BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Pertanian Organik Pertanian organik adalah teknik budidaya pertanian yang mengandalkan bahan-bahan alami tanpa menggunakan bahan-bahan kimia sintetis. Tujuan utama pertanian organik adalah menyediakan produk-produk pertanian, terutama bahan pangan yang aman bagi kesehatan produsen dan konsumennya serta tidak merusak lingkungan. Gaya hidup sehat demikian telah melembaga secara internasional yang mensyaratkan jaminan bahwa produk pertanian harus beratribut aman dikonsumsi (food safety attributes), kandungan nutrisi tinggi (nutritional attributes) dan ramah lingkungan (eco-labelling attributes).3 Sutanto (2002), mengemukakan bahwa pertanian organik ditakrifkan sebagai suatu sistem produksi pertanaman yang berdasarkan daur ulang secara hayati. Daur ulang hara dapat melalui sarana limbah tanaman dan ternak, serta limbah lainnya yang mampu memperbaiki status kesuburan dan struktur tanah. Daur ulang hara merupakan teknologi tradisional yang sudah cukup lama dikenal sejalan dengan berkembang peradaban manusia. Filosofi yang melandasi pertanian organik adalahmengembangkan prinsip-prinsip memberi makanan pada tanah yang selanjutnya tanah menyediakan makanan langsung kepada tanaman (feeding the soil that feeds the plants), dan bukan member makanan langsung kepada tanaman. Strategi pertanian organik adalah memindahkan hara secepatnya dari sisa tanaman, kompos dan pupuk kandang menjadi biomassa tanah yang selanjutnya setelah mengalami proses mineralisasi akan menjadi hara dalam larutan tanah. Dengan kata lain, unsur hara didaur ulang melalui satu atau lebih tahapan bentuk senyawa organik sebelum diserap tanaman. Hal ini berbeda sama sekali dengan pertanian konvensional yang memberikan unsur hara secara cepat dan langsung dalam bentuk larutan sehingga segera diserap dengan takaran dan waktu pemberian yang sesuai dengan kebutuhan tanaman (Sutanto, 2002). 3
www.litbang.deptan.go.id. Prospek Pertanian Organik di Indonesia. Diunduh tanggal 30 Januari 2009.
2.2. Botani Tanaman Rosela Rosela merupakan herba tahunan yang bisa mencapai ketinggian 0,5–3 meter. Batangnya bulat, tegak, berkayu dan berwarna merah. Daunnya tunggal, berbentuk bulat telur, pertulangan menjari, ujung tumpul, tepi bergerigi dan pangkal berlekuk. Panjang daun 6–15 cm dan lebarnya 5–8 cm. Tangkai daun bulat berwarna hijau, dengan panjang 4–7 cm. Bunga rosela yang keluar dari ketiak daun merupakan bunga tunggal, artinya pada setiap tangkai hanya terdapat satu bunga. Bunga ini mempunyai 8–11 helai kelopak yang berbulu, panjangnya 1 cm, pangkalnya saling berdekatan dan berwarna merah. Kelopak bunga ini sering dianggap sebagai bunga oleh masyarakat. Bagian inilah yang sering dimanfaatkan sebagai bahan makanan dan minuman (Maryani & Kristiana, 2008). Mahkota bunga berbentuk corong, terdiri dari lima helaian, panjangnya 3–5 cm. Tangkai sari yang merupakan tempat melekatnya kumpulan benang sari berukuran pendek dan tebal, panjangnya sekitar 5 mm dan lebar sekitar 5mm. Putiknya berbentuk tabung, berwarna kuning atau merah. Buahnya berbentuk kotak kerucut, berambut, terbagi menjadi lima ruang, berwarna merah. Bentuk biji menyerupai ginjal, berbulu, dengan panjang 5 mm dan lebar 4 mm. Saat masih muda, biji berwarna putih dan setelah tua berubah menjadi abu-abu. Gambar 1 merupakan jenis tanaman rosela.
Gambar 1. Tanaman Rosela.
