.11.2.1. Faktor reduksi kekuatan Faktor reduksi kekuatan diambil dari nilai-nilai berikut : -
Lentur
= 0,80
-
Geser dan Torsi
= 0,70
-
Aksial tekan
-
o Dengan tulangan spiral
= 0,70
o Dengan sengkang biasa
= 0,65
Tumpuan beton
= 0,70
Perencanaan kekuatan pada penampang terhadap momen lentur harus berdasarkan kekuatan nominal yang dikalikan dengan suatu faktor reduksi kekuatan φ sesuai dengan koefisien diatas. 2.11.2.2. Tebal minimum pelat lantai Pelat lantai yang berfungsi sebagai lantai kendaraan pada jembatan harus mempunyai tebal minimum tsmemenuhi kedua ketentuan : ts ≥ 200 mm ts ≥ (100 + 40 l) mm Dimana : l = bentang pelat diukur dari pusat ke pusat tumpuan (m) 2.11.2.3. Lebar pelat yang menahan momen lentur Untuk pelat lantai satu arah di atas dua perletakan ataumenerus, lebar pelat yang menahan momen lentur akibat beban terpusat dapat ditentukan sesuai dengan rumus : Bila beban tidak dekan dengan sisi yang tidak ditumpu : 𝒃𝒆𝒇 = 𝐥𝐞𝐛𝐚𝐫 𝐛𝐞𝐛𝐚𝐧 + 𝟐, 𝟒 𝒂∗ (𝟏, 𝟎 −
Aris Rismayana Hadi, Perencanaan Struktur Atas.....
𝒂∗ 𝒍𝒏
(2.7)
28
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Dimana : a*
= jarak tegak lurus dari tumpuan terdekat ke penampang yang diperhitungkan
ln
= bentang bersih dari pelat.
Bila beban dekat dengan sisi yang tidak ditumpu, lebar pelat tidak boleh lebih besar dari harga terkecil berikut ini : 1. Sama dengan rumus sebelumnya :
𝒃𝒆𝒇𝒇 = 𝐥𝐞𝐛𝐚𝐫 𝐛𝐞𝐛𝐚𝐧 + 𝟐, 𝟒 𝒂∗ (𝟏, 𝟎 −
𝒂∗ 𝒍𝒏
(2.8)
2. Setengah dari harga di atas ditambah dengan jarak titik pusat beban ke sisi yang tidak ditumpu. 𝒃𝒆𝒇𝒇 =
𝒃𝒆𝒇𝒇 (𝐩𝐝.𝐩𝐨𝐢𝐧 𝟏 ) 𝟐
+ 𝒋𝒂𝒓𝒂𝒌 𝒕𝒊𝒕𝒊𝒌 𝒑𝒖𝒔𝒂𝒕 𝒃𝒆𝒃𝒂𝒏 𝒌𝒆 𝒔𝒊𝒔𝒊 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒕𝒊𝒅𝒂𝒌 𝒅𝒊𝒕𝒖𝒎𝒑𝒖
(2.9)
2.11.2.4. Persyaratan tulangan minimum (ρmin) Tulangan minimum harus dipasang untuk menahan tegangan tarik utama sebagai berikut : a) Pelat lantai yang ditumpu kolom : 𝑨
𝝆𝒎𝒊𝒏 = 𝒃.𝒅𝒔 =
𝟏,𝟐𝟓 𝒇𝒚
(2.10)
b) Pelat lantai yang ditumpu balok atau dinding : 𝑨
𝝆𝒎𝒊𝒏 = 𝒃.𝒅𝒔 =
𝟏,𝟎 𝒇𝒚
(2.11)
c) Pelat telapak : 𝑨
𝝆𝒎𝒊𝒏 = 𝒃.𝒅𝒔 =
𝟏,𝟎 𝒇𝒚
(2.12)
Apabila pelat lantai ditumpu seperti halnya sebagai pelat dua arah, luas minimum tulangan dalam masing-masing arah harus diambil dua pertiga dari harga-harga di atas. Jika tidak, tulangan yang disebarkan harus dipasang sebagai berikut : a) Tulangan harus dipasang pada bagian bawah dengan arah menyilang terhadap tulangan pokok.
Aris Rismayana Hadi, Perencanaan Struktur Atas.....
29
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
b) Kecuali bila analisis yang lebih teliti dilakukan, jumlah tulangan diambil sebagai persentasi dari tulangan pokok yang diperlukan untuk momen
a. Tulangan pokok sejajar arah lalu lintas : Persentase =
𝟓𝟓 𝒍
(𝒎𝒂𝒙. 𝟓𝟎%, 𝒎𝒊𝒏. 𝟑𝟎%)
b. Tulangan pokok tegak lurus arah lalu lintas :
positif sebagai berikut :
Persentase =
𝟏𝟏𝟎 𝒍
(𝒎𝒂𝒙. 𝟔𝟕%, 𝒎𝒊𝒏. 𝟑𝟎%)
c. Dengan adanya tulangan pokok yang tegak lurus arah lalu lintas, jumlah penyebaran tulangan dalam seperempat bentang bagian luar dapat dikurangi dengan maksimum 50%.
