BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengelasan Las dalam bidang konstruksi sangat luas penggunaannya meliputi konstruksi jembatan, perkapalan, industri karoseri dll. Disamping untuk konstruksi las juga dapat untuk mengelas cacat logam pada hasil pengecoran logam, mempertebal yang aus (Wiryosumarto dan Okumura; 2004). Secara sederhana dapat diartikan bahwa pengelasan merupakan proses penyambungan dua buah logam sampai titik rekristalisasi logam baik menggunakan bahan tambah maupun tidak dan menggunakan energi panas sebagai pencair bahan yang dilas. Pengertian pengelasan menurut Widharto (2003) adalah salah satu cara untuk menyambung benda padat dengan jalan mencairkannya melalui pemanasan. Berdasarkan definisi dari Deutche Industrie Normen (DIN) las adalah ikatan metalurgi pada sambungan logam atau logam paduan yang dilaksanakan dalam keadaan lumer atau cair. Wiryosumarto dan Okumura (2004) menyebutkan bahwa pengelasan adalah penyambungan setempat dari beberapa batang logam dengan menggunakan energi panas. Penyambungan dua buah logam menjadi satu dilakukan dengan jalan pemanasan atau pelumeran, dimana kedua ujung logam yang akan disambung di buat lumer atau dilelehkan dengan busur nyala atau panas yang didapat dari busur nyala listrik (gas pembakar) sehingga kedua ujung atau bidang logam merupakan bidang masa yang kuat dan tidak mudah dipisahkan (Arifin,1997). Paling tidak saat ini terdapat sekitar 40 jenis pengelasan. Dari seluruh jenis pengelasan tersebut hanya dua jenis yang paling populer di Indonesia yaitu pengelasan dengan menggunakan busur nyala listrik (Shielded metal arc welding/ SMAW) dan las karbit (Oxy acetylene welding/OAW).
2.2 Las Busur Listrik Las busur listrik adalah proses penyambungan logam dengan pemanfaatan tenaga listrik sebagai sumber panasnya. Menurut (Arifin,1997) las busur listrik
Universitas Sumatera Utara
merupakan salah satu jenis las listrik dimana sumber pemanasan atau pelumeran bahan yang disambung atau di las berasal dari busur nyala listrik. Las busur listrik dengan metode elektroda terbungkus adalah cara pengelasan yamg banyak di gunakan pada masa ini, cara pengelasan ini menggunakan elektroda logam yang di bungkus dengan fluks. Las busur listrik terbentuk antara logam induk dan ujung elektroda, karena panas dari busur, maka logam induk dan ujung elektroda tersebut mencair dan kemudian membeku bersama.
Sumber : Wiryosumarto dan Okumura (2004) Gambar 2.1 Las busur dengan elektroda terbungkus
Shielded Metal Arc Welding (SMAW) juga sering disebut sebagai stick welding. Hal ini dikarenakan elektrodenya yang berbentuk stick. Proses pengelasan ini adalah proses pengelasan yang relative paling banyak dan luas penggunaannya. Elektrode lasnya yang diselubungi flux mencair saat proses pengelasannya setelah mendapat input sumber listrik. Inilah yang menyebabkan terbentuknya gas dan slag yang melindungi busur las dan molten weld pool dari pengotor udara di sekelilingnya (disebut sebagai busur nyala/arc). Fluks juga akan memberi keuntungan seperti berfungsi sebagai deoksidator selain itu juga memberi efek paduan pada logam lasnya sehingga memperkuat logam las.
