BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 2.1.1
Kebijakan Publik Pengertian kebijakan publik Kebijakan publik merupakan rangkaian keputusan yang mengandung
konsekuensi moral yang didalamnya adanya keterikatan akan kepentingan rakyat banyak dan keterikatan terhadap tanah air atau tempat dimana yang bersangkutan berada (Tachjan, 2006). Kebijakan publik merupakan keputusan politik yang dikembangkan oleh badan dan pejabat pemerintah (Agustino, 2014). Tujuan kebijakan publik adalah dapat dicapainya kesejahteraan masyarakat melalui produk kebijakan yang dibuat oleh pemerintah (Tahir, 2011). Kebijakan publik dapat ditetapkan secara jelas dalam bentuk peraturan perundangan, pidatopidato pejabat pemerintah ataupun dalam bentuk program-program, proyek-proyek dan tindakan-tindakan yang dilakukan pemerintah. Tujuan penting dari kebijakan tersebut dibuat pada umumnya untuk memelihara ketertiban umum, melancarkan perkembangan masyarakat dalam berbagai hal, menyesuaikan berbagai aktivitas, memperuntukkan dan membagi materi (Tachjan, 2006). Kebijakan publik terbagi kedalam lingkup nasional dan kedalam lingkup wilayah atau daerah. Di setiap lingkup kebijakan tersebut terdapat kebijakan umum, kebijakan pelaksanaan dan kebijakan teknis. Level-level dan isi kebijakan tersebut akan mempengaruhi terhadap efektivitas implementasi kebijakan, yang nantinya juga akan mempengaruhi pola-pola interaksi dari kelompok-kelompok masyarakat yang 10
11
menjadi sasaran kebijakannya serta hasil yang diinginkan oleh kebijakan tersebut (Tachjan, 2006). Pelaksanaan kebijakan akan selalu dipengaruhi oleh konflik-konflik intra dan inter organisasinal yang umum terjadi dalam proses kebijakan publik. Pelaksanaan kebijakan juga dipengaruhi oleh konteks sosial, ekonomi, teknologi, dan politik dari kebijakan tersebut. Efektivitas suatu kebijakan publik akan dipengaruhi oleh pelaku kebijakan, kebijakan publiknya itu sendiri, dan lingkungan kebijakan. Keberhasilan suatu kebijakan publik dipengaruhi juga oleh proses kebijakan itu sendiri. Proses kebijakan yang dimaksud adalah rangkaian kegiatan di dalam menyiapkan, menentukan, melaksanakan, dan mengendalikan suatu kebijakan (Tachjan, 2006).
2.1.2
Proses implementasi kebijakan publik
2.1.2.1 Pengertian implementasi kebijakan Implementasi adalah suatu aktivitas yang berkaitan dengan penyelesaian suatu pekerjaan dengan penggunaan sarana (alat) untuk memperoleh hasil. Implementasi kebijakan publik diartikan sebagai aktivitas penyelesaian atau pelaksanaan suatu kebijakan publik yang telah ditetapkan atau disetujui dengan penggunaan sarana (alat) untuk mencapai tujuan kebijakan (Tahcjan, 2006). Implementasi juga merupakan suatu proses yang dinamis, dimana pelaksana kebijakan melakukan suatu aktivitas atau kegiatan, sehingga pada akhirnya akan mendapatkan suatu hasil yang sesuai dengan tujuan atau sasaran kebijakan itu sendiri (Agustino, 2014). Implementasi suatu kebijakan juga sangat berkaitan erat dengan faktor manusia, dengan berbagai latarbelakang aspek sosial, budaya, politik, dan sebagainya (Tahir, 2011).
12
Dalam proses kebijakan publik, implementasi kebijakan merupakan tahapan yang bersifat praktis dan dibedakan dari formulasi kebijakan yang dapat dipandang sebagai tahapan yang bersifat teoritis. Fungsi dan tujuan implementasi ini adalah untuk membentuk suatu hubungan yang memungkinkan tujuan-tujuan ataupun sasaran-sasaran kebijakan publik (politik) dapat diwujudkan sebagai hasil akhir dari kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah (Tahcjan, 2006). Implementasi kebijakan menyangkut tiga hal yaitu adanya tujuan atau sasaran kebijakan, adanya aktivitas atau kegiatan pencapaian tujuan, dan adanya hasil kegiatan (Agustino, 2014).
