BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengetahuan 1. Pengertian Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi melalui pancaindra manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh dari mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (overt behavior) (Notoatmodjo, 2007).
2. Tingkat Pengetahuan di Dalam Domain Kognitif Notoatmodjo (2007), pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkatan. a. Tahu (know) Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain menyebutkan,
menguraikan,
mendefinisikan,
menyatakan
dan
sebagainya. b. Memahami (comprehension) Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat mengintepretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham tehadap objek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari.
8
9
c. Aplikasi (application) Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi yang real (sebenarnya). Aplikasi di sini dapat diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain. d. Analisis (analysis) Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam satu struktur organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini
dapat
dilihat
menggambarkan
dari
penggunaan
(membuat
bagan),
kata
kerja,
membedakan,
seperti
dapat
memisahkan,
mengelompokkan dan sebagainya. e. Sintesis (synthesis) Sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi barudari formulasi-formulasi yang ada. Misalnya, dapat menyusun, dapat merencanakan, dapat meringkaskan, dapat menyesuaikan dan sebagainya terhadap suatu teori atau rumusan-rumusan yang telah ada. f.
Evaluasi (evaluation) Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian- penilaian itu didasarkan
pada
menggunakan
suatu
kriteria
kriteria-kriteria
yang
yang
ditentukan
telah
ada.
sendiri,
Misalnya,
atau dapat
membandingkan antara anak yang cukup gizi dengan anak yang kekurangan gizi, dapat menafsirkan sebab-sebab mengapa ibu-ibu tidak mau ikut KB dan sebagainya. Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur dapat kita sesuaikan dengan tingkatan-tingkatan di atas.
10
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan Menurut Iqbal (2011) terdapat tujuh
faktor yang mempengaruhi
pengetahuan yaitu : a. Pendidikan Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan seseorang kepada orang lain agar dapat memahami sesuatu hal. Bahwa semakin tinggi pendidikan seseorang, semakin mudah pula mereka menerima informasi, dan pada akhirnya
pengetahuan
yang dimilikinya
akan
semakin
banyak.
Sebaliknya, jika pendidikan yang rendah, maka akan menghambat perkembangan orang tersebut terhadap penerimaan infomasi dan nilainilai yang baru diperkenalkan. b. Pekerjaan Lingkungan
pekerjaan
dapat
membuat
seseorang
memperoleh
pengalaman dan pengetahuan, baik secara langsung maupun tidak langsung. c. Umur Dengan bertambahnya umur seseorang akan mengalami perubahan aspek fisik dan psikologi (mental). Pada aspek psikologis atau mental, taraf berpikir seseorang menjadi semakin matang dan dewasa. d. Minat Minat sebagai suatu kecenderungan atau keinginan yang tinggi terhadap sesuatu. Minat menjadikan seseorang untuk mencoba dan menekuni sesuatu hal, sehingga seseorang memperoleh pengetahuan yang lebih mendalam. e. Pengalaman Pengalaman adalah suatu kejadian yang pernah dialami seseorang dalam berinteraksi dengan lingkungannya. f.
Kebudayaan lingkungan sekitar Lingkungan sangat berpengaruh dalam pembentukan sikap pribadi atau sikap seseorang. Kebudayaan lingkungan tempat tinggal sangat berpengaruh besar dalam pembentukan sikap.
11
g. Informasi Kemudahan untuk memperoleh suatu informasi dapat mempercepat seseorang memperoleh pengetahuan yang baru.
4. Kategori Tingkat Pengetahuan Menurut Arikunto (2006), kategori pengetahuan dapat ditentukan dengan kriteria sebagai berikut : a. Baik bila nilai akumulasi 80% – 100% b. Sedang bila nilai akumulasi 60% – 80% c. Kurang bila nilai akumilasi <60%
B. Sikap 1. Pengertian Sikap merupakan reaksi atau respons yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Manifestasi sikap tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu yang dalam kehidupan sehari- hari merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial. Newcomb, salah seorang ahli psikologi sosial, menyatakan bahwa sikap itu merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. Sikap belum merupakan tindakan atau aktivitas, akan tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku. Sikap itu masih merupakan reaksi tertutup, bukan merupakan reaksi terbuka atau tingkah laku terbuka. Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek (Notoatmodjo, 2007).
2. Komponen Pokok Sikap Allort (1954) dalam Notoatmodjo (2007), menjelaskan bahwa sikap itu mempunyai 3 komponen pokok, yaitu : a. Kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep terhadap suatu objek
12
b. Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek c. Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave). Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh (total attitude). Dalam penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan, pikiran, keyakinan dan emosi memegang peranan penting.
