BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Kegiatan Penambangan Pasir Besi
2.1.1 Sumberdaya Pasir Besi Besi merupakan logam kedua yang paling banyak di bumi ini. Karakter dari endapan besi ini bisa berupa endapan logam yang berdiri sendiri namun seringkali ditemukan berasosiasi dengan mineral logam lainnya. Kadang besi terdapat sebagai kandungan logam tanah (residual), namun jarang yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Endapan besi yang ekonomis umumnya berupa Magnetite, Hematite, Limonite dan Siderite. Kadang kala dapat berupa mineral: Pyrite, Pyrhotite, Marcasite, dan Chamosite. Pasir besi sebagai salah satu bahan baku utama dalam industri baja dan industri alat berat lainnya di Indonesia, keberadaannya akhir-akhir ini memiliki peranan yang sangat penting. Permintaan dari berbagai pihak meningkat cukup tajam. Berdasarkan kejadiannya endapan besi dapat dikelompokan menjadi tiga jenis. Pertama endapan besi primer, terjadi karena proses hidrotermal, kedua endapan besi laterit terbentuk akibat proses pelapukan, dan ketiga endapan pasir besi terbentuk karena proses rombakan dan sedimentasi secara kimia dan fisika. Beberapa jenis mineral-mineral biji besi, magnetit adalah mineral dengan kandungan Fe paling tinggi, tetapi terdapat dalam jumlah kecil, sementara hematit merupakan mineral biji utama yang dibutuhkan dalam industri besi(Bambang 2007). 2.1.2 Proses Penambangan Pasir Besi Pasir besi merupakan mineral yang mengendap di sekitar pantai, rawa dan muara sungai, endapannya terdapat pada permukaan sampai ke kedalaman 15 meter. Proses pengambilan pasir besi dilakukan dengan cara membongkar dan mengangkut endapan ke alat pemisah yang bersifat magnet untuk memisahkan pasir besi dari komponen ikutan non logam seperti pasir, tanah dan batuan. Proses pemisahan ini biasa disebut pekerja tambang sebagai processing magnet separator. Magnet separator berkerja memurnikan pasir besi berdasarkan sifat logam yang dimiliki. Bahan galian yang di masukan ke dalam processing akan terpisah menjadi 4 bagian, batu coral, air bersama pasir dan tanah ke 3 bagian ini dibuang dalam bentuk limbah cair dan padat. Pasir besi akan menempel pada 9
magnet akan diambil dan selanjutnya dengan eskalator lalu ditimbun ke penyimpanan atau gudang. Dari gudang pasir besi (stockpile) akan diangkut ke loading area di pelabuhan untuk selanjut dibawa ke tempat pembeli. 2.1.3 DampakNegatif Penambangan Pasir Besi Dalam pandangan fisik aktivitas ekstraksi mineral logam ini terlihat sederhana, tapi tidak demikian dengan daya rusak sesungguhannya. Kerusakan lingkungan yang diakibatkan ekstraksi pasir besi dapat dikelompokan menjadi 2 golongan, pertama kehancuran fisik, kerusakan pada fisik lingkungan yang dapat langsung terlihat terbagi menjadi beberapa bentuk kehancuran berdasarkan tahapan aktivitas ekstraksi 4 : a.
Pengerukan Bahan Galian Endapan pasir besi ini terdapat pada sekitar tepian pulau di sekitar muara
sungai, rawa dan sempadan pantai, proses pengerukan akan membuat kawasan lindung sempadan pantai yang biasanya dalam bentuk hutan mangrove dan cemara akan terbabat habis. Masyarakat yang melihat kondisi pantai ketika tambang beroperasi atau pasca tambang tanpa melihat kondisi pulau sebelum tambang beroperasi, tidak akan dapat melihat perubahan ekstrem yang terjadi pada kawasan ini. Berbeda dengan pandangan mata kepala masyarakat di sekitar tambang yang dapat membandingkan perubahan pantai sebelum dan sesudah tambang beroperasi. Masyarakat yang melihat dengan dua kondisi berbeda ini akan menyadari bahwa sebenarnya proses pengerukan kawasan terluar pulau ini telah menyebabkan pengurangan yang luar biasa terhadap luas pulau tempat tambang pasir besi beroperasi. Pengerukan pasir besi selain memangkas bagian terluas pulau, secara fisik juga merubah bentang alam kawasan rawa dan hutan mangrove serta habitat dan tempat pemijahan ikan, kepiting dan udang. b.