2.11.2.5. Pengaku bagian tepi a) Pengaku arah memanjang - Balok tepi harus dipasang untuk pelat lantai yang mempunyai tulangan pokok sejajar arah lalu lintas. - Balok tepi paling sedikit harus identik dengan penambahan 600 mm lebar pelat lantai dengan tulangan yang serupa. b) Pengaku arah melintang Tepi melintang pada ujung jembatan, dan pada bagian tengah di mana kontinuitas dari pelat terhenti, harus ditumpu oleh diafragma atau yang sejenisnya dan harus direncanakan untuk pengaruh yang paling berbehaya dari beban roda. 2.11.3. Perencanaan pelat lantai terhadap geser Perencanaan kekuatan pelat lantai terhadap geser harus ditentukan sesuai dengan ketentuan berikut : 1) Kuat geser pelat lantai harus diperhitungkan sesuai dengan kuat geser balok (φVn ≥ Vu), apabila keruntuhan geser dapat terjadi sepanjang lebar pelat lantai dan keruntuhan geser dapat terjadi pada lebar yang cukup
Aris Rismayana Hadi, Perencanaan Struktur Atas.....
30
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
besar. Besarnya kuat geser pelat yang disumbangkan oleh beton bertulang
tanpa tulangan geser adalah:
𝟏
𝑽𝒄 = 𝟔
𝒇′𝒄 𝒃 𝒅𝒐
Dimana :
f’c = mutu beton (MPa)
b = lebar pelat lantai = 1000 (mm)
(2.13)
do = jarak dari serat tekan terluar ke pusat tulangan tarik (mm)
2) Keruntuhan geser dapat terjadi setempat (geser pons) disekitar tumpuan
atau beban terpusat, apabila hal ini terjadi, maka besarnya kuat geser pelat lantai harus diambil φVn, dimana Vnditentukan sesuai dengan salah satu harga sebagai berikut : a. Mv* = 0 Besarnya kuat geser nominal (Vn = Vno) dari pelat lantai ditentukan dari salah satu persamaan berikut : 1) Bila tidak memiliki kepala geser (shear head) : 𝑽𝒏𝒐 = 𝒖 × 𝒅 × 𝒇𝒄𝒗 + 𝟎, 𝟑. 𝒇𝒑𝒆
(2.14)
2) Bila terdapat kepala geser (shear head) : 𝑽𝒏𝒐 = 𝒖 × 𝒅 × 𝟎, 𝟓. 𝒇′𝒄 + 𝟎, 𝟑. 𝒇𝒑𝒆 ≤ 𝟎, 𝟐 𝒖 𝒅 𝒇′𝒄 Dimana: 𝟏
𝟐
𝒇𝒄𝒗 = 𝟔 𝟏 + 𝜷
𝒉
𝒇′𝒄 ≤ 𝟎, 𝟑𝟒 𝒇′𝒄
(2.15)
Dimana : Fpe
= tegangan tekan dalam beton akibat gaya prategang efektif
Mv*
= Momen lentur rencana yang dialihkan dari pelat
lantai ke tumpuan dalam arah yang ditinjau. βh
= perbandingan antara dimensi terpanjang dari
luas efektif yang dibebani (Y) dengan dimensi X yang diukur tegak lurus Y. u
= panjang efektif dari garis keliling geser kritis.
Aris Rismayana Hadi, Perencanaan Struktur Atas.....
31
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
ASPAL
ASPAL
ta
ta PELAT LANTAI JEMBATAN
PELAT LANTAI JEMBATAN
h
h b
a
v
b
v
u
a
u
a
200 mm
500 mm
c Penampang kritis (u) = 2(a+b) 𝑑 2
𝑑 2 Gambar 2.17.Penampang kritis geser pons
2.11.3.1. Luas minimum dari sengkang tertutup Besarnya luas minimum tulangan dari sengkang tertutup harus memenuhi persamaan berikut : 𝑨𝒔𝒘 𝑺
≥
𝟎,𝟐𝒚𝟏 𝒇𝒚,𝒇
(2.21)
2.11.3.2. Detail tulangan geser Tulangan geser pelat lantai pada bagian strip puntir dan balok tepi harus berbentuk sengkang tertutup yang disusun sesuai dengan : 1) Sengkang harus diperluas sepanjang strip puntir dan balok tepi dengan jarak tidak tidak kurang dari 0,25 ltdari muka tumpuan atau beban terpusat.
Aris Rismayana Hadi, Perencanaan Struktur Atas.....
32
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Sengkang pertama harus ditempatkan tidak lebih dari 0,5 s dari muka
tumpuan.
2) Jarak sengkang tidak boleh melampaui bilai terbesar dari 300 mm dan hb
atau hs.
3) Sekurang-kurangnya harus dipasang satu tulangan memanjang pada masing-masing sudut sengkang.
