BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori 1. Tinjauan tentang Pembuktian a. Pengertian Pembuktian Pembuktian dilihat dari perspektif hukum acara pidana yaitu ketentuan yang
membatasi
sidang
pengadilan
dalam
usaha
mencari
dan
mempertahankan kebenaran baik oleh hakim, penuntut umum, terdakwa dan penasehat hukum. Kesemuanya terikat pada ketentuan dan tata cara serta penilaian alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang. Tidak dibenarkan untuk melakukan tindakan yang leluasa sendiri dalam menilai alat bukti dan tidak boleh bertentangan dengan undang-undang (Syaiful Bakhri, 2009: 27). b. Sistem atau Teori Pembuktian Ada beberapa sistem atau teori pembuktian, yaitu: 1) Conviction In Time (Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim) Sistem pembuktian ini menentukan salah tidaknya terdakwa semata-mata ditentukan oleh keyakinan hakim saja.Dari mana hakim menarik dan menyimpulkan keyakinannya, tidak menjadi masalah dalam sistem ini.keyakinan hakim boleh diambil dari alat-alat bukti yang diperiksanya dalam sidang pengadilan. Bisa juga hasil pemeriksaan alatalat bukti itu diabaikan oleh hakim dan langsung menarik keyakinan dari keterangan atau pengakuan terdakwa (M. Yahya Harahap, 2012 : 277). Sekalipun alat bukti sudah cukup apabila hakim tidak yakin, hakim tidak boleh menjatuhkan pidana. Namun sebaliknya meskipun alat bukti tidak ada tetapi apabila hakim sudah yakin, maka terdakwa dapat dinyatakan bersalah (Andi Hamzah, 2002: 249).
14
15
2) Conviction In Raisone (Sistem atau Teori
Pembuktian Berdasarkan
Keyakinan Hakim Atas Alasan yang Logis) Pada sistem pembuktian ini keyakinan hakim harus didukung dengan alasan-alasan yang jelas. Hakim wajib menguraikan dan menjelaskan alasan-alasan apa yang mendasari keyakinannya atas kesalahan terdakwa. Keyakinan hakim harus mempunyai dasar-dasar alasan yang logis dan benar-benar dapat diterima akal (M. Yahya Harahap, 2012 : 277-278). 3) Positief Wettelijk Bewijstheory (Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Positif) Sistem ini merupakan kebalikan dari sistem conviction in time.Menurut sistem imi, undang-undang ditetapkan secara limitatif alatalat bukti mana yang boleh dipakai oleh hakim. Teori ini sama sekali tidak mempertimbangkan keyakinan hakim. Jadi, sekalipun hakim yakin akan kesalahan yang dilakukan terdakwa, akan tetapi apabila dalam pemeriksaan di persidangan pengadilan perbuatan terdakwa tidak didukung alat bukti yang sah menurut undang-undang, maka terdakwa harus dibebasakan dan begitupun sebaliknya (Andi Hamzah, 2002 : 247). 4) Negatief Wettelijk Stelsel (Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Negatif) Menurut sistem pembuktian ini, untuk menentukan salah atau tidaknya seorang terdakwa terdakwa dua komponen, yaitu: a) Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang; b) Keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang (Hari Sasangka, 2003 : 16). Dilihat dari penjelasan sistem-sistem pembuktian di atas, maka dapat diketahui bahwa sistem yang dianut KUHAP adalah sistem negatief
16
wettelijk stelsel.Dimana dilihat dari pasal yang berkaitan dengan pembuktian yaitu Pasal 183 yang berbunyi: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurangkurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.” Alasan pembuat undang-undang merumuskan Pasal 183 KUHAP ditujukan untuk mewujudkan suatu ketentuan yang seminimal mungkin dapat menjamin tegaknya kebenaran sejati serta tegaknya keadilan dan kepastian hukum (M.Yahya Harahap, 2012 : 280). Kelebihan pembuktian sistem negatif (negative wettelijk) adalah dalam hal membuktikan kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, hakim tidak sepenuhnya mengandalkan alatalat bukti serta dengan cara-cara yang ditentukan oleh undang-undang tetapi harus disertai pula keyakinan bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana. Sehingga, dalam pembuktian benar-benar mencari kebenaran yang hakiki, sehingga sangat sedikit kemungkinan terjadinya salah putusan atau penerapan hukum yang digunakan (Supriyadi Widodo Eddyono, 2006: 3). c. Asas-asas Pembuktian KUHAP memperkenalkan asas-asas pembuktian sebagai pedoman yang harus dipatuhi dalam pembuktian.Dalam bukunya Hari Sasangka dan Lily Rosita, menyebutkan bahwa ada beberapa asas pembuktian dalam hukum acara pidana, diantaranya: 1) Hal-hal yang dimuat dalam KUHAP Prinsip ini terdapat dalam Pasal 184 ayat (2) KUHAP yang berbunyi: “Hal-hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan”, atau disebut dengan istilah notoir feiten.
