BAB II TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Pengertian Kolom Komposit Kolom adalah komponen struktur vertikal yang menyalurkan beban tekan aksial dengan atau tanpa momen. Dimensi penampang kolom umumnya lebih kecil dibandingkan dengan tingginya, sedangkan menurut Jensen kolom adalah suatu batang struktur yang mengalami beban diujung batang dimana garis kerja sejajar dengan batang tersebut dan umumnya panjangnya 10 kali atau lebih dari dimensi lateral terkecil. Bila garis kerja beban ujung berimpit dengan sumbu kolom, maka kolom tersebut dibebani secara aksial kosentris. Bila garis kerja beban ujung tidak berimpit, maka kolom tersebut dibebani secara eksentris.
Kolom komposit baja-beton adalah kolom yang terbentuk dari material baja dan beton yang bekerja bersama-sama dalam menahan beban tekan aksial maupun beban lateral. Pada awal ditemukan, kolom komposit ini direncanakan sebagai konstruksi baja semata-mata dimana beton hanya berfungsi sebagai selubung pelindung terhadap bahaya kebakaran dan karat. Hal ini merupakan suatu kemunduran terhadap perencanaan yang ekonomis, dimana bangunan semakin berat dan akibatnya biaya pondasi semakin mahal. Pada akhirya, dengan adanya selubung beton akan memberikan sumbangan yang positif, dimana efek kelangsingan dari kolom menjadi berkurang, sehingga bahaya tekuk dapat dikurangi juga.
Spesifikasi AISC-LRFD mendefinisikan kolom komposit sebagai kolom baja yang dibuat dengan cara dirol yang diselimuti dengan beton struktural atau pipa atau tabung baja yang diisi dengan beton struktural, sedangkan peraturan ACI mendefenisikan kolom komposit sebagai komponen tekan beton yang diperkuat secara longitudinal dengan bentuk penampang struktural, pipa atau tabung dengan atau tanpa tulangan longitudinal. Spesifikasi AISC memberi batasan yang lebih ketat dibandingkan peraturan ACI, dimana luas penampang baja, pipa atau tabung minimal 4 persen dari luas penampang kotor kolom, jika dibawah 4 % maka kolom
5
tersebut masuk dalam klasifikasi kolom beton bertulang dan harus direncanakan sesuai peraturan ACI. II.2. Karakteristik Material Beton Mutu Tinggi Beton mutu tinggi sering didefinisikan sebagai beton yang mempunyai kepadatan dan ketegaran retak yang tinggi. Definisi kuat tekan beton mutu tinggi disetiap negara berbeda satu sama lain (Diniz & Frangopol (1997)). Di Australia beton mutu tinggi adalah beton beton yang mempunyai kuat tekan 50 Mpa ke atas, sedangkan di Eropa beton mutu tinggi mempunyai kuat beton di atas 60 Mpa.. Beton mutu tinggi dapat dibuat dengan menggunakan bahan-bahan yang hampir sama dengan beton biasa, tetapi dengan memilih mutu bahan dasar yang baik (pasir, agregat) ditambah dengan bahan aditif tertentu, seperti,fly ash, silica fume atau super plastisizer, atau bahan-bahan serat lainnya. Penelitian yang diadakan oleh Munaf dan kawan-kawan berhasil membuat beton dengan kekuatan sebesar 85 MPa dengan jumlah optimum fly ash 15 % dan faktor air semen w/c 0,28. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa fly ash berpengaruh terhadap proses pencapaian kekuatan dan juga disimpulkan untuk mencapai kekuatan minimal beton mutu tinggi diperlukan kekuatan batu sebesar 700 kg/cm 2. Definisi beton mutu tinggi yang terbuat dari bahan-bahan yang hampir sama dengan beton biasa berdasarkan peraturan ACI adalah beton yang mempunyai batas kuat tekan sebesar 41 MPa.
Beton mutu tinggi mempunyai prilaku tegangan–regangan
terhadap beban
unuaksial yang berbeda jika dibandingkan dengan beton mutu normal. Beton mutu tinggi menunjukkan perilaku yang lebih getas [Cusson & Paultre(1993), Ghose (1997), Razvi & Saatcioglu (1999)]. Pada kurva tegangan-regangan, setelah respon puncak terjadi penurunan tegangan yang relatif lebih cepat pada beton mutu tinggi dibandingkan dengan beton mutu normal, yang mengakibatkan beton mutu tinggi mempunyai daktilitas yang lebih rendah.
Perbedaan perilaku tegangan-regangan ini disebabkan oleh perbedaan pada mekanisme terbentuknya retak. Pada beton mutu normal, retak terjadi pada daerah
6
transisi antara agregat dan pasta, yang menghasilkan permukaan retakan yang lebih kasar. Permukaan retakan yang kasar ini akan memberikan mekanisme pelepasan energi secara bertahap selama terjadi keruntuhan. Inilah yang menyebabkan beton mutu normal lebih daktai, yang terlihat pada gambar II.1, dimana penurunan tegangan lebih landai dibandingkan dengan penurunan tegangan beton mutu tinggi.
Gbr. II.1. Kurva tegangan-regangan beton mutu tinggi dan mutu normal [collins & Mitchell (1991)]
Pada beton mutu tinggi, retakan dan penjalarannya terjadi pada agregat, yang menghasilkan permukaan retakan yang relatif lebih halus, sehingga gesekan antara permukaan retakan menjadi lebih kecil, yang tidak memungkinkan terjadinya mekanisme untuk melepaskan energi secara bertahap selam terjadi keruntuhan. Terjadinya retakan agregat ini karena kekuatan ikatan antara unsurunsur penyusun beton mutu tinggi relatif sama dengan agregat dan kekutan pasta semennya, sehingga proses penjalaran retakan akan melalui lintasan yang membutuhkan energi yang terendah.