Pemisahan Pasir Besi Pemisahaan pasir besi yang menggunakan sistem magnetik yang boros air,
untuk memisahkan 50.000 m3 pasir besi dibutuhkan air sebanyak 20.000 m3. Untuk memenuhi kebutuhan air ini, perusahaan akan membendung muara sungai 4
Seperti yang dinyatakan dalam judul “ Pencemaran Lingkungan Akibat Aktifitas Pertambangan Dan UUD Tentang Pencemaran”. 2011. www.rahmatbkhant.blogspot.com
10
dan mengalihkan aliran sungai menuju lokasi proccesing melalui pipa besar atau menggunakan pompa. Proses pembendungan sungai ini akan menyebabkan luapan air menggenangi kawasan pertanian, pemukiman dan sentra aktivitas warga lainnya. Dampak lainnya akibat pembendungan ini adalah kerusakan ekosistem yang tidak kasat mata tetapi akan terasa oleh nelayan sekitar. Pemusnahan masal terhadap kekayaan biodiversity yang siklus sidupnya tergolong katadromus, yaitu jenis ikan dan arthopoda yang siklus regenerasinya membutuhkan 2 ekosistem. Ekosistem air tawar dan ekosistem air laut, seperti ikan sidat yang akan mati setelah bertelur di gugusan terumbu karang dalam laut, dan setelah menetas anakannya akan melanjutkan siklus hidup induknya untuk tumbuh dan hidup di ekosistem sungai. Pembendungan sungai akan membuat jenis katadromus ini tidak bisa kembali ke sungai untuk memijah. Pada proses pemurnian pasir besi, bahan yang terambil adalah dalam bentuk butiran pasir besi dan titanium, juga silicon dan magnesium. Jumlah limbah sebagai buangan sisa-sisa pemurnian yang dibuang tergantung dari berapa kadar pasir besi di wilayah endapan yang diambil. Misalnya wilayah Pesisir Barat Bengkulu, dari setiap 50.000 meter persegi pasir besi, akan membuang limbah padat dalam bentuk lumpur pasir dan koral sebanyak 126.000 m3. Deposit pasir besi dan mineral lain yang digali merupakan sedimentasi dari proses geomorfologi jutaan tahun yang lalu, pembongkaran endapan ini akan mengakibatkan stabilitas ikatan komponen kimia yang mengendap terlepas. Proses pengambilan pasir besi oleh magnet separator tidak sepenuhnya dapat mengambil semua pasir besi dan mineral logam lain. Senyawa kimia yang dibongkar dan terikut dalam prosesing dan bukan berunsur logam, akan terlepas bebas ke air dan lingkungan tempat pembuangan limbah. Ikan yang hidup disungai dan pantai sekitar pembuangan limbah ini biasanya akan mati serentak dalam jumlah yang besar, kalaupun ada yang tersisa ikannya ditemukan dalam kondisi kudisan yang memiliki benjolan disekitar badannya. Kementerian lingkungan hidup RI sudah mencoba mengeleminir resiko dari proses ini dengan mengeluarkan permen LH no 21 tahun 2010 tentang ambang batas mutu air pertambangan biji besi. Sayangnya peraturan ini tidak cukup menjamin
11
keselamatan ekosistem sekitar kegiatan penambangan, karena tidak menjangkau identifikasi berbagai jenis komponen kimia yang dilepas,selain itu peraturan ini lebih bersifat pengaturan prosedural fisik. c.
Pengangkutan Pasir Besi Dalam pengangkutan hasil produksi menuju konsumen, pengangkutan pasir
besi biasanya pemanfaatan infrastruktur umum seperti jalan. Pengangkutan dilakukan menggunakan truk – truk pasir berbobot tinggi dan cenderung melebihi kapasitas angkut dan daya dukung jalan. Hal ini menyebabkan kerusakan jalan tidak dapat dihindarkan, akibatnya berdampak pada terganggunya fungsi jalan sebagai barang publik dalam melayani masyarakat pengguna jalan. Jaringan jalan raya merupakan prasarana transportasi darat yang memegang peranan sangatpenting dalam sektor perhubungan, terutama untuk kesinambungan distribusi barang dan jasa. Keberadaan jalan raya sangat diperlukan untuk menunjang laju pertumbuhan ekonomi seiring dengan meningkatnya kebutuhan sarana transportasi yang dapat menjangkau daerah-daerah terpencil. Selain pertumbuhan ekonomi, transportasi jalan juga sering menimbulkan permasalahan dibidang pemeliharaannya. Kenaikan volume kendaraan (trailer, truk, bus, and kendaraan lainnya) yang melebihi kapasitas daya angkutnya juga merupakan salah satu faktor yang menyebabkan jalan relatif cepat rusak sebelum mencapai umur pelayanan jalan yang telah direncanakan. Peningkatan arus lalu lintas kendaraan khususnya kendaraan berat, yang pada umumnya mengangkut bahan mentah seperti kayu dan sawit (yang dilakukan oleh perusahaan – perusahaan industri) sangat berpengaruh besar terjadinya kerusakan jalan. Terlepas dari mutu komponen perkerasan dan pelaksanaan pekerjaan yang mungkin kurang baik, faktor lain yang sangat berpengaruh dan menentukan umur perkerasan jalan adalah perbedaan antara beban rencana as kendaraan dengan beban aktual yang melewati jalan tersebut (Mudjiatko 2006). UNESCAP (2005) menyoroti pentingnya infrastruktur jalan dalam perekonomian wilayah, jalan sebagai salah satu komponen infrastruktur berpengaruh secara signifikan terhadap iklim investasi. Jalan merupakan penghubung antara kegiatan produksi dan distribusi, sehingga ketersediaan jaringan jalan yang baik akan sangat menentukan proses produksi dan distribusi.