Di Inggris dan di negara berbahasa inggris lainnya, tanaman ini dikenal dengan nama roselle, rozelle, sorrel, red sorrel, white sorrel, jamaica sorrel, indian sorrel, guinea sorrel, sour-sour, queensland jelly plant, jelly okra, lemon bush dan florida cranberry. Di Perancis, rosela juga disebut dengan nama oseille rouge atau oseille de guineé. Di Spanyol dikenal dengan nama quimbombó chino, sereni, rosa de jamaica, flor de jamaica, jamaica, agria, agrio de guinea, quetmia ácida, viňa, dan viňuela. Sementara itu, di Portugis dikenal sebagai vinagreira, azeda de guiné, cururú azédo dan quiabeiro azédo (Maryani & Kristiana, 2008). Di Malaysia, rosela dikenal sebagai asam susur dan di Thailand disebut kachieb priew. Zuring merupakan nama rosela di Belanda dan bisap merupakan sebutan rosela di Senegal. Di Afrika Utara, dikenal sebagai karkadé atau carcadé. Nama terakhir inilah yang dipakai sebagai nama dagang rosela, baik dalam dunia pengobatan maupun sebagai bahan makanan di Benua Eropa. Sementara itu, nama flor de jamaica (bunga jamaica) dan hibiscus flores (bunga hibiscus) yang dipopulerkan oleh pedagang makanan kesehatan merupakan nama yang salah kaprah. Hal itu karena yang dimanfaatkan adalah kelopaknya, bukan mahkota bunganya (Maryani & Kristiana, 2008). 2.3. Budidaya Rosela Menurut Maryani & Kristiana (2008), tanaman ini tidak ditanam sebagai tanaman utama, tetapi hanya sebagai tanaman tambahan. Rosela bisa ditumpangsarikan dengan tanaman apa saja, yang penting tetap mendapatkan sinar matahari cukup. Namun bila ditanam sebagai tanaman utama, sebaiknya ditanam sendiri, karena tanaman ini membutuhkan sinar matahari langsung. Rosela juga mudah tumbuh di tanah yang mendapat pengairan cukup. Meskipun kondisi tanah kurang subur, asal airnya cukup rosela tetap bisa tumbuh. Pada 4 - 5 bulan setelah tanam, tanaman ini memerlukan banyak sinar matahari untuk mencegah munculnya bunga prematur. Biasanya bunga yang muncul sebelum waktunya mempunyai kualitas yang rendah. Selain itu, pada awal pertumbuhannya rosela juga memerlukan curah hujan yang tinggi. Curah hujan yang diperlukan selama pertumbuhannya sekitar 182 cm. Jika curah hujan tidak mencukupi, bisa diatasi dengan pengairan yang baik.
Seiring dengan berkurangnya curah hujan, rosela akan mulai berbunga dan siap dipanen pada 4 – 5 bulan setelah penanaman. Mulai muncul bunga sampai siap panen, membutuhkan waktu sekitar setengah bulan. 2.4. Pengendalian Hama dan Penyakit Pada umumnya, kegiatan usahatani selalu mendapat serangan dari hama dan penyakit tanaman. Akibatnya, akan memberi dampak yang negatif bagi hasil usahatani. Begitu juga tanaman rosela, salah satu komoditi pertanian ini tidak luput dari serangan hama. Hama utama yang menyerang tanaman rosela adalah nematoda Heterodera rudicicola yang menyerang bagian batang dan akar. Untuk mengurangi serangan hama ini, perlu dilakukan pengairan secara terus-menerus. Akan tetapi, samapai saat ini hama yang diketahui banyak menyerang rosela di Indonesia adalah belalang. Hama ini bisa dikendalikan dengan pestisida. Penyakit yang umum menyerang adalah busuk akar. Untuk mengatasinya, tanaman yang terserang harus segera dicabut dan dibakar supaya tidak menular ke tanaman lain (Maryani & Kristiana, 2008). 2.5. Panen dan Pascapanen Pemanenan rosela dilakukan 4 – 5 bulan setelah tanam. Tetapi rosela masih dapat berbunga, jika temperatur pada malam hari tidak kurang 21ºC. Karena itu, pemanenan dapat terus dilakukan hingga tanaman tidak menghasilkan bunga, yakni sekitar 4 – 8 bulan berikutnya. Pemanenan rata-rata dilakukan setiap 10 hari sekali. Setelah dipanen, ada dua penyajian yang bisa dilakukan. Rosela bisa disajikan dalam bentuk segar maupun kering. Jika menginginkan bentuk kering, maka media pengeringan harus mempunyai aliran udara yang baik agar kualitasnya terjaga. Rasio pengerigan rosela umumnya sekitar 10:1, artinya setiap 10 kg kelopak segar akan menghasilkan 1 kg bahan kering. 2.6. Penelitian Terdahulu 2.6.1. Pertanian Organik dan Kelayakan Investasi Penelitian terdahulu dalam konteks yang sama, yaitu pertanian organik telah banyak banyak dilakukan. Siregar (2008), meneliti tentang Analisis
