BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi Konsep dan Batasan Konsep 1. Politik Bicara soal politik, mau tak mau, rujukan awal mesti digali sejak masa Yunani Kuno, sekitar abad ke-5 sebelum Masehi. Pada masa tersebut, filsuf seperti Platon dan Aristoteles menganggap politik sebagai suatu usaha untuk mencapai masyarakat politik (polis) yang terbaik. Di dalam polis, manusia akan hidup bahagia karena memiliki peluang untuk mengembangkan bakat, bergaul dengan rasa kemasyarakatan yang akrab, dan hidup dalam suasana moralitas yang tinggi (Budiardjo, 2010: 14). Selain dari Miriam Budiardjo, yang karyanya lazim dijadikan rujukan mahasiswa ilmu sosial dan politik, untuk memahami politik juga dapat merujuk definisi lain yang ditawarkan Peter Merkl (1967: 13), yaitu “politics, at its best is a noble quest for a good order and justice.” Jauh melampaui itu, Jacques Ranciere punya formulasi lebih mutakhir ihwal politik. Ia membedakan dua hal yang secara bahasa cukup mirip, yaitu “politik” dan “yang politis”, yang dalam bahasa aslinya police dan politics. Tentang keduanya, Ranciere (2010: 36) menulis, “two ways of counting the parts of the community exist. The first counts real parts only–actual groups defined by differences in birth, and by the different functions, places and interests that make up the social body to the exclusion of every supplement. The second, 'in addition' to this, counts a part of those without part.” Politik (police) adalah praktik kekuasaan atau penubuhan kehendak dan kepentingan yang mensyaratkan adanya subjek yang saling terbelah dan terbagi ke dalam hierarki dalam sebuah ruang bersama yang nyata. Politik mencipta partisi dari berbagai persepsi dan praktik yang membentuk ruang bersama, atau distribusi sensibilitas (le partage du sensible). Bagi Ranciere (2004: 2-3), politik (police) adalah “an organizational system of coordinates
4
that establishes a distribution of the sensible or a law that divides the community into groups, social position, and functions.” Politik mengatur individu-individu dan kelompok untuk menempati posisi sebagai yang memerintah dan yang diperintah. Secara implisit, politik memisahkan mereka yang dianggap bagian dan mereka yang bukan bagian. Oleh karenanya, muncullah konsep yang politis, sebagai kontras dari politik. Yang politis merupakan segala aktivitas yang memutus keterkaitan dengan politik, dengan menemukan subjek baru (Hardiman, dkk., 2011: 44). “There is politics when there is a part of those who have no part, a part or party of the poor. Politics does not happen just because the poor oppose the rich. It is the other way around: politics (that is, the interruption of the simple effects of domination by the rich) causes the poor to exist as an entity. Politics exist when the natural order of domination is interrupted by the institution of a part of those have no part (Ranciere, 1998: 11).” Lebih lanjut, Ranciere lantas memetakan filsafat politik yang berkembang dalam sejarah filsafat Barat dalam tiga jenis, yakni arkhipolitik, parapolitik, dan metapolitik (Ranciere, 1998: 61-95). Pertama, arkhipolitik, adalah model filsafat politik yang dimulai oleh Platon. Filsuf Yunani tersebut membagi masyarakat polis dalam tiga kelas: pekerja, prajurit, dan filsuf-raja. Ketiga kelas tersebut ditengarai merupakan perpanjangan dari struktur jiwa Platonisian, yang tersusun dari tiga unsur mendasar, yakni: nafsu (epithumia), semangat (thumos), dan intelektualitas (logistikon) (Melling, 2002: 129). Platon meletakkan pekerja (sebetulnya juga para seniman dan penyair) di kelas ketiga, prajurit di kelas pelindung, dan arete (keutamaan) diberikan pada filsuf-raja. Platon menulis (2002: 246), “sampai para filsuf menjadi raja, atau para raja dan putra mahkota di atas bumi ini memiliki semangat dan kemampuan filosofis... hanya negara kita ini saja yang akan memiliki kemungkinan untuk hidup dan melihat cahaya terang.” Maka, dalam arkhipolitik, setiap orang sudah punya bagian masingmasing, yang penentuannya hampir bersifat kodrati. Kelas-kelas ditentukan