3. Berbagai Tingkatan Sikap Menurut Notoatmodjo (2007), sikap terdiri dari berbagai tingkatan antara lain: a. Menerima (receiving) Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan (objek). b. Merespon (responding) Memberikan jawaban apabila ditanya mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. Karena dengan suatu usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan, terlepas dari pekerjaan itu benar atau salah, adalah berarti bahwa orang menerima ide tersebut. c. Menghargai (valuing) Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah adalah indikasi sikap tingkat tiga. Misalnya: seorang ibu yang mengajak ibu yang lain (tetangganya, saudaranya dan sebagainya) untuk pergi menimbangkan anaknya ke posyandu atau mendiskusikan tentang gizi, adalah suatu bukti bahwa si ibu tersebut telah mempunyai sikap positif terhadap gizi anak. d. Bertanggung jawab (responsible) Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko merupakan sikap yang paling tinggi.
13
4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Sikap. Menurut Azwar (2001), ada beberapa faktor yang mempengaruhi sikap, yaitu : a. Pengalaman pribadi Apa yang telah dan sedang kita alami akan ikut membentuk dan mempengaruhi penghayatan kita terhadap stimulus sosial. b. Pengaruh orang lain yang dianggap penting. Orang lain di sekitar kita merupakan salah satu diantara komoponen sosial yang ikut mempengaruhi sikap kita. Seseorang yang dianggap penting, seseorang yang kita harapkan persetujuannya bagi setiap gerak, tingkah dan pendapat kita, seseorang yang tidak ingin kita kecewakan atau seseorang yang berarti khusus bagi kita akan mempengaruhi pembentkan sikap kita terhadap sesuatu. Contoh : Orang tua, teman sebaya, teman dekat, guru, istri, suami dan lain-lain. c. Pengaruh kebudayaan Kebudayaan dimana kita hidup dan dibesarkan mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan sikap kita. d. Media massa Sebagai sarana komunikasi, berbagai bentuk media massa seperti televisi, radio, surat kabar, majalah dan lain-lain mempunyai pengaruh besar dalam pembentukan opini dan kepercayaan. Adanya informasi baru mengenai sesuatu hal memberikan landasan kognitif bagi terbentuknya sikap terhadap hal tersebut. e. Lembaga pendidikan dan lembaga agama Lembaga pendidikan serta lembaga agama sebagai suatu system mempunyai pengaruh dalam pembentukan sikap dikarenakan keduanya meletakkan dasar pengertian dan konsep moral dalam arti individu. f. Pengaruh faktor emosional Tidak semua bentuk sikap dipengaruhi oleh situasi lingkungan dan pengalaman pribadi seseorang, kadang-kadang sesuatu bentuk sikap
14
merupakan pernyataan yang didasari oleh emosi yang berfungsi sebagai penyaluran frustasi atau pengalihan bentuk mekanisme pertahanan ego.
5. Pengukuran sikap Menurut Azwar (2010), salah satu aspek yang sangat penting guna memahami sikap dan perilaku manusia adalah pengungkapan (assesmant) atau pengukuran (measurement) sikap. Sikap merupakan respons evaluatif yang dapat berbentuk positif maupun negatif.
Sikap mempunyai arah,
artinya sikap terpilah pada dua arah kesetujuan yaitu apakah setuju atau tidak setuju, apakah mendukung atau tidak mendukung, apakah memihak terhadap sesuatu atau seseorang sebagai objek. Orang yang setuju, mendukung atau memihak terhadap suatu objek sikap berarti memiliki sikap yang arahnya positif sebaiknya mereka yang tidak setuju atau tidak mendukung dikatakan sebagai memiliki sikap arahnya positif sebaiknya mereka yang tidak setuju atau tidak mendukung dikatakan sebagai memiliki sikap yang arahnya positif.
Pengukuran sikap dapat dilakukan dengan menilai pernyataan sikap seseorang. Pernyataan sikap adalah rangkaian kalimat yang mengatakan sesuatu mengenai obyek sikap yang hendak diungkap. Pernyataan sikap mungkin berisi atau mengatakan hal-hal yang positif mengenai obyek sikap, yaitu kalimatnya bersifat mendukung atau memihak pada obyek sikap. Pernyataan ini disebut dengan pernyataan yang favourable. Sebaliknya pernyataan sikap mungkin pula berisi hal-hal negatif mengenai obyek sikap yang bersifat tidak mendukung maupun kontra terhadap obyek sikap. Pernyataan seperti ini disebut dengan pernyataan yang tidak favourabel. Suatu skala sikap sedapat mungkin diusahakan agar terdiri atas pernyataan favourable dan tidak favourable dalam jumlah yang seimbang. Dengan demikian pernyataan yang disajikan tidak semua positif dan tidak semua negatif yang seolah-olah isi skala memihak atau tidak mendukung sama sekali obyek sikap (Azwar, 2010 ).
15
C. Perilaku 1. Batasan Perilaku Perilaku
adalah
segala
bentuk
tanggapan
dari
individu
terhadap
lingkungannya (Budioro, 2007). Robert Kwick (1974) dalam Notoatmodjo (2007) menyatakan bahwa perilaku adalah tindakan atau perbuatan suatu organisme yang dapat diamati bahkan dapat dipelajari. Perilaku tidak sama dengan sikap. Perilaku seseorang dibentuk melalui sesuatu proses dan berlangsung dalam interaksi manusia dengan lingkungannya.
