BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Teori Perilaku Terencana (Theory of Planned Behavior) Pada tahun 1988, hal lain ditambahkan pada Model Reasoned Action yang sudah ada tersebut dan kemudian dinamai teori perilaku yang direncanakan atau istilah aslinya Theory of Planned Behavior (TPB), untuk mengatasi kekurangan yang ditemukan oleh Ajzen dan Fishbein (1975) melalui penelitian- penelitian mereka dengan menggunakan Theory of Reasoned Action (TRA). Teori tindakan beralasan paling berhasil ketika diaplikasikan pada perilaku yang dikendalikan sendiri oleh individu. Jika perilaku tersebut tidak sepenuhnya di bawah kendali atau kemauan individu, meskipun ia sangat termotivasi oleh sikap dan norma subjektifnya, ia mungkin tidak akan secara nyata menampilkan perilaku tersebut. Sebaliknya,
teori
perilaku
yang direncanakan dikembangkan untuk
memprediksi perilaku-perilaku yang sepenuhnya tidak di bawah kendali individu. Teori perilaku yang direncanakan didasarkan pada asumsi bahwa manusia adalah makhluk yang rasional dan cenderung memanfaatkan informasi-informasi
yang
diperolehnya
secara
sistematis.
Orang
memikirkan implikasi dari tindakan mereka sebelum mereka memutuskan untuk melakukan atau tidak melakukan perilaku-perilaku tertentu. Teori perilaku yang direncanakan dapat digambarkan melalui bagan dalam Gambar 2.1.
7
8
Sumber: Ajzen (1991) Gambar 2.1. Model Teori Perilaku Terencana. Ajzen (1991) memodifikasi TRA dengan menambahkan anteseden intensi yang ke tiga yang disebut Perceived Behavioral Control (PBC). Dengan tambahan anteseden ke tiga tersebut, ia menamai ulang teorinya menjadi Theory of Planned Behavior (TPB). PBC menunjuk suatu derajat di mana seorang individu merasa bahwa tampil atau tidaknya suatu perilaku yang dimaksud adalah di bawah pengendaliannya. Orang cenderung tidak akan
membentuk suatu
niat
yang
kuat
untuk
menampilkan suatu perilaku tertentu jika ia percaya bahwa ia tidak memiliki sumber atau kesempatan untuk melakukannya meskipun ia memiliki sikap yang positif dan ia percaya bahwa orang-orang lain yang penting baginya akan menyetujuinya. PBC dapat mempengaruhi perilaku secara langsung atau tidak langsung melalui niat. Jalur langsung dari PBC ke perilaku diharapkan muncul ketika terdapat keselarasan antara persepsi mengenai kendali dan kendali yang aktual dari seseorang atas suatu perilaku. Penelitian ini menggunakan pendekatan teori perilaku yang direncanakan atau Theory of Planned Behavior (TPB) untuk menjelaskan hubungan antara variabel dalam model penelitian.
9
2. Tinjauan tentang Keluarga Berencana (KB) a. Definisi Keluarga Berencana (KB) Menurut WHO (World Health Organization) dalam Hartanto (2010) yang dimaksud dengan keluarga berencana adalah tindakan yang membantu individu atau pasangan suami isteri untuk: 1) Mendapatkan objektif-objektif tertentu 2) Menghindari kelahiran yang tidak diinginkan 3) Mendapatkan kelahiran yang memang diinginkan 4) Mengatur interval di antara kehamilan 5) Mengontrol waktu saat kelahiran dalam hubungan dengan umur suami isteri 6) Menentukan jumlah anakdalam keluarga Secara garis besar definisi ini mencakup beberapa komponen dalam pelayanan kependudukan/KB yang dapat diberikan sebagai berikut; 1) Komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) 2) Konseling 3) Pelayanan kontrasepsi (Pk) 4) Pelayanan infertilitas 5) Pendidikan seks (sex education) 6) Konsultasi pra-perkawinan dan konsultasi perkawinan 7) Konsultasi genetik 8) Test keganasan 9) Adopsi Keluarga Berencana adalah upaya peningkatan kepedulian dan peran serta masyarakat melalui pendewasaan usia perkawinan, pengaturan kelahiran, pembinaan ketahanan keluarga, peningkatan kesejahteraan keluarga untuk mewujudkan keluarga kecil, bahagia, dan sejahtera. KB artinya mengatur jumlah anak sesuai kehendak Anda, dan menentukan sendiri kapan Anda ingin hamil. b. Tujuan dan Manfaat Keluarga Berencana (KB) Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga pasal 21 ayat 2, Keluarga Berencana bertujuan untuk: 1) mengatur kehamilan yang diinginkan;
10
2) menjaga kesehatan dan menurunkan angka kematian ibu, bayi dan anak; 3) meningkatkan akses dan kualitas informasi, pendidikan, konseling dan pelayanan keluarga berencana dan kesehatan reproduksi; 4) meningkatkan partisipasi dan kesertaan pria dalam praktek keluarga berencana; dan 5) mempromosikan penyusuan bayi sebagai upaya untuk menjarangkan jarak kehamilan. Adapun manfaat dari program KB (Tukiran, 2010) adalah: 1) Menurunkan angka pertumbuhan penduduk melalui penurunan angka kelahiran. 2) Meningkatkan kesehatan dan kualitas hidup perempuan dengan membantu mereka mencegah kehamilan yang tidak diinginkan dan aborsi sehingga dapat menurunkan angka kematian ibu. 3) Memajukan hak-hak pasangan dan perempuan. 4) Sebagai investasi ekonomi karena dapat menghemat pengeluaran pemerintah, swasta, masyarakat untuk biaya pendidikan dan kesehatan reproduksi. c. Konsep Akseptor Akseptor KB adalah proses yang disadari oleh pasangan untuk memutuskan jumlah dan jarak anak serta waktu kelahiran (Barbara R.Stright, 2004). Akseptor Keluarga Barencana (KB) adalah Pasangan Usia Subur (PUS) yang menggunakan salah satu alat/obat kontrasepsi (BKKBN, 2007). Aksepktor adalah orang yang menerima dan mengikuti program KB. Keikutsertaan
seserorang
adalah keterlibatan dan kesertaaan dalam
pelaksanaan program KB dan sedang menggunakan alat kontrasepsi (BKKBN, 2010). Akseptor memiliki beberapa jenis, berikut jenis-jenis akseptor (BKKBN, 2007).: 1) Akseptor aktif adalah akseptor yang ada pada saat ini menggunakan salah satu cara / alat kontrasepsi untuk menjarangkan kehamilan atau mengakhiri kesuburan. 2) Akseptor aktif kembali adalah pasangan usia subur yang telah menggunakan kontrasepsi selama 3 (tiga) bulan atau lebih yang tidak diselingi suatu kehamilan, dan kembali menggunakan cara alat kontrasepsi baik dengan cara yang sama maupun berganti cara setelah