Usahatani Cabai Merah Organik (Studi Kasus Kelompok Tani “Kaliwung Kalimuncar” Desa Tugu Utara Kecamatan Cisarua Kabupaten Bogor). Hasil analisis pendapatan usahatani menunjukkan bahwa petani dengan sistem organik memperoleh pendapatan atas biaya tunai dan biaya total lebih besar dibandingkan dengan yang diperoleh petani non organik. Untuk pertanian organik mendapatkan R/C rasio sebesar 6,56. Artinya petani tersebut menghasilkan penerimaan sebesar Rp 6,56 untuk setiap Rp 1 yang dikeluarkan. Sedangkan untuk petani anorganik diperoleh R/C rasio sebesar 4,14. Artinya petani tersebut menghasilkan penerimaan sebesar 4,14 setiap Rp 1 yang dikeluarkan. Ridhawati (2008), melakukan penelitian yang berjudul Kelayakan Finansial
Investasi
Usahatani
Asparagus
(Asparagus
officionalis)
Ramah
Lingkungan, PT. Agro Lestari Bogor. Penelitiannya bertujuan menganalisis aspek-aspek kelayakan, diantaranya aspek pasar, teknis, manajemen, sosial dan finansial. Berdasarkan hasil analisis kelayakan finansial, diperoleh nilai NPV sebesar Rp 7.124.166,90 yang menunjukkan bahwa usahatani asparagus ramah lingkungan, akan memberikan manfaat kepada perusahaan sebesar Rp 7.124.166,90 selama umur proyek. Nilai Net B/C diperoleh sebesar 1,04, artinya bahwa setiap satuan biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan menghasilkan manfaat sebesar 1,04 kali. Nilai ini menunjukkan kelayakan karena hasilnya > 1. Nilai IRR diperoleh sebesar 10,04 persen. Hal ini menunjukkan layak karena posisi nilai yang berada lebih besar dari tingkat suku bunga deposito yang berlaku, yakni 5,25 persen. Payback period diperoleh akan kembali dalam waktu tiga tahun enam bulan, termasuk kriteria layak karena pengembalian investasi terjadi sebelum proyek usahatani berakhir. Berdasarkan analisis switching value, proyek usahatani asparagus ramah lingkungan tetap layak untuk dilaksanakan sampai kenaikan harga pupuk kandang sebesar 45,51 persen, pupuk organik cair sebesar 170,66 persen, harga paket kemasan sebesar 45, 51 persen, penurunan volume produksi mencapai 42,7 persen per tahun dan terjadi penurunan harga jual sebesar 3,87 persen dari Rp 35.000.
Abriyanti (2007), meneliti tentang Analisis Kelayakan Pengusahaan Sayuran Organik (Kasus di Matahari Farm Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor). Tujuannya yaitu mengkaji kelayakan investasi pengusahaan sayuran organik dari aspek pasar, teknis, manajemen, sosial dan finansial serta menganalisis tingkat kepekaan kondisi kelayakannya jika terjadi perubahan dalam komponen dan manfaat. Kriteria uji kelayakan finansial dilakukan melalui tiga skenario, dan diambil salah satu yang terbaik. Skenario I yang menggunakan modal sendiri merupakan skenario yang paling menguntungkan, karena memperoleh nilai NPV yang lebih besar dari skenario II dan III, yaitu sebesar Rp 430.587.215. Artinya pengusahaan sayuran organik yang dilakukan Matahari Farm memberikan manfaat positif selama umur proyek dengan suku bunga 9,75 sehingga mempunyai kriteria layak untuk dilaksanakan. Hasil analisis switching value diperoleh dari tiga skenario yang dilakukan. Skenario II merupakan skenario yang sensitif / peka terhadap perubahan yang terjadi baik pada parameter penurunan penjualan sebesar 12,94 persen walaupun peningkatan biaya