2.1.2.2 Unsur-unsur implementasi kebijakan Sebagai suatu sistem, implementasi terdiri dari unsur-unsur dan kegiatankegiatan yang terarah menuju tercapainya tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran yang dikehendaki. Unsur-unsur implementasi kebijakan yang mutlak harus ada yaitu unsur pelaksana (implementor), program yang akan dilaksanakan, dan kelompok sasaran (target groups) (Tahcjan, 2006). Unsur pelaksana berkewajiban dalam penentuan tujuan dan sasaran organisasional, analisis serta perumusan kebijakan dan strategi organisasi, pengambilan keputusan, perencanaan, penyusunan program, pengorganisasian, penggerakan manusia, pelaksanaan kegiatan operasional, pengawasan, dan penilaian. Sedangkan program yang dimaksud disini berisi kejelasan tujuan atau sasaran yang ingin dicapai oleh pemerintah, menggambarkan alokasi sumber daya yang diperlukan, kejelasan metode dan prosedur kerja yang harus ditempuh, dan kejelasan standar yang harus dipedomani. Target groups (kelompok sasaran) yaitu sekelompok orang atau organisasi dalam masyarakat yang akan menerima barang dan jasa atau
13
yang akan dipengaruhi perilakunya oleh kebijakan. Karakteristik yang dimiliki kelompok sasaran akan mempengaruhi efektivitas implementasi kebijakan ini (Tahcjan, 2006).
2.1.2.3 Model implementasi kebijakan publik Komponen-komponen model sistem implementasi kebijakan publik, terdiri dari program (kebijakan) yang dilaksanakan, target groups (kelompok masyarakat yang menjadi sasaran dan diharapkan akan menerima manfaat dari program tersebut, perubahan atau peningkatan), unsur pelaksana/implementor (baik organisasi ataupun perorangan yang bertanggung jawab dalam pengelolaan, pelaksanaan dan pengawasan dari proses implementasi), dan faktor lingkungan (lingkungan fisik, sosial, budaya, dan politik) (Tahcjan, 2006). Model yang paling klasik digunakan yaitu model proses atau alur Smith (1973). Dalam model ini ada empat variabel yang merupakan satu kesatuan yang saling mempengaruhi dan berinteraksi secara timbal balik, oleh karena itu terjadi ketegangan-ketegangan yang bisa menyebabkan timbulnya protes-protes, bahkan aksi fisik, dimana hal ini menghendaki penegakan institusi-institusi baru untuk mewujudkan sasaran kebijakan tersebut. Ketegangan-ketegangan itu bisa juga menyebabkan perubahan-perubahan dalam institusi ini (Tahcjan, 2006). Keempat variabel dalam implementasi kebijakan publik tersebut adalah kebijakan yang diidealkan (idealized policy) yaitu pola-pola interaksi ideal yang telah merak definisikan dalam kebijakan yang berusaha untuk diinduksikan, kelompok sasaran (target groups) yaitu mereka (orang-orang) yang paling langsung dipengaruhi oleh kebijakan dan yang harus mengadopsi pola-pola interaksi
14
sebagaimana yang diharapkan oleh perumus kebijakan, implementing organization yaitu badan-badan pelaksana atau unit-unit birokrasi pemerintah yang bertanggung jawab dalam implementasi kebijakan, environmental factor yakni unsur-unsur dalam lingkungan yang mempengaruhi atau dipengaruhi oleh implementasi kebijakan, seperti aspek budaya, sosial, ekonomi, dan politik (Tahcjan, 2006). Dilihat dari perspektif perilaku, kepatuhan kelompok sasaran merupakan faktor penting yang menentukan keberhasilan implementasi kebijakan dan sebagai hasil langsung dari implementasi kebijakan yang menentukan efeknya terhadap masyarakat. Selain itu, penciptaan situasi dan kondisi lingkungan kebijakan diperlukan agar dapat memberikan pengaruh, meskipun pengaruhnya seringkali bersifat positif atau negatif (Akib, 2010). Penelitian