11
berhenti / istirahat kurang lebih 3 (tiga) bulan berturut – turut dan bukan karena hamil. 3) Akseptor KB baru adalah akseptor yang baru pertama kali menggunakan alat / obat kontrasepsi atau pasangan usia subur yang kembali menggunakan alat kontrasepsi setelah melahirkan atau abortus. 4) Akseptor KB dini adalah para ibu yang menerima salah satu cara kontrasepsi dalam waktu 2 minggu setelah melahirkan atau abortus. 5) Akseptor langsung adalah para istri yang memakai salah satu cara kontrasepsi dalam waktu 40 hari setelah melahirkan atau abortus. 6) Akseptor dropout adalah akseptor yang menghentikan pemakaian kontrasepsi lebih dari 3 bulan
3. Tinjauan tentang Kontrasepsi a. Pengertian Kontrasepsi berasal dari kata kontra berarti mencegah atau melawan, sedangkan konsepsi adalah pertemuan antara sel telur (sel wanita) yang matang dan sel sperma (sel pria) yang mengakibatkan kehamilan. Kotrasepsi yaitu pencegahan terbuahinya sel telur oleh sel sperma (konsepsi) atau pencegahan menempelnya sel telur yang telah dibuahi ke dinding rahim (Nugroho dan Utama, 2014). Dengan kata lain kontrasepsi merupakan suatu cara untuk mencegah terjadinya kehamilan sebagai akibat pertemuan antara sel telur yang matang dengan sperma tersebut Novianti dan Gustaman (2014). Kontrasepsi berasal dari kata kontra berarti „melawan‟ atau „mencegah‟ dan konsepsi adalah pertemuan antara sel telur yang matang dengan sperma yang
mengakibatkan
kehamilan.
Maksud
dari
kontrasepsi
adalah
menghindari/mencegah terjadinya kehamilan sebagai akibat pertemuan antara sel telur yang matang dengan sel sperma. Untuk itu, maka yang membutuhkan kontrasepsi adalah pasangan yang aktif melakukan hubungan intim/seks dan kedua-duanya memiliki kesuburan normal namun tidak menghendaki kehamilan. (Suratun, 2008).
12
Kontrasepsi adalah upaya untuk mencegah terjadinya kehamilan. Upaya itu dapat bersifat sementara, dapat pula bersifat permanen (Prawirohardjo, 2009). Kontrasepsi adalah upaya untuk mencegah terjadinya kehamilan dapat bersifat sementara maupun permanen, dan upaya ini dapat dilakukan dengan menggunakan cara, alat atau obat - obatan (Atikah dkk, 2010). b. Tujuan dan Manfaat Kontrasepsi 1) Tujuan umum Pemberian dukungan dan pemantapan penerimaan gagasan KB yaitu dihayatinya Norma Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera (NKKBS). 2) Tujuan pokok Penurunan angka kelahiran yang bermakna, untuk mencapai tujuan tersebut maka ditempuh kebijaksanaan mengkategorikan tiga fase untuk mencapai sasaran: a) Fase menunda perkawinan atau kesuburan Fase menunda kehamilan pertama, sebaiknya dilakukan oleh pasangan yang istrinya belum mencapai usia 20 tahun. Kriteria kontrasepsi yang diperlukan yaitu kontrasepsi dengan pulihnya kesuburan yang tinggi, artinya kembalinya kesuburan dapat terjamin 100%. Kontrasepsi yang cocok adalah pil KB, AKDR, dan cara sederhana. b) Fase menjarangkan kehamilan Umur terbaik bagi ibu untuk melahirkan adalah usia antara 20 - 30 tahun. Kriteria kontrasepsi yang diperlukan yaitu efektivitas tinggi, reversibilitas tinggi karena pasangan masih mengharapkan punya anak lagi. Kontrasepsi yang cocok yaitu AKDR, KB suntik, pil KB, atau implant. c) Fase menghentikan atau mengakhiri kehamilan Sebaiknya keluarga setelah mempunyai 2 anak dan umur istri lebih 30 tahun tidak hamil lagi. Dapat menggunakan kontrasepsi yang mempunyai efektivitas tinggi, kerena jika terjadi kegagalan hal ini dapat
13
menyebabkan terjadinya kehamilan dengan resiko tinggi bagi ibu dan anak. Kontrasepsi yang cocok adalah metode kontap, AKDR, implant, KB suntik, dan pil KB (Suratun dkk, 2008) Kontrasepsi secara umum memiliki berbagai manfaat selai tujuan utamanya adalah untuk mencegah kehamilan (Kavanaugh dan Anderson, 2013). Kontrasepsi dapat mengurangi morbiditas dan mortalitas yang berhubungan dengan kehamilan, mengurangi risiko mengembangkan kanker reproduksi tertentu, dan dapat digunakan untuk mengobati banyak gejala menstruasi terkait dan gangguan. Selain itu, kesejahteraan keluarg dapat ditingkatkan melalui kontrsepsi (Addah, et.al, 2014). Hal tersebut dikarenakan kontrasepsi dapat membatasi kehamilan seseorang dimana akan berdampak pada pengeluaran untuk konsumsi, pakaian, serta pendidikan anak juga dapat diminimalisir.
4. Tinjauan tentang Metode Kontrasepsi a. Macam-macam Metode Kontrasepsi Metode kontrasepsi memiliki berbagai macam metode. Hartanto (2010) mengkasifikasikan metode kontrasepsi menjadi dua, yaitu; metode sederhana dan metode modern. Metode kontrasepsi sederhana ini dapat dilakukan dengan menggunakan alat maupun tanpa menggunakan alat. Metode kontrasepsi yang dapat dilakukan dengan tanpa menggunakan alat terdiri dari 1) KB alamiah seperti Natural Family Planning, Fertility Awareness Methods, Periodik Abstinens, Metode Rhythm, Pantang Berkala, Metode Kalender (Orgino-Knaus), Metode Suhu Badan Basal (Termal), Metode Lendir Serviks (Billings), Metode SimptoTermal. 2) Coitus Interruptus. Sedangkan metode kontrasepsi yang dilakukan dengan menggunakan alat di bagi menjadi dua macam, yaitu 1) Metode Mekanis (Barrier) seperti Kondom Pria, Barier Intra-Vaginal (Diafragma, kap serviks/Cervical cap, Spons/Sponge dan Kondom wanita). Metode kontrasepsi yang dilakukan dengan menggunakan alat yang ke dua yaitu 2) Metode kontraspesi kimiawi seperti Spermisid (Vaginal Cream, Vaginal Foam, Vaginal Jelly, Vaginal Suppositora, Vaginal Tablet, Vaginal soluble film).