5
secara tegas, tidak ada pengakuan akan kesetaraan. Dengan kata lain, yang politis nihil. “Politics is eliminated because, rather than anyone acting out of the presupposition of equality, everyone is allotted a proper place and is expected to remain there (May, 2008: 43).” Yang politis tak ada, sebab tiap orang memiliki posisi masing-masing dalam polis, dan mesti dijaga supaya tetap seperti itu. Dalam kasus ini, harmoni tiba-tiba terkesan negatif, sebab untuk menjaga harmoni, kelas-kelas dipertegas tanpa ada pengakuan akan kesetaraan. Kedua, parapolitik, pendasarannya ada pada Aristoteles yang dalam beberapa hal bisa dipandang sedikit lebih “demokratis” ketimbang Platon. Parapolitik mengandaikan politik sebagai persoalan estetika: politik adalah percakapan dan penampilan atau pemunculan dalam ruang publik/polis (Hardiman, dkk., 2011: 38). Aristoteles mempertimbangkan quality di satu sisi, dan equality di sisi lain. Solusi yang ditawarkan Aristoteles adalah pelampauan tendensi naturalistik, dalam rangka membentuk suatu prinsip kompetisi. Konsekuensinya, kesetaraan alamiah disubordinasi pemerintah. “Any theory that seeks to recognize equality within a more general order of policing is a form of parapolitics (May, 2008: 44).” Ketiga, metapolitik, yang berjarak lumayan jauh dari pemikiran Plato dan Aristoteles. Pendasarannya tak dicari di Yunani lagi, melainkan Jerman. Metapolitik mengakar pada ideologi raksasa di dunia, Marxisme. Menurut Ranciere, metapolitik pada dasarnya adalah bentuk pengingkaran terhadap “yang politis” karena kebenaran akan politik sering ditempatkan atau dicari di tempat lain “di luar sana”, jauh melampaui politik (Hardiman, dkk., 2011: 39). Keseluruhan relasi politik, bagi para penganut Marxis, tidak lebih dari sekadar refleksi dari berbagai kepentingan dan relasi-relasi dalam mode produksi. Politik bukanlah perkara utama, namun lahan kepentingan relasi produksi dominan semata. Apabila mengutip pernyataan F. Budi Hardiman dalam kuliah hermeneutika di Salihara, kebenaran artinya ketersingkapan (aletheia), tempatnya jauh “di sana”, di akhir sejarah. Termasuk kebenaran politik.
6
2. Kesetaraan dan Kesetaraan Radikal Argumen ihwal kesetaraan mengandaikan seseorang memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan orang lain. Bagi masyarakat di negara hukum, didakwahkan argumen equality before the law, bahwa setiap orang adalah sama di bawah payung hukum. Will Kymlicka sepakat dengan interpretasi Mahkamah Agung Kanada mengenai jaminan sama di bawah Canadian Charter of Rights, yang menyebutkan bahwa “akomodasi dari perbedaanperbedaan adalah inti dari kesetaraan yang sebenarnya”, dan hak-hak khusus kelompok diperlukan untuk mengakomodasi segala perbedaan (Kymlicka, 2015: 162). Mengenai peristilahan, dikenal dua kata yang hampir serupa, yakni equality dan equity. Equality (pemerataan) adalah keadilan distribusional yang menitikberatkan pada distribusi kebutuhan sosial primer yang merata ke seluruh masyarakat, namun prioritasnya pada rakyat kecil. Dengan kata lain, equality bisa didefinisikan sebagai keadilan prorakyat kecil. Sedangkan equity (kesetaraan) berarti prinsip keadilan distribusional yang biasa dianut pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Equity memandang masyarakat sebagai kumpulan grup yang memiliki perbedaan