BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Eritropoiesis Eritrosit baru diproduksi oleh tubuh setiap hari melalui proses eritropoiesis yang kompleks. Eritropoiesis berjalan dari sel induk melalui sel progenitor CFUGEMM (colony-forming unit granulocyte, erythroid, monocyte and megakariocyte / unit pembentuk koloni granulosit, eritroid, monosit dan megakariosit), BFUE(burst-forming unit erythroid / unit pembentuk letusan eritroid) dan CFU eritroid (CFU U) menjadi prekusor eritrosit yang dapat dikenali pertama kali di sumsum tulang, yaitu pronormoblas. Pronormoblas adalah sel besar dengan sitoplasma biru tua, dengan inti di tengah dan nukleoli, serta kromatin yang sedikit menggumpal. (Setiawan, L, 2005) Pronormoblas menyebabkan terbentuknya suatu rangkaian normoblas yang makin kecil melalui sejumlah pembelahan sel (basofilik eritroblas – polikromatik eritroblas – ortokromatik eritroblas). Normoblas ini juga mengandung hemoglobin yang semakin banyak (berwarna merah muda) dalam sitoplasma; warna sitoplasma makin biru pucat sejalan dengan hilangnya RNA dan aparatus yang mensintesis protein, sedangkan kromatin inti menjadi semakin padat. Inti akhirnya dikeluarkan dari normoblas lanjut (ortokromatik eritroblas) di sumsum tulang dan menghasilkan stadium Retikulosit yang masih
4
5
mengandung sedikit RNA ribosom dan masih mampu mensintesis hemoglobin. (Setiawan, L, 2005) Sel retikulosit sedikit lebih besar daripada eritrosit matur, berada selama 1 – 2 hari sebelum menjadi matur, terutama berada di limpa, saat RNA hilang seluruhnya. Eritrosit matur berwarna merah muda seluruhnya, bentuknya adalah cakram bikonkaf tak berinti. Satu pronormoblas biasanya menghasilkan 16 eritrosit matur. Sel darah merah berinti (normoblas) tampak dalam darah apabila eritropoiesis terjadi di luar sumsum tulang (eritropoiesis ekstramedular) dan juga terdapat pada penyakit sumsum tulang. Normoblas tidak ditemukan dalam darah tepi manusia yang normal. (Setiawan, L, 2005) Terjadi mekanisme stimulasi yang kuat pada kasus-kasus anemia berat oleh eritropoetin terhadap sumsum tulang untuk meningkatkan produksi dan pelepasan retikulosit lebih dini. Hal ini akan menyebabkan waktu pematangan retikulosit menjadi eritrosit di dalam darah tepi bertambah lama, dari 1 – 2 hari menjadi 2 – 3 hari. Maka untuk mendapatkan gambaran kemampuan yang sebenarnya dari sumsum tulang untuk memproduksi eritrosit, maka hitung retikulosit pada kasus-kasus seperti ini perlu dilakukan koreksi lebih lanjut (koreksi kedua), yaitu koreksi dengan lama waktu pematangan yang dibutuhkan dibagi dua. Nilai normal retikulosit dalam hitung jumlah (%) yaitu 0,5 – 2,0 % dari jumlah eritrosit, sehingga didapatkan nilai normal yang mutlak adalah 25 – 85 x 103 /mm3 atau 109 sel/L. (Kosasih, E.N. dan A.S. Kosasih, 2008)
6
1. Eritropoietin Eritropoiesis diatur oleh hormon eritropoietin, yaitu suatu polipeptida yang sangat terglikosikasi yang terdiri dari 165 asam amino dengan berat molekul 30400. Normalnya 90% hormon ini dihasilkan di sel interstisial peritubular ginjal dan 10% nya di hati dan tempat lain. Tidak ada cadangan yang sudah dibentuk sebelumnya, dan stimulus pembentukan eritropoietin adalah tekanan oksigen (O2) dalam jaringan ginjal. Karena itu produksi eritropoietin meningkat pada kasus anemia, jika karena sebab metabolik atau struktural, hemoglobin tidak dapat melepaskan O2 secara normal, jika O2 atmosfer rendah atau jika gangguan fungsi jantung, paru atau kerusakan sirkulasi ginjal mempengaruhi pengiriman O2 ke ginjal. (Setiawan, L, 2005) Eritropoietin merangsang eritropoiesis dengan meningkatkan jumlah sel progenitor yang terikat untuk eritropoiesis. BFUE dan CFUE lanjut yang mempunyai
