BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Pier Jembatan Pilar jembatan sederhana adalah suatu konstruksi beton bertulang yang
menumpu di atas pondasi tiang – tiang pancang yang terletak di tengah sungai atau yang lain yang berfungsi sebagai pemikul antara bentang tepi dan bentang tengah bangunan atas jembatan (SNI 2541, 2008). Pilar - pilar dapat berupa susunan rangka pendukung (trestle), yaitu topi beton bertulang yang bertindak sebagai balok melintang (cross beam) dengan kepala tiang tertanam pada topi, atau susunan kolom, yang menggunakan sistem beton kopel (pile cap) yang terpisah, sistem balok dan kolom melintang terpisah. Pilar (pier) jembatan berfungsi menyalurkan gaya – gaya vertikal dan horisontal dari bangunan atas ke pondasi.
2.2
Pembebanan pada Pier Pembebanan pada jembatan yaitu mengacu pada RSNI T – 02 – 2005. Dalam
peraturan ini adapun beban yang terjadi pada jembatan antara lain sebagai berikut.
2.2.1
Berat Sendiri (MS) Berat sendiri dari bangunan adalah berat dari bagian tersebut dan elemen-
elemen struktural lain yang dipikulnya. Termasuk dalam hal ini adalah berat bahan jembatan yang merupakan elemen struktural, ditambah dengan berat bahan elemen non struktural yang dianggap tetap. Faktor beban akibat berat sendiri struktur terdapat pada Tabel 2.1. Tabel 2.1 Faktor beban untuk berat sendiri Faktor Beban Jangka Waktu
Tetap
S;;MS;
U;;MS; Biasa
Terkurangi
Baja, Alumunium
1,0
1,1
0,9
Beton Pracetak
1,0
1,2
0,85
Beton dicor ditempat
1,0
1,3
0,75
Kayu
1,0
1,4
0,7
Sumber: RSNI T-02-2005
8
2.2.2
Beban Mati Tambahan (MA) Beban mati tambahan adalah berat seluruh bahan yang membentuk suatu
beban pada jembatan yang merupakan elemen non struktural dan besarnya dapat berubah seiring umur jembatan. Jembatan dianalisis harus mampu memikul beban tambahan seperti :
Penambahan lapisan aspal (overlay) di kemudian hari,
Genangan air hujan jika sistim drainase tidak bekerja dengan baik,
Pemasangan tiang listrik dan instalasi ME. Faktor beban akibat beban mati tambahan terdapat pada Tabel 2.2.
Tabel 2.2 Faktor beban untuk beban mati tambahan Faktor Beban Jangka Waktu
Tetap
K
K Biasa
Terkurangi
Keadaan umum
1,0 (1)
2,0
0,7
Keadaan khusus
1,0
1,4
0,8
CATATAN (1) Faktor beban daya layan 1,3 digunakan untuk berat utilitas Sumber: RSNI T-02-2005
2.2.3
Beban Lajur “D” (TD) Beban lajur “D” adalah beban lajur yang terdiri dari beban terbagi merata
(Uniforrmly Distributed Load), UDL yang digabung dengan beban garis (Knife Edge Load) KEL. Beban terbagi merata (UDL) mempunyai intensitas q kPa, dimana besarnya q tergantung dari panjang bentang total yang dibebani L seperti berikut : L ≤ 30 m : q = 9,0 kPa L ≥ 30 m : q = 9,0× (0,5 +
(2.1) 15 L
) kPa
(2.2)
Dimana : q = Intensitas beban terbagi merata dalam arah memanjang L = Panjang total jembatan yang diberikan beban
9
Gambar 2.1 Beban lajur “D” Sumber: RSNI T-02-2005
Sedangkan beban garis (KEL) mempunyai intensitas p kN/m, untuk beban garis ini harus ditempatkan tegak lurus terhadap arus lalu lintas pada jembatan. Faktor beban dinamis (Dinamic Load Allowance) untuk KEL diambil sebagai berikut : DLA = 0,4
untuk L ≤ 50 m
DLA = 0,4 – 0,0025 × (L – 50)
untuk 50 m < L <90 m
DLA = 0,3
intuk L ≥ 90 m
Gambar 2.2 Faktor beban dinamis (DLA)
Besarnya intensitas p adalah 44,0 kN/m
10
Besaran Beban “D” didistribusikan menjadi beban titik yang bekerja pada kepala pier dengan rumus : 𝑃𝑇𝐷 =
𝑞×𝐿×(5,5+𝑏) 2
+
𝑝×𝐷𝐿𝐴×(5,5+𝑏)) 2
(2.3)
Gambar 2.3 Distribusi beban “D”
2.2.4
Beban Truk “T” (TT) Pembebanan truk “T” terdiri dari kendaraan truk semi-trailer yang
mempunyai susunan dan berat as. Berat dari masing-masing as disebarkan menjadi 2 beban merata sama besar yang merupakan kontak antara roda dengan permukaan lantai. Jarak antara 2 as tersebut bisa diubah-ubah antara 4,0 m dan 9,0 m untuk mendapatkan pengaruh terbesar pada arah memanjang jembatan seperti terlihat pada Gambar 2.4. Faktor beban akibat gaya truk “T” adalah 1,8. Sedangkan faktor beban dinamisnya sama dengan beban “D”. Terlepas dari panjang jembatan atau susunan bentang, hanya ada satu kendaraan truk “T” yang bisa ditempatkan pada satu lajur lalu lintas rencana. Kendaraan truk “T” harus ditempatkan ditengah-tengah lajur lalu lintas rencana. Penyebaran momen lentur dan gaya geser dari beban truk tunggal “T” harus terbagi pada balok memanjang sesuai dengan faktor distribusi. Gaya – gaya tersebut kemudian diteruskan ke kepala pier.