identitas, baik dalam kebudayaan, gaya hidup, dan kebutuhan. Prinsip equity menuntut pemerintah untuk mampu membuat kebijakan yang menguntungkan seluruh grup masyarakat. Aristoteles memberi gambaran “kesetaraan” dalam Etika Nikomakhea, “tidak ada pertukaran tanpa kesetaraan dan tidak ada kesetaraan tanpa keseukuran (Suryajaya, 2013: 6).” Pernyataan tersebut memang Aristoteles tujukan untuk memberi rumusan bagi teori nilai, yang sifatnya ekonomis. Kendati demikian, bukan berarti rumusan tersebut tidak bisa diperluas ke ranah sosial. Dalam Sosiologi dikenal teori pertukaran yang diusung George C. Homans. Teori pertukaran dilandasi prinsip transaksi ekonomis yang elementer: orang menyediakan barang atau jasa dan sebagai imbalannya berharap memperoleh barang atau jasa yang diinginkan. Para pemikir teori
7
pertukaran memiliki asumsi sederhana bahwa interaksi sosial itu mirip dengan transaksi ekonomi (Poloma, 2013: 53). Jika teori pertukaran ditarik ke argumen Aristoteles, bisa disimpulkan bahwa seseorang akan berinteraksi sosial (pertukaran) dengan orang-orang yang setara dengannya (kesetaraan), dan untuk menentukan mereka yang setara, dapat melalui imbalan (keseukuran). Homans (1974: 252) sendiri menulis bahwa “yang menjadi aturan umum kelihatannya adalah bahwa orang lebih cenderung membandingkan diri mereka dengan orang lain yang dalam beberapa tingkat dirasa mirip dengannya, daripada dengan orang lain yang tak mirip atau berbeda. Kemudian akan memperbandingkn diri mereka dengan orang lain, dengan siapa mereka mengadakan pertukaran langsung dan personal.” Sementara itu, “kesetaraan radikal” merujuk pada konsep kesetaraan yang dicetuskan oleh Jacques Ranciere, dan akan dikaji nanti. Kata radikal yang menguntit di belakang term kesetaraan, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memiliki arti, yakni secara menyeluruh/habis-habisan, amat keras menuntut perubahan, dan maju dalam berpikir atau bertindak (Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, 2008: 1151-1152). Istilah radikal itu berasal dari bahasa Latin, radix, yang berarti “akar”. Oleh karena itu, radikal bisa disimpulkan sebagai pemikiran yang mendasar, dan kesetaraan radikal adalah kesetaraan yang mendasar, menyeluruh, dan habis-habisan. 3. Multikulturalisme Orang-orang lazim memakai istilah “multikultural” untuk menunjuk sejumlah kelompok sosial nonetnis yang dikucilkan atau dikesampingkan dari aliran utama masyarakat, disebabkan oleh beberapa alasan. Kymlicka menyebut bahwa di Amerika Serikat “multikulturalisme” sering mengacu pada upaya untuk membalikkan pengucilan bersejarah kelompok-kelompok seperti penyandang cacat, para homoseksual dan lesbian, perempuan, kelas pekerja, ateis, dan komunis (Kymlicka, 2015: 25). Disebabkan karena istilah multikultural masih dirasa rancu, Kymlicka mengusulkan pemakaian istilah, “multibangsa” dan “polietnis”, untuk mengacu pada kedua bentuk utama
8
pluralisme kebudayaan (Kymlicka, 2015: 24). Artinya, menurut Kymlicka, multikulturalisme adalah politik tentang hak-hak minoritas. Pandangan lain tentang multikulturalisme datang dari Bhikhu Parekh. Multikulturalisme, menurut Parekh, hendaknya dilihat bukan sebagai sebuah doktrin politik dengan sebuah isi programatik, bukan juga sebagai perspektif tentang kehidupan manusia (Parekh, 2008: 440). Multikulturalisme setidaktidaknya memiliki tiga wawasan sentral. Pertama, manusia tumbuh dan hidup di dunia yang terstruktur secara kultural, kehidupan dan hubungan sosial diorganisasi menurut sistem makna. Kedua, kebudayaan-kebudayaan yang berbeda mencerminkan sistem makna dan pandangan tentang jalan hidup yang baik. Ketiga, semua kebudayaan kecuali yang paling primitif secara internal