Universitas Sumatera Utara
Electric arc adalah arus elektron yang kontinu mengalir melalui media yang pendek antara dua elektrode (+ dan -) yang diketahui dengan terjadinya energi panas dan radiasi udara atau gas antara elektrode akan diionisir oleh elektron yang dipancarkan oleh katoda. Dua faktor yang mempegaruhi pancaran elektron : 1. Temperatur 2. Kekuatan medan listrik Untuk menimbulkan arc, kedua elektrode dihubungkan singkat dengan cara disentuhkan lebih dahulu (arcstarting) dan pada bagian yang bersentuhan ini akan terjadi pemanasan (temperatur naik), hal ini mendorong terjadinya busur. Beberapa keuntungan SMAW : 1. Peralatan yang digunakan tidak rumit, tidak mahal, dan mudah dipindahkan 2. Elektrodenya telah terdapat flux 3. Sensitivitasnya terhadap gangguan pengelasan berupa angin cukup baik 4. Dapat dipakai untuk berbagai posisi pengelasan
2.3 Arus Pengelasan Arus pengelasan adalah besarnya aliran atau arus listrik yang keluar dari mesin las. Besar kecilnya arus pengelasan dapat diatur dengan alat yang ada pada mesin las. Arus las harus disesuaikan dengan jenis bahan dan diameter elektroda yang di gunakan dalam pengelasan. Penggunaan arus yang terlalu kecil akan mengakibatkan penembusan atau penetrasi las yang rendah, sedangkan arus yang terlalu besar akan mengakibatkan terbentuknya manik las yang terlalu lebar dan deformasi dalam pengelasan. Tabel 2.1 Hubungan Diameter Elektroda dengan Arus Pengelasan Diameter Elektroda (mm)
Arus (Ampere)
2,5
60-90
2,6
60-90
3,2
80-130
4,0
150-190
5,0
180-250 Sumber : Howard BC (1998)
Universitas Sumatera Utara
2.4 Elektroda Pengelasan dengan menggunakan las busur listrik memerlukan kawat las (Elektroda) yang terdiri dari suatu inti terbuat dari suatu logam di lapisi oleh lapisan yang terbuat dari campuran zat kimia, selain berfungsi sebagai pembangkit, elektroda juga sebagai bahan tambah.
Sumber : Bintoro (2005) Gambar 2.2 Elektroda las Elektroda terdiri dari dua jenis bagian yaitu bagian yang bersalut (fluks) dan tidak bersalut yang merupakan pangkal untuk menjepitkan tang las. Fungsi fluks atau lapisan elektroda dalam las adalah untuk melindungi logam cair dari lingkungan udara menghasilkan gas pelindung, menstabilkan busur, sumber unsur paduan. Pada dasarnya bila di tinjau dari logam yang di las, kawat elektroda dibedakan menjadi elektroda untuk baja lunak, baja karbon tinggi, baja paduan, besi tuang, dan logam non ferro. Bahan elektroda harus mempunyai kesamaan sifat dengan logam (Suharto; 1991). Pemilihan elektroda pada pengelasan baja karbon sedang dan baja karbon tinggi harus benar-benar diperhatikan apabila kekuatan las diharuskan sama dengan kekuatan material. Penggolongan elektroda diatur berdasarkan standar sistem AWS (American Welding Society) dan ASTM (American Society Testing Material). Elektroda jenis E6013 dapat dipakai dalam semua posisi pengelasan dengan arus las AC maupun
Universitas Sumatera Utara
DC. Elektroda dengan kode E6013 untuk setiap huruf dan setiap angka mempunyai arti masing-masing yaitu: E = Elektroda untuk las busur listrik. 60 = Menyatakan nilai tegangan tarik minimum hasil pengelasan dikalikan dengan 1000 Psi (60.000 Ib/in2) atau 42 kg/mm2. 1 = Menyatakan posisi pengelasan, 1 berarti dapat digunakan untuk pengelasan semua posisi. 3 = Jenis selaput elektroda Rutil-Kalium dan pengelasan dengan arus AC atau DC.
2.5 Pengelasan Baja Karbon Baja adalah merupakan suatu campuran dari besi (Fe) dan karbon (C), dimana unsur karbon (C) menjadi dasar. Disamping unsur Fe Dan C, baja juga mengandung unsur campuran lain seperti sulfur (S), fosfor (P), silikon (Si), dan mangan (Mn) yang jumlahnya dibatasi. Baja karbon sedang dan baja karbon tinggi mengandung banyak karbon dan unsur lain dapat memperkeras baja, karena itu daerah pengaruh panas atau HAZ pada baja ini mudah menjadi keras bila dibandingkan baja karbon rendah. Sifatnya yang mudah menjadi keras ditambah dengan adanya hydrogen difusi menyebabkan baja ini sangat peka terhadap retak las. Disamping itu pengelasan dengan menggunakan elektroda yang sama kuat dengan logam lasnya dengan pemanasan mula dan suhu pemanasan tergantung dari kadar karbon. Baja karbon adalah baja yang mengandung karbon antara 0,1% - 1,7%. Berdasarkan tingkatan banyaknya kadar karbon, baja digolongkan menjadi tiga tingkatan : a. Baja karbon rendah Yaitu baja yang mengandung karbon kurang dari 0,30%. Baja karbon rendah dalam perdagangan dibuat dalam bentuk pelat, profil, batangan untuk keperluan tempa, pekerjaan mesin, dan lain-lain.