14
Metode kontrasepsi modern terbagi menjadi 3 jenis yaitu: 1) Metode Kontrasepsi Hormonal yang terdiri dari: a) Per-Oral (Pil Oral Kombinasi/POK, Mini-Pil,
Morning-after
pill),
b)
Injeksi/Suntikan
(DMPA,
NET-EN,
Microspheres, Microcapsules), c) Sub-kutis/Implant (Implant Non-biodegradable dan Implant biodegradable). Jenis metode kontrasepsi modern selanjutnya yaitu 2) Intra Uterine Devices yang terdiri dari: a) IUD dan b) AKDR. Sedangkan jenis metode kontrasepsi modern yang terakhir adalah 3) Kontrasepsi mantap. Kontrasepsi mantap ini memiliki dua klasifikasi yaitu, 1) kontrasepsi mantap pada wanita yang terdiri dari: a) Penyinaran (Radiasi Sinar X, Radium, Sinar Laser, Cobalt dll), b) medis operatif wanita (ligase tuba fallopi, elektro-koagulasi tuba fallopi,
fimbriektomi,
salpingektomi,
ovarektomi
bilateral,
histerektomi,
fimbriotexy, ovariotexy), c) penyumbatan tuba fallopi secara mekanis (Hemoclip, tuba band, spring-loaded clip, filshie clip, solid silastic intra-tubal device, polyethylene plug, ceramic dan proplast plug, Dacron dan Teflon plugs), dan d) penyumbatan tuba fallopi secara kimiawi (Phenol, quiancrine, methyl-2cyanoacrylate, ag-nitrat, gelatin-resorcinol-formaldehyde, ovabloc). Selanjtnya jenis metode kontrasepsi mantap yang terakhir yaitu, 2) metode kontrasepsi mantap pada pria yang tersiri dari: a) Medis operatif pria (Vasektomi/ Vasektomi tanpa pisau), b) Penyumbatan vans deferens secara mekanis (penjepitan, plugs, Intra vas devices, vas valves), c) penyumbatan vas deferens secara kimiawi (Quinacrine, Ethanol, Ag-nitrat). Metode Keluarga Berencana Alamiah (KBA) merupakan cara kontrasepsi alternatif yang dapat dilakukan oleh pasangan usia subur selain menggunakan alat atau obat. Kontrasepsi alamiah merupakan kontrasepsi non hormonal dan tanpa alat. Metode keluarga berencana alamiah memiliki berbagai macam metode, diantaranya adalah: 1) Metode Kalender (Ogino-Knaus) Tahun 1930, Kyusaku Ogino Jepang dan Herman Knaus di Australia, yang bekerja sendiri-sendiri, menemukan bahwa: Ogino: ovulasi umumnya terjadi pada hari ke-15 sebelum haid berikutnya, tetapi dapat pula terjadi 12-16 hari sebelum haid yang akan datang. Knaus; ovulasi selalu terjadi
15
pada hari ke-15 sebelum haid yang akan datang. Masalah terbesar dengan metode klender adalah bahwa jarang ada wanita yang mempunyai siklus haid teratur setiap 28 hari. 2) Metode Suhu Badan Basal (Termal) Peninggian suhu badan basal mulai 1-2 hari setelah ovulasi, dan disebabkan oleh peninggian kadar hormon progesterone 3) Metode Lendir Serviks (Billings) Lendir serviuks yang diatur oleh hormon estrogen dan progesterone ikut berperan dalam reproduksi. 4) Metode Coitus Interruptus Adalah suatu metode kontrasepsi di mana senggama diakhiri sebelum terjadi ejakulasi intra-vaginal. Ejakulasi terjadi jauh dari genitalis eksternal wanita. 5) Metode Barier Pada Pria (Kondom) Pada masa kini, kondom yang merupakan metode kontrasepsi pria yang telah lama dikenal, kembhali mendapatkan perhatian baru, baik dalam bidang Keluarga Berencana maupun dalam bidang lain. 6) Metode barier Pada Wnita (barier intra-vaginal) Menghalangi masuknya spermatozoa ke dalam traktus geni-talia interna wanita dan immobilisasi/mematikan spermatozoa oleh spermisidnya 7) Metode Spermisid Vaginal Zat-zat kimia yang kerjanya melumpuhkan spermatozoa di dalam vagina sebelum spermatozoa bergerak ke dalam traktus genitalia interna. Kontrasepsi hormonal, pengetahuan tentang daya kerja kontraseptif dari progesterone, menghasilkan sejumlah penemuan baru yang hanya berisikan progesterone saja, misalnya Mini-pil, suntikan, IUD yang mengandung progesterone, implant dan vaginal-ring yang mengandung progesterone. Para peneliti juga sedang meneliti pendekatan hormonal lainnya untuk mengontrol kesuburan wanita, antara lain GnRH-antagonist yang menekan sekresi GnRH (Gonadotropin Rel;easing Hormon yang dihasilkan oleh Hipotamulus). Akan tetapi, zat ini juga menimbulkan persoalan lain yaitu terjadinya hypoestrogenism
16
yang selanjutnya mempengaruhi keseimbangan mineral di dalam tulang atau menyebabkan keadaan menopause-buatan. 1) Pil Oral Kombinasi (POK) Siklus reproduksi wanita memerlukan kira-kira 28 hari untuk menyiapkan dan melepaskan ovum pada pertengahan siklus; mempersiapkan lingkungan uterus dan bila tidak terjadi konsepsi, pengeluaran darah dan jaringan dari uterus yang dikenal sebagai haid (menstruasi). Penggunaan pil ini berguna dalam mengobati menstruasi berlebihan yang dapat menyebabkan anemia, serta dapat mengurangi timbulnya jerawat dan mengurangi pertumbuhan rambut berlebih (Jones, 2011). Namun demikian, pil ini membutuhkan kepatuhan harian, dimana tingkat keberhasilan atas pil ini berdasarkan penggunaan yang sempurna/ teratur (Winner, et.al, 2012). 2) Intra Uterine Devices/ IUD (Alat Kontrasepsi Dalam Rahim) IUD adalah alat kecil terdiri dari bahan plastik yang lentur yang dimasukkan ke dalam rongga rahim, yang harus diganti jika sudah digunakan selama periode tertentu. IUD merupakan cara kontrasepsi jangka panjang. Nama populernya adalah spiral. Pengertian IUD adalah salah satu alat kontrasepsi modern yang telah dirancang sedemikian rupa (baik bentuk, ukuran, bahan, dan masa aktif fungsi kontrasepsinya), diletakkan dalam kavum uteri sebagai usaha kontrasepsi, menghalangi fertilisasi, dan menyulitkan telur berimplementasi dalam uterus (Hidayati, 2009).