bersifat majemuk. Sosiolog Anthony Giddens (Giddens & Sutton, 2013) berpendapat, Giddens menyatakan bahwa multikulturalisme sering disalahartikan. Orang sering berpikir bahwa multikulturalisme berarti separatisme atau relativisme budaya. Orang-orang juga menyalahkan multikulturalisme dalam kaitannya dengan terorisme. Giddens menawarkan “sophisticated multiculturalism” yang menekankan pentingnya identitas nasional dan hukum nasional, tetapi juga memperkuat hubungan antara kelompok-kelompok sosial dan etnis yang berbeda. Karena itu, Giddens memandang multikulturalisme sebagai solidaritas sosial, bukan pemisahan. Poin utamanya ialah untuk menemukan keseimbangan antara kewajiban-kewajiban universal dan kepekaan nilai dari kelompok yang berbeda-beda (Robet & Tobi, 2014: 94). Lalu, Amartya Sen (2007: 202-203) berpendapat bahwa tiap dukungan terhadap multikulturalisme yang sering dikemukakan sesungguhnya tidak lebih dari pledoi terhadap “monokulturalisme majemuk”. Menurut Sen, multikulturalisme tidak boleh melanggar hak seseorang untuk berpartisipasi dalam masyarakat sipil, ambil bagian dalam politik nasional, atau menolak untuk menjalani hidup berdasarkan tatanan yang lama. Betapa pun penting multikulturalisme, tak secara otomatis aturan-aturan budaya tradisional bisa diprioritaskan lebih dari yang lain-lain.
9
4. Hermeneutika Istilah hermeneutika atau hermeneutics dalam bahasa Inggris berasal dari bahasa Yunani, hermeneutice. Orang pertama yang memperkenalkan istilah ini ialah Homeros, pengarang epos terkenal Iliad yang hidup sekitar abad ke-6 SM (Hadi W.M., 2008: 29). Seabad kemudian, istilah itu dipakai Platon dalam karya-karya filosofisnya dan diikuti muridnya, Aristoteles. Filsuf-filsuf Stoa, dalam karya-karyanya, juga menguraikan betapa penting hermeneutika dalam perbincangan filsafat. Pada abad ke-20, ada seorang filsuf modern yang merujuk pengertian hermeneutika sebagaimana Homeros maupun Platon, filsuf termaksud ialah Martin Heidegger. Hermeneutice sendiri berasal dari kata hermeneuin atau hermeneunia yang dibentuk dari kata Hermes, utusan yang dikirim Zeus ke bumi untuk menyampaikan pesan ketuhanan kepada manusia. Dalam menyampaikan pesan, ia harus bisa menerjemahkan pesan langit dalam bahasa manusia. Oleh sebab itu, Menurut Heidegger, Hermes berperan sebagai penghubung antara alam ketuhanan dan alam kemanusiaan. Pesan yang disampaikan ialah kabar tentang adanya takdir (die botschaft des geschichtes) yang tidak terelakkan oleh manusia yang hidup di muka bumi (Hadi W.M., 2008: 29). Platon sendiri (yang dirujuk Heidegger), suka menyamakan Hermes dengan penyair atau pengarang, yang melahirkan karya setelah menerima ilham ketuhanan melalui meditasi dan kontemplasi. Awalnya, hermeneutika merupakan pisau bedah untuk menafsirkan teks kitab suci yang otoritatif. Terutama dalam tradisi Kristen, hermeneutika menjadi penting di tengah peredaran Bibel dengan berbagai versi. Sebut saja Santo Agustinus, Thomas Aquinas dan Baruch de Spinoza, mereka yang mempraktikkan hermeneutika sebagai pisau bedah dalam menafsirkan teksteks kitab suci. Kemudian hermeneutika dimengerti pula sebagai salah satu bagian dari filologi, bidang ilmu yang menggeluti teks-teks klasik (bukan hanya kitab suci, namun juga karya filosofis dan sebagainya). Pada akhir abad ke-18, hermeneutika memulai babak baru yang dirintis oleh Friedrich
10