17
2) Kewajiban seorang saksi Kewajiban seseorang menjadi saksi diatur dalam Pasal 159 ayat (2) KUHAP yang berbunyi: Dalam hal saksi tidak hadir, meskipun telah dipanggil dengan sah dan hakim ketua sidang mempunyai cukup alasan untuk menyangka bahwa saksi itu tidak akan mau hadir, maka hakim ketua sidang dapat memerintahkan supaya saksi tersebut dihadapkan ke persidangan. 3) Satu saksi bukan saksi (Unus Testis Nullus Testis) Prinsip ini terdapat dalam Pasal 185 ayat (2) KUHAP yang menyatakan bahwa: “Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya.” Berdasarkan KUHAP, keterangan satu saksi bukan saksi tidak berlaku bagi pemeriksaan cepat. Hal ini dapat disimpulkan dari penjelasan Pasal 184 KUHAP sebagai berikut: “Dalam acara pemeriksaan cepat, keyakinan hakim cukup didukung satu alat bukti yang sah”. 4) Pengakuan terdakwa tidak menghapuskan kewajiban penuntut umum membuktikan kesalahan terdakwa Menurut Pasal 189 ayat (4) KUHAP yang berbunyi: “Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus didukung dengan alat bukti lain.” Jadi, meskipun terdakwa sudah mengakuinya, penuntut umum di persidangan tetap wajib membuktikan kesalahan terdakwa dengan alat bukti yang lain. 5) Keterangan terdakwa hanya mengikat pada dirinya sendiri Prinsip ini diatur pada Pasal 189 ayat (3) KUHAP yang berbunyi: "Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri". Ini berarti apa yang diterangkan terdakwa di sidang pengadilan hanya boleh diterima dan diakui sebagai alat bukti yang berlaku dan mengikat
18
bagi si terdakwa sendiri. Apabila dalam suatu perkara terdakwanya terdiri dari beberapa orang, masing-masing keterangan setiap terdakwa hanya merupakan alat bukti yang mengikat kepada dirinya sendiri. Keterangan terdakwa yang satu tidak dapat dipergunakan terhadap terdakwa yang lain, demikian sebaliknya (Hari Sasangka dan Lily Rosita, 2003: 20).
2. Tinjauan tentang Alat Bukti a. Pengertian Alat Bukti Alat bukti adalah segala sesuatu yang ada hubungannya dengan suatu perbuatan, dimana dengan alat-alat bukti tersebut, dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian guna menimbulkan keyakinan hakim atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan terdakwa (Hari Sasangka dan Lily Rosita, 2003: 11). b. Macam-macam Alat Bukti Alat-alat bukti yang sah telah diatur dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP dengan urut-urutan sebagai berikut: 1) Keterangan Saksi Pasal 1 angka 27 KUHAP menyatakan: “Keterngan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dan pengetahuannya itu.” 2) Keterangan Ahli Pengertian keterangan ahli sebagai alat bukti dapat ditemukan dalam Pasal 1 angka 28 KUHAP yang menyatakan bahwa keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.
19
3) Surat Berdasarkan KUHAP, alat bukti surat hanya diatur dalam satu pasal yaitu dalam Pasal 187 KUHAP yang menyatakan bahwa: Surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah: a. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu; b. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundangundangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan; c. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dari padanya. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain. 4) Petunjuk Alat bukti petunjuk telah dijelaskan dalam Pasal 188 ayat (1) dan (2) KUHAP yang menyatakan: (1) Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. (2) Petunjuk sebagaimana diatur dalam ayat (1) hanya dapat diperoleh dari: a. Keterangan saksi; b. Surat; c. Keterangan terdakwa. Pada prinsipnya, alat bukti petunjuk merupakan kesimpulan dari keterkaitan alat bukti lainnya. (Rusli Muhammad, 2007 : 196-197).
