BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Bank
2.1.1 Pengertian Bank menurut pasal 1 UU Nomor 4 tahun 2003 tentang perbankan mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan bank adalah : “Bank adalah Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.” Menurut Kasmir (2003) bank didefinisikan sebagai berikut : “Bank merupakan lembaga keuangan yang kegiatan usahanya adalah menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkan kembali dana tersebut kepada masyarakat serta memberikan jasa-jasa bank lainnya.” Dan menurut Jerry Rosenberg dalam Dictionary of Banking and Financial Service yang dikutip oleh Taswan (2006) yang disebut bank sebagai berikut : “Bank adalah lembaga yang menerima simpanan giro, deposito dan membayar atas dasar dokumen yang ditarik pada orang atau lembaga tertentu, mendiskonto surat berharga, memberikan pinjaman dana, menanamkan dananya dalam surat berharga.” Dari beberapa pengertian di atas maka disimpulkan bahwa ada tiga aktivitas bank yang utama, yaitu menghimpun dana, menyalurkan dana, dan memberikan jasa bank lainnya. Bank merupakan perusahaan yang bergerak dalam bidang keuangan, yang artinya aktivitas perbankan selalu berkaitan dalam bidang keuangan.Sehingga bank tidak terlepas dari masalah keuangan. Sangat jelas bahwa bank berfungsi sebagai penghimpun dana dari masyarakat, bank memperkenalkan berbagai bentuk produk jasa perbankan. Dari
hasil penghimpunan dana tersebut, bank menyalurkan kembali kepada masyarakat ataupihak yang memerlukan dalam bentuk pinjaman (kredit). Perbankan indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian (prudential banking), dan memiliki peranan yang strategis untuk pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional kearah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak. Menurut penjelasan di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 tentang perbankan, fungsi perbankan adalah : 1.
Pasal 3 : Fungsi utama perbankan Indonesia adalah sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat.
2.
Pasal 4 : Perbankan Indonesia bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan
nasional
dalam
rangka
meningkatkan
pemerataan,
pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional kearah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak.
Siamat (2004) mengatakan bahwa : “Bank dalam menjalankan usahanya menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya kembali dalam berbagai bentuk investasi.” Abdurrachman (Dendawijaya,2005), mengatakan bahwa : “Bank dapat melaksanakan berbagai macam jasa, seperti memberikan pinjaman, mengedarkan mata uang, pengawasan terhadap mata uang, bertindak
sebagai
tempat
penyimpanan
membiayai perusahaan, dan lain-lain.”
benda-benda
berharga,
Budisantoso dan
Triandaru (2006), menjelaskan fungsi bank adalah
sebagai berikut : 1.
Agent of Trust, atau lembaga berlandaskan kepercayaan (trust) masyarakat untuk bersedia menyimpan dananya dibank maupun kepercayaan bank terhadap debitur dalam penyaluran kreditnya.
2.
Agent of development, atau lembaga yang memobilisasi dana untuk pembangunan ekonomi dalam bentuk operasional kegiatan masyarakat yang berkaitan dengan sektor riil yang sangt terkait erat dengan kegiatan ekonomi masyarakat. Perekonomian akan tumbuh dengan baik apabila peran agent og development dari bank dapat terlaksana dengan baik.
3.
Agent of servis, adalah lembaga yang memobilisasi dana untuk pembangunan ekonomi dalam hal penawaran jasa perbankan, dalam bentuk pengiriman uang, penitipan barang berharga dan atau pemberian jaminan bank. Jadi dapat disimpulkan bahwa bank adalah badan usaha tempat
menghimpun sejumlah dana dari masyarakat yang memiliki kelebihan dana yang nantinya akan disalurkan kembali pada masyarakat yang membutuhkan dana, dan diharapkan
dapat
menciptakan
stabilitas
nasional
kearah
peningkatan
kesejahteraan rakyat banyak. Bank menjadi sangat penting dan berperan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi suatu bangsa karena bank merupakan sendi kemajuan masyarakat, oleh karena itu sebaiknya masyarakat memanfaatkan jasa-jasa perbankan dalam kegiatan usahanya dengan sebaik-baiknya. 2.1.2 Merger 2.1.2.1 Pengertian dan motif Merger Merger
merupakan
stategis
bisnis
yang
diterapkan
dengan
menggabungkan antara dua atau lebih perusahaan yang setuju menyatukan kegiatan opersionalnya dengan basis yang relatif seimbang, karena mereka memiliki sumber daya dan kapabilitas yang secara bersama-sama dapat menciptakan keunggulan kometitif yang lebih kuat, (Hitt. et.al., 2000).
Merger merupakan salah satu strategi yang diambil perusahaan untuk mengembangkan dan menumbuhkan perusahaan. Merger berasal dari kata “mergere” (Latin) yang artinya (1) bergabung bersama, menyatu, berkombinasi (2) menyebabkan hilangnya identitas karena terserap atau tertelan sesuatu. Merger didefinisikan sebagai penggabungan dua atau perusahaan yang kemudian hanya ada satu perusahaan yang tetap hidup sebagai badan hukum, sementara yang lainnya menghentikan aktivitasnya atau bubar. Merger adalah sebagai penggabungan (fusi) atau suatu proses peleburan (absorbsi) dari suatu benda kepada benda atau hak lain. Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas menggunaka istilah “penggabungan” untuk pengertian merger ini. Ditegaskan oleh Coyle (2000) dengan bahasan sebagai berikut : “Merger can be define in board as well as narrow term. In its broades definition, a merger can refer to any take over of a company by another, when the bussiness of each company are brought together as one. A more narrow definition is the coming together of two company of roughly equal size, pooling the sources into a single bussiness.”
Menurut Hasibuan (2007), Merger Bank adalah penggabungan dari dua bank atau lebih dengan cara tetap mempertahankan berdirinya salah satu bank dan membubarkan bank-bank lainnya tanpa melikuidasi terlebih dahulu. Menurutnya merger bank dapat dikatergorikan kedalam tiga jenis, yaitu :
1.
Merger Horizontal, yaitu penggabungan dua bank atau lebih dengan status yang sama menjadi satu bank. Misalnya Bank Umum A merger dengan Bank Umum B menjadi Bank Umum A dan membubarakan Bank Umum B.
2.
Merger Vertikal, yaitu penggabungan dua bank atau lebih dengan status yang tidak sama menjadi satu bank. Misalnya Bank Umum X merger dengan Bank BPR Y menjai Bank Umum X dan membubarkan Bank BPR Y.
3.
