BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Hutan Rakyat 2.1.1. Pengertian Dalam UU No. 41 tahun 1999, hutan rakyat merupakan jenis hutan yang dikelompokkan ke dalam hutan hak. Hutan hak merupakan hutan yang berada di atas tanah yang dibebani hak atas tanah, demikian halnya dengan hutan rakyat yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik dan tidak diusahakan pada tanah negara. Hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh di atas tanah milik dengan luas minimal 0,25 ha, penutupan tajuk didominasi oleh tanaman perkayuan (lebih dari 50%), dan atau tanaman tahun pertama minimal 500 batang. (SK Menteri Kehutanan Nomor 49/KPTS-II/1997). Menurut Peraturan Menteri Kehutanan P.03/MENHUT-V/2004, hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik maupun hak lainnya dengan ketentuan luas minimun 0,25 ha, penutupan tajuk tanaman kayukayuan dan tanaman lainnya lebih dari 50 %. Kamus Kehutanan (1990) dalam Awang (2001), hutan rakyat adalah hutan yang terdapat pada lahan milik rakyat atau milik adat (ulayat) yang secara terusmenerus diusahakan untuk usaha perhutanan, yaitu: jenis kayu-kayuan, baik tumbuh secara alami maupun hasil tanaman.
2.1.2. Pendapatan dan Pengeluaran Rumah Tangga Petani Sayogyo (1982) dalam Kusumaningtyas (2003), menyatakan bahwa pendapatan rumah tangga dapat dibagi menjadi tiga kelompok, sebagai berikut: 1. Pendapatan dari usaha bertani. 2. Pendapatan yang mencakup usaha bertanam padi, palawija, dan kegiatan pertanian lainnya. 3. Pendapatan yang diperoleh dari seluruh kegiatan termasuk sumber-sumber mata pencaharian di luar pertanian.
6
Menurut Mubyarto (1998) pendapatan rumah tangga adalah pendapatan yang diperoleh oleh seluruh anggota keluarga, baik suami, istri, maupun anak. Pengeluaran rumah tangga adalah konsumsi rumah tangga dari semua nilai barang jasa yang diperoleh, dipakai atau dibayar oleh rumah tangga tetapi tidak untuk keperluan usaha dan tidak untuk menambah kekayaan atau investasi. Secara umum kebutuhan konsumsi rumah tangga berupa kebutuhan pangan dan non pangan, dimana kebutuhan keduanya berbeda. Pada kondisi pendapatan yang terbatas lebih dahulu mementingkan kebutuhan konsumsi pangan, sehingga dapat dilihat pada kelompok masyarakat dengan pendapatan rendah sebagian besar pendapatan digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan. Namun demikian seiring pergeseran peningkatan pendapatan, proporsi pola pengeluaran untuk pangan akan menurun dan meningkatnya pengeluaran untuk kebutuhan nonpangan (Sugiarto 2008). Hernanto (1991) mengemukakan bahwa salah satu cara menentukan ukuran pendapatan petani adalah jumlah penerimaan dari penjualan hasil ditambah penerimaan yang diperhitungkan dengan kenaikan nilai inventaris, dikurangi dengan pengeluaran tunai dan pengeluaran yang diperhitungkan termasuk bunga modal. Pendapatan rumah tangga petani dapat berasal dari pendapatan usaha tani dan pendapatan non-usaha tani.
2.2. Agroforestri 2.2.1. Pengertian Agroforestri Menurut Huxley (1999) agroforestri adalah sistem pengunaan lahan yang mengkombinasikan tanaman berkayu dengan tanaman tidak berkayu (kadangkadang dengan hewan) yang tumbuh bersamaan atau bergiliran pada suatu lahan, untuk memperoleh berbagai produk dan jasa (services) sehingga terbentuk interaksi ekologis dan ekonomis antar komponen tanaman. Lundgren dan Raintree (1982) mendefinisikan agroforestri sebagai istilah kolektif untuk sistem-sistem dan teknologi-teknologi penggunaan lahan, yang secara terencana dilaksanakan pada satu unit lahan dengan mengkombinasikan tumbuhan berkayu (pohon, perdu, palem, bambu, dan lain-lain) dengan tanaman pertanian dan/atau hewan (ternak) dan/atau ikan, yang dilakukan pada waktu yang
7
bersamaan atau bergiliran sehingga terbentuk interaksi ekologis dan ekonomis antar berbagai komponen yang ada.