Skinner (1938) dalam Notoatmodjo (2007), merumuskan bahwa perilaku merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Oleh karena perilaku ini terjadi melalui proses adanya stimulus terhadap organisme, dan kemudian organisme tersebut merespons. Skinner (1938) membedakan adanya dua respons: a. Respondent respons atau reflexive, yakni respons yang ditimbulkan oleh rangsangan-rangsangan (stimulus) tertentu. Misalnya: makanan yang lezat menimbulkan keinginan untuk makan, cahaya terang menyebabkan mata tertutup, dan sebagainya. b. Operant respons atau instrumental respons, yakni respons yang timbul dan berkembang kemudian diikuti oleh stimulus atau perangsang tertentu. Misalnya: apabila seorang petugas kesehatan melaksanakan tugasnya dengan baik (respons terhadap uraian tugasnya) kemudian memperoleh penghargaan dari atasannya (stimulus baru), maka petugas kesehatan tersebut akan lebih baik lagi dalam melaksanakan tugasnya.
2. Proses Adopsi Perilaku Penelitian Rogers (1974) dalam Notoatmodjo (2007), mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru (berperilaku baru) di dalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan, yakni: a. Awareness (kesadaran), yakni orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui stimulus (objek) terlebih dahulu,
16
b. Interest, yakni orang mulai tertarik pada stimulus, c. Evaluation (menimbang-nimbang baik dan tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya). Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi, d. Trial, orang telah mulai mencoba perilaku baru, e. Adoption, subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesedaran dan sikapnya terhadap stimulus. Namun demikian, dari penelitian selanjutnya Rogers menyimpulkan bahwa perubahan perilaku tidak selalu melewati tahap-tahap di atas.
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Perilaku pada manusia dipengaruhi beberapa faktor. Lawrence Green yang dikutip oleh Soekidjo Notoatmojo (2007) membagi faktor-faktor tersebut menjadi tiga bagian, yang meliputi faktor predisposisi (predisposing factors), faktor pendukung (enabling factors), dan faktor pendorong (reinforcing factors). a. Faktor Predisposisi (predisposing factors) Merupakan faktor yang mempermudah terjadinya perilaku yang meliputi pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap kesehatan, tradisi dan kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan, sistem nilai yang dianut masyarakat, tingkat pendidikan, tingkat
sosial
ekonomi
dan
sebagainya.
Faktor-faktor
tersebut
mempengaruhi perilaku seseorang termasuk dalam perilaku kesehatan. b. Faktor Pendukung (enabling factors) Merupakan faktor yang memungkinkan terjadinya perilaku. Faktor ini meliputi ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas kesehatan, misalnya air bersih, tempat pembuangan sampah, tempat pembuangan tinja dan sebagainya. c. Faktor Pendorong (reinforcing factors) Merupakan faktor yang memperkuat terjadinya perubahan perilaku. Faktor ini meliputi sikap dan perilaku petugas kesehatan maupun tokoh masyarakat. Perilaku manusia itu sangat kompleks dan mempunyai ruang
17
lingkup yang sangat luas. Benyamin Bloom (1908) seorang ahli psikologi pendidikan membagi perilaku kedalam 3 domain (ranah atau kawasan), meskipun kawasan-kawasan tersebut tidak mempunyi batasan yang jelas dan tegas. Ketiga domain itu adalah pengetahuan, sikap dan perilaku (Notoatmodjo, 2007).
4. Perilaku Kesehatan Notoatmodjo (2007), perilaku kesehatan diklasifikasikan menjadi 3 kelompok. a. Perilaku pemeliharaan kesehatan (Health maintenance) Adalah perilaku atau usaha-usaha seseorang untuk memelihara atau menjaga kesehatan agar agar tidak sakit dan usaha untuk menyembuhkan bilamana sakit. Perilaku pemeliharaan kasehatan terdiri 3 aspek yaitu: perilaku pencegahan penyakit, perilaku peningkatan kesehatan, dan perilaku gizi (makanan dan minuman). b. Perilaku pencarian dan penggunaan system atau fasilitas pelayanan kesehatan, atau sering disebut perilaku pencarian pengobatan (health seeking behavior). Perilaku ini adalah menyangkut upaya atau tindakan seseorang pada saat menderita penyakit. Perilaku ini dimulai dari mengobati sendiri (self treatment) sampai mencari pengobatan ke luar negeri. c. Perilaku kesehatan lingkungan Perilaku kesehatan lingkungan adalah bagaimana seseorang merespon lingkungan, baik lingkungan fisik maupun lingkungan social budaya, dan sebagainya,
sehingga
lingkungan
tersebut
tidak
mempengaruhi
kesehatannya.
D. Perilaku Pencegahan Menurut Noor (2006) Perilaku pencegahan adalah mengambil tindakan terlebih dahulu
sebelum
kejadian.
