BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Teori Tentang Hukum Berbicara
tentang
hukum
pada
umumnya
yang
dimaksudkan adalah keseluruhan kumpulan peraturan-peraturan atau kaidah-kaidah dalam suatu kehidupan bersama: keseluruhan peraturan tentang tingkah laku yang berlaku dalam suatu kehidupan bersama, yang dapat dipaksakan pelaksanaannya.1 Pada dasarnya, menurut J.J.H. Bruggink2 perintah perilaku, yang mewujudkan isi
kaidah
itu dapat menampilkan diri dalam
berbagai wajah/sosok. Penggolongan yang paling umum adalah : a.
perintah (Gebod) adalah kewajiban umum untuk melakukan sesuatu;
b.
larangan (Verbod) adalah kewajiban umum untuk tidak melakukan sesuatu;
c.
pembebasan
(Vrijstelling,
dispensasi)
adalah
pembolehan (Verlof) khusus untuk tidak melakukan sesuatu yang secara umum diharuskan; dan
1
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Yogyakarta: Liberty, 2005, hlm 40. 2 J.J.H. Bruggink, Refleksi tentang Hukum, Bandung: Penerbit PT Citra Aditya Bakti, 1999, hlm 100.
d.
izin (toestemming, permisi) adalah pembolehan khusus untuk melakukan sesuatu yang secara umum dilarang.
Selain dari aspek tersebut di atas maka kaidah hukum dapat
juga
ditentukan
dalam
hukum
yang
tercatat
/terdokumentasikan seperti: hasil-hasil penelitian Hukum adat, penilaian ahli hukum, pandangan doktrin tentang hukum, pandangan filosofi seorang filsuf dan lain sebagainya. Begitu pula kaidah hukum dapat ditemukan dalam hukum tertulis seperti: UU, Yurisprudensi, Keputusan Pemerintah Pusat/Daerah dan lain sebagainya. Kaidah hukum dapat pula ditemukan dalam kitab-kitab suci, ada kemungkinan hukum yang tercatat/tertulis berasal dari kenyataan hukum, tetapi pembentukannya bersifat rasional. Pembentuknya (seperti DPR/D, Kepala daerah, dan lainlain)
mempunyai
kepentingan
tertentu
atau
mempunyai
pandangan tertentu yang cukup berperanan dalam terbentuknya hukum tersebut. Adanya kepentingan/pandangan tertentu turut dipertimbangkan mengakibatkan fakta empiris akan menjadi hukum setelah diolah secara rasional. Dalam pembentukan hukum yang terbentuk tidak berasal semata-mata dari kebiasaan tetapi timbul berdasarkan suatu pertimbangan dari pihak berwibawa sehingga anggota masyarakat patuh. Hukum yang hidup (living Law) tidak bisa lepas dari pertimbangan pihak yang 22
berwibawa.
Maka
tidak
salah
salah
jika
Mertokusumo
mengatakan bahwa hukum adalah kekuasaan, kekuasaan yang mengusahakan ketertiban3. Dengan demikian ditinjau dari deskripsi di atas dapatlah ditarik 2 (dua) asumsi dasar, yaitu: Pertama, bahwasanya kaidah hukum dapat ditemukan dalam hukum tertulis dan tercatat. Kedua, bahwasanya pembentukan hukum yang hidup tidak lepas dari
legitimasi
kewibawaan
yang
mengakibatkan
adanya
pertimbangan nilai, maka dapat disimpulkan bahwa kaidah hukum tidak semata-mata terlihat berupa fakta empiris tetapi juga berupa hal rasional. Hukum tidak bisa diindetikkan begitu saja dengan fakta empiris yang alamiah dan fisik serta dapat diserap dengan panca indera. Hukum bersangkutan dengan manusia yang secara utuh bersosok monodualistis antara jiwa dan badan, individu dan masyarakat. Kaidah hukum berintikan keadilan. Adil dan tidak adil merupakan pendapat mengenai nilai secara pribadi. Kaidah hukum bersangkutan dengan martabat manusia (human