variabel sebesar 171,20 persen. Nugraha (2009), meneliti tentang Analisis Kelayakan Pengusahaan Stroberi Organik (Kasus di PT. Anugrah Bumi Persada, Kabupaten Cianjur). Tujuannya adalah menganalis aspek pasar, aspek teknis, dan aspek manajemen pengusahaan stroberi organic di PT. Anugrah Bumi Persada; menganalisis kelayakan aspek finansial pengusahaan stroberi organik di PT. Anugrah Bumi Persada dan menganalisis sensitivitas kelayakannya. Berdasarkan hasil analisis aspek pasar, teknis dan manajemen, menunjukkan kelayakan terhadap pengusahaan stroberi organik di PT. Anugrah Bumi Persada. Hasil dari analaisis finansial pengusahaan stroberi organik yaitu nilai Net Present Value (NPV) yang dihasilkan adalah Rp 204.052.541,00; Net Benefit Cost Ratio (Net B/C) yang dihasilkan adalah 2,12; Internal Rate of Return (IRR) menunjukkan 49 persen dan Payback Period sebesar 1,6. Hasil ini menunjukkan bahwa pengusahaan stroberi organik layak secara finansial. Hasil
analisis
sensitivitas
switching
value
menunjukkan
bahwa
pengusahaan stroberi organik tetap layak untuk dilaksanakan sampai terjadi penurunan harga jual sebesar 39,80 persen, penurunan jumlah produksi stroberi
organik sebesar 39,88 persen, kenaikan biaya tetap tenaga kerja sebesar 101,20 persen dan kenaikan biaya variabel sebesar 524,09 persen. Dhikawara (2010), melakukan
penelitian
yang berjudul
Analisis
Kelayakan fianansial Usahatani Jambu Biji Melalui Penerapan Irigasi Tetes Di Desa Ragajaya Kecamatan Bojong Gede Kabupaten Bogor. Tujuannya adalah menganalisis karakteristik usatani jambu biji yang dilakukan petani di desa Ragajaya dan membandingkan analisis kelayakan finansial dan sensitivitas usahatani jambu biji yang dilakukan petani di Desa Ragajaya dengan pengairan hujan dan irigasi tetes (blubber iirigation). Berdasarkan analisis karakteristik usahatani jambu biji di Desa Ragajaya diketahui bahwa dari jumlah populasi petani jambu biji, luas lahan yang dimiliki petani dengan status sewa adalah 47,2 persen menyewa lahan kurang dari 0,5 hektar; 44,5 persen menyewa lahan antara 0,5 sampai satu hektar, dan 8,40 persen menyewa lahan dengan luas lebih dari satu hektar. Nilai NPV yang diperoleh petani yang menggunakan irigasi tetes dengan penurunan harga output hingga 15 persen pada tingkat suku bunga diskonto 11 persen adalah lebih besar Rp 358.838.843,- atau 165,72 persen dibandingkan dengan nilai NPV pada kondisi yang sama dengan pengairan tadah hujan. Begitu pula dengan rasio Net B/C, pada irigasi tetes rasio Net B/C lebih besar 2,8 satuan atau 62,22 persen dan IRR lebih 12,28 persen dibandingkan usahatani jambu biji dengan tadah hujan. Akibat dari pemanfaatan teknologi irigasi tetes tersebut, waktu pengembalian investasi lebih cepat satu tahun sembilan bulan. Dengan hasil uji kelayakan dan sensitivitas dimana petani dengan irigasi tetes lebih menguntungkan daripada petani dengan tadah hujan memeberikan suatu kesimpulan bahwa penerapan irigasi tetes layak untuk dilaksanakan untuk petani pemilik terlebih lagi petani penyakap di Desa Ragajaya. Seftiana (2010), meneliti tentang Analisis Kelayakan Usahatani Pepaya Di Desa Blendung, Kecamatan Purwadadi, Kabupaten Subang. Tujuannya adalah menganalis kelayakan usahatani pepaya di Desa Blendung, Kecamatan Purwadadi, Kabupaten Subang, dilihat dari aspek teknis, aspek manajemen, aspek sosial ekonomi dan aspek pasar serta menganalisis kelayakan finansial usahatani pepaya di Desa Blendung, Kecamatan Purwadadi, Kabupaten Subang apabila usaha ini dilakukan dalam dua pola, yaitu pola I adalah usahatani