2.12. Perencanaan penampang baja 2.12.1.Perencanaan penampang gelagar
Dalam perencanaan penampang gelagar ada dua syarat yang harus dipenuhi seperti pada persamaan dibawah ini:
Mu ≤ Ø x Mn
(2.22)
Mn= 1.12 Sx fy
(2.23)
Setelah didapat penampang gelagar, penampang dikontrol terhadap: 1) Kapasitas penampang/kelangsingan a. Plat sayap dengan persamaan :
f
b 170 ≤ p (kompak) 2.tf fy
(2.24)
b. Plat badan dengan persamaan :
w
1680 h 2tf 2r ≤ p tw fy
(kompak)
(2.25)
2) Lentur dan geser Syarat yang harus dipenuhi adalah :
h 1,10 Kn E tw fy
(2.26)
Kn = 5 (diasumsikan tidak ada pengaku vertikal) Dengan syarat : Vu <Ø . Vn Vu < Ø . ( 0,60 . fy . h . tw)
(2.27) (2.28)
Kontrol dengan metode distribusi :
Aris Rismayana Hadi, Perencanaan Struktur Atas.....
33
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Mu ≤
Mf=
= ( b
x tf
(2.30) )x( h
- tf
)x fy
Kontrol dengan metode interaksi :
(
(2.29)
Af x dF x fy
Ø .Mf
Mu Vu 0,625 ) ≤ 1375 Mn Vn
(2.31)
3) Kontrol lendutan akibat beban balok
δ=
5 M .total L2 1 x bentang 48EI 800
(2.32)
4) Kontrol terhadap pengaruh lateral Apabila kondisi yang terjadi Lp ≤ Lb ≤ Lr Dengan : Lp = 1,76 . iy .
E (2.33) Fy
Lb = λ (tidak ada penyangga) Lr =
X 1 iy FL
(2.34)
1 1 X 2 FL2 (2.35)
Dimana : X1=
AJEG (2.36) . 2 Sx
X2= 4 . (
Sx 2 Iw ) . (2.37) iy JG
FL = 0,7 . Fy(2.38) J = 1/3 (h . tf 3 + 2b . tw3)(2.39) Maka runtuh terjadi pada tekuk elastis dan mrnggunakan persamaan : Mn = Cb (Mp – (Mp – Mr)) .
Lb Lp Mp Lr - L p
Aris Rismayana Hadi, Perencanaan Struktur Atas.....
(2.40)
34
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Dengan syarat :
Mu ≤ Ø Mn
(2.41)
Dimana : 12,5 Mmaks 2.5Mmaks 3Ma 4Mb 3Mc
Cb =
Mmaks = Momen maksimum
Ma
= Momen pada jarak ¼ segmen
Mb
= Momen pada jarak ½ segmen
Mc
= momen pada jarak ¾ segmen
Mp= Fy . 1,12 . Sx Mr
≤ 2.3
(2.42)
(2.43)
= Sx . FL(2.44)
2.12.2.Perencanaan batang tarik Penggunaan struktur baja yang paling efisien adalah sebagai batang tarik, yaitu komponen struktur yang memikul/mentransfer gaya tarik antara dua titik pada struktur. Komponen struktur yang memikul gaya aksial tarik terfaktor, Nu, harus memenuhi: Nu Ø. Nn
(2.45)
Kuat tarik rencana, Ø.Nn ditentukan oleh dua kondisi batas yang mungkin dialami batang tarik, yaitu dengan mengambil harga terkecil di antara: a. Kondisi leleh sepanjang batang: Ø . Nn = 0,9 Ag .fy b. Kondisi fraktur pada daerah sambungan: Ø. Nn = 0,75 Ae .fu
(2.46) (2.47)
dimana: Ag = luas penampang kotor Ae = luas efektif penampang (lihat penjelasan berikutnya) fx = tegangan leleh yang digunakan dalam desain fu = kekuatan (batas) tarik yang digunakan dalam desain
Aris Rismayana Hadi, Perencanaan Struktur Atas.....
35
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Angka koefesien reduksi Ø sebesar 0,75 untuk kondisi batas fraktur diambil lebih kecil daripada untuk kondisi leleh, mengingat kondisi fraktur lebih
getas/berbahaya dan harus lebih dihindari.Penggunaan luas Ag pada kondisi batas dapat digunakan mengingat kelelehan plat pada daerah berlubang akan leleh
diikuti oleh redistribusi tegangan di sekitarnya selama bahan masih cukup daktail (mampu berfeformasi plastis cukup besar) sampai fraktur terjadi. Kondisi pasca leleh hanya diijinkan terjadi pada daerah kecil/pendek di sekitar sambungan,
karena kelelehan pada seluruh batang akan menimbulkan perpindahan relatif antara kedua ujung batang secara berlebihan dan elemen tidak mampu lagi
berfungsi. 2.13. Perencanaan batang tekan Penggunaan baja struktur yang paling perlu perhatian adalah sebagai batang tekan, yaitu komponen struktur yang memikul/mentransfer gaya tekan antara dua titik pada struktur. Komponen struktur dengan gaya aksial murni umumnya merupakan komponen pada struktur segitiga (rangka batang) atau merupakan komponen struktur dengan kedua ujung sendi. Menurut teori LRFD suatu elemen direncanakan hanya memikul gaya tekan apabila kekakuan tekuknya dapat dipertanggung jawabkan pada kondisi tekuk. Dengan syarat (2.48)
N u .N n
Dengan : Φ = 0,85 Nu = Beban terfaktor Nn = Kuat tekan nominal komponen struktur = Ag. fcr Daya dukung nominal Nn struktur tekan dihitung sebagai berikut : Nn = Ag . fcr = Ag .