dignity),
bagaimana
manusia
terlindungi
dari
kesewenang-wenangan, bebas dari rasa takut dan lain-lain dan ini merupakan aspek personal dari hukum. Sedangkan terhadap pernyataan bahwa kaidah hukum berlaku bagi siapapun dan 3
Lih. Sudikno Mertokusumo, Ibid, hlm 20. 23
kapanpun, pedoman bagi anggota masyarakat bertingkah laku, dan untuk memperhatikan kaidah hukum tersebut dibentuklah pranata hukum dan lembaga hukum, adalah merupakan aspek sosial dari kaidah hukum. Aspek personal dan aspek sosial dari kaidah hukum itu sepertinya saling bertentangan satu sama lainnya seperti tidak saling mendukung. Usaha-usaha untuk mempertemukan antara keduanya dapat disebut usaha kultural. Proses
pembentukan dan penerapan kaidah hukum dimana
hubungan timbal balik aspek personal dan aspek sosial merupakan proses berbudaya. Sehingga proses integrasi antara pribadi masyarakat dan kebudayaan merupakan inti dari kaidah hukum yang secara substansial merupakan titik tolak kajian dari hukum. Eksistensi
sanksi
sebagai
penguat
kaidah
hukum
merupakan salah satu kaidah sosial yang penting. Secara operasional menurut Paul Bohannan, sanksi merupakan perangkat aturan-aturan
yang mengatur bagaimana lembaga-lembaga
hukum mencampuri suatu masalah untuk dapat memelihara suatu sistem sosial, sehingga memungkinkan warga masyarakat hidup dalam sistem itu secara tenang dan dalam cara-cara yang diperhitungkan4.
4
Ihromi, Antropology dan Hukum, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1984, hlm 61. 24
Lebih lanjut Marwan Mas (2004) membagi fungsi hukum ke dalam tujuh fungsi, yaitu:5 a.
fungsi hukum sebagai sarana sosial control,
b. fungsi hukum sebagai ”a tool of social engineering” (sarana perekayasa masyarakat), c.
fungsi hukum sebagai simbol,
d. fungsi hukum sebagai alat politik, e.
fungsi hukum sebagai sarana penyelesaian sengketa,
f.
fungsi hukum sebagai sarana pengendalian sosial,
g. fungsi hukum sebagai sarana pengintegrasi sosial. Dalam literatur tentang Hukum dikenal beberapa teori tentang tujuan hukum, yaitu:6 (a). Teori Etis. Menurut teori etis hukum semata-mata bertujuan keadilan. Isi hukum ditentukan oleh keyakinan kita yang etis tentang yang adil dan tidak. (b). Teori utilistis. Menurut teori ini hukum ingin menjamin kebahagiaan yang terbesar bagi manusia dalam jumlah yang sebanyak-banyaknya. Pada hakekatnya menurut teori ini tujuan hukum adalah manfaat dalam menghasilkan kesenangan atau kebahagian yang terbesar bagi jumlah orang terbanyak. (c). Teori Campuran. Menurut Mochtar Kusumaatmadja tujuan pokok dan pertama dari hukum adalah ketertiban. Kemudian menurut 5
Marwan Mas, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004, hal. 80-88. 6 Sudikno Mertokusumo, Op.cit, hlm 77-81. 25
Purnadi dan Soerjono Soekanto tujuan hukum adalah kedamaian hidup antar pribadi yang meliputi ketertiban ekstern antar pribadi dan ketenangan intern pribadi. Sedangkan Soebekti berpendapat bahwa hukum itu mengabdi kepada tujuan negara, yaitu mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan kepada rakyatnya.