b. Metode Operasi Pria (MOP) 1) Pengertian Kontrasepsi mantap pria atau vasektomi merupakan suatu metode kontrasepsi operatif minor pada pria yang sangat aman, sederhana dan sangat efektif, memakan waktu operasi yang singkat dan tidak memerlukan anestesi umum. (Hartanto, 2010).
17
2) Keuntungan Kontap-Pria: Sebagai salah satu alat kontrasepsi, MOP atau vasektomi memiliki keuntungan sebagai berikut: a) Efektif b) Aman, morbiditas rendah dan hampir tidak ada mortalitas c) Sederhana d) Cepat, hanya memerlukan waktu 5-10 menit e) Menyenangkan bagi akseptor karena memerlukan anestesi local saja f) Biaya rendah g) Secara kultural, sangat dianjurkan di negara-negara dimana wanita merasa malu untuk ditangani oleh dokter pria atau kurang tersedia dokter wanita dan paramedic wanita 3) Kerugian Kontap-Pria Sebagai salah satu alat kontrasepsi, MOP atau vasektomi memiliki keuntungan sebagai berikut: a) Diperlukan suatu tindakan operatif b) Kadang-kadang menyebabkan komplikasi seperti perdarahan atau infeksi c) Kontap-pria belum memberikan perlindungan total sampai semua spermatozoa, yang sudah ada di dalam system reproduksi distal dari tempat oklusi vas deferens, dikeluarkan d) Problem psikologis yang berhubungan dengan perilaku seksual mungkin bertambah parah setelah tindakan operatif yang menyangkut system reproduksi wanita.
5. Tinjauan tentang Suami a. Pengertian Suami Suami adalah pemimpin dan pelindung bagi istrinya, maka kewajiban suami terhadap istrinya ialah mendidik, mengarahkan serta mengertikan istri kepada kebenaran, kemudian memberinya nafkah lahir batin, mempergauli serta menyantuni dengan baik. Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan
18
bahwa suami adalah pria yang menjadi pasangan hidup resmi seorang wanita (istri) yang telah menikah. Suami adalah pasangan hidup istri (ayah dari anakanak), suami mempunyai suatu tanggung jawab yang penuh dalam suatu keluarga tersebut dan suami mempunyai peranan yang penting, dimana suami sangat dituntut bukan hanya sebagai pencari nafkah akan tetapi suami sebagai motivator dalam berbagai kebijakan yang akan di putuskan termasuk merencanakan keluarga. b. Peran Suami dalam Kesehatan Reproduksi Peran adalah perangkat tingkah laku yang diharapkan dimiliki oleh orang yang berkedudukan di masyarakat (KBBI, 2008). Peran juga merupakan suatu kumpulan norma untuk perilaku seseorang dalam suatu posisi khusus, seperti seorang istri, suami, anak, guru, hakim, dokter, perawat, rohanian, dan sebagainya. Jadi yang dimaksud dengan peran suami adalah perangkat tingkah laku yang dimiliki oleh seorang lelaki yang telah menikah, baik dalam fungsinya di keluarga maupun di masyarakat. Menurut BKKBN (2007) Peran dan tanggung jawab pria dalam kesehatan reproduksi khususnya pada keluarga berencana (KB) sangat berpengaruh terhadap kesehatan. Peran pria dalam kesehatan reproduksi dibagi menjadi tiga, yaitu; 1) Peran Suami Sebagai Motivator Dukungan suami sangat diperlukan dalam melaksanakan keluarga berencana, seperti diketahui bahwa di Indonesia, keputusan suami dalam mengizinkan istri adalah pedoman penting bagi si istri untuk menggunakan alat kontrasepsi. Bila suami tidak mengizinkan atau mendukung, hanya sedikit istri yang berani untuk tetap memasang alat kontrasepsi tersebut. Samandari, Speizer dan O‟Connell (2010) menemukan bahwa dukungan sosial dari suami berpengaruh terhadap metode kontrasepsi yang digunakan oleh istri. 2) Peran Suami Sebagai Edukator Selain peran penting dalam mendukung mengambil keputusan, peran suami dalam memberikan informasi juga sangat berpengaruh bagi istri. Peran seperti ikut pada saat konsultasi pada tenaga kesehatan saat
19
istri akan memakai alat kontrasepsi, mengingatkan istri jadwal minum obat atau jadwal untuk kontrol, mengingatkan istri hal yang tidak boleh dilakukan saat memakai alat kontrasepsi dan sebagainya akan sangat berperan bagi istri saat akan atau telah memakai alat kontrasepsi. Besarnya peran suami akan sangat membantunya dan suami akan semakin menyadari bahwa masalah kesehatan reproduksi bukan hanya urusan wanita (istri) saja (Suparyanto, 2011). 3) Peran Suami Sebagai Fasilitator Peran lain suami adalah memfasilitasi (sebagai orang yang menyediakan fasilitas), memberi semua kebutuhan istri saat akan memeriksakan masalah kesehatan reproduksinya. Hal ini dapat terlihat saat suami menyediakan waktu untuk mendampingi istri memasang alat kontasepsi atau kontrol, suami bersedia memberikan biaya khusus untuk memasang alat kontrasepsi, dan membantu istri menentukan tempat pelayanan atau tenaga kesehatan yang sesuai (Suparyanto, 2011). 4) Peran Suami dalam Keluarga Berencana Menurut BKKBN (2007) peran atau partisipasi suami dalam Keluarga Berencana (KB) antara lain menyangkut : a) Pemakaian alat kontrasepsi b) Tempat mendapatkan pelayanan c) Lama pemakaian d) Efek samping dari penggunaan kontrasepsi e) Siapa yang harus menggunakan kontrasepsi. Partisipasi pria dalam kesehatan reproduksi adalah tanggung jawab pria dalam kesehatan reproduksi terutama dalam pemeliharaan kesehatan dan kelangsungan hidup ibu dan anak, serta berprilaku seksual yang sehat dan aman bagi dirinya, istri, dan keluarganya (Suparyanto, 2011).