𝑓𝑦 𝑤
(2.49)
Dengan besarnya w ditentuan oleh λc, yaitu : Untuk λc< 0,25
maka w = 1
Aris Rismayana Hadi, Perencanaan Struktur Atas.....
(2.50)
36
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Untuk 0,25 < λc< 1,2 maka w =
Untuk λc> 1,2
1,43 1,6−0,67λc
maka w = 1,25λc2
(2.51) (2.52)
2.13.1. Batas kelangsingan Batas kelangsingan batang komponen struktur tekan dibatasi pada angka
kelangsingan berikut : a. Untuk batang-batang yang direncanakan terhadap beban tekan, angka
perbandingan kelangsingan dibatasi : Lk 200 (2.53) r min
2.13.2. Kemungkinan terjadinya tekuk lokal Jika penampang melintang suatu komponen struktur tekan cukup tipis, maka akan ada kemungkinan timbul tekuk lokal. Profil-profil WF dengan tebal flens yang tipis cukup rawan terhadap bahaya tekuk lokal. Oleh karena itu peraturan membatasi rasio antara lebar dengan ketebalan suatu elemen, dan penampang suatu komponen struktur dapat diklasifikasikan menjadi penampang kompak, tidak kompak dan langsing. Rasio antara lebar dengan tebal suatu elemen biasanya dinotasikan dengan simbol λ. Untuk profil WF maka kelangsingan flens dan web dapat dihitung berdasarkan rasio:
𝜆=
𝑏𝑓 2𝑡 𝑓
ℎ
dan
𝑡𝑤
< λr
(2.54)
Dengan : bf
= Lebar flens
tf
= Tebal flens
h
= Tinggi web
tw
= Tebal web
Jika salah satu nilai lebih besar dari suatu batas yang ditentukan λr maka penampang dikatakan langsing dan potensial mengalami tekuk lokal. Aris Rismayana Hadi, Perencanaan Struktur Atas.....
37
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
r
250 fy
(2.55)
2.13.3. Analisa kekuatan batang tekan
Kekuatan batang tekan yang mengalami tekuk diberi notasi N cr. Besar Ncr
diambil dari besarnya gaya mulai terjadinya tekuk elastis pada batang tekan yang
kedua ujungnya dipegang oleh sendi, ditetapkan sebesar :
2 .E.I N cr L2
(2.56)
Dimana untuk batang sendi-sendi Lk = L, maka dengan mengganti bilangan L
dengan Lk, rumus tekuk elastis euler berlaku untuk semua kondisi batang sebagai berikut : N cr
2 .E.I Lk
(2.57)
2
Selanjutnya berdasarkan teori kekuatan batang tekan dengan teori LRFD disyaratkan batang tekan yang mengalami tekuk dikatakan kuat bila :
N u .N n
(2.58)
0,85 Dengan besarnya Nn ditetapkan
N n Ag f er Ag
fy
(2.59)
Dengan ketentuan : Untuk :
c 0,25 ω = 1 c
1 Lk imin
fy E
(2.60)
Pada kondisi ini kekuatan batang tekan pada kekuatan plastis Untuk :
Aris Rismayana Hadi, Perencanaan Struktur Atas.....
38
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
0,25 c 1,2
1,43 1,6 0,67 . c
(2.61)
Pada kondisi ini, kekuatan batang tekan mencapai pada kekuatan inelastis
Untuk : c 1,2
= 1,25c2
Pada kondisi ini, kekuatan batang tekan mencapai pada kekuatan elastis Balok 2.14.
Perencanaan balok baja didasarkan pada teori elastis. Beban maksimum yang dapat dipikul oleh suatu struktur mencapai tegangan lelehnya. Elemen direncanakan sedemikian rupa sehingga tegangan lentur akibat beban layan tidak melampaui tegangan leleh dengan faktor keamanan. 2.14.1. Perencanaan balok akibat momen lentur Pada balok dengan tumpuan sederhana dengan bentang yang cukup panjang maka balok tersebut akan melentur ke bawah, dengan bagian atas tertekan dan bagian bawah tertarik. 2.14.2. Pradimensi Proses ini merupakan proses pemilihan dimensi dari balok yang akan digunakan. Momen yang digunakan adalah momen dalam kondisi plastis. 𝑀𝑢 = 𝜙𝑀𝑛 (2.62) 𝑀𝒏 = 𝑀𝑛𝑝𝑙 = 𝑓𝑦 . 𝑍𝒙 Untuk profil I.WF 𝑍𝑥 = 1,12 𝑆𝑥
(2.63)
Sehingga 𝑀𝑢 = 1,12 𝑆𝑥 𝑓𝑦 𝜙
Aris Rismayana Hadi, Perencanaan Struktur Atas.....