Dalam
mengambil
langkah-langkah
untuk
pencegahan haruslah didasarkan pada data/keterangan yang bersumber dari
18
hasil analisis epidemiologi atau hasil pengamatan/penelitian epidemiologis. Pada dasarnya ada tiga tingkatan pencegahan penyakit secara umum,yakni: 1. Pencegahan tingkat pertama Saran pencegahan tingkat pertama dapat ditujukan pada faktor penyebab, lingkungan serta faktor pejamu. a. Sasaran yang ditujukan pada faktor penyebab yang bertujuan untuk mengurangi penyebab atau menurunkan pengaruh penyebab serendah mungkin dengan usaha antara lain: desinfeksi, pasteurisasi, sterilisasi, yang bertujuan untuk menghilangkan mokro-organisme penyebab penyakit, penyemprotan/insektisida dalam rangka menurunkan dan menghilangkan sumber penularan maupun memutuskan rantai penularan, di samping karantina dan isolasi yang juga dalam rangka memutuskan rantai penularan. Selain itu usaha untuk mengurangi/menghilangkan sumber penularan dapat dilakukan melalui pengobatan penderita serta pemusnahan sumber yang ada (biasanya pada binatang yang menderita), serta mengurangi/menghindari perilaku yang dapat meningkatkan risiko perorangan dan masyarakat. b. Mengatasi/modifikasi lingkungan melalui perbaikan lingkungan fisik seperti peningkatan air bersih, sanitasi lingkungan dan perumahan serta bentuk pemukiman lainya. Perbaikan dan peningkatan lingkungan biologis seperti pemberantasan serangga dan binatang pengerat, serta peningkatan lingkungan sosial seperti kepadatan rumah tangga, hubungan antarindividu dan kehidupan sosial masyarakat. c. Meningkatkan daya tahan pejamu yang meliputi perbaikan status gizi, status kesehatan umum dan kualitas hidup penduduk, pemberian imunisasi serta berbagai bentuk pencegahan khusus lainnya, peningkatan status psikologis, persiapan perkawinan serta usaha menghindari pengaruh faktor keturunan, dan peningkatan ketahanan fisik melalui peningkatan kualitas gizi, serta olah raga kesehatan.
19
2. Pencegahan tingkat kedua Sasaran pencegahan ini terutama ditujukan pada mereka yang menderita atau dianggap menderita (suspek) atau yang terancam akan menderita (masa tunas). Adapun tujuan usaha pencegahan tingkat kedua ini yang meliputi diagnosis dini dan pengobatan yang tepat agar dapat dicegah meluasnya penyakit atau untuk mencegah timbulnya wabah, serta mencegah terjadinya akibat samping atau komlpikasi. a. pencarian penderita secara dini dan aktif melalui peningkatan usaha surveilans penyakit tertentu, pemeriksaan berkala serta pemeriksaan kelompok tertentu (calon pegawai, ABRI, mahasiswa dsb), penyaringan (screening) untuk penyakit tertentu secara umum dalam masyarakat, serta pengobatan dan perawatan yang efektif. b. Pemberiann chemoprophylaxis yang terutama bagi mereka yang dicurigai berada pada proses prepatogenesis dan patognesi penyakit tertentu.
3. Pencegahan tingkat ketiga Sasaran pencegahan tingkat ketiga adalah penderita penyakit tertentu dengan tujuan mencegah jangan sampai mengalami cacat atau kelainan permanen, mencegah bertambah parahnya suatu penyakit atau mencegah kematian akibat penyakit tersebut. Berbagai usaha dalam mencegah proses penyakit lebih lanjut seperti pada penderita diabetes melitus (kencing manis), penderita tuberkulosis paru yang berat, penderita penyakit measles agar jangan terjadi komplikasi dan lain sebagainya. Pada tingkat ini juga dilakukan usaha rehabilitasi untuk mencegah terjadinya akibat samping dari penyembuhan
suatu
penyakit
tertentu.
Rehabilitasi
adalah
usaha
pengembangan fungsi fisik, psikologis dan sosial seoptimal mungkin yang meliputi rehabilitasi fisik/medis, rehabilitasi mental/psikologis serta rahabilitasi sosial.
20
E. Hepatitis B 1. Pengertian Menurut Smeltzer dan Bare (2001) menyatakan bahwa hepatitis merupakan inflamasi pada sel-sel hati yang menghasilkan kumpulan perubahan klinis biokimia serta seluler. Infeksi virus hepatitis B merupakan penyakit infeksi disebabkan oleh virus hepatitis B (VHB) yang dapat menimbulkan peradangan dan bahkan kerusakan sel-sel hati atau hepatitis (Cahyono, 2010).
2. Virus Hepatitis B Dalam buku Brunner & Suddarth (2002), komponen virus hepatitis B (VHB) merupakan virus DNA yang tersusun dari partikel antigen berikut ini: a. HBcAg : antigen inti (core) hepatitis B (material antigen terdapat di inti sebelah dalam/ inner core) b. HBsAg : antigen permukaan (surface) hepatitis B (material antigen pada permukaan HBV) c. HBeAg : protein independen yang beredar dalam darah d. HBxAg : produk genetik dari gen X pada HBV/DNA.