Universitas Sumatera Utara
b. Baja karbon sedang Baja ini mengandung karbon antara 0,30% – 0,60 %. Didalam perdagangan biasanya dipakai sebagai alat-alat perkakas, baut, poros engkol, roda gigi, ragum, pegas dan lain-lain. c. Baja karbon tinggi Baja karbon tinggi ialah baja yang mengandung kerbon antara 0,6% – 1,5%. Baja ini biasanya digunakan untuk keperluan alat-alat konstruksi yang berhubungan dengan panas yang tinggi atau dalam penggunaannya akan menerima atau mengalami panas, misalnya landasan, palu, gergaji, pahat, kikir, bor, bantalan peluru, dan sebagainya (Amanto,1999).
2.6 Daerah Pengaruh Panas (HAZ) Logam akan mengalami pengaruh pemanasan akibat pengelasan dan mengalami perubahan struktur mikro disekitar daerah lasan. Bentuk struktur mikro bergantung pada temperatur tertinggi yang dicapai pada pengelasan, kecepatan pengelasan dan laju pendinginan daerah lasan. Daerah logam yang mengalami perubahan struktur mikro akibat mengalami pemanasan karena pengelasan disebut daerah pengaruh panas (DPP), atau
Heat Affected Zone.
Daerah hasil pengelasan yang akan kita temui bila kita melakukan pengelasan, yaitu :
Sumber : Ahmad dan Hasman (1994) Gambar 2.3 Daerah Las 1. Logam Las (Weld Metal) adalah daerah dimana terjadi pencairan logam dan dengan cepat kemudian membeku. 2. Fusion Line Merupakan daerah perbatasan antara daerah yang mengalami peleburan dan yang tidak melebur. Daerah ini sangat tipis sekali sehingga dinamakan garis gabungan antara weld metal dan H A Z.
Universitas Sumatera Utara
3. H A Z ( Heat Affected Zone ) merupakan daerah yang dipengaruhi panas dan juga logam dasar yang bersebelahan dengan logam las yang selama proses pengelasan mengalami siklus termal pemanasan dan pendinginan cepat, sehingga terjadi perubahan struktur akibat pemanasan tersebut disebabkan daerah yang mengalami pemanasan yang cukup tinggi . 4. Logam Induk (Parent Metal) merupakan logam dasar dimana panas dan suhu pengelasan tidak menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan struktur dan sifat. Daerah HAZ merupakan daerah paling kritis dari sambungan las, karena selain berubah strukturnya juga terjadi perubahan sifat pada daerah ini. Secara umum struktur dan sifat daerah panas efektif dipengaruhi dari lamanya pendinginan dan komposisi dari logam induk itu sendiri. Siklus termal las adalah proses pemanasan dan pendinginan yang terjadi pada daerah lasan. Proses las terjadi proses pemanasan dan juga pendinginan maka dapat dikatakan proses las juga proses heat treatment hanya saja terjadinya lokal, tidak seperti proses heat treatment pada umumnya. Untuk melihat fenomena proses tersebut dapat dilihat pada grafik siklus termal las.
Sumber : Wiryosumarto dan Okumura (2004) Gambar 2.4 Siklus termal las
Universitas Sumatera Utara
2.7 Tipe Sambungan Hasil penyambungan logam melalui pengelasan hendaknya mengahasilkan sambungan yang berkualitas dari segi kekuatan dan lapisan las dari bahan atau logam yang dilas, di mana untuk menghasilkan sambungan las yang berkualitas hendaknya kedua ujung/bidang atau bagian logam yang akan dilas perlu di berikan suatu bentuk kampuh las tertentu (Arifin;1977). Tujuan utama dari pengelasan adalah untuk mendukung beban, sebagian beban mekanis dan sebagian untuk mencapi hasil pengelasan dengan kekuatan yang bisa di jamin, maka perlu di kembangkan sebagai bentuk groove (Alip;1989). Untuk memperoleh kekuatan hasil pengelasan yang dapat di jamin kualitasnya, pengelasan sebaiknya menggunakan berbagai bentuk kampuh yang sudah dikembangkan. Terdapat lima jenis sambungan yang biasa digunakan untuk menyatukan dua bagian benda logam, seperti dapat dilihat dalam gambar 2.3.