Schleiermacher. Kemudian muncullah sebutan hermeneutika romantik guna menandai babak baru tradisi hermeneutika tersebut. Schleiermacher adalah tonggak awal dan menjadi tokoh pertama dari empat tokoh rujukan dalam hermeneutika modern. Schleiermacher berada di taraf tafsir teks, namun ia menggeser hermeneutika yang sebelumnya berbau teologi ke ranah yang lebih filosofis. Ia beranggapan, untuk menafsirkan teks, penafsir harus memasuki dunia mental penulis kemudian mencari makna seluas-luasnya. Lebih lanjut ia menyebutkan bahwa suatu tafsiran bisa dikatakan objektif manakala penafsir mampu menjelaskan lebih dari maksud penulis, kendati penafsir berangkatnya dari dunia mental penulis. Misalnya, konsep geist dari Hegel ditafsirkan secara luas oleh filsuf-filsuf setelahnya, tentu tafsiran Kierkegaard tak sama dengan Nietzsche ataupun Marx. Bagaimanapun, Schleiermacher tetap anak zaman, meski menentang positivisme, toh ia mengejar objektivitas pula. Tokoh hermeneutika modern yang kedua adalah Wilhelm Dilthey. Ia berjasa lantaran memperluas lingkup hermeneutika yang sebelumnya hanya sekadar penafsiran teks, lalu dapat pula dipakai untuk menafsirkan produkproduk kebudayaan lain, termasuk realitas sosial. Dilthey menempatkan hermeneutika sebagai metode, lain dengan Schleiermacher yang menyebut hermeneutika sebagai seni. Metode untuk suatu bidang ilmu yang Dilthey sebut dengan geisteswissenschaften. Itulah sebab mengapa di kemudian hari hermeneutika Diltheyan dikenal dengan hermeneutika metodologis. Dilthey menyebut ada tiga tahap dalam pemahaman, yakni: erlebnis (penghayatan), ausdruck (ekspresi), dan verstehen (pemahaman). Tahapan itu menunjukkan bahwa masalah hermeneutika di tangan Dilthey bergeser dari persoalan bagaimana merasuki kepala pengarang/orang lain menjadi bagaimana merekonstruksi bentuk-bentuk yang jadi wadah kehidupan orang lain itu dieksternalisasikan (Munzir, 2012: 77). Dilthey kemudian mengandaikan ada kesalingterkaitan makna kehidupan yang diejawantahkan dalam wujudwujud eksternalisasi tersebut.
11
Tokoh ketiga ialah filsuf eksistensialis bernama Martin Heidegger, yang berbeda atau bahkan berlawanan dengan tokoh-tokoh sebelumnya. Menurut Heidegger, jika ditilik ke asalnya, pemahaman semestinya tidak dipahami sebagai wujud pikiran (mode of cognition) (Grondin, 2013: 102). Namun lebih bersifat ontologis, sehingga menurut Heidegger, memahami merupakan cara manusia untuk mengada (dasein). Sebagai suatu proyek filosofis, hermeneutika harus menyelesaikan tugas-tugas interpretasi yang secara natural selalu dilakukan dasein. Hermeneutika Heidegger seringkali disebut dengan hermeneutika faktisitas, yang ditandai oleh fakta (dan itu berarti dengan faktisitas) yang terbuka bagi kemakhlukannya sendiri. Tokoh keempat, sekaligus terpenting, adalah Hans Georg Gadamer. Boleh dikatakan dialah tokoh puncak hermeneutika modern, sekaligus tokoh terakhir kubu hermeneutika kesepahaman. Berikutnya akan muncul tokohtokoh di kubu hermeneutika ketaksepahaman, yakni: Rudolf Karl Bultmann, Jurgen Habermas, Paul Ricouer, dan Jacques Derrida. Sumbangan besar Gadamer sendiri ialah menjadikan hermeneutika menjadi lebih universal, tak sekadar seni, metode, atau ontologi. Gadamer juga menelurkan konsep yang ia sebut dengan wirkungsgeschichte atau sejarah pengaruh. Artinya, setiap tafsiran tidak akan pernah lepas dari konteks zaman dan situasi penafsir. Agaknya konsep ini diilhami oleh pendahulunya, Schleiermacher dan Dilthey, yang tidak bisa lepas dari konteks zamannya, atau Heidegger yang menentang metafisika justru dengan metafisika sebagai senjatanya. Wirkungsgeschichte dimaksudkan bahwa penafsir mustahil untuk benarbenar memasuki dunia mental penulis, ia tak akan bisa meninggalkan situasi dirinya sendiri. Karena itu, horizontverschmelzung (fusi horizon) merupakan keniscayaan agar dapat memahami makna dengan paripurna. Fusi horizon adalah sintesis antara makna yang diutarakan oleh penulis dengan dimensi penafsir, termasuk di dalamnya wawasan intelektual penafsir.