reseptor
eritropoietin
terangsang
untuk
berproliferasi,
berdiferensiasi, dan menghasilkan hemoglobin. Proporsi sel eritroid dalam sumsum tulang meningkat dan dalam keadaan kronik, terdapat ekspansi eritropoiesis secara anatomik ke dalam sumsum berlemak dan kadang–kadang ke lokasi ekstramedular. Rongga sumsum tulang pada bayi dapat meluas ke kortikal sehinga menyebabkan deformitas tulang dengan penonjolan tulang frontal dan protrusi maksila. Sebaliknya peningkatan pasokan O 2 ke jaringan (akibat peningkatan massa sel darah merah atau karena hemoglobin dapat lebih mudah melepaskan O2
dibanding
normalnya)
menurunkan dorongan
eritopoietin. Kadar eritropoietin plasma dapat bermanfaat dalam penegakan
7
diagnosa klinis. Kadar eritropoietin tinggi bila tumor yang mensekresi eritropoietin menyebabkaan polisitemia, tetapi kadarnya rendah pada penyakit ginjal berat atau polisitemia rubra vera. (Setiawan, L, 2005) 2. Perkembangan dan Pematangan Retikulosit Selama proses eritropoiesis sel induk eritrosit yang paling tua atau latestage erytroblasts akan mengalami pematangan dengan menghilangnya inti sehingga menjadi retikulosit. Dalam periode beberapa hari proses pematangan ini ditandai dengan: (1) Penyempurnaan pembentukan hemoglobin dan protein lainya seperti halnya SDM yang matang; (2) Adanya perubahan bentuk dari besar ke lebih kecil, uniform dan berbentuk biconcave discoid; dan (3) Terjadinya degradasi protein plasma dan organel internal serta residual protein lainnya. Bersamaan dengan adanya perubahan intrinsik ini retikulosit akan bermigrasi ke sirkulasi darah tepi. Namun demikian populasi retikulosit ini bukanlah sesuatu yang homogen oleh karena adanya tingkatan maturasi yang berbeda dari retikulosit tersebut. Dengan meningkatnya rangsangan eritropoiesis seperti adanya proses perdarahan atau hemolisis, jumlah dan proporsi dari sel retikulosit muda akan meningkat baik di dalam sumsum tulang maupun didarah tepi. Ada perbedaan masa hidup antara retikulosit normal dan retikulosit muda (imatur) yaitu membran retikulosit imatur akan lebih kaku dan tidak stabil, disamping itu retikulosit imatur ini masih mempunyai reseptor untuk protein
8
adesif sedangkan retikulosit normal telah kehilangan reseptor ini begitu sel ini bermigrasi ke perifer.(Suega, K, 2010) Suatu studi memperkirakan lama waktu tinggal retikulosit di sumsum tulang sebelum memasuki sirkulasi darah tepi bervariasi antara 17 jam pada tikus normal sampai 6,5 jam pada tikus yang menderita anemia. Walaupun retikulosit baik di sumsum tulang maupun di darah tepi bisa dipisahkan dari kontaminasi sel yang sama dari kompartemen yang berbeda akan tetapi pemisahan ini tidak sempurna sekali sehingga metode untuk membedakan masih perlu disempurnakan untuk mengetahui dengan tepat fungsi sitologis dan maturasi dari retikulosit. Diperkirakan waktu pematangan retikulosit adalah berkisar antara 2 - 5 jam, tergantung metode yang dipakai, spesies yang dipelajari dan juga tingkat stimulasi proses yang menentukan kapan retikulosit keluar dari sumsum tulang ke sirkulasi masih belum jelas diketahui. Ada studi yang mendapatkan bahwa perbedaan spesies dapat menentukan perbedaan jumlah retikulosit yang beredar didarah tepi, dimana pada tikus dan babi didapatkan jumlah retikulosit yang banyak sedang pada manusia, anjing dan kucing jumlahnya sedikit bahkan pada kuda hampir tidak didapatkan atau sedikit sekali. Perbedaan yang unik ini bisa dikenali dengan metode manual dengan pengecatan supravital seperti metode biru metilen. (Suega, K, 2010) Retikulosit yang sangat muda (imatur) adalah retikulosit yang dilepaskan ke darah tepi akibat adanya rangsangan akibat anemia dan hal ini disebut stressed reticulocyte. Retikulosit jenis ini mempunyai masa hidup yang lebih pendek apabila di tranfusikan ke dalam resipien normal dan secara umum