11
Gambar 2.4 Beban truk “T” Sumber: RSNI T-02-2005
2.2.5
Beban Pedestrian / Pejalan Kaki (TP) Jembatan jalan raya direncanakan mampu memikul beban hidup merata
pada trotoar yang besarnya tergantung pada luas bidang trotoar yang didukungnya. Hubungan antara beban merata dan luasan yang dibebani pada trotoar, dilukiskan seperti gambar 2.5 atau dapat dinyatakan dengan persamaan sebagai berikut : Untuk A ≤ 10 m2 :
q = 5 kPa
(2.4)
Untuk 10 m2 < A ≤ 100 m2 : q = 5 – 0.033 × (A-10) kPa
(2.5)
Untuk A > 100 m2 :
(2.6)
q = 2 kPa
A = luas bidang trotoar yang dibebani pejalan kaki (m2) q = beban hidup merata pada trotoar (kPa)
12
Gambar 2.5 Pembebanan untuk pejalan kaki
2.2.6
Gaya Rem (TB) Bekerjanya gaya-gaya di arah memanjang, akibat gaya rem dan traksi, harus
ditinjau untuk kedua jurusan lalu lintas. Pengaruh ini diperhitungkan senilai dengan gaya rem sebesar 5% dari beban lajur D yang dianggap ada pada semua jalur lalu lintas, tanpa dikalikan dengan faktor beban dinamis dan dalam satu jurusan. Gaya rem tersebut dianggap bekerja horizontal dalam arah sumbu jembatan dengan titik tangkap setinggi 1,8 m di atas permukaan lantai kendaraan. Hubungan antara besarnya gaya rem dan panjang total jembatan juga dapat dinyatakan dengan persamaan berikut : TTB
= 250 kN
untuk Lt ≤ 80 m
(2.7)
TTB
= 250 + 2,5 × (Lt – 80) kN
untuk 80 m < Lt < 180 m
(2.8)
TTB
= 500 kN
untuk Lt ≥ 180 m
(2.9)
Dalam memperkirakan pengaruh gaya memanjang terhadap perletakan dan bangunan bawah jembatan, maka gesekan atau karakteristik perpindahan geser dari perletakan ekspansi dan kekakuan bangunan bawah harus diperhitungan. Gaya rem tidak boleh digunakan tanpa memperhitungkan pengaruh beban lalu lintas vertikal. Dalam hal dimana beban lalu lintas vertikal mengurangi pengaruh dari gaya rem, maka Faktor Beban Ultimit terkurangi sebesar 40% boleh digunakan untuk pengaruh beban lalu lintas vertikal. Faktor beban akibat gaya rem terdapat pada Tabel 2.3.
13
Tabel 2.3 Faktor beban akibat gaya rem Faktor Beban Jangka Waktu
Transien
K S;;TB;
K U;;TB;
1,0
1,8
Sumber: RSNI T-02-2005
Gambar 2.6 Gaya rem per lajur Sumber: RSNI T-02-2005
2.2.7
Beban Angin (EW) Jembatan-jembatan yang terletak pada daerah khusus untuk beban angin
harus diperhitungkan, termasuk respon dinamis jembatan. Gaya-gaya nominal ultimit dan gaya layan jembatan akibat angin tergantung dengan kecepatan angin rencana seperti berikut: 𝑇𝐸𝑊 = 0,0006. 𝐶𝑊. (𝑉𝑊 )2 . 𝐴𝑏 [𝑘𝑁]
(2.10)
Dimana : 𝑉𝑊 = kecepatan angin rencana (m/s) untuk keadaan batas yang ditinjau 𝐶𝑊 = koefisien seret 𝐴𝑏 = luas ekivalen bagian samping jembatan
14
Angin harus dianggap bekerja secara merata pada seluruh bangunan atas. Apabila suatu kendaraan sedang berada diatas jembatan, beban garis merata tambahan arah horizontal harus ditetapkan pada permukaan lantai seperti diberikan rumus dengan rumus : 𝑇𝐸𝑊 = 0,0012. 𝐶𝑊. (𝑉𝑊 )2 [𝑘𝑁𝑚]
(2.11)
Dimana : 𝐶𝑊. = 1,2 Faktor beban akibat angin adalah 1,2. Kecepatan angin rencana Vw dan koefisisen seret Cw dapat dilihat pada Tabel 2.4 dan Tabel 2.5. Tabel 2.4 Kecepatan rencana angin VW Jangka Waktu
Lokasi Sampai 5 km dari pantai
> 5 km dari pantai
Daya Layan
30 m/s
25 m/s
Ultimit
35 m/s
30 m/s
Sumber: RSNI T-02-2005
Tabel 2.5 Koefisien seret CW Tipe Jembatan
Cw
Bangunan atas masif : (1), (2) b/d = 1,0
2.1 (3)
b/d = 2,0
1.5 (3)
b/d ≥ 6,0
1.25 (3)
Bangunan atas rangka CATATAN (1)
1.2 b = lebar keseluruhan jembatan dihitung dari sisi luar sandaran d = tinggi bangunan atas, termasuk tinggi bagian sandaran yang masif
CATATAN (2)
Untuk harga antara dari b/d bisa diinterpolasi linier
CATATAN (3)
Apabila bangunan atas mempunyai superelevasi, Cw harus dinaikkan sebesar 3% untuk setiap derajat superelevasi, dengan kenaikan maksimum 2,5 %
Sumber: RSNI T-02-2005
Selanjutnya gaya vertikal akibat transfer beban angin ke lantai jembatan dapat dihitung dengan rumus : 𝑃𝐸𝑊 = (
1⁄ ×ℎ 2 𝑥
× 𝑇𝐸𝑊 ) × 𝐿
(2.12)
Dimana : h = bidang samping kendaraan yang ditiup angin x = jarak antara roda kendaraan 15
2.2.8
Gaya Gesek (FB) dan Pengaruh Temperatur / Suhu (ET) Gaya gesek pada perletakan bergerak (TFB) maupun gaya yang ditimbulkan
oleh perbedaan suhu (TET) resultan gayanya = 0 (saling meniadakan), sehingga gaya – gaya tersebut tidak diperhitungkan dalam analisis pier.