7
Gambar 11.1 memperlihatkan perilaku beton mutu tinggi yang mempunyai grafik tegangan-regangan yang lebih tinier ebelum puncak dibandingkan dengan beton normal. Pada beton normal, setelah regangan mencapai 0,3-0,4 dari regangan puncaknya, perilaku tegangan-regangannya mulai non-linier. Ini disebabkan oleh mulai terbentuknya retakan pada daerah antara pasta semen dengan agregat. Pada beton mutu tinggi grafik tegangan-regangan masih linear pada regangan yang lebih besar dan modulus elastisitas pada beton mutu tinggi juga lebih tinggi daripada modulus elastisitas beton mutu normal. Sedangkan Poisson ratio pada beton mutu tinggi lebih rendah daripada Poisson ratio beton mutu normal. Mehta dan Monteiro (1993) menjelaskan bahwa kekuatan ikatan antar mortar, dan antara mortar dengan agregat relatif hampir sama jika dibandingkan dengan kekuatan agregat. Peningkatan kekuatan antar mortar, dan antara mortar dengan agregat ini akan menghasilkan kekuatan puncak yang lebih tinggi dibandingkan dengan beton mutu normal.
Fujimoto, Mukai, Nishiyama dan Sakino dalam penelitiannya mencatat bahwa perlu kehati-hatian ketika beton mutu tinggi dikombinasikan dengan tabung baja mutu normal, sebab penggunaan beton mutu tinggi dapat mengurangi kapasitas deformasi kolom CFST. Kapasitas deformasi kolom CFST yang menggunakan beton mutu tinggi dapat ditingkatkan dengan menggunakan tabung baja mutu tinggi atau penampang tabung yang kompak. II.3. Karakteristik Material Baja Untuk mengetahui sifat-sifat mekanis material baja, dilakukan uji tarik dari batang baja sampai batang patah. Tarikan total pada batang selama pengujian, diukur dengan menggunakan skala yang merupakan bagian dari mesin. Dari pengukuran ini tegangan dan regangan satuan yang terlihat, dihitung dan kemudian diplot sehingga menghasilkan diagram tegangan-regangan seperti yang ditunjukkan pada Gbr. II.2. Pada kurva terdapat 3 bagian utama, yaitu bagian elastis, plastis dan strain hardening.
8
Gbr.II.2 Hubungan tegangan-regangan baja lunak dan baja keras
Pada bagian elastis, regangan akan kembali ke nilai nol jika beban dilepas, dengan kata lain batang akan kembali ke panjang awal setelah beban dilepas. Pada daerah elastis akan berlaku hukum Hooke, karena tegangan yang diperoleh sebanding dengan regangan yang didapat. Sedangkan nilai Modulus Elastisitas baja Es merupakan nilai tangen pada bagian kurva elastis, yang pada umumnya mempunyai nilai sebesar 200.000 sampai 210.000 MPa.
Pada bagian daerah plastis, regangan tidak akan kembali ke nilai nol jika beban dilepas, dengan kata lain batang tidak akan kembali ke panjang awal setelah beban dilepas. Kurva pada daerah plastis berbentuk non linear dan pada daerah ini akan terjadi tegangan leleh baja f y yaitu tegangan minimum yang terjadi pada saat baja akan mengalami pertambahan regangan tanpa adanya penambahan tegangan. Bagian yang terakhir adalah daerah strain hardening. Bagian ini merupakan bagian dari daerah plastis, dimana regangan tidak akan kembali ke nilai nol setelah beban dilepas. Tetapi tegangan bertambah lagi seiring dengan bertambahnya regangan sampai mencapai tegangan batas (maksimum) fu .
9
Pada gbr II.2. diatas ada dua jenis tegangan, yaitu tegangan satuan sesungguhnya dan tegangan satuan yang terlihat. Kurva tegangan satuan yang terlihat (garis putus-putus) didapat apabila tegangan dihitung berdasarkan luas penampang batang tarik sesungguhnya ketika di uji tarik, sedangkan kurva tegangan satuan sesungguhnya dihitung berdasarkan luas potongan penampang awal batang sebelum di uji tarik. Untuk baja keras, kekuatan lelehnya lebih tinggi dibanding baja lunak tetapi pada umumnya lebih getas dibanding baja lunak sehingga keruntuhannya akan terjadi secara tiba-tiba. II.4. Model Konstitutif Salah satu pendekatan yang umum digunakan untuk mengetahui respon penampang kolom CFST adalah dengan menggunakan model penampang yang dibagi-bagi menjadi beberapa lapis yang tipis, dan tegangan yang terjadi ditiap lapis pada potongan penampang kolom digabungkan untuk mendapatkan resultan tegangan seperti gaya dan momen. Ada beberapa asumsi yang digunakan pada pendekatan ini, yaitu 1. Penampang datar tetap datar, sebelum dan setelah melentur. Anggapan ini dianggap benar bahkan hingga sampai ke daerah plastis. 2. Gaya geser dan torsi diabaikan. 3. Tidak terjadi slip antara material beton dan baja. 4. Hubungan konstitutif beton yang digunakan dapat berbentuk uniaksial atau multiaksial yang memperhitungkan pengaruh kekangan tabung baja terhadap peningkatan kuat tekan beton.
