BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Konsep Otonomi Daerah Dengan ditetapkannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
pemerintahan daerah dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, maka setiap daerah di Indonesia baik provinsi, maupun kabupaten dan kota diberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab dalam melaksanakan pemerintahannya sehingga memberi peluang kepada daerah untuk lebih leluasa mengatur dan melaksanakan kewenangannya atas prakarsa sendiri sesuai dengan kepentingan masyarakat setempat dan potensi setiap daerah. Kewenangan ini pada dasarnya merupakan upaya untuk membatasi kewenangan pemerintah dalam hal ini pemerintah pusat dan kewenangan provinsi sebagai daerah otonom, karena pemerintah dan provinsi hanya diperkenankan menyelenggarakan kegiatan otonomi sebatas kegiatan tertentu. Kewenangan pemerintah daerah dilaksanakan secara luas, utuh dan bulat meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian dan evaluasi pada semua aspek pemerintahan. Pemerintah kewenangannya antara lain adalah dalam menyelenggarakan politik luar negeri, pertahanan keamanan, berkeadilan, moneter dan fiskal serta agama. Tambunan dalam Pakasi (2005) menyatakan bahwa salah satu aspek penting dari pelaksanaan otonomi daerah bahwa pihak daerah, baik kota maupun kabupaten, memiliki kewenangan yang luas dalam menjalankan pemerintahan di tingkat daerah. Kewenangan ini mencakup baik dari sisi penerimaan maupun sisi pengeluaran. Dari sisi penerimaan, pihak daerah diberi keleluasaan dalam menggali berbagai potensi yang ada guna menyokong peningkatan pendapatan daerahnya. Sementara dari sisi pengeluaran. Pihak daerah juga diberi keleluasaan dalam mengatur alokasi dana dalam membiayai jalannya pemerintahan maupun pembangunan daerah. Pelaksanaan otonomi daerah harus terus berjalan sebab langkah tersebut merupakan upaya untuk mempererat persatuan dan kesatuan dengan jalan mengurangi adanya ketidakadilan dan ketidakmerataan diberbagai bidang kehidupan serta dalam rangka memberikan pelayanan yang lebih baik
14
kepada masyarakat. Kebijakan otonomi daerah ini juga dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada munculnya sentra-sentra ekonomi baru di daerahnya, sehingga pemerataan hasil-hasil pembangunan dapat dirasakan oleh seluruh masyarakat.
2.2.
Pengertian Kemiskinan Ada banyak definisi dan konsep tentang kemiskinan. Kemiskinan
merupakan masalah yang bersifat multidimensi sehingga dapat ditinjau dari berbagai sudut pandang. World Bank (2002) membagi dimensi kemiskinan ke dalam empat hal pokok, yaitu lack of opportunity, low capabilities, low level security, dan low capacity. Kemiskinan dikaitkan juga dengan keterbatasan hakhak sosial, ekonomi, dan politik sehingga menyebabkan kerentanan, keterpurukan, dan ketidakberdayaan. Meskipun fenomena kemiskinan itu merupakan sesuatu yang kompleks dalam arti tidak hanya berkaitan dengan dimensi ekonomi, tetapi juga dimensi-dimensi lain di luar ekonomi, namun selama ini kemiskinan lebih sering dikonsepsikan dalam konteks ketidakcukupan pendapatan dan harta (lack of income and assets) untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti pangan, pakaian, perumahan, pendidikan, dan kesehatan, yang semuanya berada dalam lingkungan dimensi ekonomi (Nanga, 2006). Menurut BPS (2009), bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia naik 4,5 %, namun jika dilihat secara agregat jumlah penduduk miskin, baik itu kemiskinan di perdesaan maupun perkotaan masih tinggi. Selain masalah kemiskinan, selama ini juga masih terjadi masalah kesenjangan pembangunan. Hal tersebut ditunjukkan oleh jumlah penduduk miskin di daerah perdesaan lebih tinggi daripada di perkotaan. Pada tahun 2004, di Propinsi Banten jumlah penduduk miskin di perdesaan sebesar 499.3000 (11,99 %) dan di perkotaan sebesar 279.900 (5, 69%). Kemudian pada tahun 2007 menjadi 486.800 (12,52%) di perdesaan dan 399.400 (6,79 %) di perkotaan. Realitas tersebut menunjukkan bahwa program-program penanggulangan kemiskinan selama ini di Banten belum berhasil secara maksimal untuk mengatasi masalah kemiskinan. Hal ini disebabkan oleh kesalahan paradigmatik dan
15
pemberdayaan masyarakat miskin, atau bahkan program pemerintah banyak yang tidak tepat sasaran. Menyadari tingginya tingkat kemiskinan dan berbagai dampak yang ditimbulkan, maka masalah kemiskinan dijadikan sebagai prioritas utama dalam rencana kinerja pembangunan pada tahun 2007 (Yudhoyono, 2006). Hal ini didasari pada beberapa alasan filosofis penanggulangan kemiskinan, yaitu alasan kemanusiaan, ekonomi, sosial politik, dan keamanan (KPK, 2003). Pengukuran tingkat kemiskinan di Indonesia pertama kali secara resmi dipublikasikan BPS pada tahun 1984 yang mencakup data kemiskinan periode 1976-1981. Semenjak itu setiap tiga tahun sekali BPS menghitung jumlah dan persentase penduduk miskin, yaitu pada saat modul konsumsi tersedia. Penduduk miskin adalah penduduk yang berada di bawah suatu batas, yang disebut batas miskin atau garis kemiskinan. Berdasarkan hasil Widyakarya Pangan dan Gizi 1978, seseorang dapat dikatakan hidup sehat apabila telah dapat memenuhi kebutuhan energinya minimal sebesar 2100 kalori per hari. Mengacu pada ukuran tersebut, maka batas miskin untuk makanan adalah nilai rupiah yang harus dikeluarkan seseorang dalam sebulan agar dapat memenuhi kebutuhan energinya sebesar 2100 kalori per hari. Agar seseorang dapat hidup layak, pemenuhan akan kebutuhan makanan saja tidak akan cukup, oleh karena itu perlu pula dipenuhi kebutuhan dasar bukan makanan, seperti perumahan, pendidikan, kesehatan, pakaian, serta aneka barang dan jasa lainnya. Ringkasnya, garis kemiskinan terdiri atas dua komponen, yaitu garis kemiskinan makanan dan bukan makanan (BPS, 1999). Analisis faktor-faktor yang menyebabkan kemiskinan atau determinan kemiskinan pernah dilakukan oleh Ikhsan (1999). Ikhsan membagi faktor-faktor determinan kemiskinan menjadi empat kelompok, yaitu modal sumber daya manusia, modal fisik produktif , status pekerjaan, dan karakteristik desa. Modal SDM dalam suatu rumah tangga merupakan faktor yang akan mempengaruhi kemampuan suatu rumah tangga untuk memperoleh pekerjaan dan pendapatan. Dalam hal ini, indikator yang sering digunakan adalah jumlah tahun bersekolah anggota keluarga, pendidikan kepala keluarga, dan jumlah anggota keluarga. Secara umum semakin tinggi pendidikan