20
6. Kesediaan Suami sebagai Akseptor Vasektomi Indikasi untuk melakukan vasektomi ialah pasangan suami/istri tidak menghendaki kehamilan lagi dan pihak suami bersedia bahwa tindakan kontrasepsi dilakukan pada dirinya (Hartanto, 2004). Vasektomi dilakukan dengan cara pemotongan Vas Deferens sehingga saluran transportasi sperma terhambat dan proses penyatuan dengan ovum tidak bekerja. Terdapat syarat seorang suami menjadi aseptor vasektomia. (Suratun, 2008): a. Harus secara sukarela Artinya klien memutuskan pilihan atas keinginannya sendiri dengan mengisi dan menandatangani informed concent. b. Mendapat persetujuan istri dalam melakukan vasektomi. c. Jumlah anak yang cukup Setiap suami dari suatu pasangan usia subur yang telah memiliki jumlah anak yang cukup minimal 2 orang dan yang paling kecil harus sudah berumur 4 tahun. d. Mengetahui akibat-akibat vasektomi Calon akseptor vasektomi harus mengetahui akibat setelah melakukan vasektomi yaitu setelah melakukan vasektomi maka akseptor tidak bisa lagi memiliki keturunan. e. Umur calon akseptor tidak kurang dari 30 tahun Suami tidak boleh dalam keadaan terpaksa ketika melakukan vasektomi, karena akibat dari vasektomi yaitu tidak dapat memiliki nak lagi. Oleh karena itu suami harus mengetahui ap saja akibat dan cara-cara vasektomi sebelum dan pasca vasektomi. Selain suami, istri juga harus bersedia suaminya menjadi aseptor vasektomi.
7. Tinjauan Tentang Perilaku Kesehatan a. Pengertian Conner and Norman (1996 dalam Corner) menyatakan perilaku kesehatan as any activity undertaken for the purpose of preventing or detecting disease or
21
for improving health and well being. Perilaku kesehatan merupakan suatu kegiatan yang memiliki tujuan mencegah atau mendeteksi penyakit untuk meningkatkan
kesehatan
dan
kesejahteraan.
Perilaku
pada
dasarnya
berorientasi pada tujuan. dengan kata lain, perilaku kita pada umumnya dimotivasi oleh suatu keinginan untuk mencapai tujuan tertentu. Tujuan spesifik tersebut tidak selalu diketahui secara sadar oleh individu yang bersangkutan (Winardi, 2007). Lebih lanjut Skinner (1938) seorang ahli psikologi merumuskan bahwa perilaku merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar), oleh karena perilaku itu terjadi melalui proses adanya stimulus terhadap organisme dan kemudian organisme tersebut merespons. Respons dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: 1) Respondent respons atau reflexive, yaitu respons yang timbulkan oleh rangsangan-rangsangan (stimulus) tertentu. 2) Operant respons atau instrumental respons, yaitu respons yang timbul dan berkembang kemudian diikuti oleh stimulus atau perangsang tertentu. b. Determinan Perilaku Determinan perilaku merupakan faktor-faktor yang membedakan respon terhadap stimulus yang berbeda. Determinanperilaku dibedakan menjadi dua, yaitu (Skinner 1938): 1) Determinan atau faktor internal, yakni karakteristik orang yang bersangkutan yang bersifat given atau bawaan, misalnya tingkat kecerdasan, tingkat emosional, jenis kelamin, dan sebagainya. 2) Determinan atau faktor eksternal, yakni lingkungan, baik lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, politik, dan sebagainya. Faktor lingkungan ini merupakan faktor dominan yang mewarnai perilaku seseorang.
b. Teori Perilaku Kesehatan 1) Teori Snehandu B. Kar Kar menganalisis perilaku kesehatan dengan bertitik tolak bahwa perilaku itu merupakan fungsi dari:
22
a) Niat seseorang untuk bertindak sehubungan dengan kesehatan atau perawatan kesehatannya (behavior intention) b) Dukungan sosial dari masyarakat sekitarnya (social-support) c) Ada atau tidak adanya informasi tentang kesehatan atau fasilitas kesehatan (accessibility of information) d) Otonomi pribadi yang bersangkutan dalam hal ini mengambil tindakan atau keputusan (personal autonomy) e) Situasi yang memungkinkan untuk bertindak atau tidak bertindak (action situation)
2) Teori WHO Tim kerja WHO menganalisis bahwa yang menyebabkan seseorang berperilaku tertentu karena adanya 4 alasan pokok, yaitu: a) Sikap yang akan terwujud si salam suatu tindakan tergantung pada situasi saat itu b) Sikap yang akan diikuti atau tidak diikuti oleh tindakan yang mengacu kepada pengalaman orang lain c) Sikap diikuti atau tidak diikuti oleh suatu tindakan berdasarkan pada banyak atau sedikitnya pengalaman seseorang d) Nilai (value) Pemikiran dan perasaan (thoughts and feeling), yakni dalam bentuk pengetahuan, persepsi, sikap, kepercayaan-kepercayaan, dan penilaianpenilaian seseorang terhadap objek (dalam hal ini adalah objek kesehatan). Orang penting sebagai referensi (personal references) adalah sekelompok orang atau individu yang dapat mempengaruhi perilaku seseorang atau individu lainnya dengan referensi yang dimiliki. Sumber-sumber daya (resources) mencakup fasilitas, uang saku, waktu, tenaga dan sebagainya dimana dapat mempengaruhi perilaku secara positif maupun negative. Sedangkan kebudayaan atau culture yaitu perilaku normal, kebiasaan, nilai-nilai, dan pengunaan sumber-sumber didalam suatu masyarakat yang akan menghasilkan suatu pola hidup (way of life).