12
2.2
Eksternalitas Masalah lingkungan banyak disebabkan oleh kegagalan pasar dan tidak
adanya hak kepemilikan. Konsumsi terhadap barang publik sering menimbulkan apa yang disebut eksternalitas. Eksternalitas diartikan sebagai setiap pengaruh samping dari produksi atau konsumsi yang dirasakan oleh pihak ketiga di luar pasar. Menurut teori ekonomi mikro harga merupakan mekanisme sinyal penting dalam proses pasar. Harga keseimbangan menunjukkan nilai marjinal yang diberikan oleh konsumen dari pemakaian barang dan biaya marjinal yang harus ditanggung oleh perusahaan dalam memproduksikan barang dimaksud. Dalam keadaan biasa, teori ini dapat memprediksi realitas pasar dengan baik. Namun terdapat banyak keadaan di mana harga gagal merefleksikan semua manfaat dan biaya yang terkait dengan transaksi pasar. Kegagalan pasar ini muncul ketika pihak ketiga dipengaruhi oleh produksi atau konsumsi satu barang. Apabila pengaruh kepada pihak ketiga ini mengakibatkan timbulnya biaya, maka pengaruh ini disebut eksternalitas negatif, sedangkan pengaruh kepada pihak ketiga yang bermanfaat disebut eksternalitas positif (Mangkoesoebroto 1993). Kerusakan lingkungan akibat aktivitas orang lain merupakan suatu eksternalitas. Eksternalitas terjadi jika suatu kegiatan menimbulkan manfaat ataubiaya bagi kegiatan atau pihak di luar pelaksana kegiatan tersebut. Eksternalitas ditambah dengan biaya swasta disebut sebagai biaya sosial. Biaya social berkaitan dengan kerusakan lingkungan hidup yang dapat dianggap biaya pembangunan ekonomi (Randal 1987). Masalah utamanya adalah siapa yang harus menanggung biaya sosial tersebut, apakah biaya itu harus ditanggung oleh pihak yang menimbulkan korban atau pihak yang dirugikan, atau pemerintah. Para ekonom menyetujui agar pihak yang menimbulkan kerugian harus dikenai kewajiban untuk mencegah pencemaran atau diwajibkan membayar pajak sebesar kerugian yang ditimbulkannya atau sumber pencemar dipindahkan keluar daerah yang mengalami pencemaran (Suparmoko 1997). Secara grafis terjadinya eksternalitas dapat dilihat pada Gambar1, dimana produksi optimum akan didapatkan pada saat polusi telah diperhitungkan sebagai biaya sosial yang harus dibayarkan dalam penambangan sehingga mengurangi
13
jumlah produksi berdasarkan harga pasar. Dengan kondisi ini tidak ada pihak yang dirugikan dalam sebuah aktivitas penambangan.
Gambar 1 Eksternalitas negatif pada penambangan pasir besi Sumber :Disesuaikan dengan Kahn (1998) 2.3
Jenis – Jenis Eksternalitas Eksternalitas lingkungan dapat dikelompokkan berdasarkan pengaruhnya
terhadap individu dan wilayah. Pencemaran lingkungan atau kerusakan lingkungan dapat dikelompokkan sebagai eksternalitas daerah/lokal seperti terjadi kerusakan air danau, kerusakan tanah, dan polusi udara. Polusi di daerah menjadi kesulitan bagi
penduduk daerah tersebut jika memiliki dua karakteristik,
yaitunon-rivalry and non-exclusion. Adapun polusi dari sungai besar dan kerusakan ekosistem gunung mungkin akan mempengaruhi sejumlah wilayah. Emisi gas rumah kaca merupakan masalah penduduk dunia tanpa memperhatikan dari mana polusi berasal, emisi menyeluruh berdampak kepada semua orang di dunia dan ekosistem secara keseluruhan. Pengelompokkan eksternalitas penting berkenaan dengan masalah otoritas mana yang akan membawahi masalah polusi dan atau kerusakan tersebut (Sankar 2008). Putri et al. (2010) membagi eksternalitas berdasarkan sebab dan dampak yang dimunculkannya serta interaksi agen ekonomi. Eksternalitas berdasarkan interaksi agen ekonomi misalnya adalah sebagai berikut: a.
Dampak Produsen Terhadap Produsen Lain Suatu kegiatan produksi dikatakan mempunyai dampak eksternal terhadap
produsen lain jika kegiatannya itu mengakibatkan terjadinya perubahan atau penggeseran fungsi produksi dari produsen lain. Contoh dampak atau efek yang termasuk dalam kategori ini misalnya suatu proses produksi pengolahan ikan
14
sardine menghasilkan limbah produk yang dimasukkan ke dalam aliran sungai, sehingga produsen ikan yang menggunakan air dari aliran sungai tersebut akan dirugikan karena produksinya akan menurun. b.
Dampak Produsen Terhadap Konsumen Suatu produsen dikatakan mempunyai dampak terhadap konsumen, jika
aktivitasnya merubah atau menggeser fungsi utilitas rumah tangga (konsumen). Contoh kategori dampak ini adalah pencemaran atau polusi. Kategori ini meliputi polusi suara (noise), berkurangnya fasilitas daya tarik alam (amenity) karena pertambangan, serta polusi air, yang semuanya mempengaruhi kenyamanan konsumen atau masyarakat luas. Misalnya adalah dampak penciuman (bau) dari produsen pembuat ikan asin terhadap masyarakat sekitar, atau polusi udara dari produsen pengasapan ikan kepada masyarakat sekitar. c.
Dampak Konsumen Terhadap Konsumen Lain Dampak konsumen terhadap konsumen yang lain terjadi jika aktivitas
seseorang atau kelompok tertentu mempengaruhi atau menggangu fungsi utilitas konsumen yang lain. Dampak atau efek dari kegiatan suatu seorang konsumen yang lain dapat terjadi dalam berbagai bentuk. Misalnya, bisingnya suara alat pemotong rumput tetangga, kebisingan bunyi radio atau musik dari tetangga, asap rokok seseorang terhadap orang sekitarnya dan sebagainya. d.
Dampak Konsumen Terhadap Produsen Dampak konsumen terhadap produsen terjadi jika aktivitas konsumen
mengganggu fungsi produksi suatu produsen atau kelompok produsen tertentu. Dampak jenis ini misalnya terjadi ketika limbah rumah tangga terbuang ke aliran sungai dan mencemarinya sehingga menganggu perusahaan tertentu yang memanfaatkan air seperti nelayan atau perusahaan yang memanfaatkan air bersih. Soemarno (2008) membagi eksternalitas berdasarkan sebab dan dampak yang dimunculkannya adalah sebagai berikut: a.