Gambar 2.7 Gaya gesek dan pengaruh temperatur 2.2.9
Beban Gempa Dalam menghitung beban gempa dapat digunakan analisa statis ekuivalen,
namun bila jembatan sangat besar dan juga jembatan tersebut sangat rumit konstruksinya maka digunakan analisis dinamis. Beban rencana gempa minimum diperoleh dari rumus berikut; ∗ 𝑇𝐸𝑄 = 𝐾ℎ . 𝐼. 𝑊𝑇
(2.13)
Dimana : 𝐾ℎ
= 𝐶. 𝑆
(2.14)
∗ 𝑇𝐸𝑄 = Gaya geser dasar total dalam arah yang ditinjau (kN)
𝐾ℎ
= Koefisien gempa beban horizontal
𝐶
= Koefisien geser dasar untuk daerah, waktu dan kondisi setempat yang sesuai
𝐼
= Faktor kepentingan
𝑆
= Faktor tipe bangunan
𝑊𝑇 = Berat total nominal bangunan yang mempengaruhi percepatan gempa, diambil sebagai beban mati ditambah beban mati tambahan (kN)
16
Waktu dasar getaran jembatan yang digunakan untuk menghitung geser dasar harus dihitung dari analisa yang meninjau seluruh element bangunan yang memberikan kekakuan dan fleksibilitas dari sistem pondasi: Untuk bangunan yang mempunyai satu derajat kebebasan yang sederhana, rumus yang dapat digunakan : 𝑊
𝑇 = 2𝜋√ 𝑔𝐾𝑇𝑃 𝑃
(2.15)
Dimana : 𝑇
= waktu getar dalam detik untuk freebody pilar dengan derajat kebebasan tunggal pada jembatan bentang sederhana
𝑔
= percepatan gravitasi (m/s2)
𝑊𝑇𝑃
= berat total nominal bangunan atas termasuk beban mati tambahan ditambah setengah berat dari pilar (kN)
𝐾𝑃
= kekakuan gabungan sebagai gaya horizontal yang diperlukan untuk menimbulkan satu satuan lendutan pada bagian atas pilar (kN/m)
2.2.10 Kombinasi Pembebanan Pada konstruksi jembatan kombinasi terbagi menjadi dua jenis kombinasi yaitu; kombinasi batas layan dan kombinasi batas ultimit. Aksi-aksi yang bekerja pada jembatan dibagi menjadi dua kelompok yaitu aksi tetap dan aksi trasien. Untuk kombinasi konstruksi jembatan secara umum baik batas layan maupun batas ultimit telah tercantum pada RSNI T - 02 - 2005 tentang pembebanan untuk jembatan. Kombinasinya sebagai berikut :
Kondisi kontruksi : 1,3 PMS
Kondisi Layan : Kombinasi 1 : PMS + PMA + PTD atau PTT + PTP + PTB + TEW
(2.16)
(2.17)
Kondisi Ultimate : Kombinasi 1 : 1,3 PMS + 2 PMA + PTD atau PTT + PTB + 1,8 PTP
(2.18)
Kombinasi 2 : 1,3 PMS + 2 PMA + 1,8 PTD atau 1,8 PTT + 1,8 PTB + TEW (2.19) Kombinasi 3 : 1,3 PMS + 2 PMA + PTD atau PTT + PTB + 1,2 TEW
(2.20)
Kombinasi 4 : 1,3 PMS + 2 PMA + PTD atau PTT + TEQ
(2.21)
17
Dimana :
2.3
PMS
: Beban mati.
PMS
: Beban mati tambahan.
PTD
:
PTT
: Beban Truk “T”
PTP
: Beban Pedestrian.
PTB
: Gaya Rem
TEW
: Beban angin
TEQ
: Beban Gempa (tegak lurus jembatan)
Beban Lajur “D”
Daktilitas Struktur Umumnya suatu struktur bangunan dianggap elastis sempurna, artinya bila
struktur mengalami perubahan bentuk atau berdeformasi sebesar 1 mm oleh beban 1 ton, maka struktur akan berdeformasi 2 mm oleh beban 2 ton. Hubungan antara beban dan deformasi yang terjadi pada struktur, dianggap elastis sempurna berupa hubungan linear. Jika beban tersebut dikurangi besarnya sampai dengan nol, maka deformasi pada struktur akan hilang. Pada kondisi seperti ini struktur mengalami deformasi elastis. Deformasi elastis adalah deformasi yang apabila bebannya dihilangkan, maka deformasi tersebut akan hilang, dan struktur akan kembali pada bentuknya yang semula. Pada struktur yang bersifat getas/brittle, maka jika beban yang bekerja pada struktur sedikit melampaui batas maksimum kekuatan elastisnya, maka struktur tersebut akan patah atau runtuh. Pada struktur yang daktail/ductile atau liat, jika beban yang ada melampaui batas maksimum kekuatan elastisnya, maka struktur tidak akan runtuh, tetapi struktur akan mengalami deformasi plastis/inelastic. Deformasi plastis adalah deformasi yang apabila bebannya dihilangkan, maka deformasi tersebut tidak akan hilang. Pada struktur yang daktail, meskipun terjadi deformasi yang permanen, tetapi struktur tidak mengalami keruntuhan. Pada kenyataannya, jika suatu beban bekerja pada struktur, maka pada tahap awal, struktur akan berdeformasi secara elastis. Jika beban yang bekerja terus bertambah besar, maka setelah batas elastis dari bahan struktur dilampaui, struktur kemudian akan berdeformasi secara plastis. Dengan demikian pada struktur akan
18
terjadi deformasi elastis dan deformasi plastis, sehingga jika beban yang bekerja dihilangkan, maka hanya sebagian saja dari deformasi yang hilang (deformasi elastis = 𝛿𝑒), sedangkan sebagian deformasi akan bersifat permanen (deformasi plastis = 𝛿𝑝). Perilaku deformasi elastis dan plastis dari struktur diperlihatkan pada Gambar 2.8 dan Gambar 2.9. 𝜹𝒆
𝑽≠𝟎
𝜹𝒆 = 𝟎
𝑽=𝟎
Gambar 2.8 Deformasi elastis pada struktur Sumber: Indarto dkk. (2013)
Energi gempa yang bekerja pada struktur bangunan, akan diubah menjadi energi kinetik akibat getaran dari massa struktur, energi yang dihampurkan akibat adanya pengaruh redaman dari struktur, dan energi yang dipancarkan oleh bagianbagian struktur yang mengalami deformasi plastis. Dengan demikian sistem struktur yang bersifat daktail dapat membatasi besarnya energi gempa yang masuk pada struktur, sehingga pengaruh gempa dapat berkurang. Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa daktilitas struktur adalah salah satu faktor penting yang dapat mempengaruhi besar kecilnya beban gempa yang bekerja pada struktur.