9
dianggap sel ini tidak normal karena tidak melalui perkembangan sel yang normal sampai ke divisi terminal dari perkembangan retikulosit. Sebuah studi ingin meneliti masa hidup dari retikulosit normal dan retikulosit stress ini baik pada pasien normal maupun pasien anemia. Eksperimen ini mendapatkan data: (1) Masa hidup retikulosit akan normal jika retikulosit normal diinjeksikan ke binatang yang non anemik; (2) Oleh karena gangguan intrinsik dari retikulosit stress, akan menyebabkan sel ini lebih cepat dibersihkan dari sirkulasi oleh resepien normal dengan kecepatan yang lebih besar dibandingkan dengan resepien yang anemia; dan (3) Baik retikulosit normal maupun retikulosit yang stress akan disingkirkan dengan kecepatan yang bertambah dengan berlalunya waktu pada penderita yang anemia. Secara keseluruhan data ini menunjukkan, pada saat proses anemia berjalan akan terjadi proses adaptasi yang memungkinkan sel yang diproduksi selama anemia tersebut akan beredar lebih lama pada binatang yang dibuat anemi dibandingkan dengan binatang yang normal. Studi yang lain juga mendukung hal ini dimana didapatkan bahwa peningkatan masa hidup retikulosit pada binatang yang anemia bukan disebabkan oleh adanya overload sistem retikoluendotelial akan tetapi hal ini diduga oleh adanya proses adaptasi lien yang menurunkan aktivitas penghancurannya terhadap retikulosit yang stress. (Suega, K, 2010) Besi digunakan untuk mensintesis hemoglobin oleh sel induk eritroid di sumsum tulang pada proses eritropoiesis yang pada akhirnya bermuara dengan pelepasan retikulosit ke sirkulasi, dan akan memberi sinyal untuk aktivitas
10
eritropoiesis 3 - 4 hari setelah besi terpakai untuk membuat hemoglobin. Oleh karena itu CHr/Reticulocyte Hemoglobin Content (rerata kadar hemoglobin dalam retikulosit) dianggap dapat merefleksikan ketersediaan besi selama pembentukan
SDM,
dan
parameter
retikulosit
ini
menggambarkan
keseimbangan antara besi dan eritropoiesis dalam 28 jam terakhir. Peneliti akhir-akhir ini banyak mengindikasikan bahwa CHr merupakan indikator untuk ketersediaan besi selama pemberian terapi rekombinan eritropoietin manusia. Perubahan kadar hitung retikulosit awal hanyalah menggambarkan keluarnya retikulosit muda dari sumsum tulang dan bukan merupakan tanda adanya ekspansi dari proses eritropoeisis dan dengan alasan ini tentu lebih penting untuk mengetahui respon eritropoiesis terhadap pemberian besi dibandingkan hanya melihat retikulosit indeks saja. (Suega, K, 2010) 3. Faktor–faktor yang Mengganggu Respons Retikulosit Normal terhadap Anemia a.
Penyakit sumsum tulang; misalnya hipoplasia, infiltrasi oleh karsinoma, limfoma, mieloma, leukimia akut, tuberkulosis.
b.
Defisiensi besi, vitamin B12 atau folat
c.
Tidak adanya eritropoietin; misalnya penyakit ginjal
d.
Berkurangnya pasokan O2 ke jaringan; misalnya miksedema, defisiensi protein
e.
Eritropoiesis
inefektif,
misalnya
thallasemia
mayor,
anemia
megaloblastik, mielodisplasia, mielofibrosis, anemia diseritropoieis kongenital.
11
f.