B. Teori Tentang Pidana Pidana merupakan karakteristik hukum pidana yang membedakannya dengan hukum perdata. Dalam gugatan perdata pada umumnya, pertanyaan timbul mengenai berapa besar jika ada, tergugat telah merugikan penggugat dan kemudian pemulihan apa jika ada yang sepadan untuk menggantikan kerugian penggugat. Dalam perkara pidana, sebaliknya, seberapa jauh terdakwa telah merugikan masyarakat dan pidana apa yang perlu dijatuhkan kepada terdakwa karena telah melanggar hukum (pidana)7. Istilah ”hukuman” yang berasal dari kata ”straf” dan istilah ”dihukum” yang berasal dari perkataan ”wordt gestraft”. Menurut Prof. Mulyatno istilah-istilah tersebut merupakan istilahistilah yang konvensional. Beliau tidak setuju dengan istilahistilah itu dan menggunakan istilah yang modern, yaitu ”pidana”
7
Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana, Cet. 3, Jakarta : PT. Rineka Cipta, 2008, hlm. 27. 26
untuk menggantikan kata ”straft” dan ”diancam dengan pidana” untuk mengggantikan kata ”wordt gestraft”, kalau ”straft” diartikan ”hukuman”, maka ”strafrecht” seharusnya diartikan ”hukum hukuman”8. Menurut beliau ”dihukum” berarti ”diterapi hukuman”, baik hukum pidana maupun hukum perdata. ”Hukuman” adalah hasil atau akibat dari penerapan hukum tadi yang maknanya lebih luas daripada pidana, sebab mencakup juga keputusan hakim dalam lapangan hukum perdata9. Demikian
pula
Prof.
Sudarto
menyatakan
bahwa
”penghukuman” berasal dari kata dasar ”hukum”, sehingga dapat diartikan sebagai ”menetapkan hukum”, atau ”memutuskan tentang hukumnya” (”berechten”). ”Menetapkan hukum” untuk suatu peristiwa tidak hanya menyangkut bidang hukum pidana saja, akan tetapi juga hukum perdata10. Selanjutnya dikemukakan oleh beliau bahwa istilah ”penghukuman” dapat disempitkan artinya, yakni penghukuman dalam perkara pidana, yang kerap sinonim dengan ”pemidanaan” atau ”pemberian/penjatuhan pidana” oleh hakim. ”penghukuman” dalam arti yang demikian menurut Prof. Sudarto mempunyai makna sama dengan ”sentence” atau ”veroordeling”, misalnya dalam pengertian
8
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1992, hlm 1. 9 Ibid. 10 Ibid. 27
”setence conditionally” atau ”voorwaardelijk veroordeeld” yang sama artinya dengan ”dihukum bersyarat” atau dipidana bersyarat”. Akhirnya dikemukakan oleh Prof. Sudarto bahwa istilah ”hukuman” kadang-kadang digunakan untuk pengganti perkataan ”straf”, namun menurut beliau istilah ”pidana” lebih baik daripada ”hukuman” 11. Istilah ”hukuman” yang merupakan istilah umum dan konvensional, dapat mempunyai arti yang luas dan berubah-ubah karena istilah itu dapat berkonotasi dengan bidang yang cukup luas. Istilah tersebut tidak hanya sering digunakan dalam bidang hukum, tetapi juga dalam istilah sehari-hari di bidang pendidikan, moral, agama dan sebagainya12. Oleh karena ”pidana” merupakan istilah yang lebih khusus, maka perlu ada pembatasan pengertian atau makna sentral yang dapat menunjukkan ciri-ciri atau sifatsifatnya yang khas13. Guna memberikan gambaran yang lebih luas, berikut ini dikemukakan beberapa pendapat atau definisi dari para sarjana tentang pidana:14 (a). Prof. Sudarto, SH: ”Pidana ialah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.” (b).