Dengan merujuk pada asumsi penampang datar tetap datar, dan hubungan konstitutif material yang digunakan, maka tegangan-tegangan yang terjadi pada tiap lapis dapat diketahui. Dengan demikian keakuratan model konstitutif material beton dan tabung baja yang digunakan akan sangat berpengaruh terhadap keakuratan analisis penampang kolom CFST secara keseluruhan.
10
II.4.1. Model Konstitutif Beton Hajjar dan Gourley dalam penelitiannya terhadap kolom CFST penampang persegi, mengusulkan model konstitutif beton yang terkekang dalam tabung baja yang mengalami beban tekan uniaksial merupakan perpaduan dari model yang diusulkan oleh Popovics (1973) dan Tomii-Sakino (1979). Untuk daerah kurva yang menanjak (ascending branch) digunakan model popovics untuk beton mutu normal dan beton mutu tinggi yang tidak terkekang (unconfined), sedangkan daerah sisanya digunakan model yang diusulkan oleh Tomii dan Sakino, dimana Tomii dan Sakino melaporkan bahwa tabung baja persegi yang digunakan pada waktu itu diasumsikan hanya memberi pengaruh kekangan pada tercapainya daktilitas beton yang lebih besar sedangkan peningkatan kekuatan beton tidak terjadi. Untuk kurva tegangan-regangan tarik digunakan model yang diusulkan oleh Vecchio dan Collins (1986). Gbr.II.3. merupakan bentuk dasar kurva tegangan regangan uniaxial untuk beberapa kombinasi kuat tekan beton tidak terkekang fc' dan rasio B/t yang digunakan oleh Hajjar dan Gourley dalam penelitiannya.
Zhang dan Shahrooz
menegaskan bahwa prilaku beton yang dikekang oleh
tabung baja berbeda dengan beton yang dikekang oleh tulangan lateral seperti yang biasa digunakan pada kolum beton bertulang. Pada kolom CFST, fungsi tabung baja selain memberikan kekangan pada beton, juga berfungsi untuk menahan beban aksial dan momen lentur sehingga tabung baja akan mengalami tegangan biaksial, sedangkan fungsi utama tulangan lateral pada kolom beton bertulang adalah memberikan tekanan lateral pada inti beton. Melihat perbedaan prilaku yang sangat mendasar tersebut, Zhang dan Shahrooz mempertimbangkan bahwa model-model kekangan yang telah ada untuk kolom beton bertulang (Mander dkk, 1982 dan 1988; Sheikh dan Uzumeri, 1982; Saatcioglu dan Razvi,1982) tidak dapat diterapkan untuk kolom CFST. Zhang dan Shahrooz menggunakan model yang di usulkan oleh Tomii dan Sakino (1979).
11
Tegangan-Regangan Beton 120 Tegangan (MPa)
fc'=100 MPa ; D/t=24
100 80 60
fc'=40 MPa ; D/t=40
40 20
fc'=30 MPa ; D/t=64
0 0
0,005
0,01
0,015
0,02
Regangan
Gbr.II.3. Model konstitutif beton Tomii dan Sakino (1979)
Seperti yang terlihat dalam gbr.II.3., bagian kurva yang menaik hingga ke regangan
0,002
berbentuk
parabola
yang
merepresentasikan
persamaan
Hognestad, sedangkan Hajjar dan Gourley mengusulkan bagian ascending branch mengikuti persamaan Popovics. Respon pasca puncak setelah regangan beton 0,005 bergantung pada rasio B/t. Interpolasi linear dapat digunakan untuk nilainilai B/t yang berbeda dari nilai B/t pada gbr.II.3. Beton di asumsikan mernpunyai tegangan yang konstan setelah regangan 0,0 15. peningkatan kekuatan tekan beton akibat pengaruh kekangan tabung baja diabaikan untuk tabung baja berpenampang persegi. Model konstitutif ini berlaku untuk beton mutu normal yang dikekang oleh tabung baja berkekutan normal.
