4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Lanskap Budaya Lanskap adalah suatu bentang alam dengan karakteristik tertentu yang dapat dinikmati oleh seluruh indera manusia, dimana karakter tersebut menyatu secara harmoni dan alami untuk memperkuat karakter lanskapnya. Menurut Eckbo (1998) lanskap adalah keseluruhan elemen fisik secara kompleks di suatu daerah. Budaya adalah hasil cipta, karya dan karsa manusia dalam mempengaruhi kehidupannya. Adanya sistem nilai sebagai inti dari suatu sistem kebudayaan, menjiwai semua pedoman yang mengatur tingkah laku warga pendukung kebudayaan yang bersangkutan. Pedoman tingkah laku itu adalah adat-istiadat, sistem norma, aturan etika, aturan moral, aturan sopan-santun, pandangan hidup, dan ideologi pribadi. Kebudayaan menurut Rapoport (1969, diacu dalam Nuraini 2004) merupakan suatu kompleks gagasan dan pikiran manusia bersifat tidak teraga. Kebudayaan akan terwujud melalui pandangan hidup (world view), tata nilai (values), gaya hidup (lifestyle) dan akhirnya aktivitasnya (activities) yang bersifat konkrit. Aktivitas ini secara langsung akan mempengaruhi wadah, yaitu lingkungan yang diantaranya adalah ruang-ruang di dalam permukiman. Dengan demikian, sebagai wujud fisik, kebudayaan merupakan hasil dari kompleks gagasan yang tercermin dalam pola aktivitas masyarakatnya. Budaya merupakan faktor utama dalam proses terjadinya bentuk sedangkan faktor lain seperti iklim, letak dan kondisi geografis, politik serta ekonomi merupakan faktor kedua. Hal yang paling tinggi nilainya dalam hidup manusia dan yang secara universal ada dalam tiap kebudayaan di dunia sedikitnya menyangkut lima hal : 1) soal makna hidup manusia; 2) soal makna pekerjaan; 3) persepsi manusia mengenai waktu; 4) soal hubungan manusia dengan alam sekitarnya; 5) soal hubungan manusia dengan sesama manusia (Daeng 2000, diacu dalam Ningrat 2004). Dilihat secara empirik, kebudayaan bersifat dinamis. Tidak ada kebudayaan yang tidak berubah, demikian pula kebudayaan tradisional (Adimihardja, diacu dalam Ningrat 2004). Kebudayaan tradisional masyarakat
5
adat merupakan penjumlahan dari berbagai interaksi harmonis antara alam dan isinya. Kebudayaan manusia dibentuk oleh lingkungan kehidupan mereka, dan sebaliknya mereka juga mempengaruhi lingkungan. Lingkungan dan kebudayaan manusia saling berkaitan secara menyeluruh (Alwi, M. et al. diacu dalam Ningrat 2004). Menurut Nurisjah dan Pramukanto (2001), lanskap budaya didefinisikan sebagai satu model atau bentuk dari lanskap binaan, yang dibentuk oleh suatu nilai budaya yang dimiliki suatu kelompok masyarakat yang dikaitkan dengan sumber daya alam dan lingkungan yang ada pada tempat tersebut. Lanskap tipe ini merupakan hasil interaksi antara manusia dan alam lingkungannya yang merefleksikan adaptasi manusia dan juga perasaan serta ekspresinya dalam menggunakan dan mengelola sumber daya alam dan lingkungan yang terkait erat dengan
kehidupannya.