Merger Konglomerat, yaitu penggabungan dua bank atau lebih yang satu sama lainnya tidak memiliki hubungan secara lini. Misalnya bank-bank yang merger tersebut bukanlah bank yang berada dalam grup yang sama. Dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor : 8/17/PBI/2006 Tentang
Insentif Dalam Rangka Konsolidasi Perbankan pasal 1 ayat 2 menjelaskan bahwa Merger adalah penggabuangan dari dua bank atau lebih, dengan cara tetap mempertahankan berdirinya salah satu bank dan membubarkan bank-bank lainnya tanpa melikuidasi lebih dahulu. Jadi
pada
dasarnya
merger
adalah
suatu
keputusan
untuk
mengkombinasikan / menggabungkan dua atau lebih perusahaan menjadi perusahaan baru. Dalam konteks bisnis, merger adalah suatu transaksi yang menggabungkan beberapa unit ekonomi menjadi satu unit ekonomi yang baru. Proses merger umumnya memakan waktu yang cukup lama, karena masingmasing pihak perlu melakukan negosiasi, baik terhadap aspek-aspek permodalan maupun aspek manajemen, sumber daya manusia, serta aspek hukum dari perusahaan yang baru tersebut. Oleh karena itu, penggabungan usaha tersebut dilakukan secara drastis yang dikenal dengan akuisisi atau pengambilalihan suatu perusahaan oleh perusahaan lain. Pada prinsipnya terdapat dua motif yang mendorong sebuah perusahaan melakukan merger yaitu yaitu motif ekonomi dan motif non-ekonomi. Motif ekonomi berkaitan dengan esensi tujuan perusahaan yaitu meningkatkan nilai perusahaan atau memaksimumkan kemakmuran pemegang saham. Disisi lain, motif non-ekonomi adalah motif yang bukan didasarkan pada esensi tujuan perusahaan tersebut,tetapi didasarkan pada keinginan subyektifatau ambisi pribadi pemilik atau manajemen perusahaan.(Moin,2003). Menurut Pringle & Haris (1987), motif merger meliputi sekitas 11 aspek, yakni : (1) cost saving, (2) monopily power, (3) auditing bankruptcy, (4) tax consideration, (5) retirement planning, (6) diversificaion, (7) increased debt capacity, (8) undervalued asset, (9) manipulation earning`s per share, (10) management desires, dan (11) replacing inefficient management.
Dengan demikian, motif perusahaan–perusahaan untuk melakukan merger sebenarnya didasarkan atas pertimbangan ekonomis dan dalam rangka memenangkan persaingan dalam bisnis yang semakin kompetitif. Cost saving dapat dicapai karena dua atau lebih perusahaan yang memiliki kekuatan berbeda melakukan penggabungan, sehingga mereka dapat meningkatkan nilai perusahaan secara bersama-sama. Motif
lain dilakukannya merger adalah monopoly power. Suatu
perusahaan besar melakukan merger dengan perusahaan yang level bisnisnya lebih kecil atau setara akan memberikan kesan bahwa perusahaan tersebut memiliki kemampuan lebih, baik dalam aset maupun dalam managerial skillnya. Dengan melakukan merger, maka kemampuan aset semakin besar, dengan begitu ia akan mampu melakukan operasi pada skala yang lebih ekonomis. Konsekuensinya, perusahaan hasil merger tersebut dapat menurunkan cost pe unitnya, sehingga harga jual barang atau jasa per unit dapat ditekan lebih rendah. Kondisi ini pada gilirannya dapat menambah pangsa pasar (market share) dan menjadi market leader dalam industri dimana perusahaan tersebut berada. Merger juga dimaksudkan untuk menghindarkan perusahaan dari resiko bangkrut, dimana kondisi salah satu atau kedua perusahaan yang ingin bergabung sedang dalam ancaman bangkrut. Penyebabnya bisa karena miss manajemen atau karena faktor-faktor lain seperti kehilangan pasar, keusangan teknologi dan atau kalah bersaing dengan perusahaan-perusahaan lainnya. Melalui merger, kedua perusahaan tersebut akan bersama-sama menciptakan strategi baru untuk menghindari resiko bangkrut. Merger juga dilakukan denga maksud untuk memanfaatkan insentiftax yang diberikan karena adanya kebijakan baru dibidang perpajakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Misalnya, ada produk tertentu yang oleh undangundang perpajakan atau peraturan perpajakan dibebankan dari tax untuk mendorong perkembangan produksi tersebut. Perusahaan-perusahaan yang memproduksi barang/jasa tersebut dapat menjadi incaran perusahaan besar untuk merger dengan motif memanfaatkan fasilitas perpajakan tersebut.
Motif lain dari merger adalah diversifikasi. Pada dasaarnya diversifikasi dimaksukan unruk meminimalkan resiko. Apabila dua atau lebih perusahaan yang berada dalam satu jalur bisnis yang sama melakukan merger, maka sebuah perusahaan baru hasil merger tersebut akan memiliki aneka ragam produk. Mekanisme diversifikasi ini berarti juga membagi resiko perusahaan untuk dipikul oleh jenis produk yang makin banyak, jadi dapat meminimumkan resiko. Dengan demikian, penghasilan yang diharapkan (expected yield) bisa lebih besar. Merger juga diarahkan untuk meningkatkan kemampuan perusahaan dalam memperbesar perolehan pinjaman bank (increased debt capacity). Bank ataupun lembaga kredit lainnya biasa memberikan pinjaman kepada suatu perusahaan dengan mempertimbangkan besarnya aset perusahaan. Semakin tinggi aset perusahaan, jumlah pinjaman yang dapat di realisir juga semakin besar, dan sebaliknya. Dengan demikian melalui merger, perusahaan hasil merger dapat memperluasusahanya melalui peningkatan nilai pinjaman bank. Motif-motif merger yang diuraikan diatas sebenaranya telah menjadi motif umum merger yang dilakukan beberapa negara didunia. Secara teoritis, merger perlu dilakukan karena terjadi positif NPV (Net Present Value) yang dapat meningkatakan nilai pasar. Pada dasarnya kesejahteraan para pengurus perusahaan sangat ditentukan oleh skala perusahaan mereka. Jadi apabila skala perusahaan diperbesar, maka para pengurus perusahaan akan mendapat nilai kesejahteraan yang lebih tinggi. Hipotesis ini dikenal dengan “Manager Utility Maximazation Hypothesis”. Bagi bank-bank besar di beberapa negara maju, seperti Amerika Serikat misalnya,
selaian
aspek
makro
ekonomi
dan
mikro
ekonomi
yang
dipertimbangkan dalam suatu keputusan merger, pihak pemerintah sering kali memperhatikan aspek-aspek yang bersifat struktural, yang meliputi tiga aspek. Pertama, aspek kesehatan dan keamanan. Artinya perusahaan baru hasil merger tersebut harus menjadi perusahaanyang sehat dan aman. Apabila ada perusahaan lama yang tidak sehat, maka harus diupayakan agar penyakit lama tersebuttidak boleh menular keperusahaan hasil meger. Kedua, aspek kompetisi dan konsentrasi. Penggabungan perusahaan tidak boleh berakibat pada semakin
terkonsentrasinya bisnis dalam industri karena tidak bisa mendorong efisiensi didalam
bisnis
tersebut.
Ketiga,
aspek
pelayanan
kepada
masyarakat.