19
𝜹𝒆 + 𝜹𝒑
𝜹𝒑
𝑽≠𝟎
𝑽=𝟎
Sendi plastis
Gambar 2.9 Deformasi plastis pada struktur Sumber: Indarto dkk. (2013)
Daktilitas dinyatakan dengan kemampuan untuk melakukan deformasi inelastis diatas titik lelehnya akibat beban bolak-balik (gempa) tanpa kehilangan kekuatan yang cukup berarti. Daktilitas bangunan didapat dengan merancang mekanisme pembentukan sendi plastis pada tempat yang tidak membahayakan integrasi. Dalam keadaan normal, struktur bangunan bersifat kaku dan kuat (stiff and strong), sementara dalam keadaan darurat ia harus bersifat ductile. Faktor daktilitas gedung adalah rasio antara simpangan maksimum pada ambang keruntuhan dengan simpangan pertama yang terjadi pada pelelehan pertama. 𝛿
1,0 ≤ 𝜇 = 𝛿𝑢 ≤ 𝜇𝑚 𝑦
(2.22)
Daktilitas penuh adalah suatu tingkat daktilitas struktur gedung, yang strukturnya bisa menghadapi simpangan pasca-elastiknya sampai pada titik ambang keruntuhan, dan nilai faktor daktilitasnya sampai sebesar 5,3 Daktilitas parsial adalah tingkat daktilitas yang lebih kecil dari daktilitas penuh, faktor daktilitasnya hanya sebesar 1,0 sampai 5,29.
20
2.4
Analisis Pushover Analisis pushover merupakan prosedur analisis untuk mengetahui perilaku
keruntuhan suatu struktur bangunan terhadap beban gempa. Analisis dilakukan dengan memberikan suatu pola beban lateral statik pada struktur yang terus menerus ditingkatkan dengan faktor pengali sampai pada suatu target perpindahan lateral yang ditentukan tercapai. Dalam suatu analisis pushover akan dihasilkan suatu kurva pushover yang menggambarkan hubungan antara gaya geser dasar/base shear dengan perpindahan titik acuan pada atap/displacement. Tujuan dalam analisis pushover adalah untuk memperkirakan gaya maksimum dan deformasi yang terjadi serta untuk memperoleh informasi bagian mana saja yang kritis (Dewobroto, 2005).
2.4.1
Langkah-langkah Analisis Pushover Analisis pushover terdiri dari beberapa kasus beban pushover berdasarkan
perbedaan distribusi pembebanan pada struktur. Untuk dapat menjalankan analisis pushover setidaknya dilakukan 3 analisis pada model struktur, yakni: 1. Analisis beban gravitasi dan beban gempa yang bekerja pada struktur. Beban gravitasi umumnya berupa beban mati dan beban hidup sedangkan beban gempa dapat berupa statik ekuivalen untuk struktur beraturan sedangkan untuk struktur tidak beraturan digunakan respon spektrum. Beban-beban tersebut kemudian dikombinasikan dengan mengalikan besaran beban dengan faktor beban sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Hasil dari analisis ini berupa gaya-gaya dalam ultimit akibat beban luar yang bekerja, dan juga dapat mendefinisikan jumlah tulangan lentur dan tulangan geser yang dibutuhkan pada strukur rangka beton bertulang. Hasil analisis ini merupakan kondisi awal untuk analisis nonlinear statik pushover. 2. Analisis nonlinear statik yang pertama yakni struktur dibebani dengan beban gravitasi yang dikalikan dengan faktor beban tertentu, dimana analisis dimulai dari kondisi awal struktur tanpa dibebani. Beban yang diaplikasikan tidak ditingkatkan secara bertahap sehingga hasil analisis ini hanya berupa hasil akhir dari pembebanan gravitasi (final state only).
21
3. Analisis nonlinear statik yang kedua yakni struktur dibebani dengan beban lateral yang ditingkatkan dengan faktor skala tertentu secara bertahap. Analisis ini merupakan lanjutkan dari analisis nonlinear statik yang pertama (beban gravitasi) dan karena beban lateral diaplikasikan secara bertahap maka hasil analisis ini tersedia dalam setiap tahapan pembebanan (multiple states). Untuk aplikasi pendistribusian beban, terdapat dua jenis kontrol yakni gaya (full load) dan kontrol perpindahan (displacement control). Kontrol gaya menerapkan beban penuh pada struktur, dan digunakan pada struktur yang dibebani beban gravitasi. Hal ini dikarenakan beban gravitasi diterapkan secara penuh dan tidak bertahap. Kontrol perpindahan umumnya digunakan pada struktur yang dibebani dengan beban lateral secara bertahap, dimana untuk setiap tahapan bebanan struktur akan mengalami perpindahan yang berbeda. Perilaku nonlinear pada struktur disebabkan oleh material nonlinear dan nonlinier geometri. Kedua hal ini menjadi parameter perilaku nonlinear yang dipertimbangkan penggunaannya pada analisis statik nonlinear pushover. Material nonlinear memiliki ciri-ciri tersendiri dan didefinisikan sebagai tumpuan sendi pada elernen rangka. Nonlinear geometri dapat berupa efek P-Δ beserta perpindahannya yang besar. Dalam melaksanakan analisis nonlinear statik pushover, perlu diketahui langkah-langkah dalam menganalisis (Dewobroto, 2005). Langkah-langkah analisis pushover: 1. Membuat model struktur dengan memasukkan semua elemen bangunan yang berkaitan dengan berat, kekuatan, kekakuan dan stabilitas yang memenuhi ketentuan. 2. Menentukan titik kontrol untuk memonitor besarnya perpindahan struktur. Rekaman besarnya perpindahan titik kontrol dan gaya geser dasar digunakan untuk menyusun kurva kapasitas. 3. Analisis beban dorong dilakukan dalam dua tahap : pertama, struktur diberi beban gravitasi (kombinasi beban mati dan beban hidup yang dikalikan faktor beban). Analisis pertama belum memperhitungkan kondisi nonlinear.