16
anggota keluarga maka akan semakin tinggi kemungkinan keluarga tersebut bekerja di sektor formal dengan pendapatan yang lebih tinggi. Selanjutnya adalah variabel modal fisik, yang antara lain luas lantai per kapita dan kepemilikan aset seperti lahan, khususnya untuk pertanian. Kepemilikan lahan akan menjadi faktor yang penting mengingat dengan tersedianya lahan produktif, rumah tangga dengan lapangan usaha pertanian akan dapat menghasilkan pendapatan yang lebih baik. Kepemilikan modal fisik ini dan kemampuan memperoleh pendapatan sebagai tenaga kerja akan menjadi modal utama untuk menghasilkan pendapatan keluarga. Anggota rumah tangga yang tidak memiliki modal fisik terpaksa menerima pekerjaan dengan bayaran yang rendah dan tidak mempunyai alternatif untuk berusaha sendiri. Komponen selanjutnya adalah status pekerjaan, di mana status pekerjaan utama kepala keluarga jelas akan memberikan dampak bagi pola pendapatan rumah tangga. World Bank (2002) mengategorikan karakteristik penduduk miskin menurut komunitas, wilayah, rumah tangga, dan individu. Pada faktor komunitas, infrastruktur merupakan determinan utama kemiskinan. Keadaan infrastruktur sangat erat kaitannya dengan tingkat kesejahteraan masyarakat. Infrastruktur yang baik akan memudahkan masyarakat untuk melakukan aktivitas ekonomi maupun sosial kemasyarakatan, selain itu memudahkan investor untuk melakukan investasi di daerah yang bersangkutan. Indikator pembangunan infrastruktur yang penting adalah saluran irigasi, akses listrik, dan kondisi jalan utama transportasi. Indikator lain dari karakteristik faktor komunitas adalah akses yang sama terhadap usaha atau pekerjaan seperti keberadaan lembaga keuangan dan industri. Selain itu, dengan semakin membaiknya sektor infrastruktur, selain berdampak pada kemajuan suatu komunitas, juga akan berdampak pada semakin majunya wilayah tertentu. Pusat-pusat kegiatan baik administratif maupun jasa akan berkembang seiring dengan majunya suatu wilayah tertentu. Hal yang bisa dilakukan dalam hubungannya dengan perbaikan sektor rumah tangga adalah mendorong pemerataan tingkat pendapatan. Dengan membaiknya pendapatan rumah tangga akan berdampak luas, baik untuk sektor industri, PAD suatu daerah, dan rumah tangga itu sendiri.
17
Pembangunan tiga sektor tersebut akan semakin mudah dengan didukung oleh kemauan untuk merubah individu yang bersangkutan. Hal ini bisa dilakukan misalnya dengan perbaikan kualitas SDM. Dengan semakin baiknya kualitas SDM individu maka akan menambah daya saing antara individu satu dengan lainnya. Sehingga perekonomian akan semakin baik sejalan dengan membaiknya kualitas individu. Banyak penelitian yang sudah membahas mengenai faktor penyebab kemiskinan. Salah satunya dilakukan oleh Rokhana dan Sutikno (2010). Rokhana dan Sutikno meneliti mengenai permodelan spasial pada hubungan antara aset kehidupan masyarakat Jawa Timur dalam memenuhi kebutuhan pangan terhadap kemiskinan. Dari hasil penelitian yang dilakukan terlihat bahwa salah satu faktor dominan yang berpengaruh pada kemiskinan perdesaan adalah kepemilikan aset. Kemudian Rumiati dkk (2005) melakukan penelitian penyusunan indikator kemiskinan untuk wilayah perkotaan dengan metode analisis faktor, kluster, dan diskriminan. Variabel-variabel pembentuk indikator tersebut di antaranya rata-rata pengeluaran per kapita/bulan, rata-rata pengeluaran non makanan per kapita/bulan, sewa kontrak perumahan/kapita/tahun, aneka barang dan jasa/kapita/bulan, pakaian, alas kaki, dan tutup kepala/kapita/tahun, pengeluaran untuk nilai listrik/bulan, pengeluaran untuk listrik/telepon/air/BBM untuk memasak dll/bulan, luas lantai, pengeluaran untuk konsumsi daging/kapita, pengeluaran untuk ikan/kapita.
Kriteria
penentuan
penduduk
miskin
yang
berbeda
maka
mempengaruhi kebijakan yang diberikan kepada daerah masing-masing. Suatu analisis permodelan regresi untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi angka kemiskinan yang dipengaruhi oleh karakteristik wilayah adalah sangat penting. Permodelan tersebut adalah model spasial. Pengamatan di wilayah tertentu dipengaruhi oleh pengamatan di lokasi lain.
2.3.
Kemiskinan Komunitas dan Wilayah Profil kemiskinan dapat ditinjau dari beragam indikator, seperti pendapatan
rendah, kondisi kesehatan buruk, pendidikan rendah dan keahlian terbatas, akses terhadap tanah dan modal rendah, sangat rentan terhadap gejolak ekonomi, bencana alam, konflik sosial dan risiko lainnya, partisipasi rendah dalam proses
18
pengambilan kebijakan, serta keamanan individu yang sangat kurang. Selain itu, profil kemiskinan juga dapat ditelaah dari tipologi kemiskinan di tingkat komunitas atau wilayah . Kajian kuantitatif dapat dilakukan dengan beberapa cara. Pertama menggunakan pemetaan kemiskinan (poverty mapping) melalui sensus lengkap secara langsung, atau model regresi untuk estimasi angka kemiskinan di setiap wilayah (misalnya desa atau kecamatan) berdasarkan gabungan beberapa sumber data sekunder, seperti sensus penduduk dan survei-survei rumah tangga (Idrus, 2009). Ini memungkinkan kita untuk memperoleh jumlah dan persentase penduduk miskin sampai dengan tingkat wilayah desa/kelurahan. Kedua, mengidentifikasi kemiskinan atau ketertinggalan wilayah adalah berdasarkan data sekunder tentang potensi desa. Dari hasil PODES, misalnya, informasi yang diperoleh antara lain jumlah dan nama desa/kelurahan yang tergolong miskin karena sebagian besar penduduknya miskin, atau kumuh dari aspek lingkungan pemukiman penduduknya, atau tertinggal dari aspek pembangunan infrastruktur dasar di suatu wilayah. Sementara kemiskinan wilayah bermanfaat untuk melihat profil kemajuan pembangunan sosial dan ekonomi di tingkat desa/kelurahan. Lebih penting lagi, hasil kajian ini juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi desa-desa miskin dan tertinggal menurut tipologinya. Dengan mempertimbangkan tipologi kemiskinan wilayah yang berbeda, maka akan diharapkan kebijakan yang diambil oleh pemerintah dapat tepat sasaran. Kajian tentang kemiskinan wilayah hendaknya juga ditinjau dari berbagai aspek kewilayahan lainnya, seperti letak geografis, status daerah (perkotaan dan perdesaan).
2.4.