pepaya yang menggunakan 50 kilogram pupuk dasar organik, dan pola II adalah usahatani pepaya yang menggunakan 15 kilogram pupuk dasar organik. Berdasarkan hasil analisis kelayakan non finansial, usahatani pepaya untuk kedua pola pemupukan di awal tanam yang dijalankan oleh petani pepaya di Desa Blendung layak untuk dilaksanakan. Sedangkan aspek manajemen petani pepaya di Desa Blendung masih belum layak karena belum adanya struktur yang jelas untuk usahatani pepaya tersebut. Kedua usahatani dengan pola I dan II dapat mendatangkan keuntungan sehingga layak untuk dijalankan jika dilihat dari aspek finansialnya. Dari kedua pola usaha yang layak pola usahatani I merupakan pola usaha yang paling layak untuk dijalankan. Hal ini dilihat dari hasil analisis finansial yang menunjukkan bahwa NPV pola usahatani I > NPV pola usahatani II, masing-masing Rp 31.225.228,79 dan Rp 6.897.368,24. Begitu pula dengan nilai Net B/C dan IRR nya. Sama halnya dengan payback period, pola usahatani I lebih cepat dalam hal pengembalian biaya investasi dibandingkan dengan pola usahatani II. 2.6.2. Studi Terdahulu Tentang Rosela Assyaukani (2008), dalam karya tulisnya meneliti tentang potensi produk minuman rosela terhadap pemberdayaan ekonomi masyarakat. Salah satu dari tujuan penelitian ini adalah mengetahui potensi ekonomi bagi komersialisasi produk minuman rosela. Hasil uji kelayakan bisnis (NPV dan IRR) dengan rentang tiga tahun dan tingkat bunga 14 persen didapat nilai NPV sebesar Rp 67.668.263 yang artinya akan ada penambahan keuntungan bersih sebesar angka tersebut selama tiga tahun. Hasil perhitungan IRR sebesar 54,37 persen yang artinya diproyeksikan nilai investasi akan bertambah sebesar angka tersebut selama tiga tahun dari nilai investasi awal. Hasil-hasil tersebut menyimpulkan bahwa bisnis ini akan menguntungkan dan layak untuk dijalankan. Kurniasari
(2009),
melakukan
penelitian
yang
berjudul
Analisis
Permintaan Rosela (Hibiscus sabdariffa Linn) Sebagai Bahan Minuman di Kota Bogor. Tujuannya adalah menganalisis karakteristik konsumen rumah tangga rosela
di Kota Bogor,
menganalisis faktor-faktor
yang mempengaruhi
permintaan rosela di Kota Bogor, dan menganalisis permintaan rosela di Kota Bogor terhadap harga dan pendapatan. Hasil analisis menyimpulkan bahwa konsumen rosela di Kota Bogor sebagian besar berjenis kelamin wanita pada rentang usia 41-51 tahun dengan tingkat pendidikan formal terakhir yaitu SMA dan pekerjaannya adalah ibu rumah tangga. Konsumen kebanyakan mendapatkan sumber informasi mengenai rosela dari penjual, tidak mengeluarkan waktu khusus menentukan kualitas rosela karena mereka hanya mengenal rosela yang mereka konsumsi. Model permintaan rosela di Kota Bogor adalah sebagai berikut : Y = 113 – 0,0901 X1 – 0,20 X2 – 0,258 X3 + 30,8 X4 – 1,64 X5 + 0,325 X6 – 51,0 D1 + 52,7 D2 + 10,8 D3. Hasil analisis menyimpulkan bahwa faktor-faktor yang berpengaruh nyata dalam menjelaskan keragaman permintaan rosela di Kota Bogor pada selang kepercayaan 95 persen yaitu harga rosela (X1), jumlah orang yang mengkonsumsi rosela dalam satu keluarga (X4), jenis kelamin (D1), dan preferensi (D2). Dari keempatnya, variable jenis kelamin yang tidak sesuai dengan hipotesis awal. Elastisitas permintaan rosela terhadap harga menghasilkan -0,243. Nilai ini menunjukkan sifat permintaan yang inelastis, artinya kenaikan harga menyebabkan penurunan kuantitas dengan proporsi lebih kecil. Hal ini menunjukkan rosela belum menjadi kebutuhan pokok konsumen. Selain itu, karena terkait dengan posisi produk rosela di tahap perkenalan, informasi mengenai rosela masih kurang terutama mengenai harga sehingga terjadinya perubahan harga rosela di pasar belum diketahui oleh konsumen. Aji (2009), melakukan penelitian yang berjudul Pengaruh Pemangkasan Dengan Jumlah Cabang Berbeda Terhadap Pertumbuhan Vegetatif dan Generatif Rosela
(Hibiscus
sabdariffa
L.).