Penggabungan usaha tidak harus mengurangi kualitas pelayanan bank kepada masyarakat luas.
2.1.2.2 Tahapan proses merger Secara umum tahapan proses merger dapat dikelompokan menjadi tiga tahap yaitu pre-merger, at-merger dan post-merger (Simanjuntak,2004). Berikut penjabarannya :
1.
Tahap Pre-Merger (sebelum Merger). Pada tahap ini kegiatan yang dilaksanakan meliputi segala persiapan dalam
pelaksanaan merger baik yang bersifat internal maupun eksternal perusahaan, rinciannya sebagai berikut : a.
Penunjukan Pihak Profesional. Perusahaan yang akan melaksankan merger biasanya harus mencapai kesepakatan untuk menetapkan pihak-pihak yang mempunyai keahlian khusus atau pengalaman yang spesifik yang akan ditunjukan dan terlibat dalam rangkaian proses merger tersebut. Pihak tersebut meliputi Akuntan, Konsultan Hukum, Perusahaan Penilai, Notaris, Konsultan Pajak, dan Penasehat Keuangan. Partisipasi para profesional tersebut diperlukan karena
proses
merger
akan
menghadapi
proses
negosiasi
yang
membutuhkan perpaduan berbagai keahlian dan pendapat beberapa disiplin propesi. b.
Pemeriksaan Hukum (Legal Due Diligence). Mengingat pentingnya pemeriksaan dari aspek hukum ini, peraturan Pasar Modal mensyaratkan adanyasuatu pendapat hukum dari konsultan hukum independen yang terdaftar di Badan Pengawasan Pasar Modal (Bapepam) mengenai aspek hukum dari penggabungan usaha tersebut. Pentingnya pemeriksaan hukum ini untuk mengkonfirmaskan dan merevisi asumsiasumsi yang dipakai sebagai dasar pengambilalihan dari sisi hukum.
c.
Penyusunan
Usulan
Rencana
Penggabungan,
Rancangan
Penggabungan dan Konsep Akta Merger. Tahapan penting setelah pemilihan dan penunjukan pemilihan profesional yang terlibat dalam proses merger adalah penyusunan usualan rencana penggabungan oleh direksi masing-masing perseroan yang melakukan merger dan penyusunan suatu rencana penggabungan oleh direktur perseroan yang melakukan merger secara bersama-sama. Usulan rencana penggabungan tersebut disarankan untuk diputuskan dalam suatu Rapat Direksi karena usulan tersebut merupakan basis dari suatu rancangan penggabungan akta merger. d.
Penyampaian Rancangan Penggabungan Kepada Kreditur. Penyampaian ini diperlukan untuk mendapatkan persetujuan kreditur tersebut terhadap merger perseroan.Sepanjang keberatan kreditur belum diselesaikan maka merger tidak dapat dilaksanakan, jadi kegagalan memperoleh persetujuan kreditur merupakan hal yang dapat menghalangi pelaksanaan merger.
e.
Pelaksanaan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). RUPS mutlak dilakukan dalam transaksi merger, tidak ada transaksi merger tanpa keputusan RUPS. Demikian yang diatur secara tegas dalam Peraturan No. 27 tahun 1998 Undang-Undang Perseroan Terbatas : “Dalam
hal
penggabungan,
peleburan,
pengambilalihan
dan
pembubaran perseroan keputusan Rapat Umum Pemegang Saham sah apabila dihadiri oleh pemegang saham yang mewakili ¾ (tiga per empat)bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara yang sah dan disetujui oleh ¾ (satu per empat) bagian dari jumlah suara yang sah tersebut.”
2.
Tahap At-Merger dan Post-merger. Pada tahapan ini penekanannya adalah proses terjadinya merger itu sendiri
yang berdasarkan Undang-Undang yang berlaku yaitu Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1998, yang selanjutnya fokus pada keberkaitannya dengan akibat
proses hukum dari merger tersebut pada saat merger berlaku efektif yaitu saat peralihan aktiva dan passiva perseroan yang menggabungkan diri “karena hukum” kepada perseroan yang menerima penggabungan (surviving company). a.
Permohonan Persetujuan Menteri Kehakiman atas Perubahan Anggaran Dasar. Apabila suatu merger membawa suatu peubahan anggaran dasar perseroan hasil
mergeryang
diisyaratkan
memperoleh
persetujuan
Menteri
Kehakiman, efektifitas merger tersebut sangat tergantung dari adanya persetujuan tersebut. Untuk selanjutnya di daftarkan dalam daftar perusahaan pada departemen Peridustrian dan Perdagangan serta mengumumkannya dalam tambahan berita negara. Khusus merger bank, izin Bank Indonesia mutlak diperlukan sesuai aturan pada Pasal 17 ayat (3) PP No. 28 Tahun 1999, sebagai berikut : “Menteri Kehakiman hanya dapat memberikan persetujuan atas perubahan anggaran dasar bank hasil merger setelah memperoleh tenbusan ijin merger dari Bank Indonesia.” b.
Pelaporan Kepada Menteri Kehakiman atas Perubahan anggaran Dasar. Merger sebenarnya juga dapat berlaku efektif sekalipun tanpa persetujuan Menteri Kehakiman dalam hal merger tersebut hanya mengakibatkan terjadinya pengubahan anggaran dasar yang tidak mensyaratkan suatu persetujuan Menteri Kehakiman ini berlaku efektif pada saat dilakukannya pendaftaran akta merger dan akta pengubahan anggaran dasar dalam perusahaan. Pada saat pendaftaran ini perseroan yang menggabungkan diri menjadi bubar tanpa didahului dengan likuidasi. Untuk merger bank jenis ini tetap memerlukan ijin Bank Indonesia dan apabila ijin tersebut tidak ada Menteri Kehakiman tidak akan mengeluarkan persetujuan.
c.
Penandatanganan Akta Merger. Keberlakuan dan efektifitas suatu merger dapat terjadi tanpa adanya persetujuandan tanpa adanya pelaporan kepada pemerintah. Depatemen Kehakiman dan HAM serta Departemen Perindustrian dan Perdagangan
namun tidak tanpa penandatanganan akta merger. Merger jenis ini dipilih oleh perseroan yang akan merger memiliki keinginan yang sama untuk menyelesaikan penggabungan dalam waktu yang relatif singkat untuk tujuan praktis tertentu. d.
Pendaftaran dalam Daftar Perusahaan dan Pengumuman dalam Berita Negara. Direksi Perseoan yang menerima penggabungan wajib mendaftarkan pengubahan anggaran dasar perseroan hasil merger yang telah disetujui Menteri Kehakiman yang dilanjutkan dengan pengumuman pengubahan anggaran dasar perseroan hasil merger tersebut.
e.
Pengumuman Merger dalam Surat Kabar. Direksi perseroan hasil merger wajib mengumumkan hasil merger dalam 2 (dua) surat kabar harian paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal berlakunya merger.
f.