Faktor Penyebab Kemiskinan Permasalahan kemiskinan umumnya dihadapi oleh masyarakat pesisir,
pertanian dan masyarakat perkotaan. Juga di samping itu, muncul pula isu gender dalam kehidupan masyarakat miskin. Pada umumnya di Kabupaten Lebak ditandai kehidupan masyarakat tradisional dicirikan dengan perkampungan-perkampungan miskin dan rumah kumuh, dengan akses yang sangat terbatas. Banyak faktor
19
penyebab dari sudut pandang ekonomi, kondisi ekonomi masyarakat mempunyai keterbatasan modal, sarana – prasarana dalam menjalankan profesinya. Untuk faktor pertanian, umumnya disebabkan karena rendahnya modal sumber daya manusia, sumber daya alam, keuangan, infrastruktur dan sosial. Modal sumber daya manusia meliputi keterampilan, ilmu pengetahuan, kemampuan untuk bekerja keras dan kesehatan. Modal sumber daya akan mencakup tingkat kepemilikan dan kesuburan tanah serta sumber daya alam lainnya. Modal keuangan berkaitan dengan kesulitan memperoleh bantuan dana dari lembaga- lembaga keuangan. Modal infrastruktur terutama menyangkut keterbatasan penyediaan fisik, seperti : jaringan irigasi, serta sarana prasarana lainnya yang memakai untuk memasarkan hasil-hasil produksi pertanian. Kemiskinan yang dialami oleh masyarakat di Kabupaten Lebak pada umumnya ditandai dengan rendahnya akses terhadap sumber daya. Padahal akses tersebut merupakan peluang untuk menggunakan sarana–prasarana dalam melakukan proses produksi. Keterbatasan akses tersebut mencakup akses terhadap penggunaan teknologi, informasi, kredit, pelayanan kesehatan,sumber energi dan telekomunikasi. Berikut ini adalah beberapa faktor yang menyebabkan adanya kemiskinan (Todaro dan Smith, 2006): a.
Terbatasnya Kesempatan Kerja dan Berusaha Kesempatan kerja di sektor modern setelah mengalami kontraksi pada tahun 1998. Lambatnya pertumbuhan ekonomi sangat berpengaruh pada pertumbuhan sektor usaha. Di sisi yang lain pertumbuhan jumlah tenaga kerja terjadi dengan sangat cepat, akibat yang terjadi adalah jumlah pengangguran yang semakin tinggi. Lambatnya pertumbuhan ekonomi disebabkan oleh berbagai kebijakan yang menyebabkan meningkatnya biaya transaksi, sehingga tidak kondusif terhadap peningkatan investasi. Selain itu pertumbuhan sarana dan prasarana pendukung kegiatan usaha juga bergerak dengan sangat lambat.
b.
Terbatasnya Akses terhadap Faktor Produksi Keterbatasan akses terhadap modal usaha didefinisikan sebagai persentase kecamatan di suatu kota yang tidak memiliki salah satu prasarana penyedia
20
modal usaha. Berarti bahwa semakin tinggi persentase, semakin buruk kondisi akses pada kota (Karim, 2007). Faktor-faktor tersebut antara lain:
c.
•
Aset tidak didapat dengan cepat menjadi capital terutama tanah.
•
Tingkat pendidikan dan keterampilan
•
New comer dan daya survive yang kuat
•
Kelemahan dan kepedulian untuk memperkuat institusi/ lembaga.
Rendahnya Kepemilikan Aset Keterbatasan kepemilikan aset akan menyebabkan terbatasnya kesempatan bagi masyarakat miskin untuk dapat melakukan kegiatan usaha atau produksi. Suspenas tahun 2002 menunjukkan bahwa jenis aset yang umumnya dimiliki masyarakat miskin hanya berupa sebidang tanah. Khusus untuk masyarakat yang ada di Kabupaten Lebak, mayoritas kehidupan petani adalah sebagai petani garap bukan sebagai pemilik lahan. Sehingga keuntungan yang diperoleh tidak bisa maksimal.
2.5.
Jenis-Jenis Kemiskinan Kemiskinan sekurang-kurangnya diklasifikasikan dalam lima kelas
(Todaro, 2006) yaitu: pertama, kemiskinan absolut; apabila tingkat pendapatan seseorang di bawah garis kemiskinan atau jumlah pendapatannya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum, antara lain kebutuhan sandang, pangan, papan, dan pendidikan yang diperlukan untuk hidup dan bekerja. Dalam kemiskinan absolut, standar kemiskinan dihitung berdasarkan nilai uang yang dibutuhkan untuk membayar jumlah kalori minimal yang dibutuhkan untuk hidup sehat dan kebutuhan non-makanan tertentu; Tingkat pendidikan yang dianggap tertinggal ditetapkan berdasarkan kemampuan membaca/menulis (melek huruf) atau kelulusan dari sekolah dasar. Standar-standar ini tidak akan berubah meskipun tingkat kemakmuran masyarakat berubah. Standar kemiskinan absolut digunakan untuk menganalisis angka kemiskinan oleh dunia dengan menetapkan garis kemiskinan $ 1 per orang per hari dan angka kemiskinan yang dihitung Badan Pusat Statistik (BPS).
21
Kedua, kemiskinan relatif; apabila seseorang yang mempunyai penghasilan di atas garis kemiskinan tetapi relatif lebih rendah dibandingkan dengan masyarakat sekitarnya. Kemiskinan relatif memandang kemiskinan berdasarkan kondisi riil tingkat kemakmuran masyarakat. Garis kemiskinan ditetapkan sebesar 20% dari rata-rata pendapatan penduduk di suatu daerah dan ketertinggalan pendidikan diukur berdasarkan rata-rata lama sekolah penduduk usia 15 tahun ke atas. Standar ini dapat berubah antarwaktu dan antartempat, sehingga seolah-olah kemiskinan akan selalu ada sepanjang waktu. Kemiskinan relatif dianggap sebagai alat penting untuk melihat isu ketimpangan yang sering mendapat sorotan dalam kehidupan sehari-hari. Meskipun kemiskinan absolut dapat dihapuskan, isu kemiskinan akan tetap disoroti jika standar hidup layak suatu masyarakat meningkat sejalan dengan meningkatnya tingkat kemakmuran masyarakat. Ketiga, kemiskinan kultural; mengacu pada sikap seseorang atau masyarakat yang disebabkan faktor budaya yang tidak mau berusaha untuk memperbaiki tingkat kehidupan meskipun ada usaha dari pihak luar yang membantu. Keempat, kemiskinan kronis; disebabkan oleh beberapa hal, yaitu kondisi sosial budaya yang mendorong sikap dan kebiasaan hidup masyarakat yang tidak produktif, keterbatasan sumber daya, taraf pendidikan dan derajat perawatan kesehatan yang rendah, lapangan pekerjaan yang terbatas dan ketidakberdayaan masyarakat dalam mengikuti ekonomi pasar. Kelima, kemiskinan sementara; terjadi akibat adanya perubahan yang bersifat musiman seperti dijumpai pada kasus kemiskinan nelayan dan pertanian tanaman pangan, bencana alam, atau dampak lain dari kebijakan tertentu yang menyebabkan menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat. Indikator utama kemiskinan menurut BAPPENAS (2005), adalah: (1) kecukupan dan mutu pangan terbatas, (2) mutu dan akses layanan kesehatan terbatas, (3) akses dan mutu layanan pendidikan rendah dan terbatas, (4) kesempatan kerja dan berusaha terbatas, (5) perlindungan terhadap aset usaha rendah dan perbedaan upah, (6) akses layanan perumahan dan sanitasi terbatas, (7) akses terhadap air bersih terbatas, (8) kepastian kepemilikan dan penguasaan tanah yang lemah, (9) kondisi lingkungan hidup dan sumber daya alam memburuk, serta akses masyarakat terhadap sumber daya alam terbatas, (10) jaminan rasa aman
22
rendah, (11) partisipasi rendah, (12) beban kependudukan tinggi yang disebabkan oleh tanggungan keluarga yang besar, (13) tata kelola pemerintahan yang buruk yang menyebabkan inefisiensi dan inefektivitas dalam pelayanan publik, korupsi dan jaminan sosial terhadap masyarakat rendah.