12
B. Penelitian Terdahulu Sesungguhnya di kajian sosiologis, Jacques Ranciere belum banyak dibahas di Indonesia. Sejauh ini, sosiolog yang rajin mengkaji dan menganalisis Ranciere hanya Robertus Robet. Di luar itu, Ranciere lebih banyak dibahas dalam kajiankajian filsafat, meskipun tak banyak produk yang dihasilkan, terkhusus publikasi ilmiah. Alumni jurusan Filsafat Universitas Indonesia, Shane Antoinetta Christy Hehakaya menulis skripsi berjudul Kesetaraan Masyarakat Pluralis Demokrasi: Sebuah Analisa Filosofis atas Pemikiran Jacques Ranciere sebagai syarat wisuda pada tahun 2012. Skripsi yang ditulis Shane bahasannya sangat dekat dengan makalah kuliah umum Robertus Robet di Komunitas Salihara yang kemudian dihimpun dalam sebuah buku, Empat Esai Etika Politik (2011). Dalam buku itu, esai Robet berjudul Yang Politis, Yang Estetis, dan Kesetaraan Radikal: Etika Politik Jacques Ranciere disandingkan dengan tulisan-tulisan dari Bagus Takwin, F. Budi Hardiman, A. Setyo Wibowo dan Thomas Hidya Tjaya. Lain hal dengan penelitian ini, isu kesetaraan dan posisi Islam dalam multikulturalisme jadi fokus utama. Maksudnya jelas, supaya tidak bertabrakan dengan kajian ihwal Ranciere yang sudah ada sebelumnya. Di luar negeri, tentu sudah banyak literatur yang memang fokus mengkaji pemikiran Jacques Ranciere, salah satunya ialah The Political Thought of Jacques Ranciere: Creating Equality. Karya Todd May yang diterbitkan pada tahun 2008 tersebut mendedah pemikiran sosio-politik Ranciere secara mendalam. May lebih mengkhususkan pembahasannya pada ihwal demokrasi (dan anarkisme) dalam perspektif Ranciere. Ada pula karya lain, semisal Reading Ranciere, yang diedit Paul Bowman dan Richard Stamp. Karya tersebut merupakan kumpulan esai dari beberapa pakar yang menafsir pemikiran Ranciere. Dalam buku tersebut ada satu artikel yang cukup unik, yang ditulis oleh Alberto Tuscano, yakni Anti-Sociology and Its Limits. Tulisan sekira dua puluh halaman tersebut mendedah sikap antiSosiologi berikut batasan-batasannya. Terkait jurnal dan artikel ilmiah yang fokus mengkaji pemikiran Ranciere, di Indonesia masih jarang. Di luar negeri jelas berlimpah, sebut saja:
13
1. Jacques Ranciere and the Problem of Pure Politics (2011) oleh Samuel A. Chambers. 2. A Literary Animal: Ranciere, Derrida and the Literature of Democracy (2009) oleh Mark Robson. 3. Ranciere and the Practice of Equality (1991) oleh Kristin Ross. 4. Jacques Ranciere’s Contribution to the Ethics of Recognition (2003) oleh Jean-Philippe Deranty. 5. Two Refoundation Projects of Democracy in Contemporary French Philosophy: Cornelius Castoriadis and Jacques Ranciere (2001) oleh G. Labelle. 6. A Passion for the (Im)possible: Jacques Ranciere, Equality, Pedagogy and the Messianic (2005) oleh Michael Dillon, dan lain sebagainya.