20
5) Keterangan Terdakwa Pasal 1 angka 15 KUHAP telah menjelaskan bahwa terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili di sidang pengadilan. Hal-hal terkait keterangan terdakwa dalam KUHAP diatur pada Pasal 189 yang menyatakan: (1) Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri; (2) Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu niat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya; (3) Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri; (4) Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain. Nilai kekuatan pembuktian kelima alat bukti di atas ialah bebas dan tidak mengikat (M. Yahya Harahap, 2012 : 332-333).
3. Tinjauan tentang Pemidanaan a. Pengertian Pemidanaan Pemidanaan dapat diartikan sebagai tahap penetapan sanksi dan juga tahap pemberian sanksi dalam hukum pidana (Leden Marpaung, 2005 : 2). b. Jenis-jenis Pemidanaan 1) Pidana Pokok Pidana pokok ialah pidana yang dapat dijatuhkan oleh hakim yang bersifat Imperatif.Menurut Pasal 10 KUHP, pidana pokok terdiri dari: a) Pidana Mati Pidana mati merupakan hukumna terberat.Hukuman mati baru dapat dieksekusi setelah mendapat penolakan grasi dari presiden. Penjatuhan pidana mati diancam dalam beberapa pasal tertentu dalam
21
KUHP, yaitu kejahatan yang dianggap berat seperti kejahatan yang mengancam keamanan negara, pembunuhan terhadap orang tertentu dan atau dilakukan dengan faktor-faktor pemberat, kejahatan terhadap harta benda yang disertai unsur atau faktor yang membertkan, dan kejahatan-kejahatan pembajak laut, sungai, dan pantai (Adami Chazawi, 2002 : 31). b) Pidana Penjara Bentuk pidana penjara adalah merupakan suatu pidana berupa pembatasan kebebasan bergerak seorang terpidana, yang dilakukan dengan
menutup
orang
tersebut
dalam
sebuah
lembaga
pemasyarakatan dengan mewajibkan orang itu untuk mentaati semua tata tertib yang berlaku (P. A. F. Lamintang, 1988: 69). Adanya pembatasan tersebut, secara otomatis ada beberapa hak kewarganegaraan yang juga ikut terbatasi seperti hak untuk memangku jabatan publik, hak untuk bekerja pada perusahaan-perusahaan, hak untuk mendapat periinan-perizinan tertentu, dan beberapa hak sipil lainnya (Tolib Setiady, 2010: 92).Pidana penjara diancamkan terhadap kejahtan-kejahatan
bersengaja,
kejahatan-kejahatan
culpa,
dan
pelanggaran fiskal (Ahmad Ferry Nindra, 2002: 9). c) Pidana Kurungan Pidana kurungan merupakan pidana yang lebih ringan dari pada pidana penjara.Pidana ini diperuntukkan bagi peristiwa-peristiwa pidana yang lebih ringan sifatnya. Dalam beberapa hal, pidana kurungan sama dengan pidana penjara, diantaranya: (1) Pidana hilang kemerdekaan untuk bergerak dalam sementara waktu; (2) Diwajibkan untuk menjalankan tata tertib dan pekerjaan tertentu dalam lembaga pemasyarakatan;
22
(3) Tempat menjalani pidana penjara sama dengan tempat menjalani pidana kurungan, walaupun ada sedikit perbedaan yang harus dipisah (Pasal 28 KUHP) (Adami Chazawi, 2002 : 38). Perbedaan pidana penjara dan kurungan, diantaranya: (1) Pidana kurungan dijatuhkan pada kejahatan-kejahatan culpa, pidana penjara dijatuhkan untuk kejadian-kejadian dolus dan culpa; (2) Pidana kurungan ada dua macam yaitu kurungan principial dan subsidair (pengganti denda), pada pidana penjara tidak mengenal hal ini; (3) Pidana bersyarat tidak terdapat dalam pidana kurungan; (4) Perbedaan berat ringan pemidanaan; (5) Perbedaan berat ringannya pekerjaan yang dilakukan terpidana; (6) Orang yang dipidana kurungan mempunyai hak pistole, hak memperbaiki keadaannya dalam lembaga pemasyarakatan atas biaya sendiri yang pada pidana penjara ini tidak