2.6.
Konsep-Konsep Kemiskinan Dalam penjabaran mengenai konsep-konsep kemiskinan yang ada, Gapri
(2003) membaginya dalam tiga konsep, yaitu: a.
Ketimpangan (Inequality) Suatu kemiskinan dan ketimpangan biasanya selalu berjalan bersamaan.
Banyak
kasus
kemiskinan
yang
disebabkan
oleh
adanya
ketimpangan.
Ketimpangan disini bisa dalam hal pendapatan, kemudahan dalam memenuhi kebutuhan hidup, dan sarana prasarana. Mencermati suatu keadaan ketimpangan pada gilirannya dapat memotret seberapa besar kondisi gap antara satu kelompok, wilayah, gender dengan kelompok lainnya. Hasil yang diperoleh dari analisis keduanya adalah tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinan. Dengan diketahuinya tingkat kedalaman kemiskinan suatu wilayah dapat dijadikan dasar bagi penentuan kebijakan dari pemerintah pusat. Sehingga kebijakan yang diambil akan berpihak pada kondisi masyarakat lokal. Akibatnya adalah kebijakan tersebut tepat sasaran.
b.
Kerentanan (Vulnerability) Suatu keadaan masyarakat yang miskin, dengan segala permasalahan yang
ada sangat rentan terhadap perubahan yang terjadi. Perubahan di sini bisa dari pemerintah, seperti kebijakan penghapusan subsidi BBM, atau dari kondisi pasar. Perubahan yang terjadi walaupun kecil akan membawa dampak yang sangat besar bagi masyarakat miskin. Konsep kerentanan dilandasi bahwa guncangan ekonomi maupun nonekonomi dapat memperparah permasalahan kemiskinan, misalnya krisis ekonomi. Kerentanan dapat diakibatkan oleh faktor eksternal seperti bencana alam yang terjadi sesaat, seperti gunung meletus dan tsunami; gejolak alam yang bersifat musiman, seperti kekeringan, banjir atau datangnya ombak besar; gejolak ekonomi
23
makro yang menyebabkan pemutusan hubungan kerja atau naiknya harga-harga barang kebutuhan pokok; dan gangguan keamanan atau gejolak politik yang mengganggu kestabilan aktivitas kerja; serta kematian atau sakitnya anggota keluarga. Kerentanan juga dapat disebabkan oleh faktor internal berupa kondisi kesehatan, pendidikan dan keterampilan yang kurang memadai, ataupun perilaku dan kebiasaan yang cenderung mengakibatkan terjadinya kemiskinan seperti kebiasaan berjudi atau pola hidup yang terlalu konsumtif dan tidak adanya kebiasaan menabung. Pemerintah sebagai pihak pembuat kebijakan dan sebagai stabilisator harus mampu membaca kondisi kerentanan yang ada di masyarakat. Salah satu solusi yang bisa dilakukan adalah memaksimalkan potensi suatu wilayah, baik dari sisi produksi dan dari sisi nilai tambah.
c.
Ketersisihan (Exclusion) Konsep ketersisihan sosial mengacu pada berbagai norma dan proses yang
menghalangi (tidak mengikutsertakan) seseorang atau sekelompok orang untuk berpartisipasi secara efektif dan sederajat dalam berbagai aspek kehidupan sosial, ekonomi, kultural dan politik di masyarakat. Ketersingkiran seseorang atau sekelompok orang atau setidaknya adanya perasaan bahwa seseorang atau sekelompok orang tidak diikutsertakan dalam berbagai aspek kehidupan sosial menyebabkan terjadinya kondisi ketersisihan sosial. Ketersisihan dapat terjadi di sektor tenaga kerja, sistem pendidikan, dan berbagai macam pelayanan publik atau partisipasi politik.
2.7.
Pembentukan Daerah Tertinggal Daerah tertinggal adalah daerah dengan kondisi relatif kurang berkembang
dibandingkan daerah lain dalam skala nasional, dan berpenduduk yang relatif tertinggal (Bappenas, 2004). Pembangunan daerah tertinggal merupakan upaya terencana untuk mengubah suatu daerah yang dihuni oleh komunitas dengan berbagai permasalahan sosial ekonomi dan keterbatasan fisik, menjadi daerah yang maju dengan komunitas yang kualitas hidupnya sama atau tidak jauh tertinggal
24
dibandingkan dengan masyarakat Indonesia lainnya. Pembangunan daerah tertinggal ini berbeda dengan penanggulangan kemiskinan dalam hal cakupan pembangunannya. Pembangunan daerah tertinggal tidak hanya meliputi aspek ekonomi, tetapi juga aspek sosial, budaya, dan keamanan. Di samping itu kesejahteraan kelompok masyarakat yang hidup di daerah tertinggal memerlukan perhatian dan keberpihakan yang besar dari pemerintah. Berdasarkan hal tersebut, diperlukan program pembangunan daerah tertinggal yang lebih difokuskan pada percepatan pembangunan di daerah yang kondisi sosial, budaya, ekonomi, keuangan daerah, aksesibilitas, serta ketersediaan infrastruktur masih tertinggal dibanding dengan daerah lainnya. Kondisi tersebut pada umumnya terdapat pada daerah yang secara geografis terisolir dan terpencil seperti daerah perbatasan antarnegara, daerah pulau-pulau kecil, daerah pedalaman, serta daerah rawan bencana. Di samping itu, perlu perhatian khusus pada daerah yang secara ekonomi mempunyai potensi untuk maju namun mengalami ketertinggalan sebagai akibat terjadinya konflik sosial maupun politik. Suatu daerah dikategorikan sebagai daerah tertinggal, karena beberapa faktor penyebab, antara lain (BPS, 2004): Geografis. Umumnya secara geografis daerah tertinggal relatif sulit dijangkau karena letaknya yang jauh di pedalaman, perbukitan/pegunungan, kepulauan, pesisir, dan pulau-pulau
terpencil atau karena
faktor
geomorfologis lainnya sehingga sulit dijangkau oleh jaringan baik transportasi maupun media komunikasi. Sumber daya Alam. Beberapa daerah tertinggal tidak memiliki potensi sumber daya alam, daerah yang memiliki sumber daya alam yang besar namun lingkungan sekitarnya merupakan daerah yang dilindungi atau tidak dapat dieksploitasi, dan daerah tertinggal akibat pemanfaatan sumber daya alam yang berlebihan. Sumber daya Manusia. Pada umumnya masyarakat di daerah tertinggal mempunyai tingkat pendidikan, pengetahuan, dan keterampilan yang relatif rendah serta kelembagaan adat yang belum berkembang. Prasarana dan Sarana. Keterbatasan prasarana dan sarana komunikasi, transportasi, air bersih, irigasi, kesehatan, pendidikan, dan pelayanan