Peralihan Hak dan Kewajiban demi Hukum. Pada saat berlaku efektifnya merger, terdapat 2 (dua) akibat yang penting yaitu peralihan seluruh aktiva dan passiva perseroan yang menggabungkan diri kepad perseroan yang menerima penggabungan dan bubarnya perseroan yang menggabungkan diri tanpa didahului dengan suatu likuidasi. Dengan bubanrnya perseroan “demi hukum” ini membawa konsekuensi perseroan tersebut tidak dapat lagi melakukan fungsinya untuk mengikatkan diri terhadap pihak ketiga dan tidak lagi memiliki kekayaan (aktiva) dan kewajiban (passiva) yang telah dialihkan kepada perseroan yang menerima penggabungan.
2.1.2.3 Keunggulan dan Kelemahan Merger Alasan mengapa perusahaan melakukan merger adalah ada “manfaat lebih” yang diperoleh darinya, meskipun asumsi ini tidak semuanya terbukti. Secara spesifik, keunggulan dan manfaat meger antara lain adalah : (Moin,2003) a)
Mendapatkan chas flow dengan cepat karena produk dan pasar sudah jelas.
b)
Memperoleh kemudahan dana atau pembiayaan karena kreditur lebih percaya dengan perusahaan yang telah berdiri dan mapan.
c)
Memperoleh karyawan yang telah berpengalaman.
d)
Mendapatkan pelanggan yang telah mapan tanpa harus merintis dari awal.
e)
Memperoleh sistem operasional dan administratif yang mapan.
f)
Mengurangi resiko kegagalan bisnis karena tidak harus mencari konsumen baru.
g)
Menghemat waktu untuk memasuki bisnis baru.
h)
Memperoleh infrastruktur untuk mencapai pertumbuhan yang lebih cepat. Disamping memiliki keunggulan, merger juga memiliki kelamahan
sebagai berikut ; a)
Proses integrasi yang tidak mudah.
b)
Kesulitan menentukakn nilai perusahaan target secara akurat.
c)
Biaya konsultan yang mahal.
d)
Meningkatnya kompleksitas birokasi.
e)
Biaya koordinasi yang mahal.
f)
Seringkali menurunkan moral organisasi.
g)
Tidak menjamin peningkatan nilai perusahaan.
h)
Tidak menjamin peningkatan kemakmuran pemegang saham.
2.1.2.4 Faktor-faktor Kegagalan Merger Keberhasilan atau kegagalan merger dapat dilihat pada saat proses perencanaan. Pada saat proses ini biasanyaterjadi sundut pandang yang berbedabeda antara fungsi organisasi dalam menanggapi pengambilan keputusan merger seiring
dengan
meningkatnya
momentum,
selanjutnya
terjadi
rancunya
pengharapan dimana terjadi perbedaan-perbedaan harapan dipihak manajemen. Dari proses tersebut dapat memunculkan faktor-faktor yang memicu kegagalan merger, yaitu : a)
Perusahaan target memiliki kesesuaian strategi yang rendah dengan perusahaan pengambilalih.
b)
Hanya mengandalkan analisis strategik yang baik tidaklah cukup untuk mencapai keberhasilan merger.
c)
Tidak adanya kejelasan mengenai nilai yang tercipta dari setiap program merger.
d)
Pendekatan - pendekatan integrasi yang tidak disesuaikan dengan perusahaan target yaitu absorbsi, preservasi atau simbiosis.
e)
Rencana integrasi yang tidak disesuaikan dengan kondisi lapangan.
f)
Tim negosiasi yang berbeda dengan tim implementasiyang akan menyulitkan proses integrasi.
g)
Ketidakpastian, ketakutan dan kegelisahan diantara staf perusahaan yang tidak ditangani. Untuk itu tim implementasi dari perusahaan pengambilalih harus menangani masalah tersebut dengan kewibawaan, simpati dan pengetahuan untuk menumbuhkan kepercayaan dan komitmen mereka pada proses integrasi.
h)
Pihak
pengambilalih
tidak
mengkomunikasikan
perencanaan
dan
pengharapan mereka terhadap karyawan perusahaan target sehingga terjadi kegelisahaan diantara karyawan.
2.1.3 Kinerja Keuangan 2.1.3.1 Pengertian kinerja Pengertian kinerja menurut kamus istilah akuntansi (2003) adalah sebagai berikut : “Kinerja atau performance adalah suatu istilah umum yang digunakan untuk sebagian atau seluruh tindakan aktivitas dari suatu organisasi pada suatu periode, sering dengan referensi pada sejumlah standar seperti biaya-biaya masa lalu atau yang diproyeksikan, suatu dasar efisiensi, pertanggungjawaban atau akuntabilitas manajemen dan semacamnya.” Sedangkan menurut Hansen dan Mowen (2000) pengertian kinerja adalah : “Kinerja adalah tingkat konsistensi dan kebaikan fungsi-fungsi produk.”
Dalam mengukur kinerja terdapat tiga macam ukuran yang dapat digunakan, yaitu : a)
Ukuran kriteria tunggal adalah ukuran kinerja yang hanya menggunakan satu ukuran untuk menilai kinerja.
b)
Ukuran kriteria ganda adalah ukuran kinerja yang menggunakan berbagai macam ukuran untuk menilai.
c)
Ukuran kinerja gabungan adalah ukuran kinerja yang menggunakan berbagai macam ukuran, memperhitungkan bobot masing-masing ukuran dan menghitung rata-ratanya sebagai ukuran menyeluruh kinerja. Kinerja merupakan cerminan dari kemampuan perusahaan dalam
mengelola dan mengalokasikan sumber dayanya. Kinerja perusahaan bukan saja dipengaruhi oleh faktor-faktor internal perusahaan tetapi juga faktor-faktor eksternal antara lain meliputi kondisi perekonomian secara umum, stabilitas dalam sosial, ekonomi dan budaya, serta kebijakan pemerintah. Industri perbankan meruapak sektor perekonomian yang sangat banyak dipengaruhi oleh berbagai kebijakan yang dikeluarkan pemerintah. Faktor-faktor eksternal tersebut merupakan faktor yang controllable sehingga kemampuan manajemen dalam pengelolaan perusahaan merupakan faktor kunci yang paling mnenetukan kinerja perusahaan.