Hal
ini
diekspresikan
oleh
kelompok-kelompok
masyarakat tersebut dalam bentuk pola permukiman dan perkampungan, pola penggunaan lahan, sistem sirkulasi, arsitektur bangunan, dan struktur lainnya. Lanskap budaya mencerminkan proses dan kegiatan yang berhubungan dengan darat maupun laut seperti permukiman, pertanian, perikanan, pertambangan, kehutanan dan panen yang berkelanjutan. Lanskap budaya dapat dicirikan oleh pola dan interaksi seperti ciri-ciri fisik. Konsep lanskap budaya yang mengenal adanya banyak hubungan antara manusia dengan darat dan laut, agama, seni, spiritual, dan budaya tidak tercermin dalam bukti materi (Buggey dan Mitchell, diacu dalam Longstreth, 2008). Menurut Melnick (1983), terdapat tiga belas komponen lanskap budaya yang telah diidentifikasi sebagai bagian penting dari banyaknya lanskap budaya. Tiga belas komponen tersebut dibagi menjadi tiga kelompok yang meliputi : 1. Konteks a. Sistem organisasi lanskap budaya b. Kategori penggunaan lahan secara umum c. Aktivitas khusus dari penggunaan lahan 2. Organisasi a. Hubungan bentuk bangunan dari elemen mayor alami b. Sirkulasi jaringan kerja dan polanya
6
c. Batas pengendalian elemen d. Penataan tapak 3. Elemen a. Hubungan pola vegetasi dengan penggunaan lahan b. Tipe bangunan dan fungsinya c. Bahan dan teknik konstruksi d. Skala kecil dari elemen e. Makam atau tempat simbolik lainnya f. Pandangan sejarah dan kualitas persepsi
2.2. Permukiman Undang-Undang Republik Indonesia No. 4 tahun 1992 mendefinisikan permukiman sebagai bagian dari lingkungan hidup, di luar kawasan lindung, baik berupa kawasan perkotaan maupun pedesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal yang mendukung perikehidupan dan penghidupan. Permukiman adalah suatu daerah tempat tinggal dan merupakan sumber populasi. Populasi ini dapat menjadi tenaga kerja, memberikan permintaan akan makanan, dan barang keperluan lainnya. Suatu permukiman dapat menjadi lokasi bagi area pendidikan, perdagangan, transportasi, kesehatan, pelayanan perbankan, dan administrasi (Van der Zee 1990). Menurut Patrick (diacu dalam Tulung 1999), permukiman atau ‘settlement’ pada dasarnya merupakan suatu bagian wilayah/tempat dimana penduduk/pemukim tinggal, bekerja, dan beraktivitas, serta berinteraksi atau berhubungan dengan sesama pemukim lainnya dalam suatu masyarakat. Secara umum, menurut Patrick (diacu dalam Tulung 1999), permukiman dicirikan oleh 3 unsur utama: 1) Place, yaitu tempat tinggal, 2) Work, yaitu tempat bekerja atau berkarya, dan 3) Folk, yaitu tempat bermasyarakat. Ketiga unsur tadi harus secara harmoni dan serasi terjalin menjadi satu kesatuan interaksi dalam suatu wilayah permukiman itu. Dalam menyediakan areal permukiman tempat tinggal atau hunian yang baik (place), para pemukim harus diberikan ruang/space dengan bangunan perumahan yang memadai. Demikian juga untuk keperluan
7
kenyamanan hidup mereka, kegiatan bermasyarakat (folk) seperti silaturahim dengan tradisi budaya menjadi salah satu kebutuhan para pemukimnya juga.
2.3. Pola Tata Ruang Permukiman Tradisional Berdasarkan pernyataan Parker dan King (1988, diacu dalam Ningrat 2004) bahwa permukiman tradisional merupakan permukiman yang bentukannya dipengaruhi oleh doktrin, pengetahuan, kebiasaan, adat istiadat dari masa lalu yang diturunkan dari generasi ke generasi berikutnya; yang terdiri dari elemen budaya tradisional. Elemen budaya tradisional dapat berupa bangunan tradisional, kelompok bangunan, struktur, kelompok struktur, distrik bersejarah maupun obyek yang berdiri sendiri, begitu juga dengan tradisi, keyakinan, kebiasaan cara hidup, seni, kerajinan tangan, dan lembaga sosial. Bentuk rumah berkaitan dengan cara manusia mencari keselamatan dengan cara mengatasi atau menghindarkan diri dari gangguan bahaya. Menurut Djauhari Sumintardja (1978), dalam Kompendium Sejarah Arsitektur umumnya rumah tradisional dibangun dengan kolong. Menurut Frick (1996), arsitektur tradisional diciptakan dengan cara yang senantiasa sejak beberapa generasi yang memperlihatkan hubungan manusia dengan sejarahnya dalam bidang bangunan dan permukiman. Arsitektur tradisional yang berkembang menurut sistem kepercayaan turun temurun mempercayai bahwa kehidupan yang ideal harus memiliki keselarasan dengan alam. Segala sesuatu yang menyangkut kehidupan seperti pola hidup, bentuk hunian, material atau bahan, pola permukiman, tata bangunan, orientasi dan sebagainya juga sangat ditentukan oleh sistem kepercayaan atau kosmologi masyarakat tertentu. Masyarakat dalam mendirikan hunian dan membentuk permukimannya masih sangat berpegang teguh pada nilai-nilai adat dan menterjemahkan pandangan hidup mereka dalam membentuk hunian dan permukiman (Nuraini 2004). Bagi masyarakat tradisional, sebuah desa atau kampung merupakan lingkungan tempat hidup, tempat mereka melakukan kegiatan perekonomian, sosial dan juga aktivitas keagamaan. Beberapa kampung atau desa tradisional secara tegas benar-benar mempertimbangkan daerah yang dianggap sakral sebagai pusat kosmos sehingga dalam pengaturan pola huniannya selalu diikuti oleh
8
aturan 3 klasifikasi ruang seperti ‘timur-barat’, ‘atas-bawah’ dan ‘pria-wanita’. Ketiga klasifikasi ini memiliki makna tertentu bagi masyarakat yang bersangkutan. Selain itu, orientasi pada bangunan hunian masyarakat juga mempunyai makna dan pengaruh terhadap seting kehidupannya dan akan diterjemahkan dalam gaya hidup (lifestyle) masyarakat setempat (Harahap 1999, diacu dalam Nuraini 2004).