Penelitian terhadap perilaku kolom CFST yang merupakan bagian dari tahap kelima kerjasama program penelititan kegempaan Amerika Serikat-Jepang yang dilakukan oleh Sakino, Nakahara, Morino dan Nishiyama mengusulkan model matematik tegangan-regangan beton yang dikekang oleh tabung baja berdasarkan persamaan II.7. Persamaan tegangan-regangan betom pada kolom CFST yang diusulkan oleh Sakino dkk tersebut.telah memperhitungkan pengaruh kekangan
12
tabung baja penampang lingkaran terhadap peningkatan kekuatan dan peningkatan perilaku setelah kekuatan maksimum tercapai (daktilitas). Sedangkan pada kolom CFST penampang bujursangkar, hanya diperhitungkan daktilitasnya saja. Pada model ini juga telah diperhitungkan pengaruh skala pada kekuatan beton, sehingga kuat tekan beton pada dimensi penampang yang lebih besar dari dimensi silinder, akan lebih kecil dibanding kuat tekan silinder betonnya. II.4.2. Model Konstitutif Tabung Baja Kebanyakan model konstitutif tabung baja yang digunakan dalam analisis penampang fiber adalah hubungan tegangan-regangan uniaksial. Beberapa studi terdahulu menggunkan hubungan tegangan-regangan sederhana yang berbentuk bilinier dengan atau tanpa strain hardening dan mendapatkan hasil yang hapir sam dengan hasil pengujian (Uy dan Vrcelj ) II.5. Hubungan Konstitutif Beton Hubungan konstitutif material beton yang digunakan pada penulisan tesis ini ada dua model, yang pertama adalah model Tomii dan Sakino (1979) dan yang kedua adalah model Fujimoto, Mukai, Nishiyama dan Sakino (2004). Kedua model ini nantinya akan dibandingkan untuk
mendapatkan model mana yang paling
representatif digunakan dalam menganalisis perilaku penampang kolom CFST pendek. II.5.1. Model Konstitutif Beton Tomii dan Sakino (1979) yang diusulkan oleh Tomii dan Sakino hanya mempertimbangkan Peningkatan Model daktilitas beton akibat kekangan yang diberikan oleh tabung baja, sedangkan peningkatan kekuatan beton tidak diperhitungkan. Seperti yang terlihat pada gbr.II.3, untuk beton normal bagian kurva yang menaik hingga ke regangan 0,002 berbentuk parabola yang merepresentasikan persamaan Hognestad sebagai berikut : ⎡ 2ε ⎛ ε ⎞ 2 ⎤ fc = f ⎢ c − ⎜ c ⎟ ⎥ ⎢⎣ ε o ⎝ ε o ⎠ ⎥⎦ ' c
13
(II.1)
Sedangkan untuk beton mutu tinggi bagian kurva yang menaik hingga ke regangan
ε c'
saat tegangan puncak, mengikuti persamaan Thorenfeldt,
Tomaszewicz dan Jensen (1987) sebagai berikut :
fc ε c n = ' ' f c ε c n − 1 + (ε c ε c' ) n
(II.2)
dimana, f c' n = 0.8 + 17 ' f n ε c' = c Ec n − 1
(II.3) (II.4)
Ec = 3320 f c' + 6900
Setelah beton mencapai tegangan puncak
(II.5)
f c' , tegangan puncak tersebut
dipertahankan dengan nilai konstan hingga ke regangan beton 0,005. Respon pasca puncak setelah regangan beton 0,005 bergantung pada rasio B/t, dimana tegangan yang terjadi sesudahnya f cp menurun mengikuti rumus berikut :
B f cp = (1.6 − 0.025 ) f c' t
(II.6)
Persamaan II.6 dikembangkan oleh Tomii dan Sakino menggunakan data pengujian dari kolom CFST penampang persegi dengan rasio B/t antara 24 dan 44. mempertahankan tegangan beton
f cp dengan nilai konstan mulai dari
regangan 0,005 hingga 0,015, sedangkan penampang dengan rasio D/t lebih dari 24 mengikuti persamaan II.6. Pada rasio B/t sebesar 64, f cp menjadi nol. Semua penampang dengan rasio B/t yang lebih besar dari 64 mengikuti bentuk kurva yang sama dengan penampang yang memiliki rasio B/t sebesar 64. Beton kemudian diasumsikan mempunyai tegangan yang konstan setelah regangan 0,015 tercapai.
14
Gbr.II.4. Model kurva tegangan regangan beton Tomii dan Sakino (1979)
II.5.2. Model Konstitutif Beton Fujimoto, Mukai, Nishiyama dan Sakino (2004)
Model ini merupakan persamaan matematika yang diturunkan dari hasil pengujian keempat peneliti diatas (Fujimoto, Mukai, Nishiyama dan Sakino) untuk hubungan
tegangan-regangan
beton
terkekang
yang
memperhitungkan
peningkatan kekuatan dan daktilitas beton (gbr.II.5). Bentuk kurva teganganregangan beton yang diusulkan merupakan fungsi dari kuat tekan beton tak terkekang σ cp , kuat leleh baja f y dan rasio D/t untuk penampang lingkaran atau rasio B/t untuk penampang bujursangkar. Model ini juga dapat digunakan pada kolom tabung baja yang diisi beton mutu normal atau beton mutu tinggi dan telah diterapkan oleh para peneliti dari Jepang tersebut pada program penelitian kerjasama kegempaan tahap lima antara negara Amerika Serikat dan Jepang. Hubungan tegangan-regangan beton pada model ini telah memperhitungkan pengaruh kekangan tabung baja penampang lingkaran terhadap peningkatan kekuatan dan peningkatan prilaku setelah kekuatan maksimum tercapai (daktilitas). Sedangkan pada kolom CFST penampang bujursangkar, hanya diperhitungkan daktilitasnya saja. Faktor lain yang juga telah diperhitungkan pada model ini adalah pengaruh skala pada kekuatan beton, sehingga beton yang dimensi penampangnya lebih besar dari dimensi silinder beton, kuat tekannya
15
akan lebih kecil dibanding kuat tekan silinder betonnya (persamaan II.6, II.8a dan II.8b).