25
lainnya yang menyebabkan masyarakat di daerah tertinggal tersebut mengalami kesulitan untuk melakukan aktivitas ekonomi dan sosial. Daerah Rawan Bencana dan Konflik Sosial. Seringnya suatu daerah mengalami bencana alam dan konflik sosial dapat menyebabkan terganggunya kegiatan pembangunan sosial dan ekonomi. Kebijakan Pembangunan. Suatu daerah menjadi tertinggal dapat disebabkan oleh beberapa kebijakan yang tidak tepat seperti kurang memihak pada pembangunan daerah tertinggal, kesalahan pendekatan dan prioritas pembangunan, serta tidak dilibatkannya kelembagaan masyarakat adat dalam perencanaan dan pembangunan
Strategi pembangunan daerah tertinggal disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi masing-masing daerah. Strategi dimaksud meliputi (Bappenas, 2004) : Pengembangan
ekonomi
lokal,
strategi
ini
diarahkan
untuk
mengembangkan ekonomi daerah tertinggal dengan didasarkan pada pendayagunaan potensi sumber daya lokal (sumber daya manusia, sumber daya kelembagaan, serta sumber daya fisik) yang dimiliki masing-masing daerah, oleh pemerintah dan masyarakat, melalui pemerintah daerah maupun kelompok-kelompok kelembagaan berbasis masyarakat yang ada. Pemberdayaan masyarakat, strategi ini diarahkan untuk meningkatkan kemampuan masyarakat untuk berperan aktif dalam kegiatan sosial, budaya, ekonomi, dan politik Perluasan kesempatan, strategi ini diarahkan untuk membuka keterisolasian daerah tertinggal agar mempunyai keterkaitan dengan daerah maju. Peningkatan kapasitas, strategi ini diarahkan untuk meningkatkan kapasitas kelembagaan dan sumber daya manusia pemerintah dan masyarakat di daerah tertinggal. Peningkatan mitigasi, rehabilitasi dan peningkatan, strategi ini diarahkan untuk mengurangi risiko dan memulihkan dampak kerusakan yang diakibatkan oleh konflik dan bencana alam serta berbagai aspek dalam wilayah perbatasan.
26
2.8.
Pemberdayaan Masyarakat Dalam Penanggulangan Kemiskinan Pemberdayaan masyarakat merupakan suatu proses di mana masyarakat
khususnya mereka yang kurang memiliki akses kepada sumber daya pembangunan didorong untuk meningkatkan kemandirian dalam mengembangkan perikehidupan mereka (Suporahardjo, 2005). Pada prinsipnya, masyarakat mengkaji tantangan utama pembangunan mereka lalu mengajukan kegiatan-kegiatan yang dirancang untuk mengatasi masalah ini. Aktivitas ini kemudian menjadi basis program lokal, regional dan bahkan nasional. Target utama pendekatan ini adalah kelompok yang termarjinalkan dalam masyarakat. Pemberdayaan masyarakat merupakan proses terus menerus, proses partisipatif di mana anggota masyarakat bekerja sama dalam kelompok formal maupun informal untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman serta berusaha mencapai tujuan bersama. Mengembangkan
pendekatan
pemberdayaan
masyarakat
akan
meningkatkan efektivitas dan efisiensi penggunaan sumber daya pembangunan yang makin langka. Program-program pemerintah yang berbasis pemberdayaan telah memberi banyak pengalaman dalam menekan biaya untuk suatu pekerjaan dengan kualitas yang sama yang dikerjakan program non pemberdayaan. Pendekatan ini akan meningkatkan rasa memiliki dan tanggung jawab masyarakat. Selain itu, pendekatan ini juga memiliki kontribusi dalam meningkatkan kinerja staf pemerintah dan kepuasan pelanggan atas pelayanan pemerintah (Suporahardjo, 2005). Pemberdayaan didefinisikan sebagai membantu masyarakat agar mampu membantu diri mereka sendiri (help people to help themselves) . Pemberdayaan dilakukan dengan memberikan ruang dan kapasitas masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dan hak-hak mereka, mengembangkan potensi dan prakarsa lokal, mengaktifkan peran masyarakat serta membangun kemandirian masyarakat. Pemberdayaan dalam arti yang sebenarnya tidak sebatas memberikan input materi atau bantuan dana namun memberikan kesempatan dan kemampuan kepada masyarakat secara luas untuk mengakses sumber daya dan mendayagunakannya untuk meningkatkan taraf hidup mereka. Dalam konteks ini, pemberdayaan masyarakat harus dilakukan melalui tiga aspek pokok, yakni (Jayadinata dan Pramandika, 2006):
27
a.
Menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan berkembangnya potensi atau daya yang dimiliki masyarakat. Di sini titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap manusia, setiap masyarakat memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya itu, dengan mendorong, memotivasi dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya, serta berupaya untuk mengembangkannya.
b.
Memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat
melalui
pemberian input berupa bantuan dana, pembangunan prasarana dan sarana, baik fisik (jalan, irigasi, listrik) maupun sosial (sekolah, kesehatan), serta pengembangan lembaga pendanaan, penelitian dan pemasaran di Daerah, dan pembukaan akses kepada berbagai peluang (opportunities) yang akan membuat masyarakat menjadi makin berdaya. c.
Memberdayakan mengandung pula arti melindungi masyarakat melalui pemihakan kepada masyarakat yang lemah untuk mencegah persaingan yang tidak seimbang oleh karena kekurangberdayaan menghadapi yang kuat, dan bukan berarti mengisolasi atau menutupi dari interaksi. Pemberdayaan masyarakat tidak membuat masyarakat bergantung pada berbagai program pemberian (charity), karena pada dasarnya setiap apa yang dinikmati harus dihasilkan atas usaha sendiri, yang hasilnya dapat dipertukarkan dengan pihak lain.
Pemberdayaan sangat dibutuhkan untuk meningkatkan posisi tawar masyarakat dengan meningkatkan kapasitasnya.