Tujuannya
adalah
mempelajari
respon
pertumbuhan vegetatif dan generatif rosela yang mengalami pemangkasan dengan berbagai jumlah cabang yang berbeda. Hasil penelitian yang dilakukan berdasarkan metode acak langkap dengan satu faktor yaitu pemangkasan dengan jumlah cabang berbeda memberikan pengaruh terhadap penurunan pada beberapa pertumbuhan vegetatif dan generatif tanaman rosela. Tanaman yang mengalami pemangkasan dengan 15 cabang tidak menunjukkan perbedaan yang nyata pada jumlah
cabang primer, jumlah cabang sekunder, jumlah daun, bobot basah dan bobot kering tajuk, bobot basah dan bobot kering akar, jumlah bunga, jumlah kaliks yang dipanen, bobot basah dan bobot kering kaliks, serta bobot basah dan bobot kering buah. Tanaman yang mengalami pemangkasan cenderung memiliki luas daun dan kandungan antosianin yang lebih tinggi disbanding tanaman yang tidak dipangkas. Secara umum, tanaman dengan 15 cabang primer memberikan pengaruh terbaik pada pertumbuhan vegetatif dan generatif rosela. Radja (2010), melakukan penelitian yang berjudul Pengaruh Pupuk Fosfor Terhadap Pertumbuhan Vegetatif dan Generatif Rosela (Hibiscus sabdariffa L.). Tujuan penelitiannya adalah mempelajari pengaruh pupuk fosfor terhadap pertumbuhan vegetatif dan generatif rosela (Hibiscus sabdariffa L.). Berdasarkan metode faktor tunggal dengan susunan rancangan acak langkap (RAL), diketahui bahwa perlakuan pupuk fosfor dengan dosis 0, 10, 20, 30 dan 40 g SP-18/polibag tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap peubah pertumbuhan vegetatif dan generatif rosela. Status hara fosfor di media tanam sangat tinggi yaitu 283 ppm, sehingga penambahan pupuk fosfor sampai dengan 40 g SP-18/polibag tidak mempengaruhi pertumbuhan vegetatif dan generatif rosela dengan kandungan antosianin berkisar 0,31 – 0,39 mmol/g bobot basah kaliks. Penelitian tentang analisis kelayakan finansial usahatani rosela organik belum pernah dilakukan. Hal ini mendorong penulis untuk mengkajinya, apalagi Wahana Farm belum lama berdiri, sehingga sangat menarik untuk dianalisis kelayakannya. Persamaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya yaitu mengacu pada topik yang sama, yaitu kelayakan finansial usaha di bidang pertanian organik dan alat analisis yang digunakan. Perbedaan dari penelitian sebelumnya adalah jenis komoditi dan alat analisis yang digunakan. Jenis komoditi dan alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis finansial usaha rosela organik di Wahana Farm.
2.7. Ruang Lingkup Penelitian Studi kelayakan proyek adalah studi atau penelitian dalam rangka untuk menilai layak tidaknya proyek investasi yang akan dilakukan dengan berhasil dan menguntungkan secara ekonomis. Tujuan utama dilakukan studi kelayakan proyek adalah untuk menghindari keterlanjuran investasi yang memakan dana relatif besar yang ternyata justru tidak memberikan keuntungan secara ekonomi. Apapun bentuk investasi yang akan dilakukan diperlukan studi kelayakan meskipun
intensitasnya
berbeda.
Hal
ini
mengingat
masa
mendatang
mengandung penuh ketidakpastian (Suratman, 2002). Secara umum, aspek-aspek yang akan dikaji dalam studi kelayakan meliputi aspek pasar, aspek teknis, aspek manajemen, aspek sosial dan aspek finansial. Kajian aspek pasar berkaitan dengan ada tidaknya potensi pasar dan peluang pasar atas suatu produk yang akan diluncurkan di masa yang akan datang. Kajian aspek teknis menitikberatkan pada penilaian atas kelayakan proyek dari sisi teknis seperti penentuan lokasi proyek, pemilihan mesin dan peralatan lainnya. Kajian aspek manajemen mengacu pada sistem koordinasi dalam struktur organisasi. Kajian aspek sosial menjelaskan tentang dampak positif yang timbul karena adanya proyek. Kajian aspek finansial berkaitan dengan bagaimana menentukan kebutuhan jumlah dana dan sekaligus pengalokasiannya serta mencari sumber dana yang bersangkutan secara efisien.