11
Ibid. Ibid, hlm 2. 13 Ibid. 14 Ibid. 12
28
Prof. Roeslan Saleh: ”Pidana adalah reaksi atas delik, dan ini berujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara pada pembuat delik itu.” (c). Fitzgerald: “Punisment is the authorirative infliction of suffering for an offence.” (Pidana adalah hukuman dari suatu kejahatan yang mengakibatkan penderitaan). (d). Ted Honderich: “Punisment is an authority’s infliction of penalty (something involving deprivation or distress) on an offender for an offence.” (Pidana adalah hukuman dari penguasa gerupa penjabutan hak-hak, penderitaan bagi yang pelanggar kejahatan). (e). Sir Rupert Cross:”Punisment means: The inliction of pain by the State on someone who has been convicted of an offence” (Pidana adalah hukuman yang berupa kesakitan atau penderitaan yang dilakukan oleh negara pada seseorang yang bersalah melakukan kejahatan). (f). Burton M. Leiser: “A punisment is a harm inflicted by a person in a position of authority upon another who is judged to have violated a rule or a law”. (g). H.L.A. Hart: ”Punisment must : 1. involve pain or other consequences normally considered unpleasant, 2. be for an actual or supposed offender for his offence; 3. be for an offence against legal rules, 4. be intentionally administered by human beings other than the offender, 29
5. be imposed and administered by an authority constituted by a legal system against with the offence is committed. (Pidana harus : (1). Meliputi kerugian / kesakitan atau konsekuensi yang lain yang biasanya dianggap tidak menyenangkan. (2). Ada untuk pelanggaran sebenarnya atas kejahatan. (3). Ada untuk suatu kejahatan yang melanggar hukum yang resmi. (4). Diberikan secara sengajaoleh masyarakat lain daripada oleh pelanggar. (5). Dipaksakan dan disengaja oleh suatu kekuasaan yang dibentuk oleh sistem resmi yang berlawanan dengan kejahatan) (h). Alf Ross: “Punishment is that social response which: 1. occur where there is violation of a legal rule; 2. is imposed and carried out by authorized persons on behalf of the legal order to which the violated rule belongs; 3. involves suffering or at least other consequences normally considered unpleasant; 4. expresses disapproval of the violator” (Pidana adalah respon sosial : (1). Terjadi dimana ada pelanggaran hukum (2). Dipaksakan dan dikeluarkan oleh orang yang berkuasa diatas kepentingan dari perintah resmi; (4). eliputi penderitaan atau setidak-tidaknya konsekuensi lain yang dianggap tidak menyenangkan. (5). Menyatakan ketidaksetujuan atas pelanggaran)
30
Berdasarkan beberapa definisi para ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa pidana mengandung unsur-unsur atau ciri-ciri sebagai berikut :15 a)
Pidana itu pada hakekatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibatakibat lain yang tidak menyenangkan;
b)
Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang);
c)
Pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-undang.
C. Asas-asas Pembuatan Undang-Undang Materi sumber hukum yang menjadi acuan pembentukan produk hukum di Indonesia adalah Pancasila, UUD 1945, Yurisprudensi, Hukum Agama, Hukum Adat, dan Hukum Internasional. Oleh karena itu memahami tentang asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan akan merujuk bagaimana cara undang-undang di susun dan bekerja. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian asas adalah dasar atau sesuatu yang dijadikan tumpuan berpikir,
15
Ibid, hlm 4.
31
berpendapat dan bertindak16. Dari pengertian tersebut, maka asasasas pembentuk peraturan perundang-undangan berati dasar atau sesuatu yang dijadikan tumpuan dalam menyusun peraturan perundang-undangan. Pandangan kata asas adalah prinisip yang berarti kebenaran yang menjadi pokok dasar dalam berpikir, berpendapat dan bertindak. Dalam menyusun peraturan perundang-undangan penulis mencoba mengklasifikasikan di dalam dua pokok pembahasan yaitu pertama, Asas materil; atau prinsip-prinsip substantif; dan kedua Asas formal; atau prinsip-prinsip teknik pembentukan peraturan perundang-undangan. Dalam dua kerangka tersebut, penulis merujuk kepada pendapat Prof. Purnadi Purbacaraka dan Prof. Soerjono Soekantanto17, yang mengkompilasi enam asas dalam menyusun undang- undang: a.