Setidaknya ada tiga kapasitas
dasar yang dibutuhkan untuk itu, yakni (Jayadinata dan Pramandika, 2006): Pertama, suara (voice), akses, dan kontrol warga masyarakat terhadap pemerintahan dan pembangunan yang mempengaruhi kehidupannya sehari-hari. Suara adalah hak dan tindakan warga masyarakat menyampaikan aspirasi, gagasan, kebutuhan, kepentingan, dan tuntutan terhadap komunitas terdekatnya maupun kebijakan pemerintah. Tujuannya adalah mempengaruhi kebijakan pemerintah maupun menentukan agenda bersama untuk mengelola kehidupan secara kolektif dan mandiri.
28
Kedua, akses berarti ruang dan kapasitas masyarakat untuk masuk dalam arena governance, yakni mempengaruhi dan menentukan kebijakan serta terlibat aktif mengelola sumber daya publik termasuk dalam pelayanan publik. Akses akan menjadi arena titik temu antara warga dan pemerintah. Pemerintah wajib membuka ruang akses warga dan memberikan layanan publik pada warga, terutama kelompok-kelompok marginal. Sebaliknya warga secara bersama-sama proaktif mengidentifikasi problem, kebutuhan dan potensinya maupun merumuskan gagasan pemecahan masalah dan pengembangan potensi secara sistematis. Pemerintah wajib merespons gagasan warga sehingga bisa dirumuskan visi dan kebijakan bersama dengan berpijak pada kemitraan dan kepercayaan. Ketiga, kontrol warga masyarakat terhadap lingkungan komunitasnya maupun proses politik yang terkait dengan pemerintah. Kita mengenal kontrol internal (self-control) dan kontrol eksternal. Artinya, kontrol bukan saja mencakup kapasitas masyarakat melakukan pengawasan (pemantauan) terhadap kebijakan (implementasi dan risiko) dan tindakan pemerintah, tetapi juga kemampuan warga melakukan penilaian secara kritis dan reflektif terhadap risiko-risiko atas tindakan mereka. Self-control ini sangat penting karena masyarakat diharapkan mampu membangun tanggung jawab sosial, komitmen dan kompetensi warga terhadap segala sesuatu yang mempengaruhi kehidupannya sehari-hari.
2.9.
Penyebaran Kantong-Kantong Kemiskinan Dalam suatu pembangunan fenomena umum yang sering dijumpai adalah
semakin jauh suatu tempat dari titik pertumbuhan (growth centre) akan semakin tingkat kemiskinan penghuninya. Titik pertumbuhan itu sendiri biasanya berlokasi di perkotaan yang merupakan pusat administrasi pemerintahan, pusat perdagangan, serta pusat dari berbagai fasilitas sosial dan ekonomi. Penyebaran kantong kemiskinan bisa diklasifikasi secara umum menjadi (Sawitri dkk, 2005): 1.
Daerah Terpencil (Remote Area). Daerah yang jauh dari Titik Pertumbuhan yang hampir tidak/belum tersentuh oleh pembangunan. Sebab-sebab mengapa belum tersentuh oleh pembangunan bisa karena letak geografis yang menyulitkan, atau karena
29
belum ditemui potensi ekonomi yang bisa dikembangkan sehingga kurang menarik bagi investasi.
2.
Daerah Perdesaan (Rural Area) Secara relatif daerah perdesaan lebih miskin dari daerah perkotaan. Lebih spesifik lagi, yang dimaksud dengan daerah perdesaan di sini adalah daerah yang basis perekonomiannya dari sektor pertanian. Hampir pasti kemiskinan dapat dijumpai pada kalangan petani berlahan sempit, pekerja tani atau petani tak berlahan, dan sejumlah pedagang-pedagang kecil di perdesaan.
3.
Daerah Pinggiran Kota (Sub-urban Area). Daerah pinggiran kota mempunyai posisi yang unik. Biasanya basis perekonomiannya merupakan campuran antara pertanian berskala kecil, industri berskala kecil atau industri rumah tangga, perdagangan berskala kecil, pekerja atau buruh industri. Masyarakatnya dapat dikategorikan berpenghasilan menengah ke bawah yang rentan perekonomiannya dan potensial untuk menjadi miskin.
4.
Daerah Kumuh Perkotaan (Urban Slum). Daerah kumuh perkotaan ini bahkan masih dijumpai pada kota-kota besar seperti Jakarta. Kerap kali tingkat kemiskinannya tidak kalah parah dibandingkan dengan daerah terpencil, daerah perdesaan, ataupun daerah pinggiran kota. Penghuni daerah kumuh perkotaan ini biasanya kaum migran.
Kawasan perdesaan sebagai basis utama dan bagian terbesar dalam wilayah Kabupaten Lebak, sangat membutuhkan percepatan pembangunan secara bertahap, proporsional dan berkelanjutan. Berbagai keterbatasan kapasitas dan ketertinggalan kondisi wilayah yang terdapat di perdesaan, senantiasa dihadapkan pada isu disparitas regional yang bersifat makro bahwa Kabupaten Lebak adalah salah satu dari 199 daerah tertinggal di Indonesia, yang sekaligus merupakan daerah terluas dalam wilayah Propinsi Banten. Hal ini tentu berimplikasi terhadap kebutuhan
30
mendasar atas ketersediaan suatu sistem perencanaan pembangunan daerah yang dapat menjamin keseimbangan antar sektor dan regional, yang berorientasi kepada pembangunan perdesaan. Bertitik tolak dari pola pikir integrasi perencanaan pembangunan daerah dalam suatu kerangka Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN), maka pemerintah Kabupaten Lebak telah berupaya untuk mempedomani Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional, beserta RTRW dan Pola Dasar Pembangunan Jangka Panjang Provinsi Banten yang kemudian diwujudkan dalam dokumen RTRW dan RPJPD Kabupaten Lebak, sebagaimana telah ditetapkan dengan Peraturan Daerah Nomor 17 Tahun 2008 dan Peraturan Daerah Nomor 19 Tahun 2008 (RTRW Lebak, 2008-2028). Selanjutnya dengan berlandaskan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, sebagaimana telah dijabarkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten Lebak Nomor 5 Tahun 2005 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Daerah, serta mencermati amanat Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah, maka Pemerintah Kabupaten Lebak siap mengimplementasikannya melalui penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah. Dokumen RPJMD termaksud merupakan penjabaran dari Visi–Misi dan Program Kerja Bupati / Wakil Bupati Lebak terpilih, yang kemudian dituangkan ke dalam Strategi Pembangunan Daerah, Kebijakan Umum, Program Prioritas Kepala Daerah dan Arah Kebijakan Keuangan Daerah. Proses penyusunan Dokumen RPJMD Kabupaten Lebak Tahun 2009–2014 dilaksanakan secara terpadu dengan metode teknokratik dan partisipatif, serta senantiasa mengacu kepada RPJM Nasional dan RPJMD Propinsi Banten (RPJPD Lebak, 2008 – 2028). Upaya mewujudkan Visi dan Misi Kepala Daerah, sangat memerlukan langkah-langkah strategis secara sistematis guna tercapainya sasaran dan tujuan yang telah menjadi komitmen serta kesepakatan dari seluruh komponen warga masyarakat selaku para pemangku kepentingan (multi–stakeholders) untuk mengantisipasi dinamika kebutuhan pembangunan daerah. Hal ini secara khusus
