BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.
Gambaran Umum Kayu Karet (Hevea brasiliensis) Kayu Karet (Hevea brasilensis) termasuk dalam golongan kayu daun
lebar/ kayu berpori (hardwood/porous wood) dari famili Euphorbiaceae. Menurut Oey Djoen Seng (1990), berat jenis kayu karet adalah 0,55-0,70 dengan rata-rata 0,61. Kayu karet termasuk dalam kelas awet V dan kelas kuat II-III. Hal ini berarti kayu karet setara dengan kayu hutan alam seperti kayu ramin, perupuk, akasia, mahoni, pinus, meranti, durian, ketapang, keruing, sungkai, gerunggang, dan nyatoh. Pori-pori kayu karet berbentuk bulat dimana sebagian berisi tilosis, sebagian soliter (60%) dan sisanya bergabung 2 - 5 pori dalam arah radial (Coto 1987). Kayu karet memiliki beberapa kelebihan antara lain warna yang menarik dan penampilannya cukup dekoratif dimana teksturnya mirip dengan kayu ramin. Penyusutan kayu karet sangat kecil dan memiliki sifat khas yaitu perubahan warnanya yang putih kekuningan ketika baru dipotong, dan akan menjadi kuning pucat seperti warna jerami setelah dikeringkan. Dalam pengerjaannya, kayu karet mudah digergaji, permukaan gergajinya cukup halus, serta mudah dibubut dengan menghasilkan permukaan yang rata dan halus. Kayu karet juga mudah dipaku, dan mempunyai karakteristik perekatan yang baik dengan semua jenis perekat. Namun, adanya butiran latex dengan kandungan karbohidrat dan protein yang tinggi sehingga mudah terserang jamur (blue strain), mudah terserang serangga pembuat lubang (borer), dan mudah terkena oksidasi. Oleh karena itu, pengerjaan kayu karet harus segera dilakukan setelah penebangan. Pemanfaatan kayu karet dapat berupa kayu gelondongan (log) dengan diameter 20 cm ke atas dipergunakan sebagai kayu gergajian (Boerhendhy et al. 2003). Kayu ini memiliki potensi yang cukup besar karena dalam lahan perkebunan seluas 3,4 juta ha mampu menyediakan kayu karet sebesar 31,4 m3/tahun (Nurhayati et al. 2006). Sayangnya, secara nasional pemanfaatan kayu
karet sebagai bahan industri kayu di Indonesia masih jauh tertinggal dibandingkan dengan negara penghasil karet seperti Thailand, Malaysia, dan India. 2.2.
Balok Laminasi Bentuk I Balok laminasi (glue laminated lumber) adalah dua atau lebih lapisan kayu
yang disusun secara sejajar dan digabungkan dengan perekat. Salah satu jenis balok laminasi adalah balok laminasi dengan bentuk penampang I atau balok laminasi I-joist. Balok ini umumnya digunakan dalam konstruksi bangunan. Balok laminasi I-joist memiliki bentuk penampang seperti huruf “I”. Bagian atas dan bawah balok I disebut dengan sayap atau flange. Bagian tengah balok I disebut dengan porsi tegak atau tubuh atau web. Proses pembuatan glulam diatur dalam BS (British Standard) 4169. Lapisan kayu penyusun balok laminasi disebut dengan lamina. Lamina yang digunakan dapat beragam jenis, jumlah, ukuran, bentuk maupun ketebalannya. Pada umumnya, tebal lamina ialah 1,9 cm sampai 3,8 cm. lamina yang digunakan harus dikeringkan hingga mencapai kadar air 12-15 persen kemudian dipilah. Cacat tidak terlalu dipermasalahkan dalam lamina karena daerah penampang melintang (cross section) setiap lamina dibandingkan dengan seluruh daerah dari glulam. Lamina pada arah panjang dapat disambung dengan finger joint dan sambungan serong (1:12). Jika sambungan bergeser maka pengurangan kekuatan untuk seluruh balok sangat kecil dan dapat diabaikan (Yap 1997). Salah satu cara penyambungan bagian sayap dengan tengah adalah dengan menggunakan perekat. Pada umumnya pelaburan perekat diberikan pada kedua permukaan. Perekatan harus dilakukan segera setelah penyerutan untuk mencegah terjadinya case hardening dan menurunnya efektifitas perekat. Perekat yang dapat digunakan untuk glulam seperti Urea Formaldehida atau resorsinol formaldehida, tergantung pada tujuan penggunaan. Salah satu penentu keberhasilan perekatan adalah pengempaan. Menurut Yap (1997), ada tiga alat pengempaan menurut urutan kesempurnaannya yaitu mesin penekan hydrolis, alat pengapit dengan baut dan sekrup (klem), dan dengan
menggunakan baut dan paku. Tekanan yang dibutuhkan pada saat pengempaan adalah 0,7 N/mm² selama 12 jam. Pembuatan balok I-joist memiliki beberapa keunggulan, antara lain: a)
sifat balok I-joist dapat direkayasa sesuai dengan tujuan penggunaan,
b)
bahan baku dimanfaatkan secara efisien,
c)
meminimumkan pengaruh cacat,
d)
menghasilkan produk dengan bentuk yang lebih lurus dan dimensi yang stabil,
e)
meningkatkan kualitas dari lamina penyusun,
f)
dapat dimanfaatkan untuk bahan kostruksi.
2.3.
Phenol Resorsinol Formaldehida (PRF) Phenol resorsinol formaldehida adalah salah satu jenis perekat sintesis
yang terdiri dari campuran fenol, resorsinol, dan formaldehida. Komposisi campuran antara phenol, resorsinol, dan formaldehida berdasarkan berat berturutturut 1,25:1,25:0,33 (Blomquist et al 1981). Perekat ini telah beredar di perdagangan dan pernah diujikan oleh Santoso (2000). Tabel 1 Spesifikasi perekat PRF No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Pengujian Keadaan Bahan Asing Waktu Tergelatinasi (menit) Kadar resin padat (%) Viskositas (25 ± 1ºC) (poise) Keasaman (pH) Bobot jenis Formaldehida bebas
Spesifikasi PRF Warna coklat sampai hitam, berbau khas Tidak ada 85 57,03 3,4 8,0 1,15 0,04
PRF termasuk dalam jenis perekat thermosetting yaitu perekat yang dapat mengeras bila terkena panas atau reaksi kimia dengan bantuan katalisator atau hardener dan bersifat irreversible. Perekat ini dapat mengeras pada suhu ruangan dan sedang (Carney 1978). Oleh karena itu, perekat ini dapat diaplikasikan untuk pengempaan dingin.
Pada umumnya, perekat ini digunakan sebagai perekat eksterior (karena sifatnya yang lebih tahan air) dan dapat pula digunakan untuk interior. Perekat ini dapat digunakan untuk mengikat komponen bangunan seperti sambungan jari, balok bentuk I, panel sandwich, dan sebagainya. Namun hal yang harus diperhatikan untuk perekat ini adalah membutuhkan waktu yang lama pada proses perekatan dimana akan tercipta pada suhu 21ºC (70ºF). 2.4.
Momen Inersia (Second Moment)
2.4.1. Definisi Moment Inersia (Second Moment) Momen inersia adalah nilai yang menggambarkan sifat penampang. Momen inersia besar perannya untuk perencanaan balok terlentur. Momen inersia dari suatu penampang harus diambil terhadap sumbu yang melalui centroid penampang tadi. Centroid adalah titik berat benda. Besarnya momen inersia dari suatu elemen penampang terhadap sumbu yang sebidang dengan elemen tersebut adalah hasil kali dari luas elemen dengan kuadrat jarak antara elemen dengan sumbu tertentu (Nash 1977). Momen Inersia elemen luas terhadap sumbu-x adalah dlx = y2 da. Sedangkan momen inersia elemen luas terhadap sumbu-y besarnya adalah dIy = x2 da. 2.4.2. Momen Inersia (Second Moment) Penampang Tertentu Momen inersia suatu penampang tertentu terhadap satu sumbu yang sebidang besarnya sama dengan penjumlahan momen inersia dari seluruh elemen pembentuk penampang terhadap masing-masing sumbu yang dimaksud (Nash 1977). a.
Momen inersia penampang terhadap sumbu-x (Ix): Ix = ∫d Ix = ∫ y² da
b.
Momen inersia penampang terhadap sumbu-y (Iy) Iy = ∫d Iy = ∫ x² da
Satuan dari momen Inersia tersebut adalah pangkat-4 dari satuan panjang (mm4 atau m4).
2 2.4.3. Dalill Sumbu Sejajar S Moomen Inerssia pada P Penampang Tertentu (Parallel Axis Theorem Th for S Second Mom ment) Dalil Sumbu Sejjajar momenn inersia adalah mom men inersia dari suatu p penampang terhadap suuatu sumbu adalah samaa dengan m momen inersiia terhadap s sumbu sejajar yang mellalui centroidd penampanng tadi, ditam mbah dengann hasil kali l luas penamp pang dengann pangkat duua jarak antaara kedua suumbu sejajaar. Dalil ini d dapat digun nakan untuk penampangg lintang yang tidak sim metris. Mom men inersia p pada sumbu-x dan sumbbu-y masing--masing dinyyatakan denggan a a.
Mom men inersia penampang p tterhadap sum mbu-x (Ix): Ix = Ixc + A(y1)2
b b.
Mom men inersia penampang p tterhadap sum mbu-y (Iy) Iy = Iyc + A(x1)2
2 2.4.4. Mom men inersia pada Balok k Utuh Nashh (1977) mengemukaka m an bahwa momen m inersia pada balok b utuh s sebagai berik kut: b dy
y
xG
Gam mbar 1 Mom men inersia paada balok uttuh. S Sehingga daari gambar teersebut didaapatkan rumu us momen innersia pada balok utuh ( XG) adalah (I IxG =
1 12
bh3
2.5.
Tegangan pada Balok Lentur
2.5.1. Tegangan Normal (σ) Tegangan normal (σ) balok yang mempunyai bidang longitudinal yang simetris persamaannya:
σ = tegangan normal M =Momen Lentur y = jarak dengan sumbu netral I = Momen Inersia Besarnya tegangan normal berubah dari nol pada sumbu netral dan mencapai batas maksimum pada bagian serat terluar balok (Nash 1977). Tegangan normal maksimum balok harus lebih kecil daripada keteguhan lentur balok itu sendiri (SRi//) agar tidak terjadi kerusakan. Keteguhan lentur dilambangkan dengan MOR. MOR adalah ukuran kemampuan suatu benda menahan beban lentur sampai mengalami kerusakan. 2.5.2. Tegangan Geser pada Balok (V) Pada balok lentur terjadi gaya geser (V) pada cross-section dan tegangan geser horizontal ( ) (Nash 1977). Besarnya tegangan geser horizontal ( ) sebanding dengan besarnya gaya geser. Gambar 2, y ialah jarak terhadap sumbu netral, I ialah momen inersia di seluruh cross-section, yo ialah jarak serat tertentu dari sumbu netral, dan b ialah lebar balok, sehingga persamaannya:
c N.A
yo
b
Gambar 2 Gaya geser pada balok.
2.6.
Defleksi pada Balok Lentur
2.6.1. Definisi Defleksi Balok Balok yang diberi beban akan mengalami perubahan bentuk. Perubahan bentuk tersebut dapat berupa lendutan (Nash 1977). Defleksi atau lendutan adalah perubahan bentuk dari kedudukan semula. Kedudukan semula yaitu bentuknya mula-mula tanpa diberi beban. 2.6.2. Persamaan Diferensial Defleksi Balok Pembebanan Gaya Lateral Nash (1977) menyatakan bahwa momen lentur M terjadi pada crosssection, R merupakan radius lekukan antara bagian yang mengalami defleksi dengan permukaan netral, E modulus elastisitas, dan I merupakan momen inersia, maka dapat dituliskan persamaan
Untuk menggambarkan lendutan yang terjadi dari garis netral pada balok terlentur, maka persamaan lain dapat ditulis: 1 Lendutan pada suatu titik yang mengakibatkan perubahan bentuk atau deformasi terhadap permukaan netral. Persamaan lendutan dapat ditulis dengan cara kalkulus diferensial 1 1
/ /
/
dy/dx digunakan untuk kemiringan yang terdapat pada lenturan di titik tertentu. Dan untuk defleksi yang kecil menggunakan asumsi bahwa 1 maka untuk defleksi yang ukurannya kecil (small deflection) persamaannya menjadi
2.7.
Metode Statistik untuk Mengepas Kurva Beban-Deformasi Metode statistik untuk mengepas kurva beban-deformasi adalah metode
perhitungan untuk menentukan batas elastis secara objektif. Selama ini, penentuan batas elastis selalu subjektif dimana hanya memanfaatkan bagian linear saja dan membuang wilayah lainnya. Pada metode baru yang disajikan pada Bahtiar (2008a), pengepasan kurva beban-deformasi lebih objektif karena memanfaatkan kedua bagian dari kurva sehingga kurva beban deformasi menjadi kurva yang menerus. Pengepasan ini sangat berguna dalam menentukan nilai MOE. MOE adalah nilai yang menggambarkan kemampuan kayu untuk mempertahankan perubahan bentuk akibat beban. Dua bagian yang dimanfaatkan adalah bagian kurva linear dan bagian kurva kuadratik. Titik pertemuan antara kedua bagian tersebut disebut dengan batas elastis atau disebut juga batas proporsi. Di bawah batas elastis, kayu yang diberi beban dapat kembali ke bentuknya semula dan digambarkan dengan persamaan linear berikut ini: P = β0 + β1 Δ Sedangkan di atas batas elastis, kayu yang diberi beban akan mengalami deformasi permanen ataupun dapat terjadi kerusakan. Bagian tersebut digambarkan dengan persamaan kuadratik berikut ini: P = β2 + β3 Δ + β4 Δ² Dimana, P Δ
= Beban = deformasi
Β0,1,2,… = koefisien regresi Apabila data deformasi aktual dikategorikan dalam dua komponen yaitu deformasi elastis dan deformasi plastis maka dapat dikatakan: Δ = Δe + Δ p Deformasi plastis bernilai nol ketika kurang dari atau sama dengan batas elastis. Hal tersebut dikarenakan pada saat itu deformasi plastis belum terjadi dan deformasi yang terjadi adalah deformasi elastis. Deformasi elastis bernilai maksimum terjadi tepat pada batas elastis dan konstan setelah batas tersebut. Deformasi plastis terjadi di atas batas elastis dimana besarnya sama dengan selisih antara deformasi aktual dengan deformasi elastis maksimum.
Tabel 2 Contoh penyajian data pada kurva beban-deformasi
Batas Elastis
P 84,79 86,22 87,68 89,11 90,48 91,92 93,27 94,67 96,05
Δ 3,92 3,97 4,03 4,08 4,14 4,19 4,25 4,30 4,36
Δe 3,92 3,97 4,03 4,08 4,14 4,14 4,14 4,14 4,14
Δp 0 0 0 0 0,05 0,11 0,16 0,22 0,28
Δp² 0 0 0 0 0,002 0,01 0,03 0,05 0,08
Dari Tabel 2 didapat satu persamaan tunggal yaitu: P = β5 + β6 Δe + β7 Δp + β8 Δ²p Jika diasumsi gabungan kurva linear dan kurva kuadratik merupakan kurva menerus dan tidak patah, maka dapat dikatakan batas elastis adalah titik singgung kurva linear dan kurva kuadratik sehingga β6 = β7. Selanjutnya didapat persamaan baru yaitu model tunggal optimal yang secara teoritis mampu menggabungkan dua persamaan pada kurva beban deformasi. Persamaan tersebut adalah sebagai berikut: P = β5 + β6 (Δe + Δp) + β8 Δ²p = β5 + β6 Δ + β8 Δ²p 2.8.
Metode Transformed Cross Section Metode transformed cross section adalah sebuah metode dimana dari nilai
modulus elasitisitas berbagai macam lamina dikonversi menjadi modulus elastisitas glulam yang bernilai tunggal. Namun metode ini berasumsi pada ketergantungan sifat penampang terhadap modulus elastisitas material. Asumsi ini mengakibatan pengurangan lebar lamina dengan nilai (E1) yang kecil dan penambahan lebar lamina dengan nilai (E1) yang besar, seperti terlihat pada Gambar 3.
G Gambar 3 Multilayer M assymetric orthhotropic lam minate : (a) ggeomerti (bb) transform med cross secction. Lapisan muka (face) (f pada umunya diipilih untuk standar traansformasi, t tetapi menurrut Bodig dan Jayne (1993) bisa diipilih laminaa yang manaapun. Pada a asimetris mu ulti lapis lam mina ortotroppis, transform masi dihitungg dengan perrsamaan: wi
=wE E
i 1 n 1
i
D Dimana w adalah lebaar lamina trransformasi pada lapis ke-i, w ad dalah lebar l lamina, E1 addalah MOE standar, dann En adalah MOE M laminaa pada lapis ke-i. k Dikaarenakan lebar tiap laminna berlainan n maka perluu ditentukan letak garis n netral/ centroid. Centroid didapat deengan mengaasumsi moduulus elastisittas sama di s setiap lamin na. Centroid dihitung d denngan persam maan berikut: n ∑ Ad i =1 c= n ∑A i =1
S Sedangkan momen m inerssia dapat dituuliskan deng gan persamaan n
I = ∑(I 0 + Ai di2 ) i =1
D Dimana I addalah momenn inersia crooss section dan d d jarak bidang netraal terhadap c centroid, dan n I 0 adalah momen m inerssia pada bidaang netral. T Tegangan noormal didapaat dengan peersamaan σ=
Mw i y Iw
2.9.
Glulam
2.9.1. Glulam Vertikal Ada dua jenis glulam menurut arah penyusunan laminanya yaitu glulam vertikal dan glulam horizontal. Glulam vertikal adalah glulam yang menerima momen lentur sejajar muka laminasi. Dalam makalah yang ditulis oleh Bahtiar (2008a) terdapat rumus untuk menghitung modulus elasitas dan keteguhan lentur untuk glulam vertikal. Rumus tersebut diturunkan tanpa mentransformasi luas penampang lamina, sehingga persamaan yang diperoleh tetap taat azas. Berdasarkan hasil penurunan rumus oleh Bahtiar (2008b), modulus elastisitas glulam dapat dihitung dengan rumus: ∑ ∑ Sedangkan untuk keteguhan lentur (SR) glulam sejajar muka lamina yang diturunkan dari persamaan yang taat azas didapat rumus sebagai berikut: 6 ²∑ Tegangan normal maksimum yang dialami setiap lamina harus lebih kecil daripada keteguhan lentur lamina tersebut (SRi//). Oleh karena itu, untuk menduga nilai keteguhan lentur glulam sejak sebelum diproduksi dimana sifat-sifat laminanya telah diketahui dapat dihitung dengan rumus: 6 ²∑
S
//
; iv
1,2,3, … n
2.9.2. Glulam Horizontal Jenis glulam yang kedua adalah glulam horizontal. Glulam horizontal adalah glulam yang menerima momen lentur tegak lurus muka laminasi. Dalam makalah yang ditulis oleh Bahtiar (2008b) terdapat rumus untuk menghitung modulus elasitas dan keteguhan lentur untuk glulam horizontal. Rumus tersebut diturunkan tanpa mentransformasi luas penampang lamina, sehingga persamaan yang diperoleh tetap taat azas.
Berdasarkan hasil penurunan rumus oleh Bahtiar (2008b), bentuk umum untuk mengitung nilai tunggal modulus elastisitas glulam dari lamina yang bervariasi sifat mekanisnya dapat dihitung dengan rumus: ∑ Sedangkan untuk keteguhan lentur (SR) glulam sejajar muka lamina yang diturunkan dari persamaan yang taat azas didapat rumus sebagai berikut:
Agar tidak terjadi kerusakan, maka tegangan lentur lamina harus lebih rendah daripada keteguhan lentur tiap lamina tersebut (σ ≤ SRi). Oleh karena itu, untuk menduga nilai keteguhan lentur glulam sejak sebelum diproduksi dimana sifatsifat laminanya telah diketahui dapat dihitung dengan rumus: S ;i
1,2,3, … n
Namun dari rumus diatas nilai variabel y belum dapat ditentukan. Variabel y adalah jarak suatu titik terhadap garis netral. Oleh karena itu, perlu ditentukan posisi netral terlebih dahulu. Dalam Bahtiar (2008b) telah didapat rumus menentukan letak centroid/ posisi netral pada penampang berbentuk persegi. ∑
∑ 2∑
∑