Peraturan perundang-undangan tidak berlaku surut (non retroaktif);
16
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 2002, hlm 70 17 Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Peraturan perundang-undangan dan Yurisprudensi, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 1989, hlm 7-11 32
b.
peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi, mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula;
c.
peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus menyampingkan peraturan
perundang-undangan
yang bersifat umum (lex specialis derogat lex generalis); d.
peraturan
perundang-undangan
belakangan
membatal-kan
yang
peraturan
berlaku
perundang-
undangan yang berlaku terdahulu (lex posteriori derogate lex periori); e.
peraturan perundang-undangan tidak dapat di ganggu gugat;
f.
peraturan perundang-undangan sebagai sarana untuk semaksimal mungkin dapat mencapai kesejahteraan spiritual dan materil bagi masyarakat maupun individu, melalui pembaharuan atau pelestarian (asas welvaarstaat).
33
Sementara Amiroedin Sjarief, mengajukan lima asas18 : a.
asas tingkatan hirarkhi;
b.
peraturan perundang-undangan tidak dapat di ganggu gugat;
c.
peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus menyampingkan UU yang bersifat umum (lex specialis derogate lex generalis);
d.
peraturan perundang-undangan tidak berlaku surut;
e.
UU yang baru menyampingkan UU yang lama (lex posteriori derogat lex periori).
Menurut I.C Van der Vlies sebagaimana dikutip oleh Roseno Harjowidigo (2004) asas- asas formal dan material bagi pembentukan perundang-undangan adalah sebagai berikut:19 Pertama,
Asas tujuan yang jelas (beginsel van duetlijke
doelstelling); asas ini mencakup tiga hal yaitu mengenai ketepatan letak peraturan perundang-undangan yang akan 18
Amiroeddin Sjarif, Perundang-undangan: Dasar, Jenis, dan Teknik Membuatanya, Jakarta, Rineka Cipta, 1997, hlm. 78-84. 19 Roseno Harjowidigo, Wetgeving Sleerdi Negeri Belanda dan Perkembangan Undang-undang saat ini di Indonesia, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, Jakarta Timur, 2004, hlm. 48. 34
dibentuk, kerangka kebijakan umum pemerintahan, tujuan khusus peraturan perundangundangan yang akan dibentuk dan tujuan bagian-bagian
peraturan
perundang-undangan
yang
akan
dibentuk tersebut. Kedua, Asas Organ/Lembaga Yang Tepat (beginsel van het juiste organ); asas ini memberikan penegasan tentang perlunya kejelasan kewenangan organ-organ/lembagalembaga yang menetapkan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Ketiga, Asas Perlunya pengaturan (het noodzakelijkheids beginsel); asas ini tumbuh karena selalu terdapat alternatif atau alternatif-alternatif lain untuk menyelesaikan suatu masalah pemerintahan selain dengan membentuk peraturan perundangundangan. Keempat, Asas dapat dilaksanakan (het beginsel van uitvoorbaarheid); asas ini dinilai orang sebagai usaha untuk dapat
ditegakkannya
peraturan
perundang-undangan
yang
bersangkutan. Sebab tidak ada gunanya suatu peraturan perundang-undangan yang tidak dapat ditegakkan. Kelima. Asas konsensus (het beginsel van consensus); asas ini menunjukkan adanya
kesepakatan
melaksanakan ditimbulkan
rakyat
kewajiban oleh
dan
peraturan
bersangkutan.
35
dengan
pemerintah
menanggung
untuk
akibat
yang
perundang-undangan
yang
Masih menurut I.C Van der Vlies sebagaimana dikutip oleh Roseno Harjowidigo (2004), kebutuhan akan asas-asas material dalam pembentukan peraturan perundang-undangan adalah: a.
Asas tentang terminologi dan sistematika yang benar (het
beginsel
duitdelijke
van
duitdelijke
systematiek);
asas
terminologie ini
adalah
en agar
peraturan perundang-undangan dapat dimengerti oleh masyarakat dan rakyat, baik mengenai kata-katanya maupun mengenai struktur atau susunannya. b. Asas tentang dapat dikenali (het beginsel van de kenbaarheid); asas ini menekankan apabila sebuah peraturan perundang-undangan tidak dikenali dan diketahui oleh setiap orang lebih lebih yang berkepentingan maka ia akan kehilangan tujuannya sebagai peraturan. c.