22
Selanjutnya, analisis dilakukan dengan memberikan pola beban lateral yang diberikan secara bertahap. 4. Intensitas pembebanan lateral ditingkatkan sampai komponen struktur yang paling lemah berdeformasi yang menyebabkan kekakuannya berubah secara signifikan (terjadi leleh dari penampang) dan akhirnya keruntuhan struktur. 5. Untuk setiap tahapan beban, gaya dalam dan deformasi elastis maupun plastis dihitung dan direkam. Gaya dan deformasi untuk setiap tahapan beban sebelumnya akan terakumulasi untuk menghasilkan gaya dan deformasi total (elastis dan plastis) dari semua komponen pada semua tahap pembebanan. 6. Proses pembebanan dilanjutkan sampai batas kinerja terdeteksi dari perpindahan titik kontrol pada atap. 7. Langkah 4-6 dilakukan secara sistematis dan otomatis oleh program komputer yang mempunyai kemampuan untuk analisis struktur statik nonlinear pushover, yakni SAP 2000. Prosesnya dilakukan melalui iterasi berulang-ulang
sampai
diperoleh
kesetimbangan
pada
gaya-gaya
intenalnya. Terkadang iterasi membutuhkan waktu yang lama tanpa mencapai konvergen, hal ini umumnya menunjukan kondisi struktur yang mencapai keruntuhan, bila belum maka kontrol perpindahan dapat membantu menyelesaikan masalah tersebut. 8. Perpindahan titik kontrol versus gaya geser dasar untuk setiap tahapan beban diplotkan sebagai kurva kapasitas yang menggambarkan respon perilaku nonlinear struktur.
2.4.2
Target Perpindahan Dalam analisis pushover, gaya dan deformasi setiap elemen struktur
dihitung terhadap perpindahan di titik kontrol yang disebut sebagai target perpindahan (𝛿𝑡 ) dan dianggap sebagai perpindahan maksimum yang terjadi saat struktur mengalami gempa rencana. Untuk mendapatkan perilaku struktur setelah kondisi runtuh, maka perlu dilakukan analisis pushover untuk mendapatkan kurva hubungan gaya geser dasar dan perpindahan lateral titik kontrol sampai minimal 150% dari target perpindahan seperti yang tertulis pada dokumen FEMA 356.
23
2.4.3
Kriteria Kinerja Struktur Setelah tahap evaluasi tentunya harus ditentukan hasil dari kinerja struktur
yang ditinjau berupa kinerja yang didasarkan dari kriteria-kriteria yang telah ada. Sasaran kinerja terdiri dari kejadian gempa rencana yang ditentukan (earthquake hazard), dan taraf kerusakan yang diijinkan atau level kinerja (performance level) dari bangunan terhadap kejadian gempa tersebut. Level kinerja adalah pembatasan derajat kerusakan yang ditentukan oleh kerusakan fisik struktur dan elemen struktur sehingga tidak membahayakan keselamatan pengguna gedung. Kriteria kinerja yang ditetapkan dalam dokumen Vision 2000 dan National Earthquake Hazards Reduction Program (NEHRP) adalah sebagai berikut: Tabel 2.6 Kriteria Kinerja Struktur Level Kinerja NEHRP Operational
Penjelasan
Vision 2000 Fully Functional
Tak ada kerusakan berarti pada komponen struktur dan non-struktur, bangunan tetap berfungsi. Tidak ada kerusakan yang berarti pada struktur, dimana kekuatan dan kekakuannya
Immediate Occupancy
Operational
kira-kira hampir sama dengan kondisi sebelum gempa. Komponen non-struktur masih berada di tempatnya dan sebagian besar masih berfungsi jika utilitasnya tersedia. Bangunan dapat tetap berfungsi dan tidak terganggu dengan masalah perbaikan. Terjadi kerusakan komponon struktur, kekakuan berkurang, tetapi masih mempunyai
Life Safety
Life Safe
ambang yang cukup terhadap keruntuhan. Komponen non-struktur masih ada tetapi tidak berfungsi. Dapat dipakai lagi jika sudah dilakukan perbaikan.
Collapse
Near
Prevention
Collapse
Kerusakan yang berarti pada komponen struktur dan non-struktur. Kekuatan struktur dan kekakuannya berkurang banyak, hampir runtuh. Kecelakaan akibat kejatuhan material bangunan yang rusak sangat mungkin terjadi.
Sumber: Dewobroto (2005)
2.5
Pondasi Tiang Fungsi pondasi bagi suatu bangunan adalah sebagai suatu bagian konstruksi
yang menyalurkan gaya-gaya struktur bagian atas ke tanah, dimana gaya-gaya ini bekerja dari hasil pembebanan akan didukung oleh tanah sebagai daya dukung tanah. Pondasi tiang adalah suatu konstruksi pondasi yang mampu menahan gaya ortogonal ke sumbu tiang dengan jalan menyerap lenturan. Pondasi tiang dibuat menjadi satu kesatuan yang monolit dengan menyatukan pangkal tiang yang terdapat di bawah konstruksi dengan tumpuan pondasi.