Penyakit keganasan atau radang kronik. (Setiawan, L, 2005)
B. Anemia 1. Definisi Keseimbangan antara pelepasan eritrosit ke dalam sirkulasi dan keluarnya eritrosit dari sirkulasi dipertahankan secara ketat, sehingga dalam keadaan normal kadar hemoglobin di peredaran darah relatif konstan. Bila keluarnya eritrosit dari sirkulasi maupun penghancuran eritrosit meningkat tanpa diimbangi oleh peningkatan produksi atau pelepasan eritrosit dalam sirkulasi menurun, demikian pula bila kedua proses tersebut terjadi bersama– sama akan menyebabkan anemia. (Kresna, S.B., 1989) Anemia bukan merupakan diagnosa akhir dari suatu penyakit akan tetapi selalu merupakan salah satu gejala dari suatu penyakit dasar. Oleh karenanya apabila kita telah menentukan adanya anemia maka menjadi kewajiban kita selanjutnya menentukan etiologi dari anemianya. (Supandiman, Iman, 1997) 2. Klasifikasi Klasifikasi diadakan dengan maksud untuk memudahkan menegakkan diagnosis, dengan demikian dapat merupakan pedoman guna mencari penyakit yang sesungguhnya. (Darmawan, I, 1996) Anemia Defisiensi Besi Anemia Defisiensi besi adalah anemia yang terjadi akibat kekurangan zat besi dalam darah, artinya konsentrasi hemoglobin dalam darah berkurang karena terganggunya pembentukan sel-sel darah merah akibat kurangnya kadar zat besi dalam darah. Keadaan ini ditandai dengan menurunnya saturasi
12
transferin, berkurangnya kadar feritin serum atau hemosiderin sumsum tulang. Secara morfologis keadaan ini diklasifikasikan sebagai anemia mikrositik hipokrom disertai penurunan kuantitatif pada sintesis hemoglobin. Defisiensi besi merupakan penyebab utama anemia. Wanita usia subur sering mengalami anemia, karena kehilangan darah sewaktu menstruasi dan peningkatan kebutuhan besi sewaktu hamil. (Masrizal, 2007) Penyebab Anemia Defisiensi Besi adalah : a. Asupan zat besi Rendahnya asupan zat besi sering terjadi pada orang-orang yang mengkonsumsi bahan makananan yang kurang beragam dengan menu makanan yang terdiri dari nasi, kacang-kacangan dan sedikit daging, unggas, ikan yang merupakan sumber zat besi. Gangguan defisiensi besi sering terjadi karena susunan makanan yang salah baik jumlah maupun kualitasnya yang disebabkan oleh kurangnya penyediaan pangan, distribusi makanan yang kurang baik dan kebiasaan makan yang salah. b. Penyerapan zat besi Diet yang kaya zat besi tidaklah menjamin ketersediaan zat besi dalam tubuh karena banyaknya zat besi yang diserap sangat tergantung dari jenis zat besi dan bahan makanan yang dapat menghambat dan meningkatkan penyerapan besi. c. Kebutuhan meningkat Kebutuhan akan zat besi akan meningkat pada masa pertumbuhan seperti pada bayi, anak-anak, remaja, kehamilan dan menyusui. Kebutuhan
13
zat besi juga meningkat pada kasus-kasus pendarahan kronis yang disebabkan oleh parasit. d. Kehilangan zat besi Kehilangan zat besi melalui saluran pencernaan, kulit dan urin disebut kehilangan zat besi basal. Pada wanita selain kehilangan zat besi basal juga kehilangan zat besi melalui menstruasi. Di samping itu kehilangan zat besi disebabkan pendarahan oleh infeksi cacing di dalam usus. 3. Tanda dan Gejala Tanda – tandanya meliputi : a) Kepucatan membran mukosa b) Sirkulasi yang hiperdinamik dapat menunjukkan takikardia, nadi kuat, kardiomegali, dan bising jantung. c) Tanda spesifik yaitu koilonikia untuk defisiensi besi, ikterus untuk anemia hemolitik atau megaloblastik, dan lainnya. (Setiawan, L, 2005) Gejala meliputi : a) Nafas pendek, khususnya pada saat berolahraga, kelemahan, dan sakit kepala. b) Pada pasien yang tua, mungkin ditemukan gejala gagal jantung, angina pektoris, atau kebingungan. c) Gangguan penglihatan akibat pendarahan retina. (Setiawan, L, 2005)
14