Setiap antigen menimbulkan antibodi spesifiknya sebagai berikut : a. Anti-HBc : antibodi terhadap antigen inti atau HBV, anti HBc akan bertahan selama fase akut, dapat menunjukkan virus hepatitis B yang berlanjut dalam hati. b. Anti-HBs : antibodi terhadap permukaan tertentu pada HBV, terdeteksi selama fase konvalesensi lanjut, biasanya menunjukkan pemulihan dan pembentukan imunitas. c. Anti-HBe : antibodi terhadap antigen e hepatitis B, biasanya menyatakan penurunan infektifitas. d. Anti-HBxAg : antibodi terhadap antigen x hepatitis B, dapat menunjukkan replikasi HBV yang tengah berlangsung.
21
Diagnosis pasti hepatitis virus B dapat diketahui dengan pemeriksaan HBsAg. Ada dua hal yang bisa dilakukan untuk diagnosis hepatitis B, yaitu serologi atau test darah dan biopsi liver atau pengambilan sempel jaringan liver. Diagnosis virus hepatitis B dimulai dengan test darah (serology). Serum darah pasien diperiksa dan mereka yang terkena HVB kronis ataupun akut, pasti di dalam darahnya akan ditemukan hepatitis B surface antigen (HBsAg). HBsAg pada penderita akut bisa dideteksi beberapa minggu setelah infeksi dan munculnya bersama dengan timbulnya gejala hepatitis. Untuk memastikan diagnosa yang ke dua, maka dilakukan biopsi pada liver. Penderita kronis (tanpa gejala, HBsAg positif, dan terdapat aktifitas aminotransparase serum yang normal) biasanya tidak mengalami atau sedikit peradangan saat jaringannya diambil lewat biopsi. Pada pasien tersebut yang terlihat adalah “sel kaca buram” yaitu sel liver yang didalamnya terdapat sejumlah besar HBsAg yang sedang disintesa. HBsAg muncul dalam sirkulasi darah pada 80% hingga 90% pasien yang terinfeksi 1 hingga 10 minggu setelah kontak dengan HBV dan 2 hingga 8 minggu sebelum
munculnya
gejala
atau
meningkatnya
kadar
transferase
(transminase). Orang-orang dengan HBsAg yang bertahan selama 6 bulan atau lebih sesudah mengalami infeksi akut dinyatakan sebagai karier HBsAg (Bar, 2002).
HBcAg merupakan antigen HBV yang muncul berikutnya dalam serum. Biasanya antigen ini muncul dalam waktu 1 minggu setelah munculnya HBsAg dan sebelum terjadinya perubahan kadar aminotransferase untuk kemudian menghilang dari serum dalam waktu 2 minggu. DNA HBV yang terdeteksi lewat pemeriksaan reaksi rantai polymerase (PCR ; polymerase chain reaction), muncul dalam serum pada saat kurang lebih HBcAg. HBcAg tidak selalu terdeteksi dalam serum pada infeksi HBV . Sekitar 15% dari orang-orang dewasa di Amerika menunjukkan hasil pemeriksaan antiHBs yang positif, yang menunjukkan bahwa meraka pernah menderita
22
hepatitis B. Anti-HBs positif pada 2/3 dari pemakai obat bius IV (Bar, 2002).
3. Penyebab Hepatitis Menurut Sari (2008), penyebab hepatitis adalah infeksi virus, penyakit lain yang mungkin timbul, alkohol, obat-obatan atau zat kimia dan penyakit autoimun. a. Infeksi Virus Sebagian besar kasus hepatitis disebabkan oleh virus yang dibedakan jenisnya menurut abjad, yakni virus hepatitis A, B, C, D, E, F, dan G. diantara ketujuh jenis hepatitis tersebut, hepatitis A, B, C merupakan jenis terbanyak yang sering dijumpai. Adapun hepatitis F masih jarang ditemukan. Para ahli pun masih memperdebatkan apakah hepatitis F merupakan jenis hepatitis yang terpisah. Hepatitis B merupakan tipe hepatitis yang berbahaya. Penyakit ini lebih sering menular dibandingkan hepatitis jenis lainnya. Virus hepatitis B 100 kali lebih infeksius, yakni lebih berpotensi menyebabkan infeksi dibandingkan virus HIV karena mas tunasnya cukup pendek, yaitu sekitar 3 bulan. Virus ini ditemukan di dalam darah, air ludah, air susu ibu, cairan sperma, atau vagina penderita. b. Penyakit lain yang mungkin timbul Hati merupakan organ penting dengan fungsi yang beragam maka beberapa penyakit atau gangguan metabolisme tubuh dapat menyebabkan komplikasi pada hati. Diabetes melitus, hiperlipidemia (kadar lemak, termasuk kolesterol dan trigliserida, dalam darah menjadi tinggi atau berlabihan), dan obesitas sering terkait dengan penyakit hati. Ketiga kelainan ini membebani kerja hati dalam metabolisme lemak. Akibatnya, akan terjadi kebocoran sel-sel yang berlanjut dengan kerusakan sel dan peradangan hati yang disebut steatohepatis. Kehidupan yang serba sibuk terutama di kota besar, telah melahirkan budaya instan termasuk dalam hal makanan. Saat ini tersedia banyak restoran cepat saji yang menyediakan makanan dengan komposisi gizi tidak berimbang, yaitu