2.1.3.2 Penilaian kinerja Pengertian penilaian kinerja
menurut Sundjaja dan Barlian (2003)
pengertian penilaian kinerja adalah : “Rasio penilaian kinerja adalah penentuan secara periodik efektivitas operasional suatu organisasi., bagian organisasi dan karyawan berdasarkan sasaran, standar dan kriteria yang telah ditentukan sebelumnya baik oleh perusahaan maupun manajemen puncak.” Menurut Mulyadi (1997:419), penilaian kinerja adalah penentuan secara periodik efektivitas operasional satu organisasi, bagian organisasi, dan karyawannya berdasarkan sasaran, standard on criteria yang telah ditetapkan
sebelumnya. Penilaian kinerja adalah usaha yang dilakukan oleh manajemen perusahaan untuk mengevaluasi hasil-hasil dari aktivitas yang telah dilakakuan perusahaan dalam periode tertentu yang kemudian dibandngkan dengan standar yang telah ditetapkan. Penilain kinerja perusahaan dapat dilihat dari sisi operasional maupun keuangan. 2.1.3.3 Tujuan dan manfaat penilaian kinerja Pengukuran kinerja merupakan suatu hal yang penting dalam proses perencanaan dan pengendalian. Menurut Mulyadi (1997), tujuan pokok dari penilaian kinerja adalah untuk memotivasi karyawan dalam mencapai sasaran organisasi dan dalam memenuhi standar perilaku yang telah ditetapkan sebelumnya agar membuahkan tindakan dan hasil yang diinginkan. Secara umum tujuan suatu perusahaan mengadakan pengukuran kinerja adalah untuk : 1)
Menetapkan kontribusi masing-masing divisi atau perusahaan secara keseluruhan atau kontribusi masing-masing subdivisi dari suatu divisi (evaluasi ekonomi atau segmen).
2)
Memberikan dasar untuk mengevaluasi kualitas kerja masing-masing manager divisi (evaluasi manajerial).
3)
Memotivasi para manager divisi supaya konsisten mengoperasikan divisinya sesuai dengan tujuan pokok perusahaan (evaluasi operasi). Adapun manfaat dari penilaian kinerja perusahaan adalah sebagai berikut :
a)
Untuk mengukur prestasi yang dicapai oleh suatu organisasi dalam suatu periode tertentu yang mencerminkan tingkat keberhasilan pelaksanaan kegiatannya.
b)
Selain digunakan untuk melihat kinerja organisasi secara keseluruhan, maka pengukuran kinerja juga dapat digunakan untuk menilai kotribusi suatu bagian dalam pencapain tujuan perusahaan secara keseluruhan perusahaan tersebut dilikuidasi baik kewajiban keuangan jangka panjang maupun jangka pendek.
c)
Dapat digunakan sebagai dasar penentuan strategi perusahaan untuk masa yang akan datang.
d)
Memberikan petunjuk dalam pembuatan keputusan dan kegiatan organisasi pada umumnya dan divisi atau bagian organisasi pada khusunya
e)
Sebagai dasar penentuan kebijaksanaan penanaman modal agar dapat meningkatkakn efisiensi dan produktivitas perusahaan. Untuk menilai kinerja perusahaan diperlukan pemeriksaan dan analisis
laporan keuangan. Laporan keuangan perusahaan melaporkan prestasi historis dari suatu perusahaan dan memberikan dasar keberadaan ekonomi perusahaan saat ini dan membuat proyeksi serta peramalan keadaan perusahaan dimasa depan. Laporan keuangan disusun untuk menyediakan informasi keuangan suatu perusahaan kepada pihak-pihak yang berkepentingan sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan.
2.1.3.4 Kinerja Keuangan Bank Pengertian kinerja berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001). Kinerja diartikan sebagai “sesuatu yang dicapai, prestasi yang diperlihatkan, kemampuan kerja (tentang peralatan). Berdasarkan pengertian tersebut kinerja keuangan didefinisikan sebagai prestasi manajemen, dalam hal ini manajemen keuangan dalam mencapai tujuan perusahaan yaitu menghasilkan keuntungan dan meningkatkan nilai perusahaan. Analisis kinerja keuangan dalam penelitian ini bertujuan untuk menilai implementasi strategi perusahaan dalam hal merger.
Kinerja keuangan dapat diukur dengan efisiensi, sedangkan efisiensi bisa diartikan rasio perbandingan antara masukan dan keluaran. Dengan pengeluaran biaya tertentu diharapkan memperoleh hasil yang optimal atau dengan hasil tertentu diharapkan mengeluarkan biaya seminimal mungkin. Kinerja keuangan perusahaan diukur dari efisiensinya diproyeksikan dengan beberapa tolak ukur yang tercermin didalam keuangan. (Machfoedz,1999) Dalam mengukur kinerja suatu bank terdapat suatu tolak ukur yang dapat dijadikan standar dalam pengukuran yaitu sistem penilaian yang ditetapkan oleh Bank Indonesia melalui Surat Edaran Bank Indonesia No. 3/30/DPNP tanggal 14 Desember 2001 mengenai Pedoman Perhitungan Rasio Keuangan.
Surat Edaran Bank Indonesia tersebut merupakan tindak lanjut dari SK Direksi Bank Indonesia No. 26/23/KEP/DIR dan Surat Edaran Bank Indonesia No. 26/5/BPPP Tanggal 29 Mei 1993 yang antara lain menyatakan tingkat kesehatan bank merupakan kepentingan semua pihak yang terkait baik pemilik dan pengelola bank, masyarakat pengguna jasa bank, maupun Bank Indonesia sebagai pembina bank. Masing-masing pihak perlu meningkatkan kesadaran diri secara bersama-sama berupaya untuk mewujudkan bank yang sehat.( dspace.widyatama.ac.id/jspui/bitstream/10364/639/1/content.pdf) Untuk
mengukur
kinerja
keuangan
bank
yang
sehat
biasanya
menggunakan berbagai alat ukur. Salah satu alat ukur utama yang juga digunakan oleh penulis untuk menentukan kondisi suatu bank dikenal dengan nama analisis CAMEL. Analisis ini terdiri dari capital, asset quality, management, earning, dan likuidity. Hasil dari aspek-aspek ini kemudian akan menghasilkan kondisi suatu bank.
2.1.4
Metode CAMEL
2.1.4.1 Konsep Metode CAMEL Dengan semakin meningkatnya kompleksitas usaha dan profil resiko, bank perlu mengidentifikasi permasalahan yang mungkin timbul dari operasional bank. Bagi perbankan, hasil akhir penilaian kondisi bank tersebut dapat digunakan sebagai salah satu sarana dalam menetapkan strategi usaha di waktu yang akan datang sedangkan bagi Bank Indonesia antara lain digunakan sebagai sarana penetapan dan implemetasi strategi pengawasan bank oleh Bank Indonesia. Penilaian tingkat kesehatan bank dengan metode CAMEL merupakan hasil penilaian kualitatif atas berbagai aspek yang berpengaruh terhadap kondisi atau kinerja suatu bank melalui penilaian faktor permodalan, kualitas aset, menajemen, rentabilitas dan likuiditas. Sistem penilaian menurut Surat Edaran Bank Indonesia No. 6/23/DNDP Tanggal 31 Mei 2004 tentang Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum, ada tiga cara pendekatan faktor kualitatif, yaitu :
1.