Asas perlakuan yang sama dalam hukum (het rechsgelijkheids beginsel); asas ini menunjukkan tidak boleh ada peraturan perundang-undangan yang hanya ditujukan kepada sekelompok orang tertentu, karena
hal
ini
akan
36
mengakibatkan
adanya
ketidaksamaan
dan
kesewenangan-wenangan
di
depan hukum terhadap anggota-anggota masyarakat. d. Asas
kepastian
hukum
(het
rechtszekerheidsbeginsel); asas ini merupakan salah satu sendi asas umum negara berdasarkan atas hukum. e.
Asas pelaksanaan hukum sesuai keadaan individual (het beginsel van de individuale rechtsbedeling); asas ini bermaksud memberikan penyelesaian yang khusus bagi hal-hal atau keadaan-keadaan tertentu sehingga dengan demikian peraturan perundang-undangan dapat memberikan jalan keluar selain bagi masalahmasalah umum juga masalah-masalah khusus.20
Pembentukan peraturan perundang–undangan Indonesia yang patut akan mengikuti pedoman dan bimbingan yang diberikan oleh cita negara hukum yang tidak lain adalah Pancasila, yang oleh Attamimi diistilahkan sebagai bintang
20
Roseno Harjowidigo, Wetgeving Sleerdi Negeri Belanda dan Perkembangan Undang-undang saat ini di Indonesia, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, Jakarta Timur, 2004, hlm. 49-50. 37
pemandu, prinsip negara hukum dan konstitusionalisme, di mana sebuah negara menganut paham konstitusi21. Lebih
lanjut
mengenai
A.
Hamid.
S.
Attamimi,
mengatakan jika dihubungkan pembagian atas asas formal dan materil, maka pembagiannya sebagai berikut : a. Asas–asas formal: 1)
asas tujuan yang jelas;
2)
asas perlunya pengaturan;
3)
asas organ / lembaga yang tepat;
4)
asas materi muatan yang tepat;
5)
asas dapat dilaksanakan;
6)
asas dapat dikenali.
b. Asas–asas materiil: 1)
asas sesuai dengan cita hukum Indonesia dan norma fundamental Negara;
2) 21
asas sesuai dengan hukum dasar Negara;
Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu perundang-undangan (dasardasar dan pembentukannya), Yogyakarta, Kanisius, 1998, hlm.197-198. 38
3)
asas sesuai dengan prinsip negara berdasarkan hukum;
4)
asas sesuai dengan prinsip pemerintahan berdasarkan konstitusi22.
Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia sesuai Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 harus dilakukan berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, yang meliputi23. 1)
kejelasan tujuan;
2)
kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;
3)
kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;
4)
dapat dilaksanakan;
5)
kedayagunaan dan kehasilgunaan;
6)
kejelasan rumusan; dan
7)
keterbukaan.
22 23
Ibid hlm.197-198. Lihat Pasal 5 Undang Undang Nomor 12 tahun 2011. 39
Sedangkan materi muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan asas 24: 1) pengayoman; 2) kemanusiaan; 3) kebangsaan; 4) kekeluargaan; 5) kenusantaraan; 6) bhinneka tunggal ika; 7) keadilan; 8) kesamaan kedudukan dalam hukum; 9) pemerintahan; 10) ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau 11) keseimbangan, keserasian, dan keselarasan. Menurut Soefyanto, materi muatan perundang-undangan harus mengandung asas25:
24
Lihat Pasal 6 ayat (1) Undang Undang Nomor 12 tahun 2011. Soefyanto, Peraturan perundang-undangan (dasar dan teknik pembuatan), Jakarta, Universitas Islam Jakarta, 2007, hlm. 25-26. 40 25
1. asas pengayoman; 2. asas kemanusiaan; 3. asas kebangasaan; 4. asas kekeluargaan; 5. asas kenusantaraan; 6. asas bhineka tunggal ika; 7. asas keadilan; 8. asas
kesamaan
kedudukan
dalam
hukum
dan
pemerintahan; 9. asas ketertiban dan kepastian hukum; 10. asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan. Asas asas pembuatan hukum tersebut secara khusus penulis merujuk dalam kontek hukum pidana seperti yang diuraikan oleh Teguh Prasetyo (2011) menegaskan tiga asas utama, yaitu: asas legalitas, penyertaan dan asas Actus Mens Sit Rea26. Sementara di dalam hukum perdata, Soefyanto (2007)
26
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, Edisi Revisi, Jakarta, Rajawali Pers, 2011, hlm., 254-256 41
dalam perjanjian antara lain meliputi: asas kesepakatan, kebebasan berkontrak dan iktikad baik.27 D.