39
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
𝑀𝑢
𝑆𝑥 = 𝑓
𝑦
1,12 𝜙
(2.64)
Dimana: Mu
= Momen lentur perlu
Mn
= Mnpl = Kuat lentur nominal
Zx
= Modulus plastisitas penampang
Sx
= Modulus elastisitas penampang
fy
= Tegangan leleh yang digunakan dalam desain
∅
= Koefisien reduksi
2.14.3. Kontrol kekuatan Kontrol kekuatan profil perlu dihitung dengan memperhatikan syarat sebagai berikut : a. Bila penampang kompak Syarat λ < λp Maka Mn = Mp = fy . Z
(2.65)
b. Bila penampang tidak kompak Syarat λp< λ < λr Maka Mn = My =Mp - (Mp - Mr )
𝜆−𝜆 𝑝 𝜆 𝑟− 𝜆 𝑝
(2.66)
c. Bila penampang langsing Syarat λ > λr Maka Mn = Mr
𝜆𝑟 2 (2.67) 𝜆
Besarnya nilai ,p ,rditetapkan sebagai berikut: b
b
tf
2x tf
λ= (untuk plat flens); λ=
λ=
λp =
b tw
(untuk profil IWF dan kanal)
(untuk plat badan)
170 fy
Aris Rismayana Hadi, Perencanaan Struktur Atas.....
(2.68) (2.69) (2.70)
40
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
λr =
370
(2.71)
fy −fr
Dimana : Mn = Kuat lentur nominal balok
My= Mp = Momen lentur yang menyebabkan seluruh penampang
mengalami tegangan leleh
Mr = Momen batas tekuk
λ = Kelangsingan atau kekakuan λp = Batas maksimum untuk penampang kompak
λr = Batas maksimum untuk penampang tak kompak tw = Tebal pelat badan 2.14.4. Kontrol stabilitas Kontrol stabilitas perlu dilakukan dengan memperhatikan syarat sebagai berikut : a. Bila penampang termasuk bentang pendek (zona 1) Syarat L ≤ Lp
Maka Mn = Mp = fy . Zx
(2.72)
b. Bila penampang termasuk bentang menengah (zona 2) Syarat Lp ≤ L ≤ Lr
L L Maka Mn Cb Mp Mp Mr r L r L p
(2.73)
c. Bila penampang termasuk bentang panjang (zona 3) Syarat Lb> Lr π Maka M n M cr C b Lb
Cb
2,5 . M max
2 π.E E .I y .G .J Iy .Iw Lb
12,5. M max 2,3 3. M A 4 . M B 3. M C
Aris Rismayana Hadi, Perencanaan Struktur Atas.....
(2.74)
41
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Mmax adalah momen terbesar dalam segmen tanpa sokongan suatu balok, sedangkan MA, MB dan MC masing-masing adalah momen pada jarak ¼, ½, dan ¾
segmen. Dimana :
Cb
= Koefisien pengali momen tekuk torsi lateral
G
= Modulus geser elastis baja
E J
= 80000 Mpa
= Modulus Elastis
= 200000 Mpa 4
= Konstanta puntir torsi (mm )
Iw
= Konstanta puntir lengkung (mm4)
Iy
= Momen inersia sebuah elemen pada komponen struktur tersusun terhadap sumbu Y-Y
Lp
= Panjang bentang maksimum
Lb
= Panjang bentang antara dua pengekang lateral
Lr
= Panjang bentang minimum Dalam Gambar 2.18 diperlihatkan kurva yang menghubungkan besar momen
tekuk atau momen tahanan nominal balok
terhadap panjang jarak sokongan
lateral.
Gambar 2.18.Kurva hubungan besar momen tekuk
Dari Gambar 2.18 momen nominal sebagai fungsi dari panjang tanpa sokongan pada flens tekan terlihat bahwa balok mempunyai tiga daerah tekuk tergantung pada kondisi sokongan lateral yang diberikan. Jika pada balok diberikan sokongan lateral menerus atau pada jarak yang pendek, maka balok akan menekuk secara plastis dan termasuk dalam tekuk Zona 1.
Aris Rismayana Hadi, Perencanaan Struktur Atas.....