23
8. Faktor-Faktor Pengaruh Akseptor Vasektomi a. Pengetahuan Pengetahuan
merupakan
bagian
yang
sangat
penting
untuk
terbentuknya tindakan seseorang. Proses mengadopsi pengetahuan, sikap dan ketrampilan baru (Priyoto, 2014) sebagai berikut : 1) Awareness (kesadaran), adalah dimana seseorang menyadari dalam arti mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus. 2) Interest (merasa tertarik) terhadap stimulus atau objek tersebut. 3) Evaluation (menimbang-nimbang) seseorang akan mempertimbangkan atau menilai baik dan tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya. 4) Trial (mencoba), dimana seseorang mulai mencoba melakukan sesuatu dengan apa yang dikehendaki oleh stimulus. 5) Adoption, dimana seseorang telah berpengetahuan, bersikap dan mempunyai ketrampilan baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus. Pengetahuan mengenai kognitif mempunyai 6 (enam) tingkat (Priyoto, 2014), yaitu : 1) Tahu (Know) Tahu diartikan sebagai pengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya dan merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. 2) Memahami (comprehension) Memahami adalah suatu kemampuan menjelaskan secara benar tentang suatu materi yang diketahui dan dapat menginterpretasi materi tersebut secara benar. Orang yang telah memahami terhadap suatu objek atau materi
harus
dapat
menjelaskan,
menyebutkan
contoh
dan
menyimpulkan materi yang dipelajari. 3) Aplikasi (Application) Aplikasi merupakan kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi yang sebenarnya.
24
4) Analisis (Analysis) Suatu kemampuan untuk menjabarkan, menggambarkan, membedakan , memisahkan, maupun mengelompokan materi atau objek ke dalam komponen-komponen dan saling berkaitan atau sama lain. 5) Sintesis (Synthesis) Sintesis merupakan suatu kemampuan untuk menyusun, merencanakan, dan meringkas formulai baru dari formulasi yang ada 6) Evaluasi (Evaluation) Kemampuan untuk melakukan penilaian terhadap suatu materi atau objek yang berdasarkan suatu krieria yang ditentukan sendiri atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada.
b. Sikap (Attitude) Menurut Rogers ( 2007) merupakan reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap mempunyai 3 (tiga) komponen pokok sebagai berikut : 1) Kepercayaan (keyakinan) ide dan konsep terhadap suatu objek 2) Kehidupan emosional atau evaluasi emosional terhadap suatu objek 3) Kecenderungan untuk bertindak Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh (total attitude). Sikap terdiri dari berbagai tingkatan yaitu : 1) Menerima (Receiving) Seseorang dikatakan mau menerima apabila orang tersebut mau memeperhatikan stimulus yang diberikan. 2) Merespon (Responding) Seseorang merespon dapat berupa memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan. 3) Menghargai (Valuing) Seseorang dikatakan menghargai orang lain jika orang tersebut mau mengerjakan atau mendiskusikan dengan orang lain terhadap suatu masalah.
25
4) Bertanggung jawab (Responsible) Bertanggung jawab terhadap segala sesuatu yang dipilihnya dengan segala resiko merupakan sikap yang paling tinggi pada seseorang. c. Akses Pelayanan Sri (2008) mengungkapkan bahwa yang dimaksud dengan akses pelayanan adalah keterjangkauan pria/suami dalam memperoleh informasi dan pelayanan yang memuaskan. Akses pelayanan oleh Sri (2008) dalam penelitiannya
dapat
diukur
melalui
pertanyaan-pertanyaan
yang
menyangkut: 1) Keterjangkauan Fisik; Merupakan keterjangkauang lokasi secara geografis. 2) Ekonomi; merujuk kepada keadaan ekonomi individu atau pendapatan individu 3) Psikososial; merujuk pada tanggapan psikis individu terhadap keadaan sosial di sekililingnya 4) Pengetahuan informasi; menunjukkan pengetahuan individu mengenai informasi yang dimiliki terkait dengan fasilitas-fasilitas kesehatan atau sarana dan prasarana kesehatan 5) Administrasi; merujuk pada prosedur yang harus dilewati untuk tujuan tertentu. d. Kualitas Pelayanan Kualitas pelayanan adalah tingkat keunggulan yang diharapkan dan pengendalian atas tingkat keunggulan tersebut untuk memenuhi keinginan pelanggan. Apabila jasa atau pelayanan yang diterima atau dirasakan (perceived service) sesuai dengan yang diharapkan, maka kualitas jasa atau pelayanan dipersepsikan baik dan memuaskan. Jika jasa atau pelayanan yang diterima melampaui harapan pelanggan, maka kualitas jasa atau pelayanan dipersepsikan sebagai kualitas yang ideal. Sebaliknya jika jasa atau pelayanan yang diterima lebih rendah daripada yang diharapkan, maka kualitas
jasa
atau
pelayanan
dipersepsikan
buruk.
Sri
mengungkapakan bahwa kualitas pelayanan KB dapat dilihat melalui:
(2008)
26
1) Pilihan kontrasepsi; pemilihan kontrasepsi yang diinginkan 2) informasi yang diberikan; informasi yang diberikan oleh petugas kesehatan 3) Kemampuan tehnikal; terkait dengan kemampuan petugas kesehatan 4) Hubungan interpersonal; terkait dengan hubungan pasien dengan petugas kesehatan 5) Tindak lanjut atau kesinambungan; terkait dengan control atau pengawasan oleh petugas kesehatan e. Dukungan Sosial (Social Support) Heejung, David dan Shelley (2008) menyebutkan bahwa dukungan sosial merupakan salah satu cara yang paling efektif dimana seseorang dapat mengatasi peristiwa stres yang sedang dialami. Menurut Sarafino (2006) dukungan sosial mengacu pada kenyamanan, perhatian, penghargaan, atau bantuan yang diberikan orang lain atau kelompok kepada individu. Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa pada dasarnya dukungan sosial merujuk pada hubungan antara individu dengan individu lainnya dalam masyarakat. Dapat dipahami bahwa pada dasarnya dukungan sosial berkaitan dengan dorongan atau wujud nyata dari bantuan terhadap seorang individu. Bantuan yang dimaksud dapat berupa kenyamanan, perhatian, penghargaan, maupun hal lain yang pada dasarnya dapat diandalkan ketika seorang individu berada dalam masa sulit. Dukungan sosial memiliki beberapa dimensi. Cohen dan Hoberman (Isnawati dan Suhariadi, 2013) mengemukakan empat dimensi dukungan sosial sebagai berikut: 1) Tangible Support Tangible support adalah dimensi dukungan sosial yang terkait dengan bantuan nyata berupa tindakan atau bantuan fisik dalam menyelesaikan sesuatu (Cohen dan Hoberman dalam Isnawati dan Suhariadi, membangun
2013).