yang dilakukan oleh Efraldo (2014) terkait implementasi Perda Kota Pontianak Nomor 10 Tahun 2010 tentang Kawasan Tanpa Rokok di kampus ada 4 faktor yang berpengaruh dalam implementasi. Pertama, kebijakan yang diidealkan (idealized policy) dimana peraturan walikota terkait Kawasan Tanpa Rokok diubah menjadi perda KTR. Kedua, kelompot sasaran (target groups), dalam hal ini dekan belum mengetahui tentang tugas dan tanggung jawabnya dalam KTR karena belum pernah ada sosialisasi, dosen yang kurang setuju jika penerapan KTR di seluruh lingkungan kampus, mahasiswa yang tidak setuju penerapan KTR di kampus, dan masih ada kelompok sasaran yang belum mengetahui tentang perda KTR ini. Ketiga, organisasi pelaksana (implementing organization), yang dimaksud disini adalah dinas kesehatan dan satpol PP. Dimana sudah melakukan sosialisasi, pembinaan, pengawasan, evaluasi, membentuk pengawas internal, dan pemberian sanksi. Keempat, faktor lingkungan (environmental factors), seperti lingkungan
15
sosial dengan adanya perasaan tidak enak untuk menegur bila terjadi pelanggaran, lingkungan fisik yang kurang memadai di setiap ruang kelas, dan lingkungan ekonomi yang membuat masih adanya kegiatan penjualan rokok.
2.1.2.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan Keberhasilan suatu implementasi kebijakan dapat diukur atau dilihat dari proses dan pencapaian tujuan hasil akhir (output) yaitu tercapai atau tidaknya tujuantujuan yang ingin dicapai. Implementasi kebijakan merupakan tahapan yang sangat penting dalam keseluruhan struktur kebijakan, karena melalui prosedur ini proses kebijakan secara keseluruhan dapat dipengaruhi tingkat keberhasilan atau tidaknya pencapaian tujuan. Faktor penentu pemenuhan kebijakan yaitu respeknya anggota masyarakat pada otoritas dan keputusan pemerintah, adanya kesadaran untuk menerima kebijakan, adanya sanksi hukum, adanya kepentingan publik, adanya kepentingan pribadi, dan masalah waktu. Sedangkan faktor penentu penolakan atau penundaan kebijakan yaitu adanya kebijakan yang bertentangan dengan sistem nilai yang mengada, tidak adanya kepastian hukum, adanya keanggotaan seseorang dalam suatu organisasi, dan adanya konsep ketidakpatuhan selektif terhadap hukum (Agustino, 2014).
2.2
Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 10 Tahun 2011 tentang Kawasan Tanpa Rokok Penetapan kawasan tanpa rokok di suatu wilayah pada dasarnya sebagai
bentuk perlindungan terhadap perokok pasif, anak, remaja, ibu hamil, dan kelompok rentan terhadap masalah kesehatan akibat asap rokok, serta pencemaran udara dalam
16
ruangan. Pertimbangan perlunya penerapan KTR karena beberapa hal, yaitu kesehatan merupakan hak azazi manusia yang diamanatkan oleh UUD 1945, pekerja dan karyawan mempunyai hak untuk bekerja dilingkungan kerja yang sehat dan tidak membahayakan, anak-anak mempunyai hak khusus untuk tumbuh dan berkembang dilingkungan yang sehat dengan mewujudkan kota dan kabupaten layak anak dimana salah satunya harus bebas asap rokok, dan penetapan 100% KTR merupakan upaya yang efektif untuk melindungi masyarakat karena tidak ada batas aman untuk setiap paparan asap rokok orang lain (Kemenkes RI, 2011a). Penetapan kawasan tanpa rokok ini perlu diselenggarakan di fasilitas pelayanan kesehatan, tempat proses belajar mengajar, tempat anak bermain, tempat ibadah, angkutan umum, tempat kerja, tempat umum, dan tempat lain yang ditetapkan. Tempat proses belajar mengajar adalah sarana yang digunakan untuk kegiatan belajar, mengajar, pendidikan dan/atau pelatihan (Kemenkes RI, 2011b).