ada (Ahmad Fery Nindra, 2002 : 12). d) Pidana Denda Pidana denda adalah pidana yang berupa harta benda yang jumlah ancaman pidananya pada umumnya relative ringan yang mana dirumuskan sebagai pokok pidana alternatif dari pidana penjara dan denda.Menurut Pasal 30 ayat (2) KUHP, apabila denda tidak dibayar harus diganti dengan pidana kurungan. Pidana denda dapat dipikul oleh orang lain. Tidak ada larangan jika denda ini secara sukarela dibayar oleh orang lain atas nama terpidana (Tolib Setiyadi, 2010 : 104). e) Pidana Tutupan Pidana tutupan disediakan bagi para politisi yang melakukan kejahatan karena ideologi yang dianutnya.Pidana ini dimaksud dapat
23
menggantikan hukuman penjara dalam hal orang yang melakukan kejahatan diancam dengan hukuman penjara karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati. Sepanjang praktik sejarah di Indonesia, hanya terjadi satu kali hakim menjatuhkan pidana tutupan, yaitu Putusan Mahkamah Agung Tentara Republik Indonesia padatanggal 27 Mei 1948 dalam hal mengadili para pelaku kejahatan yang dikenal dengan sebutan peristiwa 3 Juli 1946 (Adami Chazawi, 2002 : 43). 2) Pidana Tambahan Pidana tambahan ialah pidana yang bersifat menambah pidana pokok yang dijatuhkan. Pidana tambahan ini bersifat fluktuatif artinya dapat dijatuhkan tetapi tidak harus (Tina Asmarawati, 2014 : 129). Berdasarkan Pasal 10 KUHP, pidana tambahan dapat berupa: a) Pencabutan Hak Tertentu Pencabutan hak-hak tertentu ini sifatnya sementara kecuali memenag terpidana dijatuhi pidana seumur hidup. Menurut Pasal 35 ayat (1) KUHP, hak-hak yang dapat dicabut oleh hakim dalam suatu putusan pengadilan ialah: (1) (2) (3) (4) (5)
Hak menjabat segala jabatan atau jabatan yang ditentukan; Hak untuk masuk kekuatan bersenjata; Hak memilih dan dipilih pada pemilu; Hak untuk menjadi penasihat atau penguasa alamat; Kuasa bapak, kuasa wali, dan penjagaan atas anak sendiri; dan (6) Hak untuk melakuakn pekerjaan yang ditentukan. b) Perampasan Barang-Barang Tertentu Pidana ini merupakan pidana tambahan yang dijatuhkan oelh hakim untuk mencabut hak milik atas suatu barang dari pemiliknya dan barang tersebut dijadikan barang milik pemerintah untuk dirusak atau dimusnahkan atau dijual untuk negara. Barang-barang tersebut ialah barang-barang yang diperoleh dengan kejahatan maupun barang-
24
barang yang dengan sengaja dipakai untuk melakukan kejahtan (R. Soesilo, 1992 : 49). c) Pengumuman Putusan Hakim Pada dasarnya semua putusan hakim sudah harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum, tetapi sebagai hukuman tambahan, putusan tersebut dengan istimewa disiarkan sejelas-jelasnya dengan cara yang ditentukan oleh hakim, misalnya melalui surat kabar, radio, televisi, ditempelkan di tempat umum dan sebagainya. Maksud dari pengumuman putusan hakim yang seperti ini ialah ditujukan sebagai usaha preventif untuk mencegah bagi orang-orang agar tidak melakukan tindak pidana yang sering dilakuakn orang dan memberitahukan kepada masyarakat umum untuk berhati-hati agar tidak menjadi korban dari kejahatan (Adam Chazawi, 2002: 54). 3) Restitusi Restitusi merupakan bentuk sanksi yang dijatuhkan hakim kepada terdakwa sebagai salah satu bentuk pertamnggungjawaban atas ganti rugi yang harus dibayar oleh pelaku terhadap korban atas dampak yang diderita korban. Berdasarkan Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dijelaskan bahwa restitusi adalah pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atas kerugian materiil dan atau immaterial yang diderita korban atau ahli warisnya. Restitusi sebagai bentuk ganti rugi kepada korban, diatur dalam ketentuan Pasal 48 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007, yang menyatakan sebagai berikut: (1) Setiap korban tindak pidana perdagangan orang atau ahli warisnya berhak memperoleh restitusi. (2) Restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa ganti kerugian atas:
25
(a) kehilangan kekayaan atau penghasilan; (b) penderitaan; (c) biaya untuk tindakan perawatan medis dan/atau psikologis; dan/atau (d) kerugian lain yang diderita korban sebagai akibat perdagangan orang. 4. Tinjauan tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang a. Pengertian Tindak Pidana Perdagangan Orang The United Nation for the first time defined human trafficking as “the recruitment, transport, transfer, harboring, or receipt of persons by means of the threat or use of force or other forms of coercion of abduction, of fraud of deception of the abuse of power or of a position of vulnerability or of the giving or receiving of payments or benefits to achieve the consent of a person having a control over another person for the purposes of exploitation. Exploitation shall include at a minimum, the exploitation of the prostitution of others or other forms of sexual exploitation, forced labor or services, slavery or practices similar to slavery, servitude or the removal of organs. The consent of a victim of trafficking in persons to the intended exploitation set forth (above) shall be irrelevant where any of the means set forth (above) have been used.” (Majeed A. Rahman, 2011 : 55) Jika diterjemahkan secara bebas, kalimat btersebut dapat berarti: The United Nation, untuk pertama kalinya mendefinisikan perdagangan manusia sebagai suatu bentuk perekrutan, transportasi, pemindahan, maupun penerimaan seseorang dengan cara ancaman, penggunaan kekerasan, bentukbentuk pemaksaan, maupun dengan cara penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, pemberian maupun penerimaan bayaran atau keuntungan untuk mencapai persetujuan dari seseorang untuk tujuan eksploitasi. Bentuk eksploitasi ini termasuk eksploitasi seksual, kerja atau pelayanan paksa, praktek serupa perbudakan, pengambilan organ tubuh maupun eksploitasi lainnya.Persetujuan dari korban perdagangan manusia
26
untuk eksploitasi tersebut menjadi tidak relevan jika salah satu sarana yang telah ditetapkan diatas telah digunakan. Sementara itu, menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, menyatakan: Perdagangan Orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi. Pengertian tindak pidana perdagangan orang sendiri telah dijelaskan dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 yang menyatakan bahwa, “tindak pidana perdagangan orang adalah setiap tindakan atau serangkaian tindakan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang ditentukan dalam undang-undang ini.” b. Elemen Tindak Pidana Perdagangan Orang Ada tiga elemen pokok yang terkandung dalam pengertian perdagangan orang diatas yaitu (Farhana, 2010 : 21): 1) Elemen perbuatan, yang meliputi merekrut, mengangkut, memindahkan, mengirim, menyembunyikan atau menerima seseorang; 2) Elemen modus atau cara yang meliputi penggunaan ancaman, paksaan, berbagai
bentuk
kekerasan,
penculikan,
penipuan,
kecurangan,
penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan atau pemberian atau penerimaan pembayaran atau keuntungan untuk memperoleh persetujuan dari orang-orang; dan 3) Elemen tujuan dan akibat meliputi eksploitasi, kerja paksa atau pelayanan paksa, perbudakan maupun praktek serupa perbudakan, penghambaan dan pengambilan organ tubuh dengan atau tanpa persetujuan orang.