Dukungan
sosial
memilki
tingkatan
dalam
dimensi yang dapat memberikan dukungan untuk
27
seseorang baik berupa informasi maupun penguatan fisik (Sarason, 2009).
Tangible
support
pada
umumnya
dimaksudkan
untuk
meningkatkan kesiapan seorang individu dalam menghadapi suatu hal atau kejadian. 2) Belonging Support Belonging support berkaitan dengan dukungan sosial berupa perasaan diterima menjadi bagian dari suatu kelompok dan rasa kebersamaan (Cohen dan Hoberman dalam Isnawati dan Suhariadi, 2013). Dalam konteks kelompok, dimensi belonging support dapat diwujudkan dalam perilaku menghabiskan waktu bersama-sama untuk melakukan aktvitas atau kegiatan tertentu. Belonging support berguna untuk membuat penerima dukungan sosial sejenak mengalihkan perhatian dari masalah yang sedang dihadapi. 3) Self-Esteem Support Self-esteem support adalah dukungan sosial yang diberikan orang lain terhadap perasaan kompeten atau harga diri individu/perasaan seseorang sebagai bagian dari sebuah kelompok, dimana para anggotanya memiliki dukungan yang berkaitan dengan self-esteem seseorang (Cohen dan Hoberman dalam Isnawati dan Suhariadi, 2013). Dimensi self-esteem support menjadi penting karena dapat digunakan untuk melihat seberapa besar seorang individu memerlukan dukungan sosial. Kondisi tersebut terkait dengan dukungan sosial yang akan memberikan pengaruh pada individu tergantung pada ada tidaknya tekanan dalam individu tersebut (Sarafino, 2006). Oleh sebab itu, dukungan sosial sekecil apapun akan dinilai lebih besar bagi individu yang sedang berada dalam tekanan dan memerlukan dukungan. 4) Appraisal Support Appraisal support adalah dukungan sosial berupa bantuan dalam wujud nasihat yang berkaitan dengan pemecahan suatu masalah untuk membantu mengurangi stresor (Cohen dan Hoberman dalam Isnawati dan Suhariadi, 2013). Dengan demikian appraisal support juga dapat
28
dilihat dalam bentuk penjelasan, saran, atau pengarahan yang bermanfaat sebagai arahan untuk bertindak atau inspirasi dalam menghadapi suatu permasalahan. f. Nilai Agama Berkaitan dengan penggunaan alat kontrasepsi, terdapat kelompok masyarakat agama yang menolak dan menerima program tersebut. Dalam konteks ini tentunya sebagai tenaga kesehatan kita perlu untuk memahami pandangan kepercayaan atau agama pada masyarakat yang menjadi sasaran program KB. Tentunya kepercayaan agama bukanlah suatu yang dapat kita paksakan, tetapi yang terpenting adalah kita memahaminya (Badrujaman, 2008). Jika ditinjau dari segi agama, tidak ada satu agama pun di Indonesia yang secara pasti menolak program KB, meskipun pada awalnya banyak keraguan akan hukum agama dari program ini. Namun, pada saat ini agamaagama di Indonesia telah mendukung program KB sepenuhnya. g. Nilai Budaya Di beberapa daerah masih ada masyarakat yang akrab dengan budaya “banyak anak banyak rejeki, tiap anak membawa rejekinya sendiri-sendiri atau anak sebagai tempat bergantung di hari tua”. Selogan “dua anak cukup, laki-laki atau perempuan sama saja” masih agak sulit diterima, sehingga upaya program KB untuk mewujudkan Norma Keluarga Kecil Bahagia dan Sejahtera (NKKBS) nampaknya juga belum sepenuhnya dapat diterima oleh semua lapisan masyarakat (Pinem, 2009).
B. Keaslian Penelitian 1. Widowati, et.al (2013), Pencapaian Program KB Pria: Vasektomi di Kecamatan Dlingo dan Sewon, Kabupaten Bantul. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor yang mempengaruhi kesertaan pria vasektomi adalah peran dari tokoh masyarakat sekitar yang menjadi peserta aktif KB pria vasektomi, sikap dan perilaku petugas, dukungan teman, tokoh masyarakat/tokoh agama dan paguyuban yang aktif memberikan
29
kontribusi yang besar dalam peningkatan kesertaan, serta paguyuban sebagai wadah untuk sosialisasi dan motivasi. 2. Ekarini (2008), Analisis Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Partisipasi Pria Dalam Keluarga Berencana Di Kecamatan Selo Kabupaten Boyolali. Hasil penelitian diperoleh ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan terhadap KB (p value = 0.0001), sikap terhadap KB (p value = 0.005), sosial budaya terhadap KB (p value = 0.024), akses pelayanan KB (p value = 0.0001), kualitas pelayanan KB (p value = 0.0001) dengan Partisipasi pria dalam Keluarga Berencana. Ada pengaruh antara variabel pengetahuan terhadap KB (OR = 18.712), kualitas pelayanan KB (OR = 17.152), sikap terhadap KB (OR = 5.663), akses pelayanan KB (OR = 5.228), sosial budaya terhadap KB (OR = 2.020) terhadap partisipasi pria dalam Keluarga Berencana. 3. Mahat, et.al (2010), Intention to Accept Vasectomy among Married Men in Kathmandu, Nepal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa niat seorang pria untuk menerima vasektomi dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu usia (OR 6.77, 95% CI: 1.02-44.81), kepercayaan terhadap vasektomi (OR 5.37, 95% CI: 1.57-18.53), dukungan emosional dan material dari orang tua (OR 4.89, 95% CI: 1.09-22.06) dab (OR 15.46, 95% CI: 2.75-87.02), dan appraisal support dari tanaga kesehatan (OR 9.34, 95% CI: 1.5556.47). 4. Bunce, et.al (2007), Factors Affecting Vasectomy Acceptability in Tanzania. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat enam faktor yang berkontribusi dalam proses pengambilan keputusan vasektomi, yaitu faktor ekonomi, hubungan suami-istri, agama, reputasi penyedia layanan dan ketersediaan, ketidakpastian tentang masa depan, dan rendahnya pengetahuan dan pemahaman vasektomi. Adanya komunikasi antar teman mengenai keputusan vasektomi, dan istri menjadi pengaruh yang paling kuat dalam proses pengambilan keputusan. Penggunaan vasektomi yang rendah diakibatkan adanya kelangkaan penyedia layanan vasektomi yang
30
terampil, kurangnya pengetahuian tentang vasektomi serta adanya rasa takut menurunnya kineja seksualitas akibat vasektomi tersebut. 5. Christina, et.al (2014), Knowledge and Attitude of Men Abour Vasectomy as a Method of Family Planning among married man woking in Babcock University, Ogun State, Nigeria. Hasil penelitian menunjukan bahwa mayoritas (42,7%) dari peserta berusia antara 31 sampai 40 tahun, Kristen (97,3%), dari suku Yoruba (55,3%), memiliki gelar sarjana (46%) dan staf non-akademik
(53,3%).