Sumber : Teknik Kerja Mesin Dan Las Gambar 2.5 Jenis sambungan yang biasa digunakan dalam proses pengelasan
a. Sambungan tumpu (butt joint). kedua bagian benda yang akan disambung diletakkan pada bidang datar yang sama dan disambung pada kedua ujungnya. b. Sambungan sudut (corner joint). kedua bagian benda yang akan disambung membentuk sudut siku-siku dan disambung pada ujung sudut tersebut.
Universitas Sumatera Utara
c. Sambungan tumpang (lap joint). bagian benda yang akan disambung saling menumpang (overlapping) satu sama lainnya. d. Sambungan T (tee joint) satu bagian diletakkan tegak lurus pada bagian yang lain dan membentuk huruf T yang terbalik; e. Sambungan tekuk (edge joint). sisi-sisi yang ditekuk dari ke dua bagian yang akan disambung sejajar, dan sambungan dibuat pada kedua ujung bagian tekukan yang sejajar tersebut.
2.8 Perlakuan Panas Perlakuan panas adalah proses pemanasan dan pendinginan pada logam yang dikontrol untuk merekayasa sifat mekanik dan sifat fisiknya tanpa perlu merubah bentuk produknya. Proses manufaktur seperti pengelasan atau proses pembentukan dimana terjadi proses pemanasan dan pendinginan juga mengacu pada proses perlakuan panas. Menurut Love (1986), prinsip pengerjaan panas (heat treatment) yang berhubungan dengan perlakuan pada logam yaitu: a. Hardening ( pengerasan ) Proses hardening atau pengerasan baja adalah suatu proses pemanasan logam dengan cara dipanaskan kemudian didinginkan secara cepat. Tujuannya adalah untuk mendapatkan struktur martensit, semakin banyak unsur karbon, maka struktur martensit yang terbentuk juga akan semakin banyak. Karena martensit terbentuk dari fase austenit yang didinginkan secara cepat. Proses hardening atau pengerasan baja adalah suatu proses pemanasan logam sehingga mencapai batas austenit yang homogen. Untuk mendapatkan kehomogenan ini maka austenit perlu waktu pemanasan yang cukup. Selanjutnya secara cepat baja tersebut dicelupkan ke dalam media pendingin, tergantung pada kecepatan pendingin yang kita inginkan untuk mencapai kekerasan logam b. Full Annealing (pelunakan) Proses full anneling atau melunakkan logam merupakan proses pemanasan logam, kemudian didinginkan secara perlahan-lahan untuk membentuk suatu
Universitas Sumatera Utara
struktur perlit dengan menggunakan media pendingin udara atau pendinginan dalam furnace. Proses anneling bertujuan untuk mengurangi tegangan sisa, meningkatkan ketermesinan dan menghaluskan bentuk butiran logam. c. Normalising Normalising adalah suatu proses pemanasan logam di atas suhu kritis atas kemudian didinginkan secara perlahan-lahan dan dibiarkan dingin di udara terbuka. Prinsip dari proses normalising adalah untuk melunakkan logam. Namun pada baja karbon tinggi atau baja paduan tertentu dengan proses ini belum tentu memperoleh baja yang lunak. Mungkin berupa pengerasan dan ini tergantung dari kadar karbon. d. Tempering Proses tempering adalah pemanasan logam sampai temperatur di bawah temperature kritis bawah, kemudian didiamkan dalam tungku dan suhunya dipertahankan sampai merata selama 15 menit. Selanjutnya diikuti dengan pendinginan di udara. Jika kekerasan turun, maka kekuatan tarik turun pula. Dalam hal ini keuletan dan ketangguhan logam akan meningkat. Meskipun proses ini akan menghasilkan logam yang lebih lemah. Proses ini berbeda dengan anneling karena dengan proses ini belum tentu memperoleh baja yang lunak, mungkin berupa pengerasan dan ini tergantung oleh kadar karbon. Menurut Haqi (2006), hardening dilakukan untuk memperoleh sifat tahan aus yang tinggi dan kekuatan yang lebih baik. Kekerasan yang dapat dicapai tergantung pada kadar karbon dalam baja dan kekerasan yang terjadi akan tergantung pada temperatur pemanasan (temperatur autenitising), holding time dan laju pendinginan yang dilakukan serta seberapa tebal bagian penampang yang menjadi keras banyak tergantung pada hardenabiliti. Langkah-langkah proses hardening adalah sebagai berikut : a. Melakukan Pemanasan (Heating) Misalnya pemanasan sampai suhu 8500, tujuanya adalah untuk mendapatkan struktur Austenite. Dapat kita lihat diagram Fe-Fe3 C disamping ini :
