Bab II Tinjauan Pustaka
II.1. Lumpur Sidoarjo Semburan lumpur panas yang terjadi di Sidoarjo merupakan suatu gejala alam yang sebelumnya pernah terjadi di berbagai tempat lainnya didunia dan biasanya disebut juga dengan mud volcano. Struktur terbesar mud volcano yang ada di alam saat ini bisa mencapai diameter 10 km dan ketinggian 700 meter. Keberadaan mud volcano ini biasanya selalu disertai dengan pancaran gas yang mana 80% gas yang dihasilkan adalah gas methan. Gas ini dipancarkan oleh carbon dioksida dan nitrogen. Material yang dikeluarkan bersifat lebih kental, tergantung pada cairannya, yang terdiri dari air (biasanya asam atau bergaram) dan cairan hydrocarbon. Meskipun mud volcano ini terjadi diseluruh dunia, namun distribusi geografinya menunjukkan bahwa mud volcano merupakan suatu rangkain peristiwa yang terjadi di daerah batas lempeng aktif dimana tekanan tektonik menyebabkan terbentuknya aliran fluida, gas dan lumpur. Lebih dari 1000 mud volcano terdapat didaerah pantai dan umumnya terkonsentrasi disepanjang jalur pegunungan aktif, seperti Himalaya – Alpine (Dimitrov, 2002). Mud volcano, yang terbentuk oleh proses tektonik terjadi akibat peningkatan tekanan didaerah komporesi atau oleh matutasi (pematangan) dan hilangnya gas secara cepat oleh timbunan sedimen yang kaya akan zat organik (Milkov 2000; Kopf and Behrmann 2000; Flower et al. 2000; Kopf 2002). Disamping akibat yang ditimbulkan oleh semburannya, mud volcano sangat penting sekali peranannya sebagai pembawa air, elemen pelarut, gas dan minyak serta bertindak sebagai jalan khusus gas methane untuk lepas ke atmosfir atau kedalam lautan (Kopf 2002; Milkov et al 2003). Struktur ini jelas mempunyai dampak yang sangat penting pada proses migrasi di daerah cekungan sedimen
6
pada saat terbentuknya (Dimitrov; 2002) dan mempunyai pengaruh jangka panjang terhadap sejarah aliran fluida di daerah cekungan pengendapan (Svebsen et.al; 2003). Erupsi mud volcano yang terjadi di Sidoarjo, Jawa Timur, pada tanggal 29 Mei 2006, menyemburkan lumpur dengan kecepatan aliran yang cendrung naik setiap harinya disertai dengan pancaran uap putih dan pecahan batu kerikil berlempung. Aliran lumpur dan pecahan lempung batuan yang terbawa kepermukaan mengandung fosil foraminifera and nanoplankton calcareous yang sangat berguna untuk penentuan umur, korelasi dan lingkungan pengendapan. Lokasi pusat erupsi lumpur berada 200 m barat daya sumur Banjarpanji-1, di Porong-Sidoarjo, Jawa Timur terletak pada dataran alluvial yang disebelah utara berbatasan dengan daerah perbukitan lunak yang dikenal sebagai zona Kendeng dan di selatan berbatasan dengan busur gunung api Quartenary. Pusat sistem gunung api komplek Arjuna-Welirang-Argopuro terletak sekitar 50 km selatan lumpur panas Sidoarjo. Berdasarkan studi daerah, mud volcano ini terjadi pada daerah sumbu antiklin. Disekitar daerah ini terdapat mud volcano Pulungan dan Karang Anyar berlokasi di antiklin Pulungan. Sedangkan mud volcano Gunung Anyar berada pada antiklin Gunung Anyar. Daerah lokasi rangkaian mud volcano ini terletak pada daerah yang dikenal sebagai Patahan Watukosek, seperti yang tampak pada gambar II. 1 Daerah ini termasuk kedalam cekungan busur belakang Jawa Timur yang telah mengalami fase kompresi sejak zaman Miocene. Selama zaman Pleitocene daerah ini berubah bentuk dari cekungan laut dalam ke keadaan geologi Jawa Timur yang ada sekarang ini (Kadar, et al., 2007). Berikut urutan stratigrafi Sidoarjo dari permukaan : 1) sediment alluvial; 2) formasi pucangan yang berumur pleistocene yang persilangan antara shale dan batu pasir sampai kedalaman 900 m; 3) formasi upper Kalibeng yang berumur Pleistocene dengan kandungan lempung (bluish gray clay); 4) volcaniclastic sand dengan ketebalan sekitar 962 m.