2.3
Kawasan Tanpa Rokok (KTR)
2.3.1
Pengertian Kawasan Tanpa Rokok yang selanjutnya disingkat KTR adalah ruangan atau
area yang dinyatakan dilarang untuk kegiatan merokok atau kegiatan memproduksi, menjual, mengiklankan, dan/atau mempromosikan produk tembakau. Sedangkan rokok adalah salah satu produk tembakau yang dimaksudkan untuk dibakar, dihisap, dan/atau dihirup termasuk rokok kretek, rokok putih, cerutu atau bentuk lainnya yang dihasilkan dari tanaman Nicotina Tabacum, Nicotina Rustica, dan spesies lainnya atau sintesisnya yang asapnya mengandung nikotin dan tar, dengan atau tanpa bahan tambahan (Pemprov Bali, 2011).
17
2.3.2
Tujuan Tujuan penetapan kawasan tanpa rokok ini yaitu menurunkan angka
kesakitan dan/atau angka kematian dengan cara mengubah perilaku masyarakat untuk hidup sehat, meningkatan produktivitas kerja yang optimal, mewujudkan kualitas udara yang sehat dan bersih bebas dari asap rokok, menurunkan angka perokok dan mencegah perokok pemula, dan mewujudkan generasi muda yang sehat (Kemenkes RI, 2011b).
2.3.3
Penerapan KTR di tempat proses belajar mengajar Tempat proses belajar mengajar merupakan salah satu tempat yang termasuk
dalam kawasan tanpa rokok. Salah satu tempat proses belajar mengajar yang dimaksud adalah perguruan tinggi (Pemprov Bali, 2011). Perguruan Tinggi adalah satuan pendidikan yang menyelenggarakan Pendidikan Tinggi. Pendidikan tinggi adalah jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program diploma, program sarjana, program magister, program doktor, dan program profesi, serta program spesialis, yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi berdasarkan kebudayaan bangsa Indonesia (Kemenhum dan HAM, 2012). Pendidikan tinggi berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, mengembangkan Sivitas Akademika yang inovatif, responsif, kreatif, terampil, berdaya saing, dan kooperatif melalui pelaksanaan Tridharma, dan mengembangkan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dengan memperhatikan dan menerapkan nilai Humaniora. Pendidikan Tinggi juga bertujuan agar berkembangnya potensi Mahasiswa sehingga menjadi manusia yang beriman
18
dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, terampil, kompeten, dan berbudaya untuk kepentingan bangsa, dihasilkannya lulusan yang menguasai cabang ilmu pengetahuan dan/atau teknologi untuk memenuhi kepentingan nasional dan peningkatan daya saing bangsa, dihasilkannya
Ilmu
pengetahuan
dan
teknologi
melalui
penelitian
yang
memperhatikan dan menerapkan nilai humaniora agar bermanfaat bagi kemajuan bangsa, serta kemajuan peradaban dan kesejahteraan umat manusia, dan terwujudnya pengabdian kepada masyarakat berbasis penalaran dan karya penelitian yang bermanfaat dalam memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa (Kemenhum dan HAM, 2012). Adapun sasaran kawasan tanpa rokok di tempat proses belajar mengajar adalah pimpinan/penanggung jawab/pengelola tempat proses belajar mengajar, peserta didik/siswa, tenaga kependidikan (guru), dan unsur sekolah lainnya (tenaga administrasi, pegawai disekolah) (Kemenkes RI, 2011b). Indikator kawasan tanpa rokok pada tempat proses belajar mengajar diklasifikasikan sebagai berikut. Indikator input yaitu adanya kebijakan tertulis tentang KTR, adanya tenaga yang ditugaskan untuk memantau KTR di tempat proses belajar mengajar, dan adanya media promosi tentang larangan merokok/KTR. Indikator proses yaitu terlaksananya sosialisasi kebijakan KTR baik secara langsung (tatap muka) maupun tidak langsung (melalui media cetak, elektronik), adanya pengaturan tugas dan tanggung jawab dalam pelaksanaan KTR, terpasangnya pengumuman kebijakan KTR melalui poster, tanda larangan merokok, mading, surat edaran, dan pengeras suara, terpasangnya tanda KTR di tempat proses belajar mengajar, serta terlaksananya penyuluhan KTR dan bahaya merokok dan etika