Universitas Sumatera Utara
Sumber : Vlack dan Djaprie (1989) Gambar 2.6 Diagram Keseimbangan Fe-Fe3C b. Penahanan Suhu (Holding) Holding time dilakukan untuk mendapatkan kekerasan maksimum dari suatu bahan pada proses hardening dengan menahan pada temperatur pengerasan untuk memperoleh pemanasan yang homogen sehingga struktur austenitnya homogen atau terjadi kelarutan karbida ke dalam austenit dan diffusi karbon dan unsur paduannya. Pedoman untuk menentukan holding time dari berbagai jenis baja: a. Baja Konstruksi dari Baja Karbon dan Baja Paduan Rendah Yang mengandung karbida yang mudah larut, diperlukan holding time yang singkat, 5 - 15 menit setelah mencapai temperatur pemanasannya dianggap sudah memadai. b. Baja Konstruksi dari Baja Paduan Menengah Dianjurkan menggunakan holding time 15 -25 menit, tidak tergantung ukuran benda kerja (Haqi, 2006). c. Pendinginan. Untuk proses hardening kita melakukan pendinginan secara cepat dengan menggunakan media air, air garam dan oli. Tujuanya adalah untuk mendapatkan struktur martensite, semakin banyak unsur karbon, maka struktur martensite yang terbentuk juga akan semakin banyak. Karena
Universitas Sumatera Utara
martensite terbentuk
dari fase Austenite yang didinginkan secara cepat,
sehingga kekerasannya meningkat. Media pendingin yang digunakan dalam penelitian ini adalah Oli Mesran SAE 40. Oli Mesran SAE 40 merupakan pelumas produksi PT Pertamina dengan viskositas 40 pada temperatur 100 0C. Penggunaan Oli Mesran SAE 40 sebagai media pendingin akan menyebabkan timbulnya selaput karbon pada spesimen tergantung dari besarnya viskositas dan kadar karbon spesimen. Atas dasar tujuan untuk memperbaiki sifat baja tersebut, maka peneliti memilih perlakuan hardening dengan menggunakan media pendingin Oli Mesran SAE 40. Perubahan sifat pada baja dapat diketahui dengan cara melakukan pengujian tarik. Mengingat banyaknya jenis baja karbon dan media pendingin maka dalam penelitian ini akan dibatasi pada baja karbon rendah, yaitu baja dengan kadar karbon antara 0,12 %C dan media pendingin Oli Mesran SAE 40, alasan dipilihnya media pendingin Oli Mesran SAE 40 adalah karena Oli Mesran SAE 40 bila digunakan dilingkungan suhu panas akan bersikap sebagai pelumas atau peka terhadap temperature. Penggunaan Oli Mesran SAE 40 ini sebagai media pendingin akan menyebabkan timbulnya selaput karbon pada spesimen tergantung pada besarnya viskositas. Atas dasar tujuan untuk memperbaiki sifat baja tersebut.
Sumber : Beumer (1994) Gambar 2.7
Kurva Pendinginan pada diagram TTT (time-temperaturetransformation)
Universitas Sumatera Utara
Dari diagaram pendinginan diatas dapat dilihat bahwa dengan pendinginan cepat (kurva 6) akan menghasilkan struktur martensite karena garis pendinginan lebih cepat daripada (kurva 7) yang merupakan laju pendinginan kritis (critical cooling rate) yang nantinya akan tetap terbentuk fase austenite (unstable). Sedangkan pada kurva 6 lebih cepat daripada kurva 7, sehingga terbentuk struktur martensite, tetapi bersifat rapuh karena tegangan dalam yang besar. Jadi dapat disimpulkan bahwa dengan proses hardening pada baja karbon akan meningkatkan kekerasanya. Dengan meningkatnya kekerasan, maka efeknya terhadap kekuatan adalah sebagai berikut : 1. Kekuatan impact (impact strength) akan turun karena dengan meningkatnya kekerasan, maka tegangan dalamnya akan meningkat. 2. Kekuatan tarik (tensile sterngth) akan meningkat. Hal ini disebabkan karena pada pengujian tarik beban yang bekerja adalah secara aksial yang berlawanan dengan arah dari tegangan dalam, sehingga dengan naiknya kekerasan akan meningkatkan kekuatan tarik dari suatu material.