7
Mud volcano tidak aktif Bangkalan
Zona Rembang
Mud volcano aktif
Tuban Kalang Anyar Zona Randublatung
Zona Kendeng
LUSI
WILIS ANJASMORO BROMO
KAWI KELUD
SEMERU
Gambar II1. Rangkain mud volcano disekitar LUSI (Zaenuddin, 2007) Menurut Kadar (2007) umur batuan pada sumur Banjarpanji-1, untuk batuan dengan kedalaman 847,34 m (2,780 ft) memiliki umur 0,8 juta tahun dan batuan pada kedalaman di atas 2833,73 m (9297 ft) memiliki umur 1,6 juta tahun (PlioPliestocene). Laju pengendapan untuk sedimen pada kedalaman 2833.73 m – 847.35 m adalah sekitar 1986.38 m dalam 0,8 juta tahun (2480 m/ma). Menurut Rubiandini (2006), berdasarkan teori pengeboran, zona terlemah dalam pengeboran terletak pada kedalaman sekitar kedalaman 3500 feet. Pada saat erupsi pertama, materi yang keluar adalah air–asin–panas yang bersumber dari kedalaman 9297 feet yang naik dan menggerus lempung yang reaktif atau muddiapir pada kedalaman 6100–1700 feet. Indikasi adanya air asin tersebut,
8
menunjukkan bahwa air tersebut berasal dari laut, dan kemungkinan besar juga merupakan air yang berasal dari Batugamping Kujung (Formasi Kujung). Fluida di Formasi Kujung ini mengalir bergerak keatas, dengan terus menerus menggerus shale atau batu lempung yang dilewatinya. Sehingga pada suatu saat, batuan yang menjadi batas antara Formasi Kujung dengan sumber hydrothermal yang berada dibawahnya tidak cukup kuat untuk menahan selisih tekanan yang cukup besar tersebut
Gambar II.2 Urutan Stratigrafi Sidoadarjo disekitar BJP I, sekitar 200 m dari lokasi tempat terjadinya erupsi lumpur (Mazzini et al., 2007).
9
II.2. Mineral magnetik pada sedimen Minera-mineral magnetik kuat (ferro- atau ferrimagnetik) ditemukan dimanamana dalam material terrestrial. Mineral magnetik tersebut umumnya merupakan senyawa besi. Semua material ini di transpor oleh proses fluvial, angin atau dengan erupsi vulkanik dan ada sedikit aliran konstan dari debu kosmik. Debu buatan-manusia, industri dan pertanian, tidak dapat diabaikan dalam sedimen yang ada sekarang ini. Mineral magnetik biogenik, magnetosomes, sekarang dapat ditemui dimana saja sebagai magnetofossil dalam marine sediment, non-marine sediment dan juga dalam tanah (Kirshvink et al., 1985, Fassbinder et al., 1990). Kontribusinya sangat besar untuk sebagian besar sedimen halus. Walaupun mineral di atas dipandang sebagai mineral utama, namun mineral authigenic atau mineral yang diendapkan secara kimia dianggap sebagai mineral sekunder juga lebih umum ditemukan. Magnetisasi remanen sebagian yang dibawa oleh mineral sekunder ini (CRM, chemical remanent magnetization) atau melalui jejak magnetisasi primer. Sesuai dengan karakterisasi kimianya, mineral magnetik kuat dapat dibagi kedalam empat kelompok. (a) Besi oksida, seperti magnetite (Fe2O3), maghemite (γ-Fe2O3), dan hematite (α-Fe2O3). Mineral ini dapat membuat larutan padat dengan titanuim oksida seperti ulvospinel (TiFe2O3) dan ilmenite (TiFeO3) : Titanomagnetite (xTiFe2O4(1-x)Fe2O3), titanomaghemite dan titanohematite (xTiFeO3(1-x)Fe2O3) berturut-turut. (Rumble, 1976; Lindsey, 1991) (b). Besi sulfida seperti pyrrhotite (Fe7S8) dan symthite (Fe9F11) (Ribbe, 1974). (c). Besi oksihidroksida seperti geothite (α-FeOOH) (Burns, 1979). (d) Mineral besi mangan, khusus dalam sedimen laut ditemui sebagai jacobsite (MnFe2O4) (Burns, 1979). Namun senyawa mangan seperti todorokite dan hydropsilomelane kurang umum dikenal sebagai mineral magnetik dalam marine sediment (Larson and Walker, 1975). Beberapa sifat mineral ini dan beberapa sifat lainnya diberikan dalam Tabel II.1