23
mengandung lemak sebagai komponen terbanyak. Hal ini turut memberikan kontribusi meningkatnya kasus steatohepatis. c. Alkohol Minuman beralkohol dapat menyebabkan kerusakan sel-sel hati. Hepatitis alkohol dapat terjadi akibat konsumsi alkohol yang berlebihan atau dalam jangka waktu lama. Sejumlah zat tersebut dapat bersifat racun sehingga menyebakan kerusakan sel hati. d. Obat-obatan atau zat kimia Sejumlah obat atau zat kimia dapat menyebabkan hepatitis. Sesuai dengan fungsi hati yang berperan dalam metabolisme, penetralisir, atau dalam detoksifikasi zat kimia, termasuk obat. Oleh karenanya, zat kimia dapat menimbulkan reaksi yang sama seperti reaksi karena infeksi virus hepatitis. Gejala dapat terasa kapan pun dalam waktu 2 minggu-6 bulan setelah obat diberikan. Pada sebagian besar kasus, gejala hepatitis sembuh atau menghilang setelah pemberian obat tersebut dihentikan. Namun, ada juga yang berkembang menjadi penyakit hati serius, jika penyakit hati terlanjur parah. Obat-obat yang cenderung berinteraksi dengan sel-sel hati, antara lain halotan (sering digunakan sebagai obat bius), isoniasid (antibiotik untuk TBC), metildopa (obat anti hipertensi), fenitoin, dan asam valproat (obat anti epilepsi), serta parasetamol (pereda demam). Parasetamol merupakan obat yang aman jika dikonsumsi sesuai dosis yang dianjurkan. Namun, jika dosis berlebihan terlebih jika dikonsumsi bersama alkohol, dapat menyebabkan kerusakan hati yang cukup parah bahkan kematian. Demikian pula sejumlah zat-zat polutan lainnya, saperti alfatoksin, arsen, karbon tetraklorida, tembaga, atau vinil klorida dapat merusak sel-sel hati. e. Penyakit autoimun Hepatitis autoimun terjadi karena adanya gangguan pada sistem kekebalan (imunitas) yang merupakan kelainan genetik. Pada kasus autoimun, sitem kekabalan tubuh justru menyerang sel atau jaringan tubuh itu sendiri (dalam hal ini adalah hati). Gangguan ini terjadi karena
24
ada faktor pencetus, yakni kemungkina suatu virus atau zat kimia tertentu. Sekitar 30% kasus hepatitis autoimun mempunyai gangguan autoimun pada organ tubuh lain.
4. Penularan Virus Hepatitis B Penularan hepatitis B terjadi melalui kontak darah, cairan tubuh, maupun material lain yang terinfeksi, seperti jarum suntik, alat-alat bedah, alat-alat dokter gigi, jarum akupuntur, jarum tato, maupun jarum tindik telinga yang tidak steril. Demikian juga penggunaan bersama alat-alat yang dapat menimbulkan luka atau lecet milik individu yang terinfeksi, seperti pisau cukur, gunting kuku, atau sikat gigi, dapat menjadi media penularan HVB. Penularan hepatitis B juga terdapat pada bayi yang dilahirkan ibu yang menderita hepatitis B. Mengingat HVB dapat ditemukan pada cairan sperma ataupun vagina maka penularan juga dapat terjadi melalui hubungan seksual maupun pada saat proses persalinan (Sari, 2008). Individu yang berada dalam lingkungan tertentu atau mempunnyai kebiasaan tertentu, atau sedang menderita penyakit tertentu berisiko tertular virus hepatitis B. mereka ini adalah bayi yang terlahir dari ibu dengan HBsAg positif, mereka yang tinggal di daerah endemis hepatitis B, indivudu yang sering berganti pasangan seksual, suami/istri atau anggota keluarga penderita infeksi VHB kronis, penderita yang sering mendapatkan transfusi darah (hemophilia, anemia aplastik, thalasemia, dan sebagainya), penderita gagal ginjal yang mengalami hemodialisis, petugas kesehatan (dokter, perawat,
dan
sebagainya), pecandu narkotika (Cahyono, 2010).