Gbr.II.5. Model kurva tegangan-regangan beton Fujimoto dkk
Model ini didasarkan pada ekspresi yang diusulkan oleh Sakino dan Sun (1994) untuk beton yang dikekang oleh tabung baja dan atau sengkang konvensional dengan mengabaikan kekuatan tarik beton. Hubungan tegangan-regangan beton pada kolom CFST diekspresikan oleh persamaan matematika : VX + (W − 1) X 2 Y= 1 + (V − 2) X + WX 2
Dimana untuk : Kolom CFST penampang lingkaran
(II.7)
Kolom CFST penampang bujursangkar
X = ε c / ε cco
X = ε c / ε co
Y = σ c / σ ccB
Y = σ c / σ cp
V = Ec .ε cco / σ ccB
V = Ec .ε co / σ cp
σ re = (k / ke ).σ r
σ re = ½.ρ h .σ sy .(t 2 / b)
(σ ccB / σ cp ) = K = 1 + k .(σ r / σ cp )
(σ ccB / σ cp ) = K = 1
W = 1,5 − 17,1σ cp x 10-3 + 2,39 σ re
(II.8)
Ec = 6,90 + 3,32 σ cp x 103
(II.9)
(
)
16
ε co = 0,94 (σ cp ) x 10-3 14
(II.10)
ε cco ε co = 1 + 4, 7( K − 1), jika K ≤ 1.5 ε cco ε co = 3,35 + 20( K − 1,5), jika K >1.5 σ ccB = σ cp + k .σ r σ cp = σ cB × γ U
(II.11.a) (II.11.b) (II.12)
γ U = 1, 67 D
(II.14.a)
−0,112
⎛ 2B ⎞ ⎟ ⎝ π ⎠ 2t.0,19.σ sy
γ U = 1, 67 ⎜
σr =
, untuk penampang lingkaran
D − 2t
(II.13)
−0,112
,untuk penampang bujursangkar
, k=4,1 , k e = 23
(II.14.b) (II.15)
II.6. Hubungan Konstitutif Tabung Baja dan Baja Tulangan Elastis-Plastis
Hubungan konstitutif material tabung baja dan baja tulangan yang digunakan pada penulisan tesis ini adalah model elastis-plastis sempurna.Baja dimodelkan dengan menggunakan kurva tegangan-regangan yang diidealisasikan seperti yang ditunjukkan pada gbr.II.6. Kurva ini berbentuk elastis pada awalnya kemudian diasumsikan secara sempurna berbentuk plastis. Kurva ini dianggap cocok untuk merepresentasikan karakteristik tegangan-regangan pada baja struktural mutu normal dan mutu tinggi. Hubungan tegangan regangan sebelum mencapai regangan leleh ε y adalah : f s = Es .ε s
(II.16)
Setelah regangan leleh ε y tercapai, maka : fs = f y
Gbr.II.6. Model kurva tegangan-regangan baja elastis-plastis sempurna
17
(II.17)
II.7. Jenis-Jenis Kolom Komposit
Beberapa contoh penampang kolom komposit diperlihatkan dalam gbr II.7. Pipa baja yang diisi beton (gbr II.7.a) atau tabung baja yang diisi beton (gbr II.7.b) merupakan penampang kolom komposit yang paling umum digunakan. Bentuk kaison, seringkali digunakan untuk pengeboran lumpur dan juga dapat membantu mendukung beban (gbr II.7.c). Pada awalnya, lapisan beton digunakan sebagai pelindung terhadap api (Gbr II.7.d&e). Bentuk penampang kolom CFST (gbr.II.7.a,b) memberikan keunggulan dibanding penampang kolom steel reinforced concrete SRC (gbr.II.7.d,e) yaitu lebih fleksibel dan lebih mudah
pengerjaannya. Hal ini terutama berguna dalam pembangunan konstruksi bangunan gedung bertingkat banyak dimana dibutuhkan sifat workability yang tinggi dan fleksibilitas ruangan terbuka untuk penggunaan bangunan secara maksimum. Gbr II.7.f. memperlihatkan bentuk kolom komposit, dimana penggunaan dari profil struktur untuk melindungi sudut-sudut kolom beton yang tidak terlindung pada daerah dok dan lalu lintas. Penampang dalam gbr II.7.g. menunjukkan suatu optimasi tahan gempa terhadap kekuatan geser dari profil struktur dan daktilitas dari inti beton yang diberi tulangan spiral untuk menstabilkan mode sesudah kehancuran dari tekuk lokal bentuk tersebut.
Gbr.II.7.Bentuk potongan penampang kolom komposit
18
Struktur bangunan yang menggunakan komponen kolom struktur konvensional seperti beton bertulang, baja yang diperkuat beton SRC dan baja dapat juga direncanakan dan dilaksanakan dengan menggunakan kolom CFST dengan segala kelebihan yang dimilikinya dan ada saatnya penggunaan kolom CFST lebih ekonomis dibanding jenis kolom lainnya (lihat gbr.II.8.), kolom CFST sangat cocok diterapkan pada gedung bertingkat tinggi dimana sifat workability dan fleksibiliry sangat dibutuhkan. Pada kolom CFST, beton yang di isi ke dalam pipa
atau tabung baja dapat menambah kekuatan, kekenyalan dan kekakuan pipa atau tabung baja. Tipe kolom komposit CFST biasanya digunakan ketika elemen baja struktur diperlihatkan secara kasat mata untuk alasan arsitektur, dan sifat ekonomis terwujud dengan berkurangnya penggunaan bekisting atau cetakan untuk beton.
Gbr.II.8. Perbandingan kolom komposit dan kolom konvensional
Schneider dalam percobaannya terhadap kolom CFST yang dibebani secara aksial konsentris menyimpulkan kolom CFST penampang lingkaran lebih daktail dibanding kolom CFST dengan penampang bujursangkar atau persegi. Kolom CFST
penampang
lingkaran
yang
diuji
dalam studi
eksperimentalnya
menunjukkan pengaruh strain hardening bahkan pada kolom CFST dengan dinding tabung yang paling tipis sekalipun (D/t = 47). Tekuk lokal pada dinding tabung penampang lingkaran terjadi pada daktilitas aksial sebesar 10 atau lebih,
19
sementara pada tabung bujursangkar dan persegi tekuk lokal terjadi pada daktilitas aksial sebesar 2 sampai 8. Sifat-sifat yang terdapat pada kolom CFST penampang lingkaran ini tentu sangat bermanfaat jika diterapkan pada daerah rawan gempa.