Eksternalitas Pecuniary Eksternalitas pecuniary atau eksternalitas istimewa terjadi karena perubahan
harga dari beberapa input maupun output. Dengan kata lain, eksternalitas ini terjadi manakala aktivitas ekonomi seseorang mempengaruhi kondisi finansial pihak lain. Misalkan pada saat memutuskan apakah membeli atau tidak membeli
15
sesuatu barang, seseorang biasanya akan mempertimbangkan kebutuhannya sendiri akan barang tersebut, harganya, dan situasi anggarannya. Jarang sekali, dan umumnya hanya dalam kasus monopsoni saja, individu mempertimbangkan bahwa keputusannya untuk membeli barang/jasa dapat berkontribusi terhadap peningkatan kebutuhan produk tersebut dan oleh karena itu menyebabkan harganya meningkat. Biasanya, pengabaian ini dibenarkan, karena pembelian individual atas suatu komoditi merupakan fraksi yang demikian kecilnya dari total jumlah barang yang dijual, sehingga keputusan individu mempunyai dampak yang dapat
diabaikan
terhadap
harga.
Bagaimanapun
keputusan
individual
mempengaruhi harga, bukan hanya seseorang, tetapi juga semua pembeli lainnya, akan mengakibatkan penurunan atau kenaikan harga. Perubahan harga, yang disebabkan oleh keputusan-keputusan individu, disebut sebagai eksternalitas istimewa. Kalau keputusan individu menyebabkan harga naik (kasus yang lazimnya berhubungan dengan peningkatan kebutuhan) maka fenomenanya merupakan suatu eksternal disekonomi yang pecuniary bagi konsumen lainnya. Apabila keputusan individu menyebabkan harga turun (seperti yang dilukiskan dengan keputusan untuk menggabungkan kelompok perjalanan travel yang masih belum mencapai kapasitas penuh) fenomenanya disebut eksternal ekonomi yang pecuniary bagi konsumen lainnyaefisien. Secara simetri, eksternalitas dis-ekonomi yang pecuniar bagi konsumen merupakan eksternalitas yang pecuniar bagi produsen dan eksternalitas ekonomis yang pecuniar bagi konsumen akan merupakan eksternalitas dis-ekonomi bagi produsen. Hal penting yang harus diperhatikan ialah bahwa eksternalitas pecuniar, apakah ekonomis atau disekonomis, tidak menimbulkan problem bagi ekonomi pasar. Berubahnya kebutuhan menyebabkan harga naik atau turun fluktuasi ini menyediakan pertanda esensial bagi tempat-pasar untuk merotasikan barang dan jasa secara efisien (Soemarno 2008). b.
Eksternalitas banyak arah (Multidirectional externality) Ekstenalitas banyak arah adalah eksternalitas yang disebabkan oleh suatu/
sejumlah pihak yang mengakibatkan terganggunya suatu/ sejumlah pihak lain.
16
2.4
Solusi Eksternalitas Fauzi (2010) mengemukakan model dasar untuk membangun prinsip
kebijakan ekonomi dalam memecahkan masalah eksternalitas. Ia mengemukakan contoh hubungan ekonomi antara perusahaan penambang emas dengan usaha perikanan. Meski tidak ada hubungan keputusan ekonomi dari dua unit usaha tersebut, namun keduanya menjadi terkait karena adanya sungai sebagai barang publik. Penambang emas tersebut membuang limbahnya berupa zat merkuri ke dalam sungai yang menjadi sumber mata pencaharian. Pada dasarnya Fauzi (2010) menyatakan untuk meredam eksternalitas negatif, tidak terkecuali dalam kegiatan penambangan terdapat tiga alternatif kebijakan yang dapat digunakan : internalisasi, perpajakan dan memfungsikan pasar. Nicholson (1999) menjelaskan dua pemecahan tradisional terhadap eksternalitas. Yaitu perpajakan dan internalisasi biaya. Dalam menggunakan perpajakan sebagai penyelesaian eksternalitas, Nicholson (1999) berpendapat bahwa pemerintah dapat mengenakan pajak cukai yang sesuai terhadap perusahaan yang menghasilkan disekonomi eksternal. Pajak ini dapat dianggap keluaran atau produk yang dihasilkan oleh sebuah perusahaan menjadi berkurang. Pemecahan klasik terhadap masalah eksternalitas ini pertama kali diajukan oleh A.C. Pigou pada dasawarsa 1920-an. Walaupun telah sedikit dimodifikasi, solusi ini tetap merupakan jawaban standar untuk masalah eksternalitas yang dibuat oleh ahli ekonomi. Masalah utama bagi regulator adalah mendapatkan informasi empiris yang memadai sehingga pajak yang tepat dapat dikenakan secara langsung kepada perusahaan yang menyebabkan polusi. Pemecahan tradisional kedua adalah internalisasi, merupakan upaya untuk “menginternalkan” dampak yang ditimbulkan dengan cara menyatukan proses pengambilan keputusan dalam satu unit usaha. 2.5 Teori Pemanfaatan Sumberdaya Secara Optimal Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar pengambilan sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui menjadi lebih optimal. Syarat pertama yang harus dipenuhi adalah terdapatnya pasar persaingan sempurna dengan tercapai suatu tingkat efisiensi yang optimum pada saat harga barang sama dengan biaya
17