2.2.2. Pemanfaatan Lahan Dengan Sistem Agroforestri Dalam praktiknya, pemanfaatan luas lahan yang terbatas memberikan inovasi-inovasi pola yang secara bebas memberikan ruang pilihan kepada petani. Pola agroforestri-tumpangsari menggunakan jenis-jenis yang mempunyai prospek pasar yang menjanjikan (Sabarnurdin et al. 2011) petani memiliki tujuan menanam, yaitu: petani memperoleh manfaat sosial dari tumpangsari tanaman semusim seperti jagung, singkong, pisang, serta rumput gajah bagi petani yang memelihara ternak; manfaat ekonomi berupa hasil kayu untuk industri dengan pemasaran lokal maupun ekspor. Terkait relasinya dengan hutan, sebaiknya agroforestri tidak diposisikan sebagai alat penyelesaian “adhoc” karena sesuai dengan kondisi yang dihadapi, pola tanam ini seharusnya terintegrasi dengan sistem pengelolaan hutan, karena memang eksistensi kehutanan di mata penduduk sekitarnya ditentukan oleh tindakan mewujudkan fungsi hutan sebagai penghasil multiple product bagi kehidupan manusia. Terkait dengan hal tersebut, pemilihan jenis yang tepat disesuaikan dengan karakteristik jenis inti serta pengaturan daur menjadi hal yang penting (Sabarnurdin et al. 2011). Agroforestri bisa saja menjadi alternatif yang lebih baik dan menguntungkan jika dibandingkan dengan kondisi yang ada. Menurut Suharjito (2000), hutan rakyat atau agroforestri hanya merupakan pendapatan sampingan dan bersifat insidentil dengan kisaran tidak lebih dari 10% dari total pendapatan. Kebijakan yang baik untuk memfasilitasi kontribusi keberadaan agroforestri menjadi sangat penting agar agroforestri terus memberikan tren yang positif.
2.2.3. Manfaat Agroforestri Beberapa keunggulan agroforestri dibandingkan dengan sistem penggunaan lahan lainnya menurut Hairiah et al. (2003) yaitu : 1. Produktivitas (Productivity): Dari hasil penelitian dibuktikan bahwa produk total sistem campuran dalam agroforestri jauh lebih tinggi dibandingkan pada
8
monokultur. Hal tersebut disebabkan bukan saja keluaran (output) dari satu bidang lahan yang beragam, akan tetapi juga dapat merata sepanjang tahun. Adanya tanaman campuran memberikan keuntungan, karena kegagalan satu komponen/jenis tanaman akan dapat ditutup oleh keberhasilan komponen/jenis tanaman lainnya. 2. Diversitas (Diversity): Adanya pengkombinasian dua komponen atau lebih daripada sistem agroforestri menghasilkan diversitas yang tinggi, baik menyangkut produk maupun jasa. Dengan demikian dari segi ekonomi dapat mengurangi risiko kerugian akibat fluktuasi harga pasar. Sedangkan dari segi ekologi dapat menghindarkan kegagalan fatal pemanen sebagaimana dapat terjadi pada budidaya tunggal (monokultur). 3. Kemandirian (Self-regulation): Diversifikasi yang tinggi dalam agroforestri diharapkan mampu memenuhi kebutuhan pokok masyarakat, dan petani kecil dan sekaligus melepaskannya dari ketergantungan terhadap produkproduk luar. Kemandirian sistem untuk berfungsi akan lebih baik dalam arti tidak memerlukan banyak input dari luar (antara lain: pupuk dan pestisida), dengan diversitas yang lebih tinggi daripada sistem monokultur. 4. Stabilitas (Stability): Praktek agroforestri yang memiliki diversitas dan produktivitas yang optimal mampu memberikan hasil yang seimbang sepanjang pengusahaan lahan, sehingga dapat menjamin stabilitas (dan kesinambungan) pendapatan petani. Ketika tanah langka atau ketika tanah memiliki kesuburan rendah atau sensitif terhadap erosi, teknik wanatani (agroforestri) menawarkan manfaat yang cukup besar untuk jangka panjang pertanian yang keberlanjutan. Pohon dan semak memiliki peran ekologi dan ekonomi penting dalam sistem pertanian. Agroforestri berguna dalam cara berikut menurut The Organic Organization: 1. Tanah a. Melindungi tanah dari erosi. b. Meningkatkan nutrisi dalam tanah yang miskin. c. Memperbaiki struktur tanah sehingga memegang lebih banyak air. 2. Pasokan energi a. Menyediakan kayu bakar lebih murah dan lebih mudah diakses.