19
merokok. Indikator output yaitu lingkungan tempat proses belajar mengajar tanpa asap rokok, siswa yang tidak merokok menegur siswa yang merokok di lingkungan KTR, perokok merokok diluar KTR, dan adanya sanksi bagi yang melanggar KTR (Kemenkes RI, 2011b). Selain itu ada salah satu lagi indikator keberhasilan dalam penerapan KTR yaitu meningkatnya perilaku kepatuhan terhadap KTR di berbagai tatanan (Kemenkes RI, 2012b). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Widya, dkk (2015), ada hubungan yang bermakna antara perilaku merokok dengan kepatuhan terhadap penerapan kebijakan KTR. Dimana hasil penelitian menunjukkan perokok berat cenderung lebih patuh dibandingkan dengan perokok ringan. Begitu juga dengan penelitian yang dilakukan oleh Puswitasari (2012), didapatkan hasil bahwa adanya hubungan yang bermakna antara perilaku merokok yang dipengaruhi oleh lingkungan dan pengetahuan peraturan KTR terhadap kepatuhan terhadap penerapan kebijakan KTR. Perilaku merokok yang dipengaruhi oleh lingkungan memberikan resiko 1,6 kali lipat terhadap tingkat kepatuhan dan tidak mengetahui peraturan KTR memberikan resiko 1,5 kali lipat terhadap tingkat kepatuhan. Dalam pelaksanaan kawasan tanpa rokok ini, setiap pengelola, pimpinan dan/atau penanggung jawab tempat proses belajar mengajar berkewajiban untuk melakukan pengawasan internal, melarang semua orang untuk tidak merokok, menyingkirkan asbak atau sejenisnya, memasang tanda-tanda dan pengumuman dilarang merokok sesuai persyaratan di semua pintu masuk dan ditempat-tempat yang dipandang perlu dan mudah terbaca dan/atau didengar baik pada tempat dan/atau lokasi yang menjadi tanggung jawabnya. Selain itu masyarakat juga dapat ikut serta berperan dalam mewujudkan kawasan tanpa rokok ini. Peran serta
20
masyarakat tersebut dapat dilakukan dengan cara memberikan sumbangan pemikiran dan pertimbangan berkenaan dengan penentuan kebijakan yang terkait dengan KTR, melakukan pengadaan dan pemberian bantuan sarana dan prasarana yang diperlukan untuk mewujudkan KTR, ikut serta dalam memberikan bimbingan dan penyuluhan serta penyebarluasan informasi kepada masyarakat, mengingatkan setiap orang yang melanggar, dan melaporkan setiap orang yang terbukti melanggar kepada pimpinan/penanggung jawab KTR (Pemprov Bali, 2011). Selain itu, pihak pengelola, pimpinan dan/atau penanggung jawab tempat proses belajar mengajar juga dapat melakukan pemantauan dan evaluasi keberhasilan penerapan KTR yang menjadi tanggung jawabnya. Evaluasi tersebut dapat dilakukan dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Evaluasi jangka pendek (4-6 bulan), yaitu adanya tanda KTR yang dipasang dan adanya media promosi KTR. Sedangkan evaluasi jangka panjang (1-3 tahun) yaitu kebijakan KTR diterima dan dilaksanakan oleh pimpinan dan karyawan/guru/dosen/siswa, dipatuhi dan dimanfaatkannya fasilitas yang mendukung KTR, tidak ada penjual rokok disekitar tempat proses belajar mengajar, Karyawan/guru/dosen/siswa yang tidak merokok bertambah banyak, dan semua karyawan/guru/dosen/siswa tidak merokok di KTR (Kemenkes RI, 2011b).