marginalnya. Pada kasus sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui, efisiensi optimum akan dicapai apabila harga barang sumberdaya sama dengan biaya marginal ditambah biaya alternatif. Biaya alternatif adalah kelebihan nilai yang bersedia dibayarkan oleh konsumen dengan nilai lebih besar daripada biaya marginal untuk menghasilkan barang sumberdaya tersebut. Biaya alternatif ini juga disebut manfaat sosial bersih, rent, atau royalty. Syarat kedua dari pengambilan sumberdaya secara optimal menyangkut tingkah laku dari biaya alternatif atau royalty itu sepanjang waktu. Biaya alternatif harus selalu meningkat sebesar tingkat bunga yang berlaku dari waktu kewaktu, atau dengan kata lain bila royalty itu dinyatakan dengan nilai sekarang (present value), maka ia tidak akan berubah sepanjang waktu. Syarat terakhir adalah ekstraksi sumberdaya alam tidak dapat diperbaharui sangat tergantung pada kendala stok yang terbatas. Sebagai dasar dari teori ekstraksi sumberdaya alam tidak terbaharui yang optimal adalah model Hotelling yang dikembangkan oleh Harold Hotelling pada 1931 (Fauzi 2010). Tujuan perusahaan dalam pemanfaatan sumber daya minerba adalah memaksimumkan keuntungan.Tujuan ini dicapai dengan memilih tingkat ekstraksi optimal selama masa izin. Jika ada komponen biaya yang dapat dihindari atau dapat dibebankan kepada pihak lain, maka tanpa regulasi yang efektif komponen biaya tersebut tidak akan ditanggung oleh perusahaan. Hal seperti ini dapat menghasilkan kondisi dimana pemanfaatan sumber daya minerba menguntungkan secara finansial tetapi merugikan secara ekonomi. Untuk sederhananya, jika present value dari penjualan hasil tambang adalah S dan present value dari biaya eksplorasi, eksploitasi, dan reklamasi adalah C, maka present value dari pemanfaatan sumber daya minerba adalah W = S –C Jika W > 0, maka pemanfaatan sumber daya minerba secara finansial layak atau menguntungkan bagi pelakunya.Tetapi apakah hal ini juga menguntungkan secara sosial masih perlu dikaji lebih jauh karena biaya yang diperhitungkan masih belum tentu mencakup seluruh biaya yang ditimbulkan oleh pemanfaatan sumber daya minerba tersebut. Seperti umum terjadi, pemanfaatan sumber daya minerba sering menimbulkan dampak lingkungan, khususnya yang bersifat negatif.
18
Pemerintah sebagai wakil rakyat mempunyai kewajiban untuk memperhitungkan biaya lingkungan dari setiap keputusannya (Soemarno 2008). 2.5.1 Teori Optimasi Sumberdaya Tidak Terbarukan Pada tahun 1970-an adalah suatu periode intensif, dimana kekhawatiran publik terhadap kelangkaan sumberdaya alam. Dipicu dari laporan klub roma mengenai “limits to growth” oleh Deniss Meadows. Ia memprediksi konsekuensi katastropik pada awal abad 21 kecuali jika pertumbuhan ekonomi ditunda, ditambah lagi kondisi menjelang tahun 1973 dengan adanya embargo minyak yang akhirnya menyebabkan krisis. Pada saat itu para ekonom bersiap untuk menerapkan kerangka kerja yang dimulai oleh Hotelling tahun 1931(Gaudet 2007). Cadangan sumberdaya alam adalah sama dengan cadangan kapital fisik yang merupakan aset bagi pemiliknya. Dalam ekonomi pasar, nilai dari aset ini, seperti beberapa aset modal sangat bergantung kepada tingkat pengembalian hasil yang dapat diperoleh pemiliknya. Secara khas, tingkat pengembalian dari aset kapital dapat diuraikan pada tiga komponen : 1. Komponen pertama disebabkan oleh aliran dari produk yang dihasilkan oleh marginal unit dari aset. Ini disebut tingkat dari marginal produktivitas atau tingkat dividen. 2. Komponen kedua disebabkan oleh fakta bahwa karakteristik aset fisik dapat berubah sepanjang waktu. 3. Komponen ketiga adalah tingkat dimana nilai pasar aset dapat berubah sepanjang waktu. Nilai ini mungkin saja negatif, sepanjang nilai ini lebih dari komponen positif lainnya terhadap tingkat pengembalian. Agar pasar aset berada dalam keadaan equilibrium, tingkat pengembalian harus sama dengan tingkat pengembalian yang diharapkan oleh pemilik sumberdaya jika aset tersebut diinvestasikan ditempat lain. Pada contoh aset fisik seperti bangunan, mesin dan peralatan, komponen pertama yang digunakan adalah produk marginal yang diturunkan dari penggunaan setiap masukan dalam proses produksi. Komponen kedua berasal dari depresiasi fisik aset, yang akan mengurangi tingkat pengembalian. Komponen ketiga, adalah pendapatan modal yang dapat diterima dengan menahan aset (Gaudet 2007). 19
Seandainya sekarang aset adalah sumberdaya tidak terbarukan, seperti deposit mineral atau cadangan minyak dalam tanah. Beberapa aset tidak dapat diproduksi kembali, dimana jumlah cadangan sekarang tidak dapat meningkat sepanjang waktu. Keputusan menahan aset tersebut tidak akan mendapatkan hasil selama aset tersebut berada dalam tanah, yang berarti tidak produktif, berbeda dengan mesin atau peralatan, yang dapat menghasilkan aliran jasa. Oleh sebab itu komponen pertama identik dengan nilai nol. Seperti komponen kedua, dimana tidak ada padanan yang tepat pada kasus cadangan sumberdaya, dalam artian kekacauan tidak akan terjadi dari menahan aset didalam tanah. Ini sebabnyalebih baik menahan marginal unit dari aset yang ditempatkan dalam tanah daripada mengekstraksi untuk menjaga kualitas merata dari cadangan yang tersisa dari keadaan memburuk. Komponen kedua ini mencatat tingkat pengembalian yang lebih positif, daripada negatif. Jika p (t) adalah harga sekarang dimana sumberdaya dapat berada dalam pasar segera setelah diekstraksi dan c(t) adalah biaya marginal ekstraksi sumberdaya pada tahun t, maka nilai marginal dalam tanah seharusnya: π (t) = p (t) − c(t), yang mewakili harga aset dari sumberdaya. Jika tingkat bunga adalah r, dan aset keseimbangan pasar mensyaratkan:
Ini adalah rumus Hotelling yang terkenal, yang menyatakan bahwa harga bersih dari sumberdaya alam-harga aset sumberdaya alam-harus naik sama dengan tingkat bunga. Jika biaya marginal dari ekstraksi sumberdaya bebas dari tingkat ekstraksi dan tidak berubah sepanjang waktu, dan hal ini menghasilkan prediksi sebagai perilaku dari nilai pasar sepanjang waktu, yaitu: 1 Jika fungsi diatas benar-benar dapat mewakili kenyataan, kita dapat mengamati harga sumberdaya tidak terbarukan akan meningkat sesuai tingkat bunga sebagai bagian dari biaya dalam harga yang semakin kecil dan semakin kecil sepanjang waktu dan rente kelangkaan semakin tinggi sepanjang waktu (Gaudet 2007).
20
2.6
Pajak Sebagai Instrumen Ekonomi Pengelolaan Pajak merupakan salah satu instrumen ekonomi pengelolaan lingkungan,
namun bukan instrumen untuk melegalisasi pencemaran atau perusakan lingkungan. Pajak lingkungan merupakan salah satu instrumen yang berbasis pasar diantara berbagai instrumen yang tersedia. Di Indonesia, pajak lingkungan telah diatur dalam UU No 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup. Sayangnya implementasi belum banyak dilakukan sehingga pengelolaan lingkungan di Indonesia lebih mengutamakan pendekatan commandand-control (Suedomo 2009). Ketika pajak digunakan sebagai alat internalisasi eksternalitas akan membuat pemerintah kehilangan ketegasan dihadapan masyarakat. Ini disebabkan kehidupan yang tenang tanpa ada gangguan dari adanya eksternalitas negatif adalah hak setiap orang, sementara bagi pasar hal ini adalah peluang untuk melakukan lobi dan transaksi. Analisis cost-benefit menjadi penting dalam hal ini, menimbang mana yang lebih penting antara tujuan dari tiap aspek yang dibahas dengan opportunity cost yang harus dikeluarkan. Misalkan antara
kesehatan/lingkungan
dengan
sisi
perkembangan
ekonomi
dan
kesejahteraan materi masyarakat. Mekanisme Pajak Pigovian bisa menjadi alternatif karena memang dianggap mampu menekan laju peningkatan biaya sosial dimasa depan sementara mekanisme pengendalian langsung bisa diterapkan jika memang sumber penerimaan negeri sudah tangguh dan mandiri (Eirik dan Ronnie 1999). Pajak pada bads akan memberi insentif kepada pembangkit dampak negatif untuk mencari dan menggunakan teknologi yang dapat mengurangi dampak negatif pada lingkungan. Kelemahan utama Pajak Pigou pada barang adalah bahwa pajak ini hanya dapat dikenakan ketika proses produksi tambang masih berjalan, padahal dampak lingkungan dapat berlangsung meskipun tambang telah berhenti. Oleh karena itu, pajak Pigou hanya menangkap kerugian lingkungan yang terjadi selama proses penambangan berlangsung (Suedomo 2009). Para ahli menyarankan untuk menerapkan pajak terhadap pencemaran dan kerusakan, agar tercapai kualitas lingkungan yang diharapkan. Nilai pajak harus sesuai dengan tingkat optimal sosial degradasi (dan tidak mengeliminasi polusi secara menyeluruh). Menerapkan pajak kepada pencemar adalah metode paling
21
tepat untuk mengatasi masalah lingkungan, karena akan mengubah prilaku pencemar secara tidak langsung untuk menaati peraturan pengelolaan limbahnya. Akibatnya jumlah output perusahaan tidak lagi pada tingkat yang mengeluarkan eksternalitas terlalu tinggi, dibandingkan output yang ada dipasar (market equilibrium). Solusi berbasis insentif diusulkan oleh Pigou, yang menyarankan pemberlakuan pajak pada entitas yang membuat eksternalitas (Kahn 1998). Pengendalian produksi dengan sistem pajak merupakan perilaku respon terhadap adanya eksternalitas. Pengendalian produksi dilakukan dengan memperhitungkan biaya lingkungan dan menerapkan kepastian hak. Pengaturan produksi seharusnya dirumuskan, ditetapkan dan diimplementasikan secara bersama-sama oleh para pihak. Situasi ini akan mendorong tumbuh dan berkembangnya komitmen untuk tidak melakukan eksploitasi berlebihan (Suhaeri 2005). Pencemar akan berfikir untuk mengurangi kewajiban pajak mereka, sehingga biaya kerusakan lingkungan dibebankan kepada masyarakat. Ilustrasi dapat dilihat pada Gambar 2 dan diasumsikan biaya pencemaran telah ditentukan. Analisis ini membutuhkan informasi substansial mengenai prosedur pengurangan (abatement) dan teknologi yang dipakai. Marginal damage cost (S) adalah representasi dari beban yang ditanggung oleh masyarakat. Marginal control cost (MC’) adalah atribut yang dilakukan pencemar untuk mengurangi pencemaran. Pada jumlah produksi yang optimumdengan mempertimbangkan pajak tingkat produksi akan berkurang menuju keseimbangan jumlah produksi baru yang lebih kecil, karena biaya produksi mengalami peningkatan dengan penetapan pajak sejumlah tertentu.