CAMEL (Capital, Asset, Management, Earning, Likuidity) yang berlaku diseluruh sistem perbankan di Indonesia. CAMEL adalah pendekatan kualitatif yang menilai berbagai aspek yang berpengaruh terhadap kondisi dan perkembangan suatu bank dengan meneliti faktor-faktor permodalan, kualitas aktiva produktif, manajemen, rentabilitas, dan likuiditas yaitu dengan mewajibkan Bank Umum untuk menjaga kesehatannya melalui pengendalian modala (ATMR dan CAR), rasio aset terhadap Total Earning Asset, penyediaan candangan aktiva produktif, kemampuan manajemen, rentabilitas dan likuiditas. Setiap faktor yang dinilai dari beberapa komponen yang dikuantifikasi dan diberi bobot sesuai dengan besarnya pengaruh terhadap kesehatan bank. Penilaian terhadap faktor CAMEL ini dilakukan dengan mengkuantifikasikan beberapa komponen penting dari masing-masing faktor yang seluruhnya berjumlah 9 (sembilan) komponen dengan nilai kredit 0 sampai dengan 100.
2.
Keunggulan dalam menunjang program pemerintahan yaitu memenuhi ketentuan Batas Minimum Pemberian Kredit (BMPK) dan posisi devisa netto (PDN). Aspek ini dinilaiatas pemenuhan (compliance) dan pelanggaran
(violation)
terhadap
ketentuan
kehati-hatian
dalam
pengelolaan bank (prudential banking regulation) yang terdiri dari pelanggaran
ketentuan
BMPK
dan
pelnaggaran
ketentuan
PDN.
Pelanggaran atas kedua ketentuan tersebut akan dikenakan sebagai faktor pengurang terhadap total nilai kredit. 3.
Pertimbangan Bank Indonesia terhadap bank yang dinilai atas faktor ketelitian dalam mencegah timbulnya resiko misalnya peselisihan intern, campur tangan pihak luar, dan lain-lain. Berdasarkan pencapaian atas nilai tersebut, bank dapat digolongkan
menjadi : 1)
Sehat (sound), dengan nilai kredit
81 ≤ 100
2)
Cukup (fairly sound), dengan nilai kredit
66 ≤ 80
3)
Kurang sehat (poor)
51 ≤ 65
4)
Tidak sehat (unsound)
0 ≤ 50
Dalam kamus Perbankan (Institut Bankir Indonesia), edisi kedua tahun 1999, disebutkan bahwa CAMEL adalah aspek yang paling banyak berpengaruh terhadap kondisi keuangan bank, yang memperngaruhi pula tingkat kesehatan bank, CAMEL merupakan tolak yang menjadi obyek pemeriksaan bank yang dilakukan oleh pengawasaan bank. Peringkat CAMEL dibawah 81 memperlihatkan kondisi keuangan yang lemah yang ditunjukan oleh neraca bank, seperti rasio kredit tak lancar terhadap total aktiva yang meningkat, apabila hal tersebut tidak diatasi akan menggangu kelangsungan usaha bank, bank yang terdaftar pada pengawasan bank dianggap sebagai bank bermasalah dan diperiksa lebih sering oleh pengawas bank jika dibandingkan dengan bank yang tidak bermasalah. Bank dengan peringkat CAMEL diatas 81 adalah bank dengan pendapatan bank yang kuat dan aktiva tak lancar sedikit, peringkat CAMEL tidak pernah diinformasikan secara luas. Rasio CAMEL menggambarkan suatu hubungan atau perbandingan antara suatu jumlah tertentu dengan jumlah lain. Dengan analisis rasio dapat diperoleh gambaran buruknya keadaan atau posisi keuangan suatu bank.
2.1.4.2 Cara Mengukur Kinerja Keuangan Bank dengan CAMEL Berikut ini adalah langkah-langkah perhitungan kinerja keuangan suatu bank umum yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 31/11/KEP/DIR Tanggal 30 April 1997 dan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 30/277/KEP/DIR Tanggal 19 Maret 1998 perihal Tingkat Kesehatan Bank Umum, yaitu : 1.
Menghitung rasio berdasarkan rumus yang ditetapkan.
2.
Menghitung besarnya nilai kredit atau credit point untuk masing-masing komponen CAMEL.
3.
Mengalikan nilai kredit tersebut dengan bobot masing-masing komponen CAMEL.
4.
Menjumlahkan seluruh komponen CAMEL.
5.
Menetapkan kategori.
Dalam penelitian ini rasio-rasio keuangan yang digunakan adalah CAR, APYDAP, Pemenuhan PPAP, NPM, ROA, BOPO, dan LDR. Faktor-faktor beserta bobot setiap faktor yang diperhitungkan oleh Bank Indonesia dalam menilai kesehatan suatu bank umum tercantum pada lampiran 1 Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 30/277/KEP/DIR Tanggal 19 Maret 1998, seperti dapat dilihat pada Tabel 2.1. Penilaian kinerja keuangan bank pada penelitian ini lebih memfokuskan pada penelitian secara kuantitaif dengan menggunakan rasio-rasio keuangan yang dipilih Bank Indonesia yang dianggap mampu mencerminkan kondisi keuangan suatu bank pada masing-masing kriteria penilaian kinerja keuangan bank yang diperoleh dari Surat Edaran Bank Indonesia No. 3/30/DNDP tanggal 14 Desember 2001 lampiran 14 tentang Pedoman Perhitungan Rasio Keuangan. Namun rasio CAMEL yang digunakan dalam penelitian ini tidak dapat sepenuhnya diterapkan sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia karena keterbatasan data yang tersedia. Oleh karena itu rasio-rasio yang digunakan merupakan rasio CAMEL yang telah disesuaikan atau diproyeksikan.