24
Pemakaian tiang pancang untuk pondasi pada suatu bangunan apabila tanah dasar di bawah bangunan tersebut tidak mempunyai daya dukung/bearing capacity yang cukup untuk memikul berat bangunan dan bebannya, atau apabila tanah keras yang mana mempunyai daya dukung yang cukup untuk memikul berat bangunan dan bebannya yang letaknya sangat dalam (Sardjono, 1988 dalam Hardiyatmo, 2010). Pada sekelompok tiang, jika jarak masing-masing tiang ini cukup besar, maka daya dukung vertikal tiang-tiang ini tidak menimbulkan kesulitan, karena hal ini dianggap sama besar dengan daya dukung sebuah tiang. Jika jarak tiang-tiang terlalu dekat, saat tiang turun akibat beban, tanah diantara tiang-tiang juga ikut bergerak turun. Pada kondisi ini, kelompok tiang dapat dianggap sebagai satu tiang besar dengan lebar yang sama dengan lebar kelompok tiang (Hardiyatmo, 2010). Untuk bekerja sebagai grup, jarak tiang (s) biasanya disesuaikan dengan peraturanperaturan bangunan pada daerah masing-masing, umumnya 2d < s ≤ 6d. Di samping itu, bila jarak antara tiang-tiang mengecil sampai suatu batas tertentu, sekelompok tanah di antara tiang-tiang akan menggabung satu sama lain. Ruang minimum antara tiang-tiang untuk keadaan yang hampir mendekati gejala di atas tergantung pada jenis tanah pondasi atau susunan tiang-tiang dan sulit ditentukan dengan suatu patokan yang sederhana. Oleh karena itu, pada suatu cara dimana pondasi tiang secara keseluruhan dianggap sebagai kaison murni. Hal ini berdasarkan pada pendapat bahwa jika ruangan tengah pada tiang cukup kecil, maka tanah pada bagian yang diapit tiang dan tiang akan berfungsi sebagai suatu kesatuan (Sosrodarsono dan Nakazawa, 2000). Untuk tiang-tiang yang menahan geser, karena pada ruang antara masingmasing tiang dianggap tidak terjadi tegangan yang saling mempengaruhi, maka dipakai persamaan berikut ini: 𝐷𝑜 = 1.5√𝑟𝑙
(2.23)
Dengan: Do = jarak minimum antara pusat tiang sehingga dianggap saling tidak mempengaruhi dalam suatu gabungan tiang r
= jari-jari (radius) rata-rata tiang
l
= panjang tiang
25
2.5.1
Efisiensi Kelompok Tiang Kapasitas dukung tiang kelompok dapat berkurang jika jarak tiang semakin
dekat dalam tanah lempung. Jadi, besarnya kapasitas dukung total menjadi tereduksi dengan nilai yang tergantung dari ukuran, bentuk kelompok, jarak, dan panjang tiangnya. Nilai pengali terhadap kapasitas dukung ultimit tiang tunggal dengan memperhatikan pengaruh kelompok tiang, disebut efisiensi tiang (Eg), yang didefinisikan sebagai persamaan berikut (Converse-Labarre formula) (Vesic, 1967): 𝐸𝑔 = 1 − 𝜃
(𝑛′ −1)𝑚+(𝑚−1)𝑛′ 90 𝑚𝑛′
(2.24)
Dengan: Eg = efisiensi kelompok tiang m = jumlah baris tiang 𝜃 = arc tg d/s, dalam derajat n’ = jumlah tiang dalam satu baris s = jarak pusat ke pusat tiang (m) d = diameter tiang (m) Kapasitas dukung ultimit tiang tunggal dengan memperhatikan faktor efisiensi tiang dinyatakan oleh persamaan: 𝑄𝑢 = 𝐸𝑔 𝑄𝑡𝑖𝑎𝑛𝑔
2.5.2
(2.25)
Pelat Penutup Tiang (Pile Cap) Pelat penutup tiang berfungsi untuk menyebarkan beban dari kolom ke
tiang-tiang. Untuk perhitungan reaksi tiang-tiang dalam suatu pelat penutup tiang, jika momen bekerja dua arah, maka persamaan untuk menghitung tekanan aksial pada masing-masing tiang adalah sebagai berikut (Hardiyatmo, 2010): 𝑉
𝑄𝑖 = ± 𝑛
𝑀𝑦 𝑥𝑖 ∑ 𝑥2
±
𝑀𝑥 𝑦𝑖 ∑ 𝑦2
(2.26)
Dengan: Qi = beban aksial pada tiang ke-i n = jumlah tiang
26
x,y = berturut-turut jarak tiang terhadap sumbu x dan y V = jumlah beban vertikal yang bekerja pada pusat kelompok tiang Mx, My = berturut-turut momen terhhadap sumbu x dan y
Gambar 2.10 Kelompok tiang dibebani beban vertikal dan momen Sumber: Hardiyatmo (2010)
Jika tiang-tiang disusun dalam satu deret dengan jarak yang sama (s), persamaan berikut ini dapat digunakan: x2
1 2 s n(n 1) 12
(2.27)
Dengan n = jumlah tiang dalam satu deret.
2.6
Sifat Elastis Pada Tanah Sifat-sifat elastis yang penting pada tanah antara lain: modulus reaksi tanah
dasar ks, modulus tegangan-regangan tanah (modulus elatisitas tanah) Es dan Poison’s Ratio µ. Modulus reaksi tanah dasar dan modulus elatisitas tanah yang diperlukan dalam model diperoleh dari hasil penyelidikan tanah pada Lokasi terkait yang berupa nilai N dari Uji Penetrasi Standar (SPT) pada setiap kedalaman 2 meter lapisan tanah. Nilai N ini dikorelasikan untuk mendapatkan nilai modulus reaksi tanah dasar dan modulus elatisitas tanah.