C. Landasan Teori Teori yang akan disorot dalam skripsi ini adalah “disensus”. Demokrasi memang hanya mengolah kebenaran politik di antara mereka yang berkonsensus. Bahkan lebih sempit lagi, konsensus itu harus diwakilkan pada hanya segelintir orang melalui sistem perwakilan politik, dan itu berarti terbuka peluang untuk praktik oligarki (Mohamad, dkk., 2011: 23-24). Maka, Ranciere menyarankan disensus. Karya utama Ranciere, terkait teori tersebut, Dissensus: On Politics and Aesthetics, dibuka dengan “sepuluh tesis yang politis” yang masyhur itu. Sepuluh tesis yang politis tersebut memaparkan bagaimana politik semestinya dibangun dengan disensus, bukannya konsensus. Sepuluh tesis Ranciere antara lain: 1. Politics is not the exercise of power. Politics ought to be defined in its own terms as a specific mode of action that is enacted by a specific subject and that has its own proper rationality. It is the political relationship that makes it possible to conceive of the subject of politics, not the other way round. 2. What is specific to politics is the existence of a subject defined by its participation in contraries. Politics is a paradoxical form of action. 3. Politics is a specific break with the logic of the arkhe. It does not simply presuppose a break with the “normal” distribution of positions that defines
14
who exercises power and who is subject to it. It also requires a break with the idea that there exist dispositions “specific” to these positions. 4. Democracy is not a political regime. As a rupture in the logic of the arkhe, that is, of the anticipation of ruling in its disposition, it is the very regime of politics itself as a form of relationship that defines a specific subject. 5. The people that comprises the subject of democracy, and thus the atomic subject of politics, is neither the collection of members of the community, nor the labouring classes of the population. It is the supplementary part in relation to every count of the parts of the population, making it possible to identify “the count of the uncounted” with the whole of the community. 6. If politics is the tracing of a vanishing difference with respect to the distribution of social parts and shares, it follows that its existence is by no means necessary, but that it occurs as an always provisional accident within the history of forms of domination. It also follows that the essential object of political dispute is the very existence of politics itself. 7. Politics stands in distinct opposition to the police. The police is a distribution of the sensible (partage du sensible) whose principle is the absence of void and of supplement. 8. The essential work of politics is the configuration of its own space. It is to make the world of its subjects and its operations seen. The essence of politics is the manifestation of dissensus as the presence of two worlds in one. 9. Inasmuch as the province of political philosophy lies in grounding political action in a specific mode of being, it works essentially to efface the litigiousness constitutive of politics. Philosophy effects this effacement in its very description of the world of politics. Moreover, the effectiveness of this effacement is also perpetuated in non-philosophical or anti-philosophical descriptions of the world. 10. The “end of politics” and the “return of politics” are two complementary ways of cancelling out politics in the simple relationship between a state of
15