Gambar 2 Eksternalitas dengan pajak Sumber : Kahn (1998)
22
Kebijakan pemerintah menetapkan tax, sebagai unit yang dibebankan terhadap polusi yang dibuat pencemar, menyebabkan pencemar akan mengurangi emisi dengan mengurangi jumlah produksi mereka dari x1 ke x2. Dana yang dipungut dari pajak tersebut, dapat dimanfaatkan pemerintah untuk memperbaiki kondisi lingkungan. Pajak pencemaran ini berdasarkan atas prinsip pembayaran oleh pencemar (Kahn 1998). 2.7
Tinjauan Penelitian Sejenis Terdahulu Penelitian mengenai eksternalitas dan laju ekstraksi optimal pada
sumberdaya pertambangan pasir besi masih jarang ditemukan.Beberapa penelitian mengenai eksternalitas memang pernah dilakukan oleh peneliti–peneliti sebelumnya. Syaefuddin (2010) menghitung dampak pengangkutan batu bara melalui jalur sungai di Sungai Barito Kalimantan Selatan. Pengangkutan batubara melalui sungai menggunakan perahu tongkang melalui jalur Sungai Barito di wilayah Kabupaten Batola, ditengarai merusak ekosistem perairan, menimbulkan masalah sosial ekonomi dan pencemaran lingkungan serta memperparah abrasi di perairan sungai tersebut. Penelitian ini menggunakan metode valuasi ekonomi Damage Cost Analysis. Dalam penelitian ini dampak yang ditimbulkan oleh adanya tansportasi tongkang batubara yaitu penurunan jumlah tangkapan nelayan jaring insang hanyut yang berakibat pada penurunan pendapatan nelayan. Jumlah keramba dan KJA dari tahun 2007 sampai 2008 mengalami penurunan yang drastis. Jumlah Produksi keramba turun sebesar 86 % dan produksi KJA turun sebesar 73%. Kecelakaan berdampak pada besarnya kerugian material, seperti kerusakan dermaga dan perahu. Kerugian immaterial agak sulit dihitung, karena terkait dengan emosi dan perasaan manusia. Kerugian immaterial terutama terkait dengan kehilangan jiwa. Dalam penelitian ini kehilangan jiwa, dampak berupa perasaan kehilangan, tertekan,sedih dan sebagainya tidak dinilai karena masih sulit diterapkan. Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Perhubungan Barito Kuala tahun 2009, diperoleh jumlah keluar masuk tongkang batubara menunjukkan bahwa total batubara yang diangkut/keluar selama tahun 2009, baik melalui Rute Banjarmasin-Kelanis maupun Banjarmasin-Teweh sebesar 36.344.000 ton. Menggunakan dasar perhitungan tahun 2009 diperoleh nilai total kerugian akibat 23
pengangkutan batubara adalah Rp. 5.516.800.000. Nilai total tersebut terdiri dari kerugian pada sektor perikanan Rp. 5.335.800.000 dan kerugian karena kecelakaan Rp. 181.000.000. Nilai ini dikaitkan dengan jumlah batubara yang diangkut, yang jumlahnya mencapai 36.344.000 ton per tahun maka dapat ditetapkan nilai kompensasi sebesar Rp. 152 (seratus lima puluh dua rupiah) per ton batubara. Noviana (2011) meneliti tentang dampak penambangan pasir besi di Kabupaten Kaur Sumatera Selatan. Tujuannya mengidentifikasi semua dampak penambangan pasir besi. Diantaranya menyebabkan menurunnya kualitas udara, disebabkan mobilisasi alat berat pada tahap pra konstruksi yang meningkatkan kadar debu dan kebisingan di areal tambang dan pemukiman masyarakat di jalan Way Hawang Sukamenanti. Kondisi wilayah penambangan yang merupakan perairan Sungai Air Numan (Danau Kembar) dengan luasan awal 16,02 hektar dan daratan seluas 163,34 hektar. Kegiatan penggalian akan memperluas bentuk dan struktur danau hingga meluas kira – kira menjadi sebesar 28 hektar. Hal ini sangat membahayakan warga, karena debit air juga akan mengalami perubahan struktur, sehingga ancaman terhadap kekeringan dan banjir meningkat. Aktifitas penambangan juga akan mempengaruhi struktur pantai Way Hawang. Ancaman akan meningkat khususnya pada saat air laut pasang dan gelombang besar serta tinggi, yang akan membuat bentuk pantai berubah. Kegiatan penambangan juga dipastikan akan menurunkan kualitas air tanah (sumur) dan kualitas air permukaan Danau Kembar serta Air Way Hawang. Pengolahan pasir besi membutuhkan banyak air untuk diolah di Magnetic Separator. Dalam proses pengolahan, selain menghasilkan pasir besi juga menghasilkan limbah. Demikian juga dengan kegiatan perawatan alat berat tambang pasir besi dipastikan menghasilkan sisa-sisa pelumas dan oli bekas. Sisa oli bekas ini yang tidak dikelola dengan baik akan mencemari danau kembar dan sumur warga, serta air laut di lingkungan tambang. Pada tahap pengangkutan hasil pemurnian pasir besi, rute jalur angkut perusahaan meliputi jalan Raya Desa Sukamenanti, Desa Way Hawang hingga Pelabuhan Linau. Jalan ini merupakan jalan negara dengan spesifikasi III A atau dapat dilalui kendaraan dengan muatan maksimal 8 ton. Kendaraan pasir besi dari awal konstruksi hingga pengangkutan