10
Tabel II.1. Sifat-sifat beberapa mineral magnetik (Dunlop and Ozdemir, 1997) Mineral
Formula
Ms (kA/m) Tc (0C)
Struktur Magnetik
Magnetite
Fe3O4
480
580
Ferrimagnetik
Hematite
α-Fe2O3
~2.5
675
Canted antiferromagnetik
Maghemite
γ-Fe2O3
380
590–675 Ferrimagnetik
Geothite
α-FeOOH
~2
120
Antiferromagnetik
Greigite
Fe3S4
~125
~330
Ferrimagnetik
Pyrrhotite
Fe7S8
~80
320
Ferrimagnetik
Dari tabel diatas Ms adalah magnetik saturasi dan Tc adalah temperatur Curie mineral magnetik. Hematite secara umum ditemukan dalam tanah dan sedimen yang merupakan pembawa magnetisasi utama “red beds” sebagai sumber informasi paleomagnetik klasik (Evans and Heller, 2003). Mineral magnetite dikarakterisasi oleh dua temperatur, temperatur Neel pada 6750C dan transisi Morin pada suhu sekitar 150C (Dunlop and Ozdemir, 1997). Sedangkan maghemite merupakan mineral yang dihasilkan dari oksidasi magnetite dan sering dijumpai dalam tanah. Temperatur Curienya sekitar 6450C. Di alam variasi komposisi untuk mineral yang disebutkan diataslah yang diselidiki dan sebagian besar keberadaannya berasosiasi dengan titanium. Hubungan antara mineral diatas dapat dilihat melalui diagram segitiga (ternary diagram) pada Gambar II.3. Diagram ini merupakan solid solution series yang memberikan gambaran bagaimana proses terbentuknya besi-titanium oksida seta komposisi kimia mineral oksida dengan anggota tepi yang terdiri dari TiO2, FeO dan Fe2O3. Ada dua kelompok besi titanium oksida utama, yaitu kelompok titanomagnetite dan kelompok titanohematite. Banyaknya jumlah titanium yang disubstitusi dalam magnetite ditandai dengan variabel x (Fe3-xTixO4), sedangkan titanium yang disubstitusi ke hematite ditandai dengan variabel y (Fe2-yTiyO3). Titanomagnetite
11
merupakan mineral kubik dengan struktur inverse spinel dan titanohematite dicirikan dengan simetri rhombohedral (Dunlop and Ozdemir, 1997; Evans and Heller, 2003). Kedua mineral ini mempunyai komposisi yang sama tapi berbeda struktur, sebagai contoh maghemite dan hematite, menempati posisi yang sama dalam diagram tertianarynya.
Gambar II.3 Diagram segitiga yang menggambarkan komposisi mineral dalam keluarga besi-titanum oksida (Tauxe, 2007). Titanomagnetite (Fe3-xTixO4) merupakan mineral utama dalam batuan beku dan komposisinya sangat bergantung pada suhu. Pada suhu biasa (ruang) komposisi titanomagnetite intermediate hanya dipertahankan jika material asli mengalami proses pendinginan dengan sangat cepat, sebagai contoh pada lava di lautan. Jika proses pendinginannya berlangsung lambat, maka oksida primer akan pecah kedalam zona pertumbuhan dekat magnetite dan mineral kubik ulvospinel. Komposisi titanomagnetite intermediate juga cenderung untuk pecah kedalam lingkungan pertumbuhan dekat hematite dan ilmenite. Perkembangan mineral
magnetik antara ulvospinel relatif jarang di alam.