5. Tanda dan gejala klinis Menurut Baradero, Wilfrid dan Siswadi (2008) tanda-tanda hepatitis virus B dikelompokkan dalam tiga tahap yaitu tahap pra-kiterik, ikterik dan pasca ikterik: a. Tahap pra-ikterik (tahap prodromal) yang berlangsung selama satu minggu, seperti anoreksia(merupakan tanda utama), suhu tubuh
25
meningkat disertai menggigil, mual dan muntah, kesulitan mencerna makanan (dispepsia), nyeri sendi (artralgia), nyeri tekan pada hepar, cepat lelah, malaise, dan hilang minat, serta berat badan menurun. b. Tahap ikterik dimulai dengan timbulnya ikterik yang berlangsung selama 46 minggu. Pada tahap ini, tanda tahap pre-ikterik akan berkurang, kecuali anoreksia, mual, muntah, dispepsia, rasa lemah, dan malaise makin bertambah. Ikterik timbul karena gangguan metabolisme bilirubin. Urin penderita berwarna kuning tua, transminase serum (ALT dan AST) dan alkalin fosfatase meningkat, serta masa protombin memanjang c. Tahap pasca-ikterik atau tahap penyembuhan. Tahap ini dimulai ketika ikterik telah hilang.
6. Komplikasi Komplikasi hepatitis yang paling sering adalah sirosis. Sel hati yang normal ketika mengalami kerusakan akan digantikan oleh sel-sel sehat yang baru. Pada sirosis, kerusakan sel hati diganti oleh jarigan parut (sikatrik). Semakin parah kerusakan, semakin besar jaringan parut yang terbentuk dan semakin berkurang jumlah sel hati yang sehat. Pengurangan ini akan berdampak pada penurunan sejumlah fungsi hati sehingga menimbulkan sejumlah gangguan pada fungsi tubuh secara keseluruhan (Sari, 2008). Komplikasi lain menurut Cahyono (2010), pada hepatitis B kronis yang tidak diatasi, dapat terjadi perdarahan varises lambung, gangguan sistem saraf pusat berupa kejang, serta penurunan kesadaran sampai koma.
F. Pencegahan Hepatitis B Tujuan pencegahan adalah memutuskan rantai penularan, melindungi individu yang berisiko tinggi melalui imunisasi aktif vaksin hepatitis B, imunisasi pasif bagi individu yang tidak terlindung namun terpajan virus hepatitis B (Bar, 2002). Pencegahan terhadap penyakit hepatitis B dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu imunisasi, tidak menggunakan barang orang lain, lakukan hubungan seks yang aman, jangan menjadi donor darah jika terinfeksi hepatitis,
26
bersihkan ceceran darah,
membiasakan
diri
untuk
mencuci
tangan,
menganggap feses, urin, cairan tubuh lainnya potensial untuk infeksi dan membuang secara benar barang-barang seperti jarum dan alat lain yang terinfeksi. 1. Imunisasi Imunisasi hepatitis B yang lengkap dapat mencegah infeksi virus hepatitis B selama 15 tahun. Imunisasi hepatitis B yang lengkap untuk bayi diberikan 3 kali, imunisasi yang pertama dan kedua diberikan berturut-turut dengan selang waktu 1 bulan. Sementara imunisasi ketiga diberikan setelah 5 bulan sejak imunisasi kedua (Sari, 2008).
Pemberian imunisasi hepatitis B diberikan sedini mungkin, umumnya pada bayi, mulai diberikan saat usia 2 minggu. Saat ini ada himbauan agar bayi diimunisasi hepatitis B pada saat akan pulang dari rumah sakit/rumah bersalin. Tujuannya agar bayi sedini mungkin mendapat perlindungan dari hepatitis B (Sari, 2008). Pemberian imunisasi pada orang dewasa, sebelum imunisasi diberikan sebaiknya dilakukan pemeriksaan kadar anti-HBs, yakni HBs-Ag. Jika HBSAg positif maka
imunisasi hepatitis B tidak perlu
diberikan lagi. Imunisasi diberikan jika kekebalan tubuh kurang atau di bawah
standar.
Kadar
anti-HBs
yang
cukup
untuk
memberikan
perlindungan terhadap hepatitis B adalah 10 m IU/ml. namun kendalanya, pemeriksaan laboratorium tersebut sering kali harganya jauh lebih mahal dari biaya vaksin hepatitis B itu sendiri. Dengan demikian, jika memang individu tersebut termasuk golongan yang berisiko tinggi tertular virus hepatitis B maka imunisasi bisa langsung diberikan tanpa harus dilakukan pemeriksaan laboratorium (Sari, 2008).
2. Tidak menggunakan barang orang lain Biasakanlah tidak menggunakan barang-barang pribadi milik orang lain. Hal ini disebabkan kita tidak pernah tahu apakah seseorang itu terinfeksi virus
27
hepatitis B atau tidak. Pisau cukur, gunting rambut, gunting kuku, sikat gigi, atau barang lain yang dapat menyebabkan luka dapat menjadi media penularan (Sari, 2008).
3. Lakukan hubungan seks yang aman Hubungan seks dengan berganti-ganti pasangan, terlebih jika dengan pekerja seks, akan berisiko tinggi tertular hepatitis B. jika ternyata suami atau istri terinfeksi hepatitis B maka sang suami wajib memakai kondom saat berhubungan seksual (Sari, 2008).