Mayoritas
(38%)
dari
peserta
memiliki
pengetahuan yang memadai dan 62,7% memiliki sikap positif terhadap vasektomi. Tidak ada hubungan antara peserta tingkat pendidikan dan tingkat pengetahuan mereka tentang vasektomi, namun, hubungan yang nyata antara peserta tingkat pengetahuan dan sikap mereka terhadap vasektomi (χ2cal = 53,89, P ≤ 0,05). 6. Odhiambo Charles Ochieng (2014), Determinants Of Readiness To Undergo Vasectomy, A Family Planning Method For Men In Busia County, Kenya. Dari 1024 populasi dalam penelitian ini, ditemukan Studi bahwa faktor-faktor sosial ekonomi yang mempengaruhi kesiapan pria untuk menjalani vasektomi adalah jumlah tahun dalam pernikahan, jumlah anak, dan perbedaan antara jumlah anak laki-laki dan perempuan dalam keluarga, usia anak bungsu, perencanaan kelahiran dan apakah anak terakhir direncanakan atau tidak. Dalam faktor administrasi vasektomi, studi ini menemukan bahwa penggunaan jarum mempengaruhi kesiapan pria untuk melakukan vasektomi, masa pemulihan dari proses bedah dan jenis penggunaan KB oleh pasangan juga mempengaruhi. Studi ini juga menemukan bahwa ketersediaan vasectomy dipengaruhi oleh fasilitas kesehatan dan pemberian kompensasi upah lokal selama proses pemulihan. 7. Nzobokela Miyanda (2013), Factors Influencing Vasectomy Acceptability In Kabwata Township Lusaka District – Zambia. Sebanyak 245 responden diteliti, dan ditemukan bahwa mayoritas responden 180 (73,5%) menunjukkan bahwa vasektomi bukan budaya yang benar dan pria di daerah bersangkutan memiliki persepsi bahwa pria tidak harus menjalani
31
vasektomi. Mayoritas responden merasa bahwa keluarga berencana adalah tanggung jawab seorang wanita dan laki-laki hanya harus memberikan dukungan kepada perempuan. Sebagian besar responden 128 (51,8%) juga menyatakan bahwa laki-laki tidak harus terlibat dalam hal-hal mengenai wanita, dan 209 (85,4%) menunjukkan bahwa penyedia keluarga dipengaruhi pilihan klien dari vasektomi sebagai metode keluarga berencana. Selain itu, temuan menunjukkan bahwa 152 (64%) dari responden memiliki sikap negatif terhadap vasektomi karena mereka percaya bahwa itu bukan budaya di masyarakat mereka. Selain itu, 80,9% responden tidak tahu di mana layanan vasektomi diperoleh, dan 225 (91,8%) mengatakan bahwa layanan vasektomi tidak dapat diakses. 8. E&R Study (2006), Factors Affecting Vasectomy Acceptability in the Kigoma Region of Tanzania. Hambatan untuk melakukan vasektomi termasuk dalam penelitian ini menemukan bahwa keinginan untuk memiliki anak lagi, miskin pengetahuan dan pemahaman tentang vasektomi, kurangnya kepercayaan di pasangan, dan ketidakmampuan untuk memprediksi keinginan untuk anak-anak di masa depan dan lain-lain mempengaruhi kesediaan seseorang melakukan vasektomi.
C. Kerangka Berpikir Teori yang dipakai dalam penelitian ini adalah Theory of Planned Behavior (TPB), karena teori tersebut menjabarkan mengenai teori perilaku kesehatan. . Theory of Planned Behavior (TPB) menyatakan ada tidaknya suatu perilaku seseorang adalah di bawah pengendaliannya. Orang cenderung tidak akan membentuk suatu niat yang kuat untuk menampilkan suatu perilaku tertentu jika ia percaya bahwa ia tidak memiliki sumber atau kesempatan untuk melakukannya meskipun ia memiliki sikap yang positif dan ia percaya bahwa orang-orang lain
yang penting baginya akan menyetujuinya. PBC dapat
mempengaruhi perilaku secara langsung atau tidak langsung melalui niat.
32
Dari uraian di atas, kerangka berpikir dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut:
Sikap suami tentang vasektomi Niat menggunakan vasektomi Norma subjektif tentang vasektomi
Kesediaan Suami sebagai akseptor Vasektomi
Persepsi kontrol perilaku tentang vasektomi
Gambar 2.2 Kerangka Berpikir D. Hipotesis Penelitian Hipotesis dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: 1.
Terdapat pengaruh sikap suami tentang vasektomi terhadap kesediaan suami sebagai akseptor vasektomi melalui niat menggunakan vasektomi.
2.
Terdapat pengaruh norma subjektif tentang vasektomi terhadap kesediaan suami sebagai akseptor vasektomi melalui niat menggunakan vasektomi
33
3.
Terdapat pengaruh persepsi kontrol perilaku tentang vasektomi terhadap kesediaan suami sebagai akseptor vasektomi secara langsung maupun tidak langsung melalui niat menggunakan vasektomi.
4.
Terdapat pengaruh niat menggunakan vasektomi terhadap kesediaan suami sebagai akseptor vasektomi.
5.
Suami yang memiliki sikap positif tentang vasektomi memiliki kemungkinan lebih besar sebagai akseptor vasektomi daripada suami yang memiliki sikap negatif tentang vasektomi.
6.
Suami yang memiliki norma subjektif positif tentang vasektomi memiliki kemungkinan lebih besar sebagai akseptor vasektomi daripada suami yang memiliki norma subjektif negatif tentang vasektomi
7.
Suami yang memiliki persepsi kontrol perilaku positif tentang vasektomi memiliki kemungkinan lebih besar sebagai akseptor vasektomi daripada suami yang memiliki persepsi kendali negatif tentang vasektomi
8.
Suami yang memiliki niat yang kuat menggunakan vasektomi memiliki kemungkinan lebih besar sebagai akseptor vasektomi daripada suami yang memiliki niat lemah tentang vasektomi
.