42
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Dengan bertambahnya jarak sokongan lateral, balok akan runtuh secara inelastis pada momen yang lebih kecil dan termasuk dalam tekuk Zona 2,
demikian seterusnya bila jarak sokong lateral ditambah terus, balok kan runtuh elastis dan termasuk dalam tekuk Zona 3. secara
Besar batasan jarak sokong lateral Lp dan Lr ditentukan pada Tabel 8 SNI
T 03- 2005 dengan rumus : a. Untuk Profil I.WF dan kanal :
Lp = 1,76 ry
X1
L r = ry
fl
E fy
(2.75)
1+
1 + x 2 fl 2
(2.76) (2.77)
Dimana : fL f y f r fr 0,7fy X1
π Zx Iy
ry
A
E.G.J.A 2
Zx X 2 4 G.J
1
1
Iw Iy
adalah jari - jari girasi terhadap sumbu lemah
Iw = 12 × (hw )3 × t w J=3
2
= Konstanta puntir lengkung
h × t 3f + 2 × b × t 3w = Konstanta puntir torsi
(2.78) (2.79)
2.15. Perencanaan sambungan Elemen sambungan terdiri dari komponen sambungan (pelat penyambung, pelat buhul, pelat pendukung, pelat isi) dan penghubung (baut, pen dan las). 2.15.1. Jenis alat sambung baut Dalam konstruksi baja sambungan baut merupakan jenis struktur sambungan yang paling sering digunakan terutama untuk struktur baja jembatan. Ada dua jenis baut yang sering digunakan antara lain: a. Baut biasa/baut hitam: Adalah baut yang dibuat dari baja karbon rendah yang memenuhi standar ASTM A-307, digunakan pada sambungan
Aris Rismayana Hadi, Perencanaan Struktur Atas.....
43
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
dengan struktur ringan atau sambungan yang tidak kaku (rigid). Terdapat
dua jenis baut biasa yaitu :
o Baut dengan ulir penuh : Seluruh panjang batang baut diulir penuh, sehingga
dibagian
diperhitungkan
pada
bidang
geser
penampang
penampang dengan
baut
harus
diameter
dalam
ulir/diameter Kren.
Gambar 2.19.Baut dengan ulir penuh
o Baut dengan ulir sebagian : Bagian yang diulir hanya sebagian (bagian bidang geser utuh tidak diperhitungkan pada penampang dengan diameter luar ulir/diameter nominal.
Gambar 2.20.Baut dengan ulir sebagian
Pada kepala baut biasanya ditulis kode mutu baut, yang menunjukkan besar tegangan leleh minimum baut seperti 4.6 atau 4,8, yang artinya : Kode 4,6 = Baut Dengan Tegangan leleh = 4,6.100 2.400Kf / cm 2 b. Baut mutu tinggi Baut mutu tinggi biasanya digunakan pada sambungan yang rigid (kaku), dengan kekuatan tarik yang sangat tinggi, baut mutu tinggi, dapat menahan geseran pada bidang sambungan, yang dalam penggunaannya baut mutu tinggi disertai dengan sebuah ring. Baut mutu tinggi yang sering digunakan adalah baut mutu tinggi dengan kode A 325 dan A 490 yang dituliskan pada kepala baut seperti pada Gambar berikut:
Gambar 2.21.Baut dengan mutu tinggi
Aris Rismayana Hadi, Perencanaan Struktur Atas.....
44
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
2.15.2. Perencanaan struktur sambungan dengan baut Berdasarkan perilaku struktur yang direncanakan, sambungan pada
struktur baja dibedakan menjadi: a. Sambungan kaku.
b. Sambungan semi kaku. c. Sambungan sederhana Di bawah ini adalah tabel diameter nominal baut beserta luasnya Tabel 2.7.Luas baut
Luas Baut mm2
Diameter Nominal Baut df (1)
Catatan :
Ae (2)
As (3)
Ao (4)
M16
144
157
201
M20
225
245
314
M24
324
353
452
M30
519
561
706
M36
759
817
1016
Ae (2) = Luas inti baut, diukur pada diameter lebih kering dari benang. As (3) = Luas untuk menghitung kekuatan tarik A0 (4) = Luas bagian polos nominal baut berdasarkan diameter nominal baut.
2.15.3. Kekuatan nominal baut (Rn) RnAdalah besarnya daya dukung satu baut pada sambungan tersebut yang tergantung dari diameter dan mutu baut, tebal pelat dan mutu pelat yang disambung serta tipe sambungan terhadap gaya geser yang bekerja. Sehingga kekuatan nominal baut harus ditinjau terhadap tiga kemungkinan kerusakan sebagai berikut: a. Pada baut putus, kekuatan sambungan dihitung terhadap kekuatn geser penampang baut. Pada kekuatan ini sambungan dibagi menjadi dua tipe geser, yaitu : 1. Geser tunggal dengan luas penampang bidang geser sama dengan satu luas penampang baut. Aris Rismayana Hadi, Perencanaan Struktur Atas.....