31
dituangkan dalam jangka waktu lima tahunan yang disesuaikan dengan periode dan masa jabatan kepala daerah tahun 2008–2013 untuk kemudian memperhitungkan waktu transisi kepemimpinan, sehingga RPJMD memiliki periode tahun 2009– 2014. Substansi dokumen RPJMD ini, diarahkan untuk dapat mengukur capaian kinerja Pemerintah Kabupaten Lebak beserta aparat pemerintahnya sesuai dengan sasaran yang telah ditetapkan. Kemudian dokumen RPJMD dapat digunakan sebagai rujukan dalam penyusunan RKPD (Rencana Kerja Pembangunan Daerah), KUA (Kebijakan Umum Anggaran), PPAS (Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara) hingga RAPBD serta penyusunan LKPJ kepala daerah dan tolok ukur kinerja kepala daerah. Oleh karena itu, di dalam RPJMD akan memuat arah kebijakan, program dan kegiatan indikatif yang akan dilaksanakan di Kabupaten Lebak, dengan menguraikan berbagai program yang diusulkan rencana indikatif pendanaannya melalui APBD Kabupaten Lebak dan/atau sumber–sumber dana lainnya. Secara umum, kondisi Kabupaten Lebak memiliki posisi strategis dalam jalur mobilisasi dan distribusi barang/jasa yang didukung Sumber Daya Alam yang cukup potensial. Hal ini berimplikasi terhadap keperluan daya dukung kebijakan dan upaya nyata yang cukup signifikan (Political Will) yang bersumber dari Pemerintah
beserta
multi–stakeholders
untuk
melaksanakan
percepatan
pembangunan Kabupaten Lebak. Hal ini perlu terus didorong dalam rangka peningkatan kualitas pelayanan publik demi peningkatan kesejahteraan warga masyarakat, sehingga seluruh simpul–simpul pembangunan yang meliputi WPU (Wilayah Pengembangan Utama) dan WPP (Wilayah Pengembangan Penunjang) dapat berkembang sesuai rencana yang telah ditetapkan. Selain itu seluruh Kebijakan Daerah yang direncanakan senantiasa diselaraskan dengan Arah Kebijakan dan Strategi Pembangunan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Propinsi Banten dan Pemerintah Pusat.
32
2.10.
Kebijakan Pengembangan Wilayah. Perumusan kebijaksanaan termasuk salah satu bentuk kegiatan manajemen
perencanaan (Harmadi, 2008). Kebijaksanaan publik (public policy) yang dikeluarkan oleh pembuat kebijaksanaan harus selalu berorientasi pada tujuan dan manfaat
bagi
publik
serta
bersifat
adil.
Pembuat
kebijaksanaan
harus
memperhitungkan berbagai aspek dengan cermat dan menyeluruh, karena setiap produk kebijaksanaan selalu akan berdampak secara multidimensional terhadap publik. Aspek-aspek yang dipertimbangkan tersebut antara lain ekonomi, teknis, politik, administratif, nilai-nilai agama, etika, budaya, dan filsafat. Dalam pembuatan kebijaksanaan diawali dengan (Harmadi, 2008): a)
penyusunan agenda kebijaksanaan, dan
b)
formulasi kebijaksanaan
Berikut ini adalah gambar mengenai proses kebijakan publik dan analisis kebijakan publik:
Gambar 2.1. Proses Kebijakan Publik dan Proses Analisis Kebijakan Publik Sumber : Wihadanto (2009) Agenda kebijaksanaan bersumber pada perumusan masalah yang bersifat publik. Masalah yang dirumuskan tersebut berasal dari masalah-masalah individu
33
yang berkembang menjadi masalah sosial. Selanjutnya, dengan pemerintah dengan mengintervensi masalah sosial tersebut maka meningkat menjadi masalah formal atau masalah institusional. Untuk mendalami hakikat suatu masalah perlu dipahami hubungan masalah pokok (problems) dengan hal-hal lain di sekitarnya. Ada dua hal lain di sekitar masalah, yaitu bahwa masalah ada hubungannya dengan sebab (causes) atau isu dan gejala (symptoms). Setiap masalah pasti ditimbulkan oleh sebab dan menimbulkan gejala. Misalnya, karena migrasi desa-kota maka dapat menimbulkan masalah pemukiman kumuh (slums) dan gejala kualitas lingkungan pemukiman yang jelek. Suatu kebijakan yang diambil bisa dibagi menjadi tiga sub bagian, yaitu (Sadyohutomo, 2008) a)
Memahami masalah secara benar harus dapat dibedakan antara sebab (isu), masalah, dan gejala masalah. Kalau tidak, pemecahan masalah dapat kurang efektif karena mungkin bukan pada akar permasalahannya, tetapi hanya pada gejalanya. Pada kenyataan kehidupan sehari-hari, suatu masalah biasanya dapat ditimbulkan oleh lebih dari satu sebab dan dapat menimbulkan gejala yang lebih dari satu juga. Perlu dipahami bahwa dalam menentukan batasan antara sebab, masalah, dan gejala bersifat relatif karena tergantung dalam konteks mana kita mengamati sesuatu fenomena yang terjadi di masyarakat.
b)
Sebab, masalah, dan gejala, mempunyai hubungan kausalitas. Hubungan kausalitas tersebut ada yang bersifat satu arah dan ada yang bersifat dua arah. Hubungan dua arah artinya antara sebab dan akibat atau gejala saling memengaruhi sehingga sering kabur antara mana sebab dan mana akibat. Keadaan tersebut ditambah lagi dengan unsur-unsur sebab, akibat, dan gejala yang jamak (lebih dari satu) maka menunjukkan suatu kondisi permasalahan yang kompleks. Permasalahan yang kompleks mempunyai dimensi yang jamak (multidimensi). Bukan lagi hubungan yang bersifat linier, tetapi merupakan suatu hubungan kesisteman.
34
c)
Identifikasi, analisis, dan pemecahan permasalahan yang kompleks, diperlukan
pendekatan
dari
berbagai
aspek/sudut
pandang
dan
menggunakan ilmu multidisiplin.
Secara lebih ringkas, pembagian dari pengambilan suatu kebijakan dapat terlihat dari Gambar 2.2 berikut ini:
Gambar 2.2. Hubungan Linear Permasalahan Sumber: Sadyohutomo (2008) 2.11.
Konsep-Konsep Statistika Dasar Dalam penelitian ini dipergunakan beberapa konsep teori dari statistika
dasar. Berikut ini adalah beberapa istilah dan konsep yang dipergunakan: a.