Teori Tujuan Hukum Gustav Radbruch Gustav Radbruch (21 November 1878-23 November
1949) lahir di Lubeck Jerman. Gustav Radbruch adalah profesor hukum dan professor filsafat di universitas Konigsberg, Kiel dan Heidleberg. Kehidupan diluar kampus, Radbruch juga merupakan politisi senior Partai Demokrat Sosialis dan pernah di Kementerian Hukum Jerman di era Republik Weimar. Setelah di Jerman dikuasai oleh Nazi, dia dilengserkan dan kemudian aktif di kampus. Aktivitas inilah yang kemudian mengantarkan Gustav Radbruch sebagai ‘Bapak Reformasi Pendidikan Hukum28’. Radbruch mengkombinasikan dua pendekatan sekaligus, yaitu pendekatan normative dan pedekatan empiris. Oleh sebab itu Radbruch mengembangkan tiga tujuan hukum29, pertama, Kepastian Hukum. Yaitu tuntutan pertama hukum ialah supaya ia positif, yaitu berlaku pasti. Hukum harus ditaati, supaya hukum sungguh-sungguh positif. Hukum adalah keseluruhan peraturan
27
Soefyanto, Op cit, hlm. 25-26 Achmad Ali, Menguat Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (judicial Prudence), Termasuk Interpretasi Undang-Undang (legisprudence), Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2010, hlm. 181 29 Notohamidjoyo, Soal-Soal Pokok Filsafat Hukum. Salatiga, Griya Media, 2011, hlm. 33-35 42 28
yang tertulis dan tidak tertulis yang biasanya bersifat memaksa kelakukan manusia dalam masyarakat Negara dan antar Negara. Hukum bersifat Sollen-Sein, memperhatikan norma yang harus diwujudkan dalam kenyataan. Radbruch mengakui adanya hukum alam yang mengatasi hukum positif, yaitu 30: a.
Setiap individu harus diperlakukan menurut keadilan di depan pengadilan;
b.
Pengakuan dan penghormatan terhadap hak hak asasi manusia yang tidak boleh dilanggar;
Harus
ada
keseimbangan
antara
pelanggaran
dan
hukuman. Kedua, Keadilan Hukum. Bagi Radbruch ilmu hukum adalah pengetahuan tentang hal-hal yang bersifat atau bersumber dari manusia maupun dari Tuhan. Ilmu tentang apa yang adil dan apa yang tidak adil31. Sebagai pengikut mahzab Neokantianisme, Radbruch mengembangkan teori keadilan hukum (rechtsidee) sebagai
mahkota
dari
tata
hukum.
Hukum
merupakan
kulturwissenschaft atau budaya masyarakat. Jadi tujuan hukum
30 31
Ibid, hlm. 132 Ibid. hlm. 183.
43
menurut Radbruch adalah merealisasikan nilai-nilai32. Hukum bukan ‘tatanan norma formal dari norma-norma’ kultur bukan wilayah
‘akal
murni’
tetapi
‘akal
praktis’.