27
Selain ketiga elemen tersebut, suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai tindak pidana perdagangan orang apabila telah memenuhi unsur-unsur sebagai berikut: 1) Adanya proses perekrutan dan pemindahan manusia baik itu lintas wilayah maupun negara; 2) Adanya pihak-pihak yang mendapatkan keuntungan atas tindakan tersebut; 3) Adanya korban yang merasa dirugikan secara materiil maupun immateriil, dimanfaatkan, maupun dieksploitasi baik secara ekonomi, fisik, maupun psikis atas perbuatan tersebut, meskipun korban menyatakan menyetujui yang dalam hal ini dipahami bahwa persetujuan tersebut karena situasi tertentu misalnya karena desakan kebutuhan ekonomi, paksaan, penipuan, maupun atas sebab tertemtu lainnya. Sarana pengangkutan atau perdagangan orang ini dapat menggunakan metode: 1) Overt (terang-terangan), identitas atau dokumen perjalanan asli atau dipalsukan atau visa palsu; 2) Convert (sembunyi): perpindahan yang menngunakan kendaraan maupun transportasi lain, perbatasan tanpa penjagaan (melalui jalan tikus, pelabuhan kecil, dan lain sebagainya) (Tri Wahyu Widiastuti, 2010 : 108109). c. Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Perdagangan Orang Secara global, bentuk-bentuk perdagangan orang dapat meliputi pekerja migran, pekerja anak, prostitusi, perdagangan anak melalui adopsi, pernikahan dan pengantin pesanan, maupun implantasi organ atau bentuk eksploitasi lainnya (Farhana, 2010 : 32). Sedangkan di Indonesia sendiri ditemukan beberapa bentuk perdagangan manusia menurut Ruth Rosenberg (Ruth Rosenberg, 2003: 41), yakni:
28
1) Buruh migran; 2) Pembantu rumah tangga; 3) Pekerja seks komersial; 4) Perbudakan berkedok pernikahan atau pengantin pesanan; dan 5) Bentuk eksploitasi lain seperti perdagangan narkoba internasional, pekerja hiburan, adopsi, dan lain-lain. d. Faktor-Faktor
yang
Mengakibatkan
Terjadinya
Tindak
Pidana
Perdagangan Orang Globalization and the opening of national borders have led not only to greater international exchange of capital and goods, but also to increasing labor migration. The wealth disparities created by our globalized economy have fed increased intra- and transnational labor migration as livelihood options disappear in less wealthy countries and communities. A number of other factors strengthen the immigration "pull," including, for example, the promise of higher salaries and standards of living abroad. This fosters high hopes and expectations of people from poor, unskilled backgrounds who are desperate for employment. The prospect of any job is a strong "pull" factor for survival migrants. It is the primary trigger of many trafficking and labor mode (Janie Chuang, 2006: 140). Apabila diterjemahkan secara bebas, maka kalimat tersebut pada intinya dapat berarti: Globalisasi dan keterbukaan batas antar negara telah menyebabkan tidak hanya pertukaran internasional dalam hal modal dan barang, tetapi juga menyebabkan meningkatnya migrasi tenaga kerja. Kesenjangan
ekonomi
global
menyebabkan
meningkatnya
migrasi
transnasional para tenaga kerja untuk mencari pekerjaan di negara-negara lain. Faktor lain yang memperkuat dorongan migrasi misalnya janji gaji yang lebih tinggi dan standar hidup di luar negeri yang lebih tinggi. Hal ini mendorong harapan orang dengan ekonomi lemah dan latar belakang pendidikan maupun ketrampilan yang minim putus asa untuk mencari pekerjaan.Prospek
29
pekerjaan yang lebih baik menjadi dorongan yang kuat untuk bermigrasi dan bertahan hidup.Hal inilah yang menjadi pemicu banyaknya perdagangan manusia dengan modus tenaga kerja. Tidak hanya faktor migrasi, terdapat banyak faktor yang menyebabkan terjadinya perdagangan orang antara lain faktor ekonomi, ketenagakerjaan, pendidikan, kondisi keluarga, media massa, ekologis, sosial budaya, ketidaksetaraan gender, dan faktor penegakan hukum (Farhana, 2010: 32).