the social and a state of the state apparatus. 'Consensus' is the common name given to this cancellation. Terjemahan: 1. Yang politis bukanlah suatu penghikmatan kekuasaan. Yang politis mesti didefinisikan melalui terminologi sendiri sebagai cara tindak spesifik yang dijelma oleh subjek spesifik dan punya rasionalitas tersendiri: adalah relasi politik yang memungkinkan pemahaman subjek yang politis, bukan dengan jalan lain. 2. Apa yang spesifik untuk yang politis adalah eksistensi subjek, didefinisikan oleh partisipasinya dalam pertentangan. Yang politis merupakan sebentuk paradoks atas tindakan. 3. Yang politis adalah konflik spesifik dengan logika arkhe. Tak sesederhana pengandaian konflik dengan distribusi posisi “normal” yang didefinisikan oleh penghikmat kekuasaan dan selaku subjek baginya. Itu membutuhkan perpecahan dengan ide bahwa di sana pengaturan spesifik untuk posisinya eksis. 4. Demokrasi bukanlah rezim politik. Sebagai perpecahan dalam logika arkhe, begitulah ia, merupakan antisipasi atas penguasaan disposisinya, yang mana sesungguhnya yang politis sendiri ialah bentuk relasi yang mendefinisikan subjek spesifik. 5. Orang-orang yang terdiri dari subjek demokrasi, dan dengan demikian merupakan subjek atomis dari yang politis, tiada kumpulan atas anggota komunitas, maupun kelas pekerja dalam populasi. Inilah bagian tambahan dalam relasi bagi tiap hitungan atas bagian-bagian populasi, menjadikannya mungkin untuk mengidentifikasi “hitungan atas yang tak terhitung” bersama keseluruhan komunitas. 6. Apabila yang politis mengusut pelenyapan perbedaan dengan penghormatan distribusi peran dan andil sosial, ia menyusul eksistensinya oleh karena tak perlu makna, namun itu terjadi sejauh sebagai kecelakaan sementara dalam sejarah bentuk-bentuk dominasi. Seturut bahwa objek esensial perselisihan politik adalah sebenar-benar eksistensi yang politis itu sendiri.
16
7. Yang politis berdiri dalam distingsi mengoposisi politik. Politik merupakan distribusi sensibilitas (partage du sensible) yang mana berprinsip absennya kehampaan sekaligus tambahan. 8. Esensi laku yang politis adalah konfigurasi ruangnya sendiri. Tujuannya untuk menyibak dunia bagi subjek dan operasinya. Esensi yang politis ialah manifestasi disensus sebagai kehadiran dua dunia dalam satu. 9. Oleh karena wewenang filsafat politik berada pengandasan aksi politik dalam mode keberadaan yang spesifik, dan bekerja secara esensial untuk menghapus keadilan konstitutif yang politis. Efek filosofis dari penghapusan ini mendeskripsikan secara sahih dunia yang politis. Selain itu, efektivitas penghapusan juga kekal dalam deksripsi nonfilosofis dan antifilosofis atas dunia. 10. “Akhir yang politis” dan “kembalinya yang politis” adalah dua cara yang saling melengkapi untuk membatalkan yang politis dalam relasi sederhana antara kondisi sosial dan kondisi aparat. Konsensus adalah nama yang disematkan untuk pembatalan ini.
D. Kerangka Pemikiran Kerangka pemikiran dalam penelitian ini memakai horizontverschmelzung, yang merupakan kunci dari hermeneutika Gadamer. Horizontverschmelzung ialah peleburan antara horizon penulis dan horizon pembaca yang mengambil medan dalam teks. Menurut Gadamer, yang disebut memahami (secara hermeneutis tentu saja) bukanlah menghapus tegangan itu, misalnya, dengan membiarkan horizon teks “mencaplok” horizon pembaca, melainkan justru mengeksplisitkan tegangan itu. Peleburan horizon-horizon bukan asimilasi sebuah horizon ke dalam horizon lain, melainkan sebuah interseksi di antara horizon-horizon (Hardiman, 2015: 182-183). Kerangkan pemikiran yang merunut pada horizontverschmelzung secara sederhana bisa divisualisasikan seperti berikut:
17
Horizon 1 Pemikiran Jacques Ranciere, tekstual.
Peleburan Horizon Kesetaraan radikal dalam konteks masyarakat multikultural
Horizon 2 Tafsir dan wawasan intelektual peneliti.
Bagan 2.1 Skema Kerangka Pemikiran
Selain mencari horizontverschmelzung di antara teks penulis (dalam hal ini Ranciere) dengan konteks penafsir, horizontverschmelzung pun memungkinkan interseksi antara konsep kesetaraan Ranciere dengan wacana multikulturalisme. Interseksi antara teks penulis dengan konteks penafsir pada gilirannya menjadi kerangka berpikir, sedangkan interseksi antara konsep kesetaraan Ranciere dengan wacana multikulturalisme merupakan fokus objek yang disasar.
18