C. Menstruasi 1. Definisi Menstruasi adalah proses alamiah yang terjadi pada perempuan, yaitu perdarahan yang teratur dari uterus sebagai tanda bahwa organ kandungan telah berfungsi matang. Umumnya remaja yang mengalami menarche adalah pada usia 12 – 16 tahun. Periode ini akan mengubah beberapa aspek, misalnya psikologi dan lainnya. Siklus menstruasi normal terjadi setiap 22 – 35 hari, dengan lamanya menstruasi 3 – 7 hari (Kusmiran, E, 2012). Jumlah kehilangan volume darah pada proses menstruasi adalah sekitar 50-60 ml. Saat menstruasi terjadi pengeluaran darah dari dalam tubuh. Hal itu menyebabkan zat besi yang terkandung dalam hemoglobin juga ikut terbuang. Lama menstruasi yang melebihi normal dapat menyebabkan darah yang dikeluarkan tubuh semakin banyak, sehingga kemungkinan kehilangan zat besi juga semakin tinggi. (Arumsari, E, 2008) Kurangnya zat besi dalam darah mengakibatkan konsentrasi hemoglobin dalam darah berkurang karena terganggunya pembentukan sel-sel darah merah akibat kurangnya kadar zat besi dalam darah. (Masrizal, 2007). Penelitian sebelumnya, menstruasi menurunkan kadar hemoglobin antara 0,3-1,7 g %. 2. Fisiologi Menstruasi a. Stadium menstruasi Berlangsung selama 3 – 7 hari. Pada saat itu endometrium (selaput rahim) dilepaskan sehingga timbul perdarahan. Hormon – hormon ovarium berada pada kadar paling rendah.(Kusmiran, E, 2012)
15
b. Stadium proliferasi Berlangsung pada 7 – 9 hari. Dimulai sejak berhentinya darah menstruasi sampai hari ke-14. Setelah menstruasi berakhir, dimulailah fase proliferasi di mana terjadi pertumbuhan dari desidua fungsionalis yang mempersiapkan rahim untuk perlekatan janin. Endometrium pada fase ini tumbuh kembali. Antara hari ke-12 sampai 14 dapat terjadi pelepasan sel telur dari indung telur (disebut ovulasi). (Kusmiran, E, 2012) c. Stadium sekresi Berlangsung 11 hari, yaitu masa sesudah terjadinya ovulasi. Hormon progesteron dikeluarkan dan mempengaruhi pertumbuhan endometrium untuk membuat kondisi rahim siap untuk implantasi (perlekatan janin ke rahim). (Kusmiran, E, 2012) d. Stadium premenstruasi Berlangsung selama kurang lebih 3 hari, dimana ada infiltrasi sel – sel darah putih, bisa sel bulat. Stroma mengalami disintegrasi dengan hilangnya cairan dan sekret sehingga akan terjadi kolaps dari kelenjar dan arteri. Fase ini menimbulkan vasokontriksi, kemudian pembuluh darah itu berelaksasi dan akhirnya pecah. (Kusmiran, E, 2012) D. Pemeriksaan Laboratorium Hitung Jumlah Retikulosit Retikulosit mengandung sebagian RNA yang masih tertinggal, adanya RNA ini hanya dapat dinyatakan dalam eritrosit yang masih hidup; eritrosit yang telah mengering pada kaca objek atau yang telah mati tidak dapat dipulas. Pemulasan ini disebut pulasan vital. (Gandasoebrata, R, 2007)
16
Pulasan vital dapat digunakan : 1. Brilliantcresylblue sebagai larutan 1% dalam metilalkohol atau sebagai larutan 1% dalam NaCl 0,85%, dalam pembuatannya dibutuhkan sedikit pemanasan. 2. Methylenblue yang baru 0,5 g; NaCl 0,8 g; K-oksalat 1,4 g; aquadest 100 ml. Larutan ini digunakan seperti larutan Brilliantcresylblue dalam larutan garam. (Gandasoebrata, R, 2007) Sebelum dipakai larutan diatas haruslah disaring terlebih dahulu. Pulasan vital dapat digunakan untuk membuat sediaan basah atau sediaan kering. a. Sediaan Basah Teknik ini dikerjakan dengan memerlukan waktu lebih singkat sehingga membuat
cara
basah
lebih
efisien
dibandingkan
cara
kering.
Kekurangannya yaitu sediaan harus diperiksa segera, sehingga tidak ada waktu untuk menunda, selain itu retikulosit akan tampak berjalan atau bergerak yang mengakibatkan sel yang telah terhitung kemungkinan akan terhitung kembali. Prosedur kerjanya yaitu : 1) Meletakkan 1 tetes larutan Brilliantcresylblue dalam alkohol di tengahtengah kaca objek dan membiarkannya sampai kering. 2) Meletakkan setetes kecil darah di atas bercak kering dan segera mencampurnya. 3) Menutup campuran tersebut dengan kaca penutup; lapisan darah dalam sediaan darah ini harus benar-benar tipis.