Telah banyak peraturan di seluruh dunia yang memberikan batasan dan prosedur perencanaan kolom CFST seperti peraturan AISC LRFD, ACI, Eurocode 4 dan Architectural Institute of Japan (AIJ). Zhang dan Shahrooz pernah menguji keakuratan metode ACI untuk memprediksi kekuatan kolom CFST penampang bujursangkar yang masuk dalam kategori kolom pendek dan kolom panjang dan diketahui metode ACI standar dapat secara realistis menghitung kapasitas penampang kolom CFST sejauh tabung baja yang digunakan adalah baja mutu normal ( f y <400 MPa). Jika tabung baja yang digunakan adalah tabung baja mutu tinggi maka metode ACI standar perlu dimodifikasi dimana diasumsikan kapasitas penampang kolom CFST terjadi saat tabung baja telah leleh seluruhnya.
Zhang dan Shahrooz juga membandingkan metode ACI dengan metode AISC LRFD dalam menentukan kapasitas kolom CFST, dan diketahui hasil yang diperoleh metode ACI lebih mirip dengan hasil beberapa pengujian yang pernah mereka dan peneliti lain lakukan.
O’shea dan Bridge dalam penelitiannya telah membandingkan metode Eurocode 4 dan ACI 318 dan diketahui Eurocode 4 dapat memprediksi dengan baik kekuatan penampang kolom CFST dengan tabung baja tipis yang mengalami kombinasi gaya tekan dan lentur. Dari hasil penelitiannya diketahui bahwa peraturan Eurocode 4 dapat digunakan untuk merencanakan kekuatan kolom CFST pendek dengan tabung baja tipis yang diisi beton dengan kekuatan tekan silinder hingga 80 MPa, sedangkan pada kolom CFST pendek dengan tabung baja tipis yang diisi beton mutu sangat tinggi ( f c' =100 MPa) peraturan Eurocode menghasilkan nilai kekuatan yang overestimate dibandingkan dengan hasil pengujian. Mereka menemukan fakta terjadi peningkatan kekuatan yang sangat kecil pada kasus kolom CFST yang terbuat dari beton mutu sangat tinggi.
20
II.8. Keruntuhan Kolom Komposit
Keruntuhan pada kolom komposit baja-beton dapat terjadi karena kehancuran bahan yang ditandai dengan melelehnya baja atau hancurnya beton, atau akibat ketidakstabilan struktur (tertekuk). Jika kolom mengalami keruntuhan yang disebabkan oleh kehancuran bahan, maka kolom tersebut dapat diklasifikasikan sebagai kolom pendek atau juga dapat diklasifikasikan sebagai kolom langsing. Sedangkan jika kolom mengalami keruntuhan karena tertekuk, maka kolom tersebut diklasifikasikan sebagai kolom langsing. Keruntuhan yang disebabkan oleh kehancuran material terbagi dua macam, yaitu keruntuhan tarik yang ditandai dengan melelehnya baja pada bagian tekan atau tarik, dan keruntuhan tekan yang ditandai dengan hancurnya beton pada bagian tekan. Kondisi seimbang terjadi ketika keruntuhan tarik dan tekan terjadi bersamaan. Jika Pn adalah beban aksial dan Pnb adalah beban aksial yang berhubungan dengan kondisi seimbang, maka jika Pn lebih kecil daripada Pnb dikatakan keruntuhan tarik, jika Pn lebih besar dari Pnb dikatakan keruntuhan tekan dan jika Pn sama dengan Pnb dikatakan keruntuhan seimbang. Kondisi keruntuhan seimbang terjadi ketika baja tarik mencapai regangan leleh ε y tepat pada keadaan beton mencapai regangan batas beton ε c (Peraturan ACI mengasumsikan sebesar 0,003 untuk beton bertulang) dan kemudian hancur. Apabila baja lebih dulu mencapai tegangan lelehnya sebelum tegangan tekan beton mencapai maksimum maka dikatakan keruntuhan tarik dan sebaliknya jika tegangan di serat beton lebih dulu mencapai kapasitas maksimumnya sebelum tegangan pada baja meleleh disebut keruntuhan tekan. II.9. Tebal Minimum Tabung Baja
Peraturan ACI dan AISC mensyaratkan ketebalan minimum pipa atau tabung baja untuk mencegah terjadinya tekuk lokal sebelum pipa atau tabung baja meleleh, yaitu sebesar : tmin = h
fy
8.Es
tmin = b
untuk penampang lingkaran dengan diameter h (II.18) fy
3.Es
untuk penampang persegi dengan lebar b
21
(II.19)
sedangkan untuk tujuan ketahanan gempa, peraturan gempa AISC memberikan batasan tebal minimum yang lebih ketat untuk kasus penampang bujursangkar, yaitu : tmin = b
fy
(II.20)
2.Es
sedangkan untuk penampang lingkaran, peratuan gempa AISC belum memberikan batasan minimum tebal pipa, dikarenakan dari hasil pengujian kolom CFST penampang lingkaran menunjukkan hasil yang memuaskan untuk perencanaan tahan gempa. Peraturan di negara Jepang membatasi nilai rasio kelangsingan pelat D/t untuk penampang lingkaran dan B/t untuk penampang persegi sebesar : D 23500 untuk penampang lingkaran dengan diameter D ≤ 1,5. t F
(II.21)
B 735 ≤ 1,5. untuk penampang persegi dengan lebar B t F
(II.22)
dimana F adalah kekuatan standar untuk menentukan tegangan baja yang diizinkan = nilai terkecil tegangan leleh dan 0,7 kali kuat tarik baja (MPa). II.10. Prilaku Kolom Komposit
Pipa baja dalam kolom CFST menyumbang kekakuan lentur yang terbesar dibanding beton di dalam pipa dan kekuatan tekan kolom adalah minimal sebesar penjumlah kekuatan masing-masing bahan yaitu pipa baja dan beton tak terkekang. Ketika beban konsentris diberikan pada baja dan beton secara merata, rasio poisson baja menyebabkan dinding pipa mengembang secara lateral lebih besar dibanding beton hingga gaya tekan yang diberikan menghasilkan tegangan beton yang cukup untuk menyebabkan retak-retak kecil di dalam beton dan membesarnya volume beton. Retak-retak kecil yang disertai dengan membesarnya volume beton terjadi ketika tegangan lebih besar dari 0,5 f c' setelah beton mulai
22
retak, dorongan beban yang ada menyebabkan beton mengembang secara lateral dan ditahan oleh dinding pipa. Akhirnya dinding pipa mencapai tegangan lelehnya akibat kombinasi gaya tekan longitudinal dan gaya tarik transversal yang menyebabkan penggelembungan terjadi pada pipa baja dan beton tidak dapat ditahan oleh dinding pipa akhirnya hancur bersamaan dengan runtuhnya kolom.