27
Modulus Elastisitas Tanah dan Poisson Ratio (μ)
2.6.1
Nilai modulus elastisitas tanah (Es) merupakan besarnya nilai elastisitas tanah yang merupakan perbandingan antara tegangan dan regangan. Poisson Ratio dipakai untuk menghitung penurunan dan getaran pada struktur pondasi. Nilai Poisson Ratio (μ) untuk berbagai jenis tanah dapat dilihat pada Tabel 2.7. Pada nilai Poisson lebih besar dari 0,5 tanah cenderung bersifat plastis, sehingga teori elastis tidak dapat diterapkan. Tetapi pada dasarnya tanah mempunyai sifat elatis semu pada semua rentang nilai Poisson. Tabel 2.7 Nilai poisson untuk berbagai jenis tanah μ
Jenis Tanah Lempung jenuh
0.4 – 0.5
Lempung tak jenuh
0.1 – 0.3
Lempung berpasir
0.2 – 0.3
Lanau
0.3 – 0.35
Pasir (padat) pasir kerikil
0.1 – 1.0
Biasa dipakai
0.3 – 0.4
Batuan (rock)
0.1 – 0.4 (tergantung jenis batuan)
Tanah loose
0.1 – 0.3
Es
0.36
Beton
0.15
Sumber: Bowles (1992) dalam Manukoa (2015)
Nilai µ pada tabel tersebut sangat tak menentu, yang umumnya diperkirakan karena teramat sukar untuk membuat penentuan µ secara langsung. Whitman and Richart (1967) dalam Manukoa (2015) merekomendasikan nilai Poisson’s ratio untuk kondisi tanah, yaitu: pasir (sand) baik dalam kondisi dry, moist dan partially saturated µ=0,35-0,40 sedangkan untuk lempung (clay) nilai µ=0,50.
Nilai
Poisson’s ratio yang baik digunakan pada hampir semua kondisi partially saturated soils adalah 0,4 (Das, 1993 dalam Manukoa, 2015).
28
2.6.2
Modulus Reaksi Tanah Dasar (Koefisien Reaksi Tanah Dasar) Modulus reaksi tanah dasar didefinisikan sebagai perbandingan antara
tegangan dasar dan deformasi atau lendutan tanah akibat beban tersebut. Modulus reaksi tanah dasar banyak digunakan untuk analisis pondasi telapak kontinyu, pondasi rakit/kaison, dan berbagai jenis tiang pancang. Pada kaison bekerja beberapa gaya luar seperti beban vertikal, beban horisontal dan momen guling. Faktor-faktor penahan pada tanah pondasi yang bekerja melawan gaya luar adalah intensitas reaksi vertikal tanah dan gaya penahan geser dari tanah di bawah dasar kaison, intensitas reaksi mendatar tanah dari tanah di muka kaison, gaya penahan geser mendatar dan vertikal pada arah tanah di samping kaison. Faktor-faktor penahan ini berhubungan erat dengan bentuk dan ukuran kaison atau sifat-sifatnya dan pergerakan tanah pondasi dan sebagainya. Oleh karena itu bila faktor-faktor itu diambil berdasarkan perkiraan, maka tanah pondasi dianggap seolah-olah memiliki pegas. Dengan kata lain, gambaran kekuatannya berdasarkan anggapan bahwa tanah pondasi merupakan suatu pegas yang memiliki momen seperti bahan yang elastis. Pegas ini dinamakan koefisien reaksi tanah dasar (coefficient of subgrade reaction) yang dapat diperoleh dari modulus perubahan bentuk (deformasi) tanah pondasi (Sosrodarsono dan Nakazawa, 2000).
Gambar 2.11 Kekakuan pondasi dan harga k dari tanah pondasi Sumber: Sosrodarsono dan Nakazawa (2000)
29
Konsep dari koefisien reaksi tanah dasar atau disebut juga soil modulus adalah umumnya diterapkan pada studi yang berhubungan dengan tiang yang diberi pembebanan lateral. Koefisien reaksi tanah dasar adalah suatu hubungan konsep pengertian antara tekanan tanah dengan lendutan yang banyak sekali digunakan dalam analisis konstruksi anggota pondasi. Dengan perantara yang disebut koefisien reaksi tanah dasar ini, dapat dihitung besarnya reaksi dan pergeseran tanah pondasi berdasarkan pada keseimbangan antara beban yang bekerja dan tahanan pada tanah pondasi. Untuk pondasi tiang pancang, perkiraan koefisien reaksi tanah dalam arah mendatar (KH) diberikan dengan persamaan (Sosrodarsono dan Nakazawa, 2000) : 𝑘 = 𝑘0 𝑦 −1/2
(2.28)
𝑘 = 0.2 𝐸0 𝐷−3/4
(2.29)
Dimana: k0 = harga k bila pergeseran pada permukaan dibuat sebesar 1 cm (kg/cm3) y = besarnya pergeseran yang akan dicari (cm) E0 = modulus deformasi tanah pondasi, biasanya diperkirakan dari E0 = 28N dengan memakai harga N dari tes SPT. D = diameter tiang
Untuk pondasi kaison, koefisien reaksi tanah dalam arah mendatar (KH) diberikan dengan persamaan (Sosrodarsono dan Nakazawa, 2000): 𝐾𝐻 = 0.512 𝐸0 𝐵𝐻 −3/4 (kg/cm3)
(2.30)
Dimana: E0 = modulus deformasi tanah pondasi, biasanya diperkirakan dari E0 = 28N dengan memakai harga N dari tes SPT. BH = lebar pembebanan yang sesuai dengan pondasi (cm), yang didapat dari BH = √𝐴𝐻 (AH adalah luas permukaan kaison)
30
2.7 2.7.1
Pemodelan Interaksi Tanah dengan Struktur Pemodelan Tanah dan Pondasi Sebagai Elemen Solid Konsep yang mendasari Metode Elemen Hingga (Finite Elemen
Method/FEM) adalah diskretisasi. Diskretisasi adalah pembagian suatu sistem menjadi elemen-elemen yang lebih kecil yang akan menghasilkan suatu harga pendekatan terhadap keadaan sesungguhnya. Jadi, bukan merupakan solusi yang eksak (Hadipratomo dan Raharjo, 1985). Massa dibagi menjadi sejumlah elemen yang kecil yang disebut finite elemen. Titik potong sisi-sisi elemen disebut titik nodal dan pertemuan antara elemen-elemen disebut garis nodal atau bidang nodal. Dalam mendiskretisasi suatu struktur yang harus ditentukan adalah jumlah, bentuk, ukuran dan konfigurasi elemen-elemen sedemikian sehingga dapat mensimulasikan struktur aslinya dengan setepat-tepatnya. Cara yang paling mudah adalah membagi struktur menjadi elemen-elemen yang sama semuanya. Dalam teori elemen hingga dikenal berbagai macam elemen struktur yaitu: elemen frame (1D), elemen shell (2D), dan elemen solid (3D). penggunaan elemen frame pada program SAP2000 adalah dengan pendekatan struktur rangka. Selain elemen frame, program SAP2000 juga menyediakan jenis elemen lain yaitu elemen shell dan elemen solid. Elemen shell yaitu elemen bidang untuk memodelkan struktur cangkang, pelat dan membran sebagai Model IID atau 3D. sedangkan elemen solid untuk memodelkan struktur padat tiga dimensi.