2.3.4
Peluang dan hambatan penerapan KTR Kebijakan terkait rokok yang ada saat ini lebih mementingkan aspek ekonomi
dibandingkan dengan aspek kesehatan. Cara pandang kebijakan ini tidak memandang jauh kedepan dampak dari kebijakan yang ada saat ini. Pada jangka pendek, penerimaan dari cukai rokok merupakan sumber devisa negara, namun untuk jangka
21
panjang, konsumsi rokok akan berdampak pada timbulnya berbagai penyakit dan akan menjadi beban bagi negara untuk pembiayaan pengobatan. Perilaku merokok sudah menjadi hal yang biasa dan sulit dipisahkan dalam sendi kehidupan masyarakat, hal ini terutama karena selama ini tidak adanya pengaturan tentang merokok, sehingga penerapan KTR akan mendapat penolakan bagi para perokok (Juanita, 2012). Masih lemahnya aturan pengendalian rokok pada tingkat nasional hendaknya dapat direspon oleh pemerintah daerah (kabupaten/kota) untuk memberlakukan peraturan pada tingkat lokal karena penerapan peraturan yang berasal dari tingkat lokal lebih mudah dan dapat diterima masyarakat dibanding dengan tingkat nasional. Larangan merokok diruang publik pada tingkat lokal dapat mempengaruhi persepsi penduduk terhadap norma merokok di masyarakat (Juanita, 2012). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Nasyuruddin (2013), yang menjadi hambatan dalam proses implementasi kawasan tanpa rokok di sekolah yaitu, pengetahuan yang kurang terkait KTR, sumber daya yang kurang mendukung seperti tidak adanya satgas anti rokok, pendanaan dan sarana prasarana yang kurang, proses sosialisasi yang tidak optimal, belum ada SOP implementasi KTR, komitmen sekolah yang kurang dan tidak adanya bimbingan dan pengawasan yang menyebabkan implementasi kawasan tanpa rokok menjadi tidak berjalan efektif. Namun adanya dukungan yang sangat kuat dari sasaran kebijakan dapat menjadi peluang yang bagus terhadap implementasi KTR. Selain itu, dalam penelitian yang dilakukan oleh Efraldo (2014), beberapa hal yang juga menghambat implementasi KTR, yaitu pimpinan (dekan) belum mengetahui mengenai kewajiban yang harus dilakukan olehnya terkait KTR, belum
22
ada tanda larangan merokok, kurangnya peran aktif dari masyarakat yang ada di kampus untuk menegur atau mengingatkan orang yang merokok di dalam lingkungan kampus, masih ada dosen dan mahasiswa yang kurang mendukung penerapan kawasan tanpa rokok, serta kantin di lingkungan kampus yang masih menjual rokok.
2.3.5
Efektivitas penerapan KTR Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Azkha (2013), kebijakan KTR
dalam pelaksanaannya masih kurang dalam waktu dua sampai tiga tahun, sehingga efektivitas KTR dalam menurunkan angka perokok aktif di tiga kota di Sumatera Barat belum menunjukkan angka yang signifikan, jumlah perokok juga masih lebih dari separuh yaitu sebesar 59%, masyarakat yang mendukung penerapan KTR sebesar 40%, namun masyarakat yang menyadari KTR ini cukup efektif dalam menurunkan perokok yaitu sebesar 51%. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Prabandari, dkk (2009) di FK UGM yang sudah menerapkan KTR sejak tahun 2004, efektivitas penerapan KTR di kampus dapat dilihat dari penurunan jumlah perokok mahasiswa pada tahun 2003 yaitu sebesar 10,9% menjadi 8,5% di tahun 2007, dan jumlah perokok eksperimen (tidak selalu merokok setiap hari) turun dari 36% pada tahun 2003 menjadi 21% di tahun 2007. Sedangkan jumlah mahasiswi yang merokok juga turun dari 0,7% pada tahun 2003 menjadi 0,4% di tahun 2007 dan jumlah mahasiswi perokok eksperimen turun dari 9,2% menjadi 7,3% di tahun 2007. Hasil penelitian ini menunjukkan penerapan KTR di kampus dapat memberikan dampak yang positif, dimana hal ini juga didukung dengan pemberlakuan kebijakan pelarangan merokok bagi mahasiswa yang dikeluarkan oleh internal kampus.