17
4) Membiarkannya beberapa menit lalu memasukkan ke dalam cawan petri yang berisi kertas saring yang basah. 5) Memeriksa dengan mikroskop perbesaran objektif 100 kali dan menghitung retikulosit dalam 1000 eritrosit. (Gandasoebrata, R, 2007) b. Sediaan kering Penggunaan sediaan kering dalam kegiatan di laboratorium kesehatan di Indonesia dapat digunakan sebagai cara yang cukup baik dan dapat diperiksa kapan saja dalam pemeriksaan jumlah retikulosit. Bila untuk kebutuhan pemeriksaan jumlah retikulosit rutin dan checkup dengan jumlah sampel yang banyak sangat baik digunakan karena mempersingkat waktu persiapan pasien. Prosedur kerjanya yaitu : 1) Mencampurkan darah EDTA dengan larutan pewarna Methylenblue perbandingan 1:1 ke dalam tabung reaksi dengan. 2) Menginkubasi campuran tersebut dalam waterbath pada suhu 37° C selama 10 menit. 3) Dari campuran tersebut diambil 1 tetes untuk membuat sediaan apus. Campuran tersebut juga dapat digunakan untuk sediaan basah, yaitu dengan mengambil 1 tetes di kaca objek kemudian ditutup oleh kaca penutup. 4) Memeriksa dengan mikroskop perbesaran 1000x dan menghitung retikulosit dalam 1000 eritrosit. (Gandasoebrata, R, 2007) Baik sediaan basah maupun kering haruslah dibuat tipis benar, karena eritrosit harus tampak terpisah satu dari yang lain. Sediaan basah sangat cocok
18
untuk pemeriksaan laboratorium, karena sangat cepat. Namun jika ingin menyimpan sediaan retikulosit, maka harus digunakan sediaan kering. (Gandasoebrata, R, 2007) Rumus prosentase jumlah retikulosit yaitu : Jumlah retikulosit terhitung × 100% 1000 eritrosit
Sumber Kesalahan Pemeriksaan Retikulosit 1. Tahap Pra Analitik Pengambilan sampel darah vena a. Menggunakan jarum dan spuid yang basah b. Menggunakan ikatan pembendung terlalu kuat dan lama, sehingga menyebabkan hemokonsentrasi. c. Terjadinya bekuan dalam spuid karena lambatnya kerja. d. Terjadinya bekuan dalam botol karena darah tidak tercampur tepat dengan antikoagulan. (Gandasoebrata, R, 2007) 2. Tahap Analitik Pembuatan Darah Apus Faktor – faktor yang mempengaruhi ketidakberhasilan dalam pembuatan darah apus yaitu : a. Darah yang cepat menggumpal atau mengering saat diteteskan pada kaca objek. b. Kurangnya pengalaman dan kesabaran praktikan. c. Ketebalan darah apus mempengaruhi sel.
19
d. Lama waktu dalam pewarnaan juga dapat berpengaruh, karena daya serap jaringan berbeda. e. Cat yang tidak disaring akan membentuk endapan pada eritrosit. f. Pemanasan smear dapat merusak retikulum, sehingga akan tampak seperti batang dan granula. g. Perubahan pH cat ke arah asam akan menyebabkan retikulum berbentuk granula halus, sedangkan perubahan ke arah alkali akan menyebabkan retikulum berbentuk noktah. 3. Tahap Pasca Analitik Pada tahap ini didapatkan hasil penghitungan retikulosit, namun perlu diperhatikan juga hal-hal yang dapat menimbulkan kesalahan penghitungan sebagai berikut : a. Pengendapan cat pada eritrosit akan tampak sebagai retikulosit, sehingga kemungkinan terhitung sebagai retikulosit. b. Benda inklusi pada eritrosit ditafsirkan sebagai retikulosit, misalnya basofilik stipling.
20
E. Kerangka Teori
Anemia
Lama pengecatan
Teknik pembuatan apus
Menstruasi
Jumlah retikulosit
Ketelitian perhitungan
Perubahan pH cat pewarna
F. Kerangka Konsep
Sebelum dan Sesudah Menstruasi
Jumlah retikulosit
G. Hipotesis Ada perbedaan jumlah retikulosit antara sebelum menstruasi dan sesudah menstruasi.