Gambar 2.12 Kemungkinan bentuk elemen shell Sumber: Dewobroto (2013)
31
Penyusunan elemen shell ditentukan dari titik-titik nodal yang dihubungkan jika dipakai empat nodal (j1, j2, j3 dan j4), maka jadilah elemen Quadrilateral (segi-empat), jika tiga titik nodal (j1, j2, dan j3), maka jadilah elemen Triangular (segi-tiga). Adanya dua bentuk elemen tadi memungkinkan dipakai pada pemodelan struktur 2D yang saling kontinyu pada nodal. Sumbu 3 (lokal) selalu tegak lurus terhadap elemen shell. Bila titik nodal penghubung j1-j2-j3 dalam arah terbalik maka sumbu 3 positif akan mengarah ke atas. Bentuk ideal elemen Quadrilateral adalah bujur sangkar, meskipun juga bisa berbentuk sembarang segi-empat, tetapi untuk menghindari error yang berlebih maka perbandingan sisi panjang dibagi sisi pendek < 4 dan sudutnya antara 45 o – 135o. Adapun sudut yang ideal adalah 90o. Formulasi elemen Triangular cukup baik, tetapi dalam menampilkan gaya atau tegangan internal relatif kurang akurat dibanding elemen Quadrilateral. Manual SAP2000 menganjurkan bahwa elemen Triangular hanya dipakai di daerah transisi, seperti pada model yang terdiri dari dua ukuran elemen Quadrilateral, mesh ukuran besar, ke bagian model lain dengan elemen Quadrilateral ukuran kecil, yaitu untuk menjamin kontinuitasnya saja. Dalam pemodelan ini, pondasi kelompok tiang dianggap sebagai kaison dan dimodel sebagai elemen solid. Modulus elastisitas tanah Es diambil setiap 1 meter mengikuti nilai N hasil penyelidikan tanah (Lampiran A). Batas panjang tanah yang diperhitungkan dalam pemodelan tanah adalah sekitar 3 – 4 kali radius pondasi untuk arah horizontal dan sekitar 2 – 3 kali radius pondasi untuk arah vertikal (Ghosh and Wilson, 1969 dalam Manukoa, 2015). Kondisi batas pondasi (boundary condition) dan tanah pada kedalaman paling bawah adalah sendi, dimana tidak diijinkan terjadi penurunan dan bertranslasi horisontal arah x dan y. Batas pondasi untuk arah x adalah sendi dimana tanah tidak diijinkan bertranslasi horisontal arah x dan y. Demikian juga untuk batas pondasi arah y adalah sendi sama seperti arah x. Yaitu, tidak diijinkan untuk bertranslasi horisontal arah x dan y.
32
Gambar 2.13 Contoh pemodelan tanah dengan elemen solid Sumber: Manukoa (2015)
2.7.2
Pemodelan Tanah dan Pondasi Sebagai Elemen Spring Pada model ini, daya dukung tanah lateral dimodel sebagai elemen spring.
Untuk penempatan spring pada pondasi kelompok tiang, maka pondasi kelompok tiang ini diasumsikan sebagai pondasi kaison dengan modulus elastisitas tanah di antara tiang-tiang dalam kelompok tiang dianggap sama dengan mudulus elastisitas tiang (Laintarawan, 2006). Pondasi kaison dimodel sebagai elemen solid sedangkan daya dukung tanah lateral dimodel sebagai elemen spring. Pada ujung tiang pancang, daya dukung tanah dianggap mampu menahan beban vertikal dan horisontal pondasi sehingga boundary condition pada ujung pondasi dianggap sebagai sendi, dimana tidak diijinkan terjdi penurunan dan bertranslasi horisontal arah x dan y. Pada pemodelan ini, diperlukan koefisien reksi tanah dasar dalam arah mendatar (KH). kekakuan spring lateral k didapat dari perkalian antara KH dengan luas tributary area bidang pondasi. Spring ini ditempatkan dalam arah x dan y pada luasan tributary area bidang pondasi kaison di belakang arah gaya yang bekerja. Kondisi spring yang ditempatkan dalam arah x dan y pada bidang pondasi kaison tersebut tidak dapat menahan gaya tarik dan hanya menahan gaya tekan.
33
2.7.3
Pemodelan Restraint Jepit pada Perletakan Struktur Sistem perletakan bangunan pada umumnya dimodelkan sebagai struktur
dengan tumpuan jepit pada tanah dasar. Struktur atas dan struktur bawah dari suatu struktur gedung dapat dianalisis terhadap pengaruh gaya gempa rencana secara terpisah. Taraf penjepitan lateral struktur atas dapat dianggap terjadi pada bidang atas kepala (poer) pondasi tiang. Selanjutnya struktur bawah dapat dianggap sebagai struktur tersendiri yang berada di dalam tanah yang dibebani oleh kombinasi-kombinasi beban gempa yang berasal dari struktur atas, beban gempa yang berasal dari inersia sendiri dan beban gempa yang berasal dari tanah di sekelilingnya.
34