23
2.4
Perilaku Merokok Perilaku adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang dapat
diamati secara langsung maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar. Masalah kesehatan masyarakat, ditentukan oleh dua faktor salah satunya adalah faktor perilaku. Faktor penentu atau determinan perilaku manusia sulit untuk dibatasi karena perilaku merupakan resultan dari berbagai faktor, baik faktor internal maupun faktor eksternal (lingkungan) (Notoadmodjo, 2010). Menurut Lawrence Green, perilaku ditentukan oleh tiga faktor utama yaitu faktor predisposisi (predisposing factors), faktor pemungkin (enabling factors), dan faktor penguat (reinforcing factors). Faktor predisposisi (predisposing factors) adalah faktor yang mempermudah terjadinya perilaku pada diri seseorang atau masyarakat, yaitu pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, tradisi, sistem nilai di masyarakat, tingkat pendidikan, dan tingkat sosial ekonomi. Faktor pemungkin (enabling factors) adalah faktor yang mendukung dan memungkinkan terwujudnya perilaku kesehatan masyarakat yang dikaitkan dengan lingkungan fisik, seperti tersedian atau tidaknya fasilitas, sarana dan prasarana. Faktor penguat (reinforcing factors) adalah faktor yang meliputi sikap dan perilaku tokoh masyarakat dan tenaga kesehatan yang dapat dijadikan acuan oleh masyarakat untuk berperilaku sehat. Disini termasuk juga peraturan, undang-undang, surat-surat keputusan dari para pejabat pemerintah pusat atau daerah yang berguna untuk memperkuat perilaku masyarakat (Notoadmodjo, 2010). Adapun karakteristik perilaku merokok setiap hari di Provinsi Bali terbanyak dilakukan oleh laki-laki sebesar 35,2% dengan usia mulai merokok terbanyak berada pada kelompok umur 15-19 tahun sebesar 48,9% dan terbanyak kedua pada
24
kelompok umur 20-24 tahun sebesar 29,8%, sedangkan perilaku merokok pada wanita sebesar 0,6% terbanyak berada pada kelompok umur 20-24 tahun sebesar 39,6% dan terbanyak kedua pada kelompok umur 15-19 tahun sebesar 28,5%. Jika dilihat dari pekerjaan, pegawai menempati urutan kedua memiliki perilaku merokok yaitu sebesar 25,8%. Sebagian besar penduduk yang merokok tersebut mempunyai kebiasaan merokok dalam gedung atau ruangan sebesar 60,6% dan sebesar 94,3% penduduk setuju mengenai penerapan kebijakan KTR (Kemenkes RI, 2013b). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Salawati dan Amalia (2010) dalam penelitiannya tentang perilaku merokok mahasiswa, dijelaskan beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku merokok tersebut. Faktor yang mempengaruhi pertama adalah pengetahuan yang meliputi pengetahuan tentang bahaya merokok, bahan kimia yang terkandung dalam rokok, dan pengaruh rokok terhadap kesehatan, dimana sebagian besar mahasiswa yang merokok memiliki pengetahuan yang baik terkait hal tersebut. Selanjutnya keyakinan terhadap kenikmatan dan manfaat rokok, sebagian besar mahasiswa yang merokok yakin merokok memberikan kenikmatan tersendiri dan memiliki manfaat sebagai hiburan, pereda stress dan membantu berkonsentrasi. Bahkan mahasiswa yang merokok tersebut memiliki keyakinan tentang bahaya merokok terhadap dirinya dan orang lain, namun tetap akan merokok. Sebagian besar mahasiswa termotivasi untuk merokok karena pengaruh pergaulan dan lingkungan sekitar. Mahasiswa juga mendukung bila ada smoking area yang penting ia tetap bisa merokok dan bersikap tidak setuju bila ada petugas kesehatan yang merokok karena dianggap harus memberi teladan. Sebagian besar mahasiswa yang merokok tersebut juga tidak berusaha untuk mencari informasi tentang rokok. Semua mahasiswa
25
tersebut memiliki niat untuk berhenti merokok tetapi merasa hal tersebut sebagai sesuatu yang sulit dilakukan karena sudah ketergantungan terhadap rokok (Salawati dan Amalia, 2010). Ada banyak faktor yang mempengaruhi orang untuk merokok. Pertama faktor pengaruh orang tua, hal ini biasanya terjadi dalam rumah tangga yang tidak bahagia, orang tua yang tidak memperhatikan anaknya, suka memberi hukuman fisik, dan remaja yang melihat orang tua merokok sebagai pelampiasan kekesalan. Faktor kepribadian juga mempengaruhi dimana kondisi mental seseorang yang sedang drop/stres ternyata sangat berpengaruh untuk melarikan diri menuju merokok. Faktor lingkungan juga dapat mempengaruhi orang untuk merokok jika bergaul dengan orang disekitarnya yang banyak merokok maka lama kelamaan dimulai dari pemberian gratis lama-lama akan membeli sendiri karena zat adiktif didalamnya. Selain itu faktor ekonomi dan sosial juga berpengaruh, disamping harganya yang murah rokok juga dengan mudah didapat yang menjadi daya tarik tersendiri bagi pemula. Remaja yang merokok akan merasa lebih percaya diri agar orang disekitarnya menganggap bahwa dia sudah dewasa dan gagah. Faktor terakhir yang berpengaruh yaitu iklan dan ini merupakan faktor yang memberi pengaruh besar karena melalui segala bentuk promosi iklan, produsen rokok dengan mudah dapat mempengaruhi orang untuk merokok (Santosa, 2013).
26
2.5
Keaslian Penelitian
Tabel 2.1 Keaslian Penelitian Indikator Penelitian Efraldo, J.Z
Nasyuruddin, M.F
Penelitian ini
Judul
Implementasi Peraturan Daerah Kota
Implementasi Kawasan Tanpa Rokok
Implementasi peraturan tentang
penelitian
Pontianak No. 10 tahun 2010 tentang
(KTR) di Sekolah (Studi kualitatif pada
Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di
Kawasan Tanpa Rokok di Kecamatan
SMP Negeri 21 Semarang)
Universitas Udayana
Mengetahui permasalahan dalam
Mengetahui gambaran implementasi
Mengetahui implementasi Peraturan
implementasi perda kawasan Tanpa
kawasan tanpa rokok di SMP Negeri 21 Daerah Provinsi Bali Nomor 10 tahun
Rokok di Fakultas Ilmu Sosial dan
Semarang
Pontianak Tenggara Tujuan
Ilmu Politik (FISIP)
2011 tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di Universitas Udayana
Desain
Deskriptif dengan pendekatan kualitatif
Deskriptif dengan pendekatan kualitatif
Deskriptif dengan pendekatan campuran
Unit analisis
Kebijakan yang diidealkan, kelompok
Pengetahuan terkait KTR, sikap
Gambaran pengetahuan kelompok
sasaran, organisasi pelaksana, dan
terhadap KTR, sumber daya pendukung sasaran terkait KTR, kepatuhan dalam
faktor lingkungan
KTR, proses sosialisasi KTR, SOP
implementasi kebijakan KTR, dukungan
implementasi KTR, komitmen sekolah,
kelompok sasaran dalam implementasi
bimbingan dan motivasi.
kebijakan KTR, hambatan dalam implementasi kebijakan KTR
27
Lanjutan Tabel 2.1 Keaslian Penelitian Indikator Penelitian Efraldo, J.Z
Nasyuruddin, M.F
Penelitian ini
Subyek
Dekan, mahasiswa, dosen, pegawai, kepala seksi
Kepala TU, Urs. Kesiswaan, Kepala
Dosen, karyawan administrasi,
penelitian
pencegahan PTM, pegawai puskesmas, satpol PP,
sekolah, Urs. Sarana prasarana, wakil
pedagang di kantin/koperasi, satpam,
kondisi budaya, sosial, dan ekonomi.
kepala sekolah, Urs. Humas, Urs.
cleaning service, dan mahasiswa.
Kurikulum Pengumpulan Wawancara, observasi, dan dokumentasi
Wawancara mendalam dan observasi
Wawancara mendalam dan observasi
Transkrip, reduksi data, penyajian data,
Analisis data kuantitatif menggunakan
dan verifikasi
analisis univariat, kualitatif dengan data
data Analisis data
Content analysis
reduction, data display, dan conclusing drawing/verification Hasil
Dekan belum mengetahui kewajibannya dalam
Pengetahuan kurang, sumber daya
KTR, belum ada tanda larangan sehingga sasaran
kurang mendukung, sosialisasi tidak
belum mengetahui kampus ditetapkan sebagai
optimal, belum ada SOP, komitmen
KTR, belum pernah dilakukan monitoring dan
sekolah kurang, tidak ada bimbingan dan
survey kepatuhan, kurangnya peran aktif untuk
pengawasan menyebabkan implementasi
menegur, kantin yang masih menjual rokok.
KTR tidak berjalan efektif