Korelasi Dalam teori probabilitas dan statistika, korelasi, juga disebut koefisien
korelasi, adalah nilai yang menunjukkan kekuatan dan arah hubungan linier antara dua peubah acak (random variable) (Gujarati, 2003). Salah satu jenis korelasi yang paling populer adalah koefisien korelasi momen, produk Pearson, yang diperoleh dengan membagi kovarians kedua variabel dengan perkalian simpangan bakunya. Sifat matematis dari koefisien korelasi ini adalah: Korelasi X
dan
X, Y Y
antara dua peubah acak X dan Y dengan nilai yang diharapkan
dan simpangan baku
X
dan
Y
didefinisikan sebagai (Gujarati,
2003) :
ρ X ,Y = Karena
cov ( X , Y )
σ X σY X
= E(X),
=
E ( ( X − μ X ) (Y − μY ) )
2 X
σ X σY = E(X2) − E2(X) dan demikian pula untuk Y, maka
dapat pula ditulis (Gujarati, 2003):
ρ X ,Y =
E ( XY ) − E ( X ) E (Y )
( )
( )
E X 2 − E 2 ( X ) E Y 2 − E 2 (Y )
35
Korelasi dapat dihitung bila simpangan baku finit dan keduanya tidak sama dengan nol. Dalam pembuktian ketidaksamaan Cauchy-Schwarz, koefisien korelasi tak akan melebihi dari 1 dalam nilai absolut. Korelasi bernilai 1 jika terdapat hubungan linier yang positif, bernilai –1 jika terdapat hubungan linier yang negatif, dan antara –1 dan +1 yang menunjukkan tingkat dependensi linier antara dua variabel. Semakin dekat dengan –1 atau +1, semakin kuat korelasi antara kedua variabel tersebut. Jika variabel-variabel tersebut saling bebas, nilai korelasi sama dengan 0. Namun tidak demikian untuk kebalikannya, karena koefisien korelasi hanya mendeteksi ketergantungan linier antara kedua variabel. Misalnya, peubah acak X berdistribusi uniform pada interval antara –1 dan +1, dan Y = X2. Dengan demikian nilai Y ditentukan sepenuhnya oleh X.
b.
Autokorelasi Autokorelasi disebut juga sebagai korelasi diri, adalah salah satu
pelanggaran asumsi dalam regresi linier berganda (Juanda, 2009). Salah satu asumsi dari suatu model regresi linear adalah bahwa tidak ada autokorelasi atau korelasi serial antara sisaan (εt). Dengan pengertian lain, sisaan menyebar bebas atau Cov (εi, εj ) = E (εi, εj ) = 0 untuk semua i ≠ j, dan dikenal juga sebagai bebas serial. Jika antar sisaan tidak bebas atau E (εi, εj ) ≠ 0 untuk semua I ≠ j, maka dikatakan ada masalah autokorelasi. Uji Autokorelasi digunakan untuk menguji apakah dalam sebuah model regresi linier terdapat korelasi antara kesalahan pengganggu pada periode t dengan kesalahan pada periode t-1 (sebelumnya). Untuk menguji Autokorelasi dapat dilihat dari nilai Durbin Waston (DW) yaitu (Ghozali, 2007): Jika nilai DW terletak antara du dan (4 – dU) atau du ≤ DW ≤ (4 – dU), berarti bebas dari Autokorelasi. Jika nilai DW lebih kecil dari dL atau DW lebih besar dari (4 – dL) berarti terdapat Autokorelasi. Nilai dL dan dU dapat dilihat pada tabel Durbin Waston, yaitu nilai dL ; dU =
; n ; (k – 1). Di mana : n adalah jumlah sampel, k adalah jumlah
variabel, dan
adalah taraf signifikan.
36
c.
Autokorelasi Spasial Autokorelasi spasial (spatial autocorrelation) adalah suatu ukuran
kemiripan dari objek di dalam ruang (jarak, waktu, dan wilayah) (Anselin, 1999). Definisi yang lain yaitu korelasi antara suatu peubah dengan dirinya sendiri berdasarkan ruang, dalam domain spasial berarti korelasi antara nilai di lokasi-i dengan nilai di lokasi-j (Anselin, 1988). Autokorelasi spasial dapat mengukur kemunculan suatu kejadian dalam unit area yang berdekatan. Adanya autokorelasi spasial mengindikasikan bahwa nilai suatu peubah pada area tertentu dipengaruhi oleh nilai peubah tersebut pada area lain yang letaknya berdekatan. Masalah penting dalam autokorelasi spasial adalah : a) nilai suatu peubah di daerah r ditentukan oleh peubah yang diukur di beberapa daerah sekelilingnya; dan b) peubah di daerah r mempengaruhi nilai peubah di daerah sekelilingnya (Ngudiantoro, 2004). Jika dari suatu peubah ditemukan bentuk yang sistematis dalam autokorelasi spasialnya, maka peubah tersebut dikatakan berautokorelasi secara spasial. Jika wilayah atau area yang berdekatan mirip, maka wilayah tersebut berautokorelasi spasial positif. Sebaliknya, jika wilayah atau area yang berdekatan tidak mirip atau berlawanan maka wilayah tersebut berautokorelasi spasial negatif, dan bentuk acaknya mengindikasikan tidak terdapat autokorelasi spasial.
Prosedur dalam analisis autokorelasi spasial adalah sebagai berikut (Anselin, 1999): 1.
Menentukan peubah yang akan diamati.
2.
Menentukan hubungan spasial antar lokasi yang akan diamati.
3.
Menentukan interval jarak antar lokasi yang akan diamati.
Salah satu statistik umum yang digunakan dalam autokorelasi spasial adalah Indeks Moran dan Indeks Geary (akan dirinci pada metode). Hubungan spasial antar lokasi yang akan diamati dapat ditunjukkan oleh Gambar 2.4.
37
Gambar 2.4. Hubungan Spasial Antar Lokasi Pengamatan Sumber : Anselin (1999) Dalam autokorelasi spasial terdapat 3 pengelompokan, yaitu (Arlinghaus, 1996): 1.
Autokorelasi spasial positif, yaitu apabila diindikasikan terdapat kesamaan nilai dalam suatu wilayah yang mengelompok atau mempunyai hubungan spasial yang sama.
2.
Autokorelasi spasial negatif, yaitu jika di dalam kelompok yang berdekatan atau berhubungan secara spasial memiliki nilai yang berbeda.
3.
Tidak ada autokorelasi spasial, jika pola dari nilai menyebar secara acak.
Sedangkan untuk formulasi dari autokorelasi spasial (Moran dan Geary Indeks) adalah: 1.
Formulasi umum dari Indeks Moran adalah (Arlinghaus, 1996):
I=
n x S0
n n ∑ ∑ W ( x − x )( x − x ) ij i i j i =1 j =1 n
∑ (x i =1
n
− x)
2
i
n
Dengan nilai S o = ∑∑Wij i =1 j =1
Di mana : I : Indeks Moran Wij : indeks/ukuran analisis spasial yang menyatakan kedekatan desa i dan j n : banyaknya desa xi : variabel Xi xj : variabel Xj
38
2.
Formulasi umum dari Indeks Geary adalah (Arlinghaus, 1996): n n 2 ∑ ∑ W (x − x ) ij i j n −1 i = 1 j = 1 C= x n 2S 0 2 ∑ ( xi − x ) i =1
n
n
Dengan nilai S o = ∑∑Wij i =1 j =1
Di mana: C : Indeks Geary Wij : Indeks/ukuran analisis spasial yang menyatakan kedekatan desa i dan j n : banyaknya desa xi : variabel Xi xj : variabel Xj