2.4. Pelestarian Lanskap Budaya Kegiatan pelestarian lanskap budaya adalah kegiatan konservasi. Konservasi diartikan sebagai segenap proses pengelolaan suatu tempat agar makna kultural yang dikandungnya terpelihara dengan baik. Konservasi dapat meliputi seluruh kegiatan pemeliharaan sesuai dengan situasi dan kondisi setempat. Pelestarian lanskap sejarah dan budaya dapat didefinisikan sebagai usaha manusia untuk memproteksi atau melindungi peninggalan atau sisa-sisa budaya dan sejarah terdahulu yang bernilai dari berbagai perubahan yang negatif atau yang merusak keadaannya dan nilai yang dimilikinya. Pelestarian suatu benda dan juga suatu kawasan yang bernilai budaya dan sejarah ini, pada hakekatnya bukan hanya untuk melestarikannya, tetapi terutama untuk menjadi alat dalam mengolah transformasi dan revitalisasi dari kawasan tersebut (Nurisjah dan Pramukanto 2001). Menurut Nurisjah dan Pramukanto (2001), secara lebih spesifik, pelestarian lanskap yang terkait dengan aspek budaya dan sejarah memiliki kepentingan untuk : 1. Mempertahankan warisan budaya/sejarah yang memiliki karakter spesifik suatu kawasan. 2. Menjamin terwujudnya ragam dan kontras yang menarik dari suatu areal atau kawasan tertentu yang relatif modern akan memiliki kesan visual dan sosial yang berbeda. 3. Memenuhi kebutuhan psikis manusia, melihat, dan merasakan eksistensi dalam alur kesinambungan masa lampau, masa kini, masa depan yang tercermin dalam obyek/karya taman/lanskap untuk selanjutnya dikaitkan
9
dengan harga diri, percaya diri, dan sebagai identitas dari suatu bangsa atau kelompok masyarakat tertentu. 4. Menjadikan motivasi ekonomi, peninggalan budaya dan sejarah memiliki nilai yang tinggi apabila dipelihara dengan baik, terutama dalam mendukung perekonomian kota/daerah bila dikembangkan sebagai kawasan tujuan wisata (cultural and historical type of tourism). 5. Menciptakan simbolisme sebagai manifestasi fisik dari identitas dari suatu kelompok masyarakat tertentu. Berdasarkan pernyataan Nurisjah dan Pramukanto (2001), bahwa upaya pengelolaan untuk pelestarian lanskap budaya dan sejarah pada umunya dapat dilakukan dengan beberapa tindakan, antara lain : 1. Adaptive
Use
(penggunaan
adaptif),
yaitu
mempertahankan
dan
memperkuat lanskap dengan mengakomodasikan berbagai penggunaan, kebutuhan, dan kondisi masa kini. 2. Rekonstruksi, yaitu pembangunan ulang suatu bentuk lanskap, baik secara keseluruhan atau sebagian dari tapak asli. 3. Rehabilitasi, yaitu tindakan yang dilakukan untuk memperbaiki utilitas, fungsi, atau penampilan suatu lanskap sejarah. Dalam kasus ini maka keutuhan lanskap dan strukturnya secara fisik maupun visual serta nilai yang terkandung harus dipertahankan. 4. Restorasi, yaitu suatu model pendekatan tindakan pelestarian yang paling konservatif yaitu pengembalian penampilan lanskap pada kondisi aslinya dengan upaya pengembalian penampilan sejarah dari lanskap ini sehingga apresiasi terhadap lanskap tersebut tetap ada. 5. Stabilisasi, yaitu suatu tindakan atau strategi dalam melestarikan karya dan obyek lanskap yang ada melalui upaya memperkecil pengaruh negatif (seperti gangguan iklim, deterioration, dan suksesi alami) terhadap tapak. 6. Konservasi, yaitu tindakan yang bertujuan hanya untuk melestarikan apa yang ada saat ini, mengendalikan tapak sedemikian rupa untuk mencegah penggunaan lahan yang tidak sesuai kemampuan dan daya dukung serta mengarahkan perkembangan di masa depan.
10
7. Interpretasi,
yaitu
tindakan
pelestarian
yang
mendasar
untuk
mempertahankan lanskap asli/alami secara terpadu dengan usaha-usaha yang juga dapat menampung kebutuhan-kebutuhan dan kepentingan baru serta berbagai kondisi yang akan dihadapi masa kini dan masa yang akan datang. 8. Periode setting, replikasi, imitasi, yaitu menciptakan suatu tipe lanskap pada tapak tertentu yang non original site. 9. Release, yaitu suatu strategi pengelolaan yang memperbolehkan suksesi alam yang asli. 10. Replacement (penggantian), yaitu substitusi atas suatu komuniti biotik dengan lainnya.