24
memiliki rata-rata beban melebihi 8 ton sehingga dipastikan akan merusak jalan. Kegiatan penambangan juga merubah tipe vegetasi seluas 46,03 hektar (total) dari vegetasi daratan seluas 16,02 hektar dan perairan Danau Kembar seluas 30,01 hektar kehilangan vegetasi penutup sehingga dipastikan dapat menimbulkan abrasi. Disamping itu pendapatan masyarakat dari berkebun, seperti kelapa, kelapa sawit, tanaman padi juga ikut hilang. Dampak terhadap biota air merupakan dampak tak langsung akibat kegiatan tambang pasir besi. Sumber dampak berasal dari perubahan kulitas air akibat limbah pengolahan pasir. Sumber lainnya adalah karena tirisan penumpukan pasir besi, air limbah bekas pelumas dari kegiatan bengkel. Indeks keanekaragaman Danau Kembar akan menurun dari kondisi awal 0,8 s/d 2, 48 untuk plankton dan 1,90 s/d 2,98 untuk biota benthos. Kondisi ini akan menurunkan jumlah ikan, udang, kepiting, yang merupakan mata pencaharian tambahan bagi masyarakat selain bertani. Parluhutan (2005) melakukan penelitian mengenai Dampak Penambangan Pasir Laut Terhadap Perikanan Rajungan di Kecamatan Tirtayasa, Kabupaten Serang. Penelitian ini bertujuan menganalisis dampak penambangan pasir laut terhadap perikanan rajungan.Uji T digunakan untuk membandingkan produksi rajungan sebelum dan setelah adanya penambangan pasir laut. Analisis regresi digunakan untuk mengetahui hubungan antara produksi pasir laut dengan produksi rajungan. Aspek ekonomi dinilai dengan valuasi ekonomi melalui metode perubahan surplus produsen. Hasil penelitian menunjukan bahwa produksi rajungan menurun secara signifikan setelah adanya penambangan pasir laut. Lebar karapas dan bobot tubuh juga menurun setelah adanya penambangan pasir laut. Analisis regresi menunjukan bahwa setiap kenaikan produksi pasir laut akan menurunkan produksi rajungan. Terdapat perubahan surplus produsen sebesar Rp.10.046.625.000 setiap tahun. Penambangan pasir laut juga telah berdampak terhadap pola penangkapan nelayan rajungan.
25
Tabel 1Tabulasi Perbedaan Penelitian Ini Dengan Penelitian Terdahulu Peneliti
Judul
Tujuan
Metode
Output
Syaefuddin (2010)
Penentuan Besarnya Kompensasi untuk Pemulihan Lingkungan Akibat Angkutan Batubara di Sungai Barito, Kabupaten Barito Kuala - Kalimantan Selatan DAMPAK NEGATIF PENAMBANGAN PASIR BESI (Studi kasus Dermaga Linau Kecamatan Maje Kabupaten Kaur) Analisis dampak penambangan pasir laut Terhadap perikanan rajungan Di kecamatan tirtayasa kabupaten serang
Menghitung kompensasi dampak pengangkutan batu bara melewati Sungai Barito
Damage cost Analysis
Nilai kompensasi persatuan berat batubara
Mengidentifikasi dampak – dampak penambangan Pasir Besi di Kabupaten Kaur Sumsel
Deskriptif analisis
Dampak – dampak penambangan diberbagai sektor
Menganalisis perbedaan jumlah produksi rajungan sebelum dan sesudah penambangan pasir laut. Dan menganalisis perubahan kesejahteraan nelayan dengan menggunakan surplus konsumen. Mengkaji pola ekstraksi aktual dan biaya ekstraksi. Mengestimasi nilai eksternalitas gangguan perikanan dan fungsi jalan, menetapkan nilai pajak dan laju ekstraksi optimal
Uji perbedaan produksi dan surplus produsen
Tingkat pengaruh pertambangan terhadap morfologi rajungan dan produktivitas nelayan
Valuasi ekonomi, keseimbanga n marginal, maksimisasi keuntungan bersih saat ini
Nilai eksternalitas, nilai pajak, volume ekstraksi optimal dengan dan tanpa eksternalitas
Noviana (2011)
Parluhutan (2005)
Edward (2012)
Eksternalitas negatif dan laju ekstraksi penambangan pasir besi di Kabupaten Tasikmalaya
Pada penelitian ini adalah perluasan dari penelitian yang dilakukan oleh Noviana (2011), Parluhutan (2005) dan Syaefuddin (2010). Penelitian ini menghitung secara ekonomi dampak kerusakan jalan dari lalu lintas kendaraan pengangkutan pasir , perubahan tangkapan nelayan akibat pencemarani. Penelitian ini juga menentukan tingkat pajak yang harus dikeluarkan perusahaan penambangan. Pajak ini kemudian dijadikan internalisasi biaya produksi dalam rangka menentukan laju ekstraki optimal dalam penambangan.
26