Sehingga
kulturwissenschaft adalah nilai-nilai manusia. Pengetahuan, seni, moralitas, maupun hukum adalah bagian dari kebudayaan dan masing-masing mengemban nilai-nilai manusiawi33. Hukum menurut Radbruch mengemban nilai keadilan bagi kehidupan konkrit manusia. Ini intrinsik dalam hukum, karena memang itu salah satu hakikatnya sebagai salah satu unsur kebudayaan…ilmu bertugas menghadirkan kebenaran, seni untuk keindahan, tingkah laku susila untuk moralitas. Jadi masing-masing punya misi dan tugas sendiri-sendiri dengan sasaran akhir adalah manusia dengan kebutuhan riilnya34. Radbruch juga mengatakan bahwa hukum sebagai pengemban nilai keadilan, menjadi ukuran bagi adil dan tidaknya suatu tata hukum. Nilai keadilan juga menjadi dasar dari hukum sebagai hukum. Ia menjadi landasan moral hukum dan sekaligus tolok ukur system hukum positif. Tanpa keadilan (rechtsidee) sebuah aturan tidak pantas menjadi hukum35.
32
Bernard L. Tanya dkk, Teori Hukum, Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Yogyakarta, Genta Publishing, 2010, hlm., 169170 33 Ibid 34 ibid 35 Ibid. hlm. 131 44
Hukum memiliki tiga susunan hukum secara struktural, yakni (1). Keadilan, Keadilan adalah kesamaan hak di depan hukum. (2). Kepastian. Kepastian menunjuk pada jaminan bahwa hukum benar-benar berfungsi sebagai peratutan yang ditaati. Kepastian merupakan kerangka operasional hukum. (3). Finalitas yaitu menunjuk pada tujuan keadilan yaitu mewujudkan kebaikan dalam, hidup manusia. Ketiga, Daya Guna. Hukum perlu menuju tujuan yang penuh harga (waardeval). Nilai kebaikan bagi manusia dapat dihubungkan dengan tiga subyek yaitu individu (individualwerte) adalah nilai-nilai pribadi yang penting untuk mewujudkan kepribadian manusia. Daya guna hukum harus mewujudkan kepribadian manusia yang penuh harga (waardeval). Sementara Daya Guna hukum juga terkait nilai kolektivitas atau nilai nilai masyarakat (gemeinschaftswerte), atau nilai yang hanya dapat diwujudkan dalam masyarakat manusia. Daya guna hukum juga merupakan nilai-nilai karya kebudayaan, ilmu dan kesenian (werkwerte). Yang pertama kali hendak dimajukan kebaikannya adalah manusia sebagai individu. Jika tujuan hukum adalah kemajuan Negara maka akan menghasilkan system hukum kolektif, ini akan terlihat seperti Negara sosialis. 45
Dalam penjelasan implementasi hukum, bagaimana jika pertentangan antara keadilan dan kepastian? Radbruch menilai, kepastian hukum harus dijaga demi keamanan. Namun jika pertentangan antara tata hukum dan keadilan menjadi begitu besar, sehingga ia benar benar dirasakan tidak adil, maka demi keadilan (rechtsidee) tata hukum itu harus dilepaskan36. Teori
ini
(Radsbrucian
formula)
berusaha
untuk
mengatasi dualisme antara sein dan sollen, antara ‘materi’ dan ‘bentuk’. Teori ini juga memandang sein dan sollen, ‘materi’ dan ‘bentuk’ sebagai dua sisi dari satu mata uang. Radbruch tidak ingin terjebak dalam dikotomi perdebatan antara ‘materi’ dan ‘bentuk’. Sehingga Radbruch berkeyakinan bahwa ‘materi’ mengisi ‘bentuk’, dan ‘bentuk melindungi ‘materi’. Nilai keadilan adalah ‘materi’ yang harus menjadi isi aturan hukum, sedangkan aturan hukum adalah ‘bentuk’ yang harus melindungi nilai keadilan. Pendapat Radbruch ini menurut para ahli dipengaruhi oleh pengalaman dirinya sebagai warga Jerman yang mengalami bagaimana Nazi Jerman menggunakan hukum untuk menjadi pembenar genocida dan peperangan. Kekawatiran kejadian terhadap tirani hukum untuk kepentingan kolektif (mayoritas) 36
Ibid, hlm. 132
46
oleh Negara yang diselewengkan oleh Nazi Jerman menjadikan keyakinan Radbruch bahwa keadilan (rechtsidee) adalah mahkota tertinggi didalam hukum tanpa bisa ditawar.
47