5. Tinjauan tentang Dasar Pertimbangan Hakim dalam Pengambilan Putusan a. Proses atau Tahapan Penjatuhan Putusan Oleh Hakim Sebelum menjatuhkan putusan, hakim haruslah melewati tahap-tahap dalam penjatuhan putusan yang meliputi (Ahmad Rifai, 2010 : 96) : 1) Terkait Peristiwanya Tahapan ini merupakan tahap menganalisis perbuatan pidana yang didakwakan terhadap terdakwa untuk menetahui apakah terdakwa benar melakukan perbuatan pidana yang dituduhkan kepadanya atau tidak. 2) Terkait Hukumnya Tahapan
ini
merupakan
tahap
untuk
menganalisa
mengenai
pertanggungjawaban pidana untuk mengetahui apabila terdakwa memang terbukti benar melakukan perbuatan pidana yang didakwakan kepadanya, apakah terdakwa dinyatakan dapat bertanggung jawab atas tindak pidana tersebut dan dapat dipidana. 3) Terkait Pidananya Tahapan ini merupakan tahap untuk menentukan jenis pemidanaan seperti apa yang sesuai untuk dijatuhkan kepada terdakwa atas tindak pidana yang dilakukannya. b. Dasar Pengambilan Putusan oleh Hakim Sebelum menjatuhkan putusan, hakim harus melalui prosrs atau tahapan seperti yang telah dijelaskan diatas. Ketiga rroses atau tahapan
30
tersebut dilakukan berdasarkan pertimbangan hakim yang bersifat yuridis dan non yuridis, yaitu (Rusli Muhammad, 2007 : 212-216): 1) Pertimbangan yang Bersifat Yuridis Pertimbangan ini yaitu pertimbangan yang didasarkan pada faktor-faktor yang terungkap di dalam persidangan yang meliputi: a) Dakwaan Penuntut Umum; b) Tuntutan Pidana; c) Alat-alat bukti; d) Barang Bukti; dan e) Pasal-pasal Terkait. 2) Pertimbangan yang Bersifat Non Yuridis Pertimbangan ini yaitu pertimbangan hakim yang didasarkan pada subyektifitas hakim terhadap terdakwa. c. Teori Dasar Pertimbangan Hakim Teori dasar pertimbangan hakim yaitu dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan yang baik hendaknya putusan tersebut diuji dengan empat kriteria dasar pertanyaan (the four way test), berupa (Lilik Mulyadi, 2007 : 136): 1) Benarkah putusanku ini? 2) Jujurkah aku dalam mengambil pitusan? 3) Adilkah putusanku ini? 4) Bermanfaatkah putusanku ini?
31
B. Kerangka Pemikiran
TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG
PEMBUKTIAN
ALAT BUKTI (PASAL 184 KUHAP)
KETERANGAN SAKSI
KETERANGAN AHLI
SURAT
PETUNJUK
DIPERKUAT DENGAN BARANG BUKTI
KETERANGAN TERDAKWA
PERTIMBANGAN HAKIM
UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007
UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 (KUHAP)
PUTUSAN NOMOR: 55/PID.SUS/2014/PN.JAK.TIM
Gambar 1. Skematik Kerangka Pemikiran
32
Keterangan: Suatu perkara pidana berawal dari terjadinya tindak pidana (delict), yang dalam hal ini ialah tindak pidana perdagangan orang. Untuk membuktikan apakah perbuatan tersebut benar merupakan tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa atau bukan, maka diperlukan adanya pembuktian. Dalam hukum di Indonesia, sistem pembuktiannya berpatok pada KUHAP. Dimana di dalam KUHAP tersebut telah diatur secara jelas terkait alat-alat bukti yang sah dalam Pasal 184 KUHAP yaitu, keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Kasus yang akan diteliti oleh penulis, terdapat tiga alat bukti yang diajukan dalam pembuktian, yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, dan keterangan terdakwa serta didukung dengan adanya petunjuk dan barang bukti. Selama proses persidangan berjalan, seorang Hakim melakukan penilaian berdasarkan alat bukti yang dihadirkan dalam persidangan tersebut. Dalam hal ini, hakim menghubungkan alat bukti tersebut dengan berpedoman pada KUHAP dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Hakim melakukan pertimbangan berdasarkan alat bukti yang ada dan juga didukung oleh keyakinan hakim untuk memutus suatu perkara. Pertimbangan seorang Hakim sangatlah penting dilakuakan agar tidak terjadi penyimpangan maupun kesalahan dalam penegakan hukum di Indonesia. Setelah semua penilaian alat bukti dianggap telah selesai dan hakim telah memperoleh keyakinan yang cukup, maka hakim dapat memutus suatu perkara tindak pidana sesuai dengan sistem penjatuhan hukuman yang ditentukan dalam pasal dan undang-undang yang bersangkutan. Berdasarkan pertimbangan dan penilaian hakim tersebut maka dijatuhkanlah Putusan Nomor: 55/Pid.Sus/2014/PN.Jak.Tim.