biasanya ada cukup oksigen untuk oksidasi komplit titanomagnetite. Perubahan spinel phase tunggal oksidasi temperatur rendah kedalam spinel phase tunggal
12
lainnya dengan parameter kisi yang berbeda, sedangkan oksidasi temperatur tinggi (deutric oxidation), selama proses pendinginan awal, dihasilkan dalam phase spinel intergrowth magnetite dan rhombohedral (dekat ilminite) sehingga proses ini dikenal sebagai oxyexsolution. Geothite adalah satu mineral magnetik oksihidroksida. Geothite mempunyai momen magnetik spontan yang lebih rendah dibandingkan dengan hematite dan titik Neelnya sekitar 1200C (Dunlop and Ozdemir, 1997). Studi terbaru menunjukkan bahwa geothite terjadi secara luas dialam dalam tanah dan sedimen (France and Oldfield, 2000). Dua mineral oksihidroksida lainnya adalah ferrihydrite dan lepidocrite, yang terbentuk karena perubahan kimia dan menghasilkan hematite dan magnetite dalam tanah dan sedimen (Schwertmann, 1988). Selain golongan oksida besi di atas, ada golongan mineral magnetik lain yang termasuk dalam golongan sulfida besi yang sering terdapat dalam sedimen. Mineral ini antara lain pyrite (FeS2), pyrhotite (FeS), pyrrhotite (Fe1-xS) dan greigite (Fe3S4). Greigite sebagai mineral ferromagnetik sulfida besi, awalnya jarang terdapat di alam, namun secara umum terjadi dalam sedimen yang terbentuk dibawah proses anoxic seperti reduksi sulfida, kondisi (Roberts, 1995) dan bio-mineralisasi oleh bakteria magnetotaktik (Mann, et al., 1990). Greigite merupakan sulfida yang sama dengan magnetite, dan mempunyai magnetisasi remanen, seperempat nilai magnetite. Secara thermomagnetik, dapat diidentifikasi oleh temperatur Curie yang terletak pada titik sekitar 3300C (Dunlop and Ozdemir, 1997) Pyrrhotite terdapat dalam batuan beku, metamorphic dan sedimen, sebagaimana baiknya dalam biji sulfida, tapi jarang mendominasi sinyal remanen magnetik. Titik curienya mendekati titik curie greigite, ~3200C (Dunlop and Ozdemir, 1997). Berbeda dengan greigite, pyrrhotite menunjukkan transisi temperatur rendah pada ~340K (Dekkers, 1989; Rochette et al., 1990), yang dapat digunakan untuk
13
membedakan dua phasa sulfida. Ukuran bulir bergantung parameter pyrrhotite telah dipelajari oleh Clark (1984) dan Dekkers (1988; 1989). Pentingnya sulphida besi dalam studi magnetik lingkungan telah didiskusikan lebih detil oleh Snowball dan Torii (1999).