9
b. Memproduksi kualitas yang lebih baik kayu bakar tergantung pada spesies ditanam. 3. Tempat tinggal dan struktur a. Menyediakan bahan bangunan murah. b. Melindungi hewan, tanaman dan manusia dari angin dan matahari. c. Menyediakan pagar untuk melindungi tanaman dari hewan ternak dan hewan liar. 4. Tanaman sumber daya / keanekaragaman hayati a. Memperbaiki kondisi lingkungan lokal alami tanaman tumbuh. b. Mempertahankan dan meningkatkan jumlah spesies tanaman. 5. Kas dan pendapatan a. Menyediakan lapangan kerja tambahan atau off-musim. b. Mengaktifkan penjualan produk-produk pohon. c. Menyediakan investasi seperti kebun, produk-produk pohon, agrobisnis dan pasokan bahan jangka panjang untuk produksi kerajinan 2.2.4 Jenis Agroforestri Dalam perkembangan pengelolaan lahan di beberapa daerah, penduduk mempunyai preferensi tertentu dalam menggunakan lahannya yang terbatas, yang diwujudkan dengan beberapa tahap pola agroforestri. Pola-pola tersebut sebenarnya bisa merupakan continuum yang berakhir pada pola agroforest (talun, kebun pohon) yang kemudian diintervensi oleh penduduk setempat menjadi sebuah pola yang ingin mereka pertahankan. (Sabarnurdin et al. 2011) Menurut De Foresta dan Michon (1997), agroforestri dapat dikelompokkan menjadi dua sistem, yaitu sistem agroforestri sederhana dan sistem agroforestri kompleks. 1. Agroforestri Sederhana Sistem agroforestri sederhana adalah suatu sistem pertanian di mana pepohonan ditanam secara tumpangsari dengan satu atau lebih jenis tanaman semusim. Pepohonan bisa ditanam sebagai pagar mengelilingi petak lahan tanaman pangan, secara acak dalam petak lahan, atau dengan pola lain misalnya berbaris dalam larikan sehingga membentuk lorong/pagar.
10
Jenis-jenis pohon yang ditanam sangat beragam, bisa yang bernilai ekonomi tinggi (kelapa, karet, cengkeh, kopi, kakao, nangka, melinjo, petai, jati, mahoni) atau bernilai ekonomi rendah (dadap, lamtoro, kaliandra). Jenis tanaman semusim biasanya berkisar pada tanaman pangan (padi gogo, jagung, kedelai, kacangkacangan, ubi kayu), sayuran, rerumputan atau jenis-jenis tanaman lainnya. Menurut Bratamihardja (1991) dalam Hairiah et al. (2003), bentuk agroforestri sederhana yang paling banyak dijumpai di Pulau Jawa adalah tumpangsari atau taungya yang dikembangkan dalam rangka program perhutanan sosial oleh Perum Perhutani. Dalam perkembangannya, sistem agroforestri sederhana ini juga merupakan campuran dari beberapa jenis pepohonan tanpa adanya tanaman semusim. Kebun kopi biasanya disisipi dengan tanaman dadap (Erythrina) atau kelorwono/gamal (Gliricidia) sebagai tanaman naungan dan penyubur tanah. 2. Agroforestri Kompleks Sistem agroforestri kompleks, adalah suatu sistem pertanian menetap yang melibatkan banyak jenis pepohonan (berbasis pohon) baik sengaja ditanam maupun yang tumbuh secara alami pada sebidang lahan dan dikelola petani mengikuti pola tanam dan ekosistem yang menyerupai hutan. Dalam sistem ini, selain terdapat beraneka jenis pohon, juga tanaman perdu, tanaman memanjat (liana), tanaman musiman dan rerumputan dalam jumlah banyak. Penciri utama dari sistem agroforestri kompleks ini adalah kenampakan fisik dan dinamika di dalamnya yang mirip dengan ekosistem hutan alam baik hutan primer maupun hutan sekunder, oleh karena itu sistem ini dapat pula disebut sebagai agroforest. Berdasarkan jaraknya terhadap tempat tinggal, sistem agroforestri kompleks ini dibedakan menjadi dua, yaitu: kebun atau pekarangan berbasis pohon (home garden) yang letaknya di sekitar tempat tinggal dan agroforest, yang biasanya disebut hutan yang letaknya jauh dari tempat tinggal (De Foresta et al. 2000).