2.9 Pengujian tarik Pengujian tarik bertujuan untuk mengetahui sifat-sifat mekanik dan perubahan-perubahannya dari suatu logam terhadap gaya tarik yang diberikan. Pengujian ini paling sering di lakukan karena merupakan dasar pengujianpengujian dan studi mengenai kekuatan bahan. Hasil yang diperoleh dari proses pengujian tarik adalah kurva tegangan, regangan, parameter kekuatan, dan perpanjangan. Pada pengujian tarik gaya tarik yang diberikan secara kontinu dan pelanpelan bertambah besar, bersamaan dengan itu dilakukan pengamatan mengenai perpanjangan yang dialami benda uji. Kemudian dapat dihasilkan kurva tegangan dan regangan.
σ=
F .........................................................(2.1) A
Dimana: σ = Tegangan (N/mm2) F = Gaya (N) A = Luas awal penampang (mm2)
Universitas Sumatera Utara
Regangan yang dipergunakan pada kurva diperoleh dengan cara membagi perpanjangan panjang ukur dengan panjang awal. Persamaannya yaitu :
ε=
Lf − Lo x100%.......................................(2.2) Lo
Dimana: ε = Regangan (%) L0 = Panjang awal (mm) Lf = Panjang akhir (mm) Pada pengujian tarik, gaya tarik yang diberikan secara perlahan-lahan dimulai dari nol dan berhenti pada tegangan maksimum (Maximum Stress) dari logam yang bersangkutan. Maksimum Stress
merupakan batas kemampuan
maksimum material mengalami gaya tarik dari luar hingga mengalami fracture (patah), sedangkan Yield Stress merupakan batas kemampuan maksimum material untuk mengalami pertambahan panjang (melar) sebelum material tersebut mengalami fracture mengikuti hukum Hooke.
σu =
Fu .........................................................(2.3) A
Dimana: σu= Tegangan Maksimum (N/mm2) Fu = Gaya Maksimum (N) A = Luas awal penampang (mm2) Gaya tarik yang diberikan pada mesin pengujian tarik yang selama pengujian akan mencatat setiap kondisi bahan sampai terjadinya tegangan maksimum, juga sekaligus akan menggambarkan diagram tarik dari benda uji, adapun panjang Lf akan diketahui setelah benda uji patah dengan menggunakan pengukuran secara normal tegangan maksimum adalah tegangan tertinggi yang bekerja pada luas penampang semula.
Universitas Sumatera Utara
Sumber : Dieter (1987) Gambar 2.8 Kurva tegangan-regangan Bentuk dan besaran pada kurva tegangan-regangan suatu logam tergantung pada komposisi, perlakuan panas, deformasi plastis yang pernah dialami, laju regangan, suhu dan keadaan tegangan yang menentukan selama pengujian. Parameter-parameter yang digunakan untuk menggambarkan kurva teganganregangan logam yaitu: a. Kekuatan tarik Kekuatan tarik adalah beban maksimum dibagi luas penampang lintang awal benda uji. Kekuatan ini berguna untuk keperluan spesifikasi dan kontrol kualitas bahan. b. Kekuatan luluh Kekuatan luluh adalah tegangan yang dibutuhkan untuk menghasilkan sejumlah kecil deformasi plastis yang ditetapkan. Kekuatan luluh yang diperoleh dengan metode offset biasanya dipergunakan untuk perancangan dan keperluan spesifikasi.
σy =
Fy .........................................................(2.4) A
Dimana: σy = Tegangan Luluh (N/mm2) Fy = Gaya Luluh (N) A = Luas awal penampang (mm2) c. Perpanjangan. Perpanjangan diperoleh dengan cara membagi perpanjangan panjang ukur dengan panjang awal dan dinyatakan dalam parsen.
Universitas Sumatera Utara