Kekangan triaksial dari dinding pipa dapat meningkatkan kekuatan efektif beton. Secara teoritis, kekangan triaksial seharusnya dapat meningkatkan kekuatan sebesar tiga kali kapasitas nominal beton di dalam pipa baja. Jika panjang kolom lebih dari tiga kali diameternya, kekakuan longitudinal dinding pipa tidak cukup untuk menahan tekuk inelastis saat beban tekan melebihi kapasitas yang ditentukan tanpa peningkatan f c' dari kekangan lateral. Pada kolom yang lebih langsing, lokasi dimana kekuatan beton bertambah akibat kekangan menjadi berkurang karena kekakuan longitudinal tidak dapat menahan terjadinya tekuk inelastis. Grauers dkk dalam penelitiannya terhadap kolom CFST langsing, menemukan bahwa pengaruh kekangan hanya terjadi pada kolom pendek, dimana beban ultimit penampang komposit melebihi penjumlahan dari kapasitas nominal penampang beton dan tabung baja sekitar 6%, sedangkan kapasitas dukung beban kolom CFT langsing ditentukan dengan melelehnya tabung baja bagian tekan. Pada kasus kolom langsing beton bertulang, kekangan yang diberikan oleh tulangan sengkang hanya berpengaruh kecil terhadap peningkatan kapasitas kolom, baik dalam hal kapasitas beban aksial maupun lendutan yang terjadi sebelum mengalami keruntuhan. Pada kolom pendek biasanya dapat mencapai kuat tampangnya (cross-sectional strength), sedemikian hingga keruntuhan ditentukan oleh kekuatan komponen
materialnya, yaitu kuat tekan beton dan tegangan leleh baja. Meskipun demikian, inti beton pada kolom pendek juga mengalami kekangan lateral (lateral confinement) yang diberikan oleh tabung baja, sehingga kolom komposit mampu
mendukung beban lebih besar daripada beban aksial yang dapat didukung pada kondisi tak-terkekang. Lebih jauh, dan mungkin yang lebih penting, perilaku
23
beton terkekang menjadi lebih liat (ductile), sehingga mempengaruhi perilaku struktur secara keseluruhan
Beban konsentris umumnya jarang terjadi. Pada kenyataannya di lapangan, kolom-kolom pada bangunan struktur akan menerima gaya aksial eksentris. Dengan adanya kurvatur yang disebabkan oleh lenturan-maka dinding pipa baja akan menekan inti beton, yang mengakibatkan terjadinya transfer geser sepanjang kontak permukaan. Lekatan yang baik antara dinding pipa dengan inti beton dapat merepresentasikan kondisi batas yang umum dimana hanya ada satu profil regangan pada penampang kolom saat terjadinya kurvatur lentur. Hasil pengetesan menunjukkan tidak ada perbedaan prilaku kolom CFST yang tidak dioles pelumas. Studi yang dilakukan oleh Johansson menjelaskan bahwa kolom CFST dengan dimensi penampang yang tidak terlalu besar tidak memerlukan shear connector pada permukaan dinding pipa bagian dalam karena aksi komposit dapat
terwujud melalui lekatan yang alami antara inti beton dengan dinding bagian dalam pipa baja.
II.11. Kombinasi Gaya Aksial Tekan Nominal dan Momen Nominal
Dalam praktek kolom mengalami beban aksial tekan dan momen. Momen yang terjadi dapat disebabkan karena beban eksentris yang disengaja atau tidak disengaja, juga dapat karena ketidaklurusan kolom. Sementara kemampuan dukung kolom pendek ditentukan oleh kuat tampangnya. Interaksi antara kedua gaya dalam tersebut seperti ditunjukan pada gambar di bawah ini.