Tabel 2.1 Penilaian Kesehatan Bank menurut CAMEL No. 1
Faktor yang Dinilai Permodalan
Komponen
Bobot
Rasio modal terhadap aktiva tertimbang 25% menurut resiko
2
Kualitas Aktiva
30%
Produktif Rasio
aktiva
produktif
yang
diklasifikasikan terhadap aktiva produktif Rasio
penyisihan
produktifyang
penghapusan dibentuk
aktiva terhadap 5%
penyisihan penghapusan aktiva produktif yang wajib dibentuk
25%
3
4
Manajemen
25% Manajemen Umum
10%
Manajemen Resiko
15%
Rentabilitas
10% Rasio laba terhadap rata-rata volume usaha Rasio
biaya
operasional
terhadap
pendapatan operasional 5
5%
Likuiditas
5% 10%
Rasio kredit terhadap dana yang diterima oleh bank dalam rupiah dan valuta asing
10%
Sumber : Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 30/277/KEP/DIR Tanggal 19 Maret 1998
Hasil perhitungan rasio-rasio tersebut akan menghasilkan besaran tertentu dalam bentuk nominal. Setelah digabungkan, hasil penilain tersebut dimasukan dalam kategori tertentu yang menunjukan posisi bank tersebut. Kategori berdasarkan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 30/277/KEP/DIR Tanggal 19 Maret 1998 adalah sebagai berikut : 1)
Sehat berkisar diantara 81 sampai dengan 100
2)
Cukup sehat berkisar diantara 66 samapi dengan 80
3)
Kurang sehat berkisar diantara 51 sampai dengan 65
4)
Tidak sehat berkisar dibawah 51
2.1.4.3 Komponen CAMEL 1. Aspek Permodalan (Capital Adequancy) Pengertian modal bank adalah dana yang diinvestasikan oleh pemilik dalam rangka pendirian badan usaha yang dimaksudkan untuk membiayai kegiatan usaha bank disamping memenuhi peraturan yang telah ditetapkan. Modal merupakan faktor yang penting dalam rangka pengembangan usaha dan untuk menampung resiko kerugiannya. Modal berfungsi untuk membiayai operasi, sebagai instrumen untuk mengantisipasi rasio, dan sebagai alat untuk ekspansi usaha. Dalam perkembangan kegiatan operasi perusahaan, modal tersebut dapat
berkurang akibat terjadinya kegagalan atau kerugian usaha. Modal juga dapat bertambah dari keuntungan usaha atau sumber lain yang diperoleh. Penelitian aspek permodalan suatu bank lebih dimaksudkan untuk mengetahui bagaimana atau berapa modal bank tersebut telah memadai untuk menunjang kebutuhannya. Dalam aspek ini yang dinilai adalah permodalan yang dimilki oleh bank yang didasarkan kepada kewajiban penyedia modal minimum bank. Kecukupan modal dalam metode CAMEL dianalisis dengan menggunakan leverage ratio dan core cappital to asset ratio. Dalam penelitian kecukupan modal dinilai berdasarkan rasio modal terhadap Aktiva Tertimbang Menurut Resiko (ATMR) yang dinamakan dengan rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) atau Capital Adequacy Ratio (CAR) yaitu sebagai berikut :
𝐶𝐴𝑅 =
𝑀𝑜𝑑𝑎𝑙 𝑏𝑎𝑛𝑘 (𝑖𝑛𝑡𝑖 𝑑𝑎𝑛 𝑝𝑒𝑙𝑒𝑛𝑔𝑘𝑎𝑝 ) 𝐴𝑘𝑡𝑖𝑣𝑎 𝑇𝑒𝑟𝑡𝑖𝑚𝑏𝑎𝑛𝑔 𝑀𝑒𝑛𝑢𝑟𝑢𝑡 𝑅𝑒𝑠𝑖𝑘𝑜 (𝐴𝑇𝑀𝑅 )
× 100%
...(2.1)
CAR adalah rasio yang memperlihatkan seberapa jauh aktiva bank yang mengandung resiko (kredit, penyertaan, surat berharga, tagihan pada bank lain) ikut dibiayai dari dana modal sendiri bank disamping memperoleh dana-dana dari sumber-sumber diluar bank, seperti dana msyarakat, pinjaman (utang), dan lainlain. Dengan kata lain CAR adalah rasio untuk mengukur kecukupan modal yang dimiliki bank untuk menunjang aktiva yang mengandung atau menghasilkan resiko, misalnya kredit yang diberikan. Berdasarkan ketentuan Bank Indonesia, modal bank terdiri dari modal inti dan modal pelengkap. Modal inti terdiri dari modal disetor, agio saham, cadangan umum, cadangan tujuan, laba yang ditahan, laba tahun-tahun yang lalu dan laba tahunan berjalan dikurangi dengan goodwiill dan kekurangan jumlah penyisihan penghapusan aktiva produktif dari jumlah yang seharusnya. Sedangkan modal pelengkap yang terdiri dari cadangan revaluasi, cadangan aktiva tetap, penyisihan penghapusan aktiva produktif, modal pinjaman dan pinjaman subordinasi. ATMR adalah aktiva baik yang tercantum dalam neraca maupun yang bersifat administratif sebagaimana tercermin pada kewajiban yang masih bersifat
kontijen dan atau komitmen yang disediakan oleh bank bagi pihak ketiga, dimana aktiva tersebut diberikan bobot resiko yang bobotnya didasarkan pada kadar resiko yang terkandung pada aktiva itu sendiri atau bobot resiko yang didasarkan pada golongan nasabah, penjamin serta sifat agungan dimana semakin tinggi potensi resiko suatu aktiva maka semakin besar pula bobot resiko yang dinyatakan dalam suatu persentase tertentu. Berdasarkan PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 10/ 15 /PBI/2008 TENTANG KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM BANK UMUM, bank wajib menyediakan modal minimum sebesar 8% (delapan persen) dari aset tertimbang menurut risiko (ATMR) sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh Bank for International Settlement (BIS). Penilaian terhadap Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) bank ditetapkan sebagai berikut : a.
Pemenuham KPMM sebesar 8% diberi predikat “sehat” dengan nilai kredit 81, dan untuk setiap kenaikan 0,1% dari pemenuhan KPMM sebesar 8% dinilai kredit ditambah 1 hingga maksimal 100.
b.
Pemenuhan KPMM kurang dari 8% mulai dengan 7,9% diberi predikat “kurang sehat” dengan nilai kredit 65 dan untuk setiap penurunan 0,1% dari pemenuhan KPMM sebesar 7,9% dinilai kredit dikurangi 1 dengan minimal 0. Pemerintah selalu menganjurkan kepada kalangan perbankan agar
memperhatikan
ketentuan
pemerintah
dalam
hal
permodalan
terutama
menyangkut CAR yang mengindikasi kekuatan permodalan perbankan indonesia.
2. Aspek Kualitas Aset (Asset Quality) Kualitas aktiva produktif adalah semua aktiva rupiah atau valas yang dimiliki oleh bank dengan maksud untuk memperoleh penghasilan sesuai dengan fungsinya, yaitu pemberian kredit, kepemilikan sura-surat berharga dan penempatan dana kepada bank lain baik dalam negeri atau luar negeri terkecuali penanaman dana dalam bentuk giro atau penyertaan (Surat Edarn BI No.
3/30/DNDP tanggal 24 Desember 2001). Penilaian kualitas aktiva produktif dapat dilakukan dengan dua rasio, yaitu :
a.
Rasio Aktiva Produktif yang Diklasifikasikan terhadap Aktiva Produktif (APYDAP) Rasio ini digunakan untuk mengetahui perbandingan antara aktiva produktif yang sudah maupun yang tidak berpotensi memberikan penghasilan atau menimbulkan kerugian, yang besarnya ditetapkan sebagai berikut :
i)
50% dari Aktiva Produktif digolongkan Kurang Lancar.
ii)
75% dari Aktiva Produktif digolongkan Diragukan.
iii)
100% dari Aktiva Produktif digolongkan Macet. Rasio ini dirumuskan sebgai berikut :
𝐴𝑃𝑌𝐷𝐴𝑃 =
𝐴𝑘𝑡𝑖𝑣𝑎 𝑃𝑟𝑜𝑑𝑢𝑘𝑡𝑖𝑓 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝐷𝑖𝑘𝑙𝑎𝑠𝑖𝑓𝑖𝑘𝑎𝑠𝑖𝑘𝑎𝑛 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐴𝑘𝑡𝑖𝑣𝑎 𝑃𝑟𝑜𝑑𝑢𝑘𝑡𝑖𝑓
× 100% ...(2.2)
Rasio sebesar 15,5% atau lebih diberi nilai kredit 0, dan untuk setiap penurunan 0,15% mulai dari 15,5% nilai kredit ditambah 1 dengan maksimal 100.
b.