4. Jangan menjadi donor darah jika terinfeksi hepatitis Individu dengan terinfeksi hepatitis B jangan menjadi donor darah karena akan menyebarkan penyakit tersebut. Palang Merah Indonesia akan melakukan serangkaian pemeriksaan pada darah yang didonorkan. Jika ternyata sejumlah darah pada bank darah terinfeksi virus hepatitis maka darah tersebut akan dimusnahkan. hal ini bisa saja terjadi jika pendonor tidak tahu bahwa dirinya carrier hepatitis B dan terlanjur mendonorkan darahnya (Sari, 2008).
5. Bersihkan ceceran darah Jika terdapat ceceran atau pun cipratan darah, sekecil apa pun, harus langsung dibersihkan. Penggunaan larutan pemutih pakaian untuk membersihkan cipratan darah tersebut diyakini dapat membunuh virus (Sari, 2008).
6. Membiasakan diri untuk mencuci tangan dengan cara yang benar (Baradero, Dayrit dan Siswadi, 2008)
7. Feses, urin, cairan tubuh lainnya harus dianggap potensial untuk infeksi dan harus ada cara yang tepat untuk pembuangannya. Kamar-kamar kecil harus
28
dilengkapi dengan septic tank untuk mencegah kontaminasi air dan makanan (Baradero dkk, 2008).
8. Hepatitis B ditularkan secara parenteral (suntikan dan tusukan), hepatitis non-A dan non-B, hepatitis delta, dan mungkin hepatitis A dapat ditularkan melalui jarum atau alat-alat lain yang terinfeksi. Barang-barang ini harus dibuang dengan cara yang benar. Perawat harus hati-hati jangan sampai pasien atau orang lain tertusuk jarum yang telah digunakan. Sebaiknya sebelum jarum, spuit, dan sebagainya dibuang, dimasukkan ke dalam kantong yang diberi tanda “Barang Terkontaminasi (Baradero dkk, 2008).
G. Hubungan Pengetahuan, Sikap dengan Perilaku Pencegahan Hepatitis B Berdasarkan pengalaman dan penelitian terbukti bahwa perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng dari pada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Secara teori perubahan perilaku atau seseorang menerima atau mengadopsi perilaku baru dalam kehidupannya melalui 3 tahap (Notoatmodjo, 2007) yaitu pengetahuan, sikap dan praktik. Orang akan melakukan pencegahan Hepatitis B apabila ia tahu apa tujuan dan manfaatnya bila tidak melakukan pencegahan hepatitis B. Setelah seseorang mengetahui pencegahan hepatitis B, proses selanjutnya akan menilai atau bersikap terhadap pencegahan hepatitis B tersebut. Setelah seseorang mengetahui stimulus atau objek pencegahan hepatitis B, kemudian mengadakan penilaian atau pendapat terhadap apa yang diketahui, proses selanjutnya diharapkan ia akan melakukan atau mempraktikkan apa yang diketahui atau disikapinya (dinilai baik). Inilah yang disebut praktik (practice) pencegahan hepatitis B, atau dapat juga dikatakan perilaku pencegahan hepatitis B.
29
H. Kerangka Teori Kerangka teori dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : Faktor Predisposisi (predisposing factors): 1. Pengetahuan 2. Sikap 3. Tradisi dan kepercayaan 4. Nilai 5. Tingkat pendidikan dan sosial ekonomi Faktor pendukung (enabling factors): Ketersediaan sumber atau fasilitas
Perilaku Pencegahan Hepatitis B
Faktor pendorong (reinforcing factors): Perilaku petugas kesehatan maupun tokoh masyarakat Skema 2.1 Kerangka Teori Sumber : Modifikasi Lawrence Green (1980) dalam Notoatmodjo (2007)
I. Kerangka Konsep Variabel bebas
Variabel terikat
Pengetahuan Perilaku Pencegahan Hepatitis B
Sikap
Skema 2.2 Kerangka Konsep
J. Variabel Penelitian Variabel yang digunakan oleh peneliti ada dua kategori, yaitu : 1. Variabel bebas (independent variable) Variabel bebas atau independent merupakan suatu variabel yang menjadi sebab perubahan atau timbulnya suatu variabel dependen (terikat) dan bebas dalam mempengaruhi variabel lain. Variabel independen (bebas) dalam penelitian ini adalah pengetahuan dan sikap.
30
2. Variabel terikat (dependent variable) Variabel terikat atau dependen merupakan variabel yang dapat dipengaruhi atau menjadi akibat karena variabel bebas. Variabel ini dapat tergantung dari variabel bebas terhadap perubahan. Variabel terikat dalam penelitian ini adalah perilaku pencegahan hepatitis B.
K. Hipotesis Berdasarkan dari kerangka konsep penelitian di atas, maka hipotesis yang dapat dirumuskan adalah : 1. Ada hubungan antara pengetahuan dengan perilaku pencegahan hepatitis B pada mahasiswa Keperawatan FIKKES di UNIMUS. 2. Ada hubungan antara sikap dengan perilaku pencegahan hepatitis B pada mahasiswa Keperawatan FIKKES di UNIMUS.