24
ε c top ε s bottom
Pno
1
ε s bottom
Pn maks
ε s bottom
dt
ε c top
de ng an
0
3
sa m
a
ε s bottom
R eg an ga n
ta rik
4 5 K o nd
t
ε c top
2
Pn
Pb
Asr’ Asr
B
ε c top
d’
isi Ba
ε c to p
ε s bottom ε c top
lance
6 7
ε c top
εsbottom >εy Mn
εs bottom >εy Gbr.II.9. Diagram Interaksi antara Momen dan Gaya Normal
Diagram interaksi tersebut dibagi dalam dua daerah, yaitu daerah keruntuhan tekan
(Compression control region)
dan daerah keruntuhan tarik (Tension
control region) serta titik keseimbangan (balance) sebagai pembatasnya.
Jika suatu gaya normal bekerja pada kolom pendek, maka dapat dilihat berbagai kasus sehubungan dengan lokasi gaya normal terhadap titik berat plastisnya. 1. Gaya Tekan Aksial (Po) Adalah kasus dimana secara teoritis dianggap bekerja suatu gaya aksial yang besar dan mempunyai titk tangkap pada titik berat plastisnya (plastic centroid) atau e=0 dan M = 0.
2. Gaya Aksial Nominal yang Diijinkan ( Pnmaks) Adalah kasus dimana gaya normal yang bekerja pada penampang mengandung eksentrisitas minimum sesuai dengan standar tata cara yang digunakan. Pada keadaan ini keruntuhan kolom terjadi akibat kehancuran beton ( ε ct mencapai ε u ). 3. Keruntuhan Tekan
25
Adalah kasus dimana bekerja gaya aksial yang besar disertai eksentrisitas yang kecil, dimana nilai Pn terletak pada kisaran Pnmaks ≤ Pn ≤ Pnb. Pada keadaan ini keruntuhan kolom terjadi akibat kehancuran beton( ε ct mencapai
ε cu ) dan tegangan tulangan tarik lebih kecil dari tegangan lelehnya f y ( ε s < ε y ), Pn > Pnb serta e < eb.
4. Keruntuhan Tarik Adalah kasus dimana bekerja gaya aksial yang yang relatif kecil disertai eksentrisitas yang besar. Pada keadaan ini lelehnya tulangan tercapai lebih dahulu sebelum kehancuran beton, sehingga pada saat keruntuhan ( ε s < ε y ) dan ε c = ε cu , Pn < Pnb serta e > eb. 5. Kondisi keadaan seimbang Pada kasus ini keadaan seimbang dicapai dimana regangan tekan beton ( ε c ) mencapai regangan hancurnya ( ε cu ) dan regangan tarik tulangan ( ε s ) mencapai regangan lelehnya ( ε y ) secara bersamaan, dengan demikian keruntuhan beton terjadi bersamaan pada saat tulangan mengalami pelelehan, Pn = Pb serta e = eb. 6. Kondisi Lentur Murni Adalah kasus dimana dengan secara teoritis gaya normal yang bekerja (Pn) sama dengan nol yang bersesuian dengan harga momen lentur tertentu (Mn). II.12. Daktilitas
Daktilitas adalah kemampuan elemen struktur untuk berrespon secara inelastik tanpa kehilangan kekuatan secara signifikan dan dinyatakan sebagai perbandingan antara deformasi ultimit terhadap deformasi lelehnya. Level daktilitas tertentu menentukan tingkat keamanan yang diperlukan agar tidak terjadi keruntuhan secara tiba-tiba. Shin et al mendefinisikan daktilitas sebagai kemampuan elemen struktur berdeformasi setelah mencapai kekuatan puncak tanpa terjadi penurunan kekuatan yang lebih besar (Shin et al.1990). Jenis-jenis daktilitas menurut Paulay dan Priestly, terdiri dari empat jenis, yaitu : 1. Daktilitas Regangan (Strain ductility) Daktilitas regangan adalah perbandingan antara regangan maksimum dan
26
regangan leleh pada balok yang dibebani aksial tekan/tarik.
μ=
εu εy
(II.23)
2. Daktilitas Kelengkungan (Curvature ductility) Daktilitas kelengkungan adalah perbandingan antara sudut kelengkungan (putaran sudut per unit panjang) maksimum dengan sudut kelengkungan leleh dari suatu elemen struktur akibat momen lentur.
μ=
ϕu ϕy
(II.24)
3. Daktilitas Rotasi (Rotation ductility) Daktilitas rotasi adalah perbandingan putaran sudut maksimum terhadap putaran sudut pada saat leleh.
μ=
θu θy
(II.25)
4. Daktilitas Perpindahan (Displacement ductility) Daktilitas perpindahan adalah perbandingan struktur maksimum terhadap perpindahan struktur pada saat leleh.
Dalam penulisan tesis ini daktilitas yang ditinjau adalah daktilitas kelengkungan dari elemen struktur kolom CFST pendek. Hal ini karena pada level elemen deformasi yang berpengaruh adalah deformasi penampang yang menyebabkan perubahan kelengkungan dari penampang. Perubahan kelengkungan ini direpresentasikan oleh hubungan momen-kurvatur untuk satu beban aksial tertentu. Yield curvature adalah untuk perhitungan daktilitas kurvatur ditentukan dengan
mengambil nilai-nilai dari grafik momen-kurvatur. Nilai ϕ y didapatkan dengan menarik garis lurus dari titk (0,0) melewati grafik di besaran 0.75 Mnmaks hingga memotong garis horisontal yang berimpit dengan nilai Mnmaks.
27
Mn Mnmaks
0.75Mnmaks
(0,0)
φy
φmaks φ
Gbr.II.10. Penentuan Besaran Daktilitas
28