Rasio Pemenuhan Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif Rasio ini digunakan untuk mengetahui seberapa besar tingkat Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP) yang telah diwajibkan untuk dibentuk sesuai dengan ketentuan yang telah tercamtum dalam Surat Edaran BI No. 3/30/DNDP tanggal 24 Desember 2001. Rasio ini menunjukan kemampuan manajemen bank dalam menentukan besarnya PPAP yang telah dibentuk terhadap PPAP yang wajib dibentuk. Semakin besar rasio ini maka kemungkinan bank dalam kondisi bermasalah semakin kecil karena semakin besar PPAP yang telah dibentuk dari PPAP yang wajib dibentuk. Perhitungan PPAP yang wajib dibentuk sesuai dengan ketentuan Kualitas Aktiva Produktif yang berlaku. Rasio ini dirumuskan sebagai berikut :
𝑃𝑒𝑚𝑒𝑛𝑢𝑎𝑛 𝑃𝑃𝐴𝑃 =
𝑃𝑃𝐴𝑃 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑡𝑒𝑙𝑎 𝑑𝑖𝑏𝑒𝑛𝑡𝑢𝑘 𝑃𝑃𝐴𝑃 𝑤𝑎𝑗𝑖𝑏 𝑑𝑖𝑏𝑒𝑛𝑡𝑢𝑘
× 100%
...(2.3)
Rasio penyisihan penghapusan aktiva produktif yang dibentuk oleh bank terhadap penyisihan aktiva produktif yang dibentuk oleh bank sebesar 0% diberi nilai kredit 0 dan untuk setiap kenaikan 1% dimulai dari 0, nilai kredit ditambah 1dengan maksimal 100.
3. Aspek Manajemen (Management) Kualitas manajemen menunjukan kemampuan manajemen bank untuk mengidentifikasi, mengukur, mengawasi dan mengontrol resiko-resiko yang timbul melalui kebijakan-kebijakan dan strategi untuk mencapai target. Aspek manajemen ini dinilai dengan cara kuantifikasikan pelaksanaan manajemen, meliputi beberapa komponen yaitu manajemen permodalan, manajemen kualitas aktiva produktif, manajemen umum, manajemen rentabilitas, dan manajemen likuiditas. Aspek manajemen pada penilaian kinerja bank tidak dapat menggunakan pola yang ditetapkan Bank Indonesia, tetapi diproksikan dengan Net Profit Margin (NPM), kemudian diberi skala dengan melakukan distribusi frekuensi atas NPM
masing-masing
bank
(Riyadi,2004).
Alasannya
seluruh
kegiatan
manajemen suatu bank mencakup manajemen permodalan, manajemen kualitas aktiva produktif, manajemen umum, manajemen rentabilitas, dan manajemen likuiditas pada akhirnya akan mempengaruhi dan bermuara pada perolehan laba.
𝑁𝑒𝑡 𝑃𝑟𝑜𝑓𝑖𝑡 𝑀𝑎𝑟𝑔𝑖𝑛 =
𝐿𝑎𝑏𝑎 𝐵𝑒𝑟𝑠𝑖 𝑃𝑒𝑛𝑑𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑂𝑝𝑒𝑟𝑎𝑠𝑖𝑜𝑛𝑎𝑙
× 100% ...(2.4)
Tahapan distribusi frekuensi (Sudjana;78) adalah sebagai berikut : 1.
Menemukan jumlah kelas interval (k) dengan n = jumlah data k = 1 +3.3logn
2.
Menetukan panjang kelas interval (p) 𝑝=
𝑟𝑒𝑛𝑡𝑎𝑛𝑔 𝑘
3.
Menentukan distribusi frekuensi untuk tiap skala.
4.
Menentukakn nilai kredit dengan mengalikan rasio NPM dengan skala masing-masing kelas interval. NPM adalah rasio yang menggambarkan tingkat keuntungan bank,
dibandingkan dengan pendapatan yang diterima dari kegiatan operasionalnya. Sebagaimana halnya dengan perhitungan rasio sebelumnya, rasio NPM pun mengacu pada pendapatan internasional bank yang terutama berasal dari kegiatan pemberian kredit yang dalam prakteknya memiliki berbagai resiko seperti resiko kredit (kredit bermasalah dan kredit macet), seta kurs valas (jika kredit diberikan dalam bentuk valas).
4. Aspek Rentabilitas (Earning) Rentabilitas adalah kemampuan bank dalam menghasilkan laba atau keuntungan selama periode tertentu, juga bertujuan untuk mengukur tingkat efektivitas manajemen dalam menjalankan operasional perusahaanya. Rentabilitas digunakan untuk menilai keberhasilan bank dalam menghasilkan laba sebelum pajak melalui penanaman yang dilakukan untuk seluruh aktiva yang dimilki. Bank yang sehat adalah bank yang diukur secara rentabilitas terus meningkat diatas standar yang telah ditetapkan. Dalam perhitungan rasio-rasio rentabilitas ini biasanya dicari hubungan timbal balik antar pos yang terdapat pada laporan laba rugi bank dengan pos-pos neraca bank guna memperoleh berbagai indikasi yang bermanfaaat dalam mengukur tingkat efisiensi dan profitabilitas bank yang bersangkutan. Menurut Surat Edaran BI No. 3/30/DNDP tanggal 24 Desember 2001, penilaian ini meliputi rasio laba terhadap total aset (ROA) dan perbandingan biaya operasi dengan pendapatan operasi (BOPO).
a)
Return On Asset (ROA) Rasio ini digunakan utnuk mengetahui tingkat laba setelah pajak
dibandingkan dengan rata-rata tingkat aktiva atau aset yang dimiliki bank. Dengan kata lain, ROA adalah rasio yang digunakan untuk mengukur kemampuan manajemen bank dalam memperoleh keuntungan (laba) secara keseluruhan. Semakin besar ROA suatu bank, semakin besar pula tingkat keuntungan yang dicapai bank tersebut dan semakin baik pula posisi bank tersebut dalam penggunaan aset. Perhitungan rasio ini dirumuskan sebagai berikut :
𝑅𝑒𝑡𝑢𝑟𝑛 𝑂𝑛 𝐴𝑠𝑠𝑒𝑡 =
𝐿𝑎𝑏𝑎 𝑆𝑒𝑡𝑒𝑙𝑎 𝑃𝑎𝑗𝑎𝑘 𝑅𝑎𝑡𝑎 −𝑅𝑎𝑡𝑎 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐴𝑠𝑒𝑡
× 