45
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
2. Geser ganda dengan luas bidang geser (m) kali luas penampang
baut.
b. Pada pelat rusak, kekuatan baut dihitung terhadap kekuatan tumpu (desak)
bagian paling tipis dari pelat yang disambung.
c. Pada pelat putus, sudah diperhitungkan pada perencanaan dimensi batang, sehingga pada kekuatan sambungan tidak perluditinjau. Sambungan baut dinyatakan aman bila memenuhi syarat :
Besar beban terfaktor Ru harus lebih kecil dari besar kekuatan nominal baut Rntereduksi, yang dinyatakan dengan rumus :
Ru ≤ Rn.ϕ
(2.80)
Dengan Rnadalah tahanan nominal baut sedangkan ϕadalah faktor reduksi yang diambil sebesar 0,75. Besarnya Rnberbeda-beda untuk masing-masing tipe sambungan. Kekuatan nominal baut dihitung nilai terkecil dari : 1. Kekuatan geser nominal baut Rnf dari baut dihitung sebagai berikut: Rnf = 0,62 . fuf . kr (nn Ao + nx Ao)
(2.81)
Tabel 2.8.Tarikan minimum baut
Nominal Diameter of Bolt Diamter Nominal Baut mm
M16
M20
M24
M30
M36
95
145
210
335
490
Minimum Bolt Tension Tarikan Minimum Baut (fuf )KN/m2
Dengan: fuf = kekuatan tarik minimum baut kr = Untuk semua hubungan lain, kr = 1.0. kecuali seperti yang diberikan dalam Tabel BMS. nn = jumlah bidang geser melalui bagian baut yang berulir Ac = luas diameter lebin kecil pada baut nx = jumlah bidang geser melalui bagian baut yang tidak berulir Ao = luas batang polos nominal pada baut
Aris Rismayana Hadi, Perencanaan Struktur Atas.....
46
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
a. Untuk sambungan geser tunggal
𝟏
Rnf = 𝟒 𝝅𝐝𝐛𝟐 x 0,62 fub
(2.82)
b. Untuk sambungan geser ganda 𝟏
Rnf = 2 x 𝟒 𝝅𝐝𝐛𝟐 x 0,62 fub
(2.83)
2. Kekuatan tarik nominal baut Rnt, dihitung sebagai berikut:
Rnt = At . fuf
(2.84)
3. Kekuatan tumpuan nominal pelat lapis Rnb, dihitung sebagai berikut:
Rnb = 3,2 df tp fup
(2.85)
dengan syarat bahwa, untuk pelat tertipis yang memikul komponen gaya yang
bekerja menuju suatu ujung, kekuatan tumpuan nominal dari nilai terkecil dari yang diberikan oleh Rumus berikut: Rnb’ = ae tp fup
(2.86)
Dengan: df
= diameter baut
tp
= tebal pelat lapis
fup = kekuatan tarik pelat lapis ae
= jarak minimum dari ujung lubang baut terdekat ke uiung pelat tertipis, dalam arah kerja gaya, ditambah setengah diameter baut.
2.15.4. Analisa kebutuhan baut dan kekuatan sambungan Analisa kebutuhan baut dan kekuatan sambungan adalah menentukan jumlah baut yang diperlukan dan susunan letak baut pada sambungan agar didapatkan jumlah baut yang efisien dan susunan letak baut yang efektif berdasarkan besar dan sifat beban yang bekerja. 2.15.4.1. Sambungan baut yang menahan beban sentris Sambungan baut dimana garis kerja beban bekerja melalui titik berat susunan baut, sehingga susunan baut dapat diperhitungkan adanya beban yang diterima secara merata pada setiap baut.
Aris Rismayana Hadi, Perencanaan Struktur Atas.....
47
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Gambar 2.22.Sambungan baut tahanan beban sentris
Pada sambungan ini merupakan analisa kekuatan sambungan yang paling
sederhana, dengan sifat beban yang sentris pada sambungan ini, jumlah
kebutuhan baut yang diperlukan dapat dihitung langsung dengan asumsi seluruh jumlah baut yang ada menerima beban yang bekerja sama rata, dengan rumus : n
Nu R n φ.
(2.87)
Dimana : Nu = Beban kerja terfaktor Rn = Kekuatan nominal minimal baut
= Faktor reduksi kekuatan
n
= Jumlah baut yang dibutuhkan
Bila terdapat jumlah baut lebih dari lima, maka baut harus dipasang lebih dari satu baris arah garis kerja beban yang bekerja 2.15.4.2. Sambungan baut yang menahan beban eksentris Sambungan baut dimana garis kerja beban tidak melalui titik berat susunan baut, sehingga susunan baut harus diperhitungkan adanya beban sekunder berupa momen sebesar (M = P x e). Apabila garis bekerja pada suatu garis kerja yang tidak melewati titik berat suatu pola baut disebut gaya eksentris. Jenis sambungan ini dibedakan menjadi dua yaitu : 1. Sambungan Eksentris Menahan Geser dan Lentur Jenis sambungan ini sering disebut dengan sambungan konsol, P bekerja sejauh (e) dari bidang sambungan, sehingga pada susunan penampang baut timbul beban.
Aris Rismayana Hadi, Perencanaan Struktur Atas.....
48
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Mu = P . e
Gambar 2.23.Sambungan eksentris menahan geser dan lentur
Akibat beban kerja (P) dan momen (M), penampang baut tergeser dan
bekerja gaya tarik (T). Besar tegangan geser dan gaya tarik (T) dihitung sebagai berikut : a. Akibat Gaya P (Ditinjau Kekuatan Geser) Pada seluruh penampang baut yang ada terjadi tegangan geser sebesar : 𝑓𝑢𝑣 = Dimana : fuv
𝑃𝑢 𝑛 .𝐴𝑏𝑎𝑢𝑡
(2.89)
= Tegangan geser terjadi
Pu
= Besar beban terfaktor
n
= Jumlah baut
ABaut
= Luas penampang baut
Besar tegangan tersebut adalah besar tegangan yang terjadi di setiap satu baut. Tegangan ijin geser baut adalah : fdv = 0,5. ϕr . fub . m Dimana : fdv ϕr fub m
(2.89)
= Tegangan ijin geser baut = Faktor reduksi = Tegangan ultimate baut = Jumlah bidang geser baut
b. Akibat Beban M (Ditinjau Kekuatan Tarik) Pada penampang baut terjadi momen lentur dengan titik netral yang terletak sejauh (a) dari ujung pelat tertekan, sehingga terjadi diagram tegangan pada (pada kondisi elastis atau pada kondisi plastis), pada baut menerima tegangan tarik (Ti) sebesar:
Aris Rismayana Hadi, Perencanaan Struktur Atas.....
49
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
1. Pada Kondisi Elastis
2. Pada Kondisi Plastis
2. Sambungan Eksentris Menahan Geser Murni
Gambar 2.24.Sambungan eksentris menahan geser murni
Jenis sambungan ini sering disebut dengan sambungan konsol, P bekerja sejauh (e) dari titik berat susunan baut (Titik Z), sehingga pada penampang Baut timbul beban M = P. e yang bekerja sejajar dengan bidang pasang sambungan.Akibat beban kerja P dan momen M. Penampang Baut tergeser longsor ke bawah dan berputar dengan titik putar (titik netral ) di titik Z .Maka pada seluruh baut terjadi gaya geser, dengan titik baut yang paling kritis adalah baut yang paling jauh dari titik netral Z , yaitu bekerja Gaya geser sebesar (seperti gambar di atas). Besar KRdihitung sebagai berikut: Untuk dapat memikul beban-beban pikul baut maka gaya eksentris dipindahkan ke titik berat pola baut sehingga menjadi momen kopel. Oleh karena gaya (P) terpusat dan momen kopel (M) yang bekerja pada kelompok baut maka gaya pikul baut ditinjau akibat : a. Pengaruh akibat P Akibat beban P sambungan akan longsor ke bawah, seluruh baut menerima gaya geser merata sebesar. 𝐾𝑃 =
1/2𝑃 𝑛
Aris Rismayana Hadi, Perencanaan Struktur Atas.....
(2.90)
50
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
b. Pengaruh akibat M
Akibat beban M yang bekerja di titik Z maka pada titik-titik penampang
baut terjadi gaya kopel (Ki), seperti pada contoh gambar di atas, dapat
diuraikan sebagai berikut : M = K1 . r1 + K2 . r2 + K3 . r3.......+ Kn . rn
Dimana besar r1, r2, r3, r4 adalah sama
Maka :
K1 K 2 K 3 K 𝑛 r1 r2 r3 r𝑛
Didapat : K1 = r1 (Kn/rn), K2 = r2 (Kn/rn), K3 = r3 (Kn/rn), K4 = r4 (Kn/rn)......dst Jadi : M = (Kn/rn) (r12 + r22 + r32 + r42) = (Kn/rn) Σ ri2 Maka :
Kn
M .rn n
r i 1
Bila : ri =
i
2
𝑥12 + 𝑦12
jadi : K n
didapat
M .rn M .r 2n 2 2 (r r2 r6 ) r1 2 1
r𝑖2 = 𝑥12 + 𝑦12
Selanjutnya Kn dapat diuraikan menjadi Knx dan Kny
K nx
K ny
M . yi 2
2
(2.91)
2
(2.92)
( xi y i ) M . xi 2
( xi y i )
Untuk mempermudah perhitungan mencari KiX dan Kiy dapat dilakukan dengan menggunakan tabel sebagai berikut:
Aris Rismayana Hadi, Perencanaan Struktur Atas.....
51
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Tabel 2.9.Perhitungan gaya yang bekerja pada baut akibat beban momen dan P
No. Baut
Ky
Akibat P Kp
3
1 2
Xi
Gaya yang bekerja pada baut Akibat Beban Momen Yi Xi2 Yi2 Kx
n Jumlah
Dengan demikian maka besarnya gaya yang bekerja (KR) pada baut paling kritis adalah merupakan Resultant dari gaya-gaya Knx, Kny dan KR, dapat dihitung sebesar:
K R K nx K ny K p 2
2
(2.93)
Sambungan dinyatakan kuat menerima beban kerja bila KR < Rn.
Aris Rismayana Hadi, Perencanaan Struktur Atas.....
52
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
xi
xi Aris Rismayana Hadi, Perencanaan Struktur Atas.....
i