II.3. Diagenesis dalam Sedimen Laut Proses biokimia yang berkaitan dengan mineralisasi zat organik, disebut dengan proses diagenesis awal. Dalam model klasik diagenesis awal, Freolich dkk (1979) menggambarkan bahwa degradasi zat organik oleh mikroorganisme dan reduksi simultan elektron penerima. Model klasik ini mengasumsikan bahwa komposisi zat
organik
lautan
yang
digambarkan
oleh
rasio
Redfield
(CH2O)106(NH3)16(H3PO4), (Redfield et al., 1963) dan degradasinya berlangsung dibawah kontrol lingkungan sekitarnya dengan pH netral dan suhu 250C. Rangkaian reaksi ini
diformulasikan berdasarkan pada energi bebas yang
dihasilkan oleh reaksi setiap individu. Oksigen pertama digunakan sebagai elektron penerima, diikuti oleh nitrat, mangan, biji besi dan sulfat. Dalam setiap tahap reduksi, zat organik yang mengalami fermentasi akan menghasilkan methan dan carbon dioksida. Namun secara umum reaksi ini bergantung pada jumlah materi/zat organik (OM) yang ditambahkan ke dalam sedimen, kecepatan sedimentasi dan ketersediaan bio pada setiap reaktan (Evans and Heller, 2003). Pada tahun 1981 Berner membuat klasifikasi model geokimia baru yang berdasarkan pada ada atau tidak adanya oksigen dan larutan hidrogen sulfida (HS dan H2S) pada waktu formasi mineral authigenik dalam sedimen laut. Lingkungan yang terjadi ini dikenal dalam urutan sebagai berikut : oxic, post-oxic, sulphidic dan methanic, seperti yang terlihat pada gambar II.3 Dalam sedimen laut (titano-)magnetite merupakan pembawa sinyal magnetik yang penting. Hal ini terutama ada sebagai partikel detrital atau sebagai bagian
14
dalam matrik siliceous. Namun magnetotatic bacteria juga membentuk magnetite in–situ pada transisi dimana nitrat direduksi dan besi dioksidasi (Karlin et al., 1987; Karlin, 1990). Magnetite authigenic dapat berupa exstra-cellular magnetite yang sangat halus (ukuran bulir superparamagnetik : 6–20 nm) atau sebagai partikel magnetite single domain intra-sellular (35–130 nm). Secara makroskopik transisi ini dapat dilihat pada perubahan warna sedimen dari merah kecoklatcoklatan (reddish brown) menjadi hijau (Lyle, 1983). Sulfat merupakan penerima elektron yang sedikit istimewa, namun secara umum tersedia dialam. Reduksi bacterial dari sulfat dihasilkan dalam pembentukan kondisi air pori sulphidic (gambar II.3). Disini dissolusi magnetite akan terjadi jika jumlah hidrogen sulfida yang tersedia melebihi konsentrasi besi yang akan direduksi, (Evans and Heller, 2003). Magnetite akan dipertahankan jika tidak ada formasi hidrogen sulfida, atau jika hidrogen sulfida yang ada tidak mencukupi untuk bereaksi dengan mineral besi oksida reaktif lainnya (Goldhaber and Kaplan, 1974; Canfield and Berner, 1987). Studi terbaru oleh Emiroglu, et al (2004) di lingkungan Spanish Ria dan oleh Liu , et al (2004) dalam sedimen shelf continental dari Selat Korea, menunjukkan hal yang berlawanan. Hematite dan geothite lebih tahan (resistan) untuk dissolusi reduktif dibawah kondisi sulphidic daripada magnetite, tetapi akhirnya mereka akan direduksi secara sempurna. Fase-fase (mono)sulphidic (seperti mackinawite, greigite dan pyrrhotite) adalah yang pertama terbentuk pada saat besi yang tereduksi bereaksi dengan hidrogen sulfida (Berner, 1984; Roberts and Turner, 1993). Namun, jika terdapat kelebihan hidrogen sulfida ada dalam air pori, maka mineral ini tidak akan stabil dan akan berubah bentuk menjadi pyrite. Tetapi pada saat diawetkan dalam sedimen magnetisasi remanen sekunder akan diperoleh dengan mineral-mineral ferrimagnetik greigite dan pyrrhotite, membahayakan interpretasi magnetik-purba dan/atau lingkungan-purba.
15
Gambar II.3 Klasifikasi dari beberapa lingkungan (keadaan) yang berbeda dari proses diagenesis dan autigenesis dari mineral besi dan mangan (Froelich, 1979; Berner, 1981). Di bawah kondisi reduksi kuat, dimana seluruh elektron penerima telah digunakan (tidak terdapat sulfat), dan tidak terdapat lagi hidrogen sulfida, maka akan terbentuk sideri dan vivianite. Kedua jenis mineral ini lebih sering ditemui dalam sedimen
non-marine
dan
biasanya
digunakan
indikator
salinitas-purba
(paleosalinity) (Berner, 1981). Rhodochrosite adalah carbonat mangan yang terbentuk di bawah kondisi anoxic. Namun hal ini tidak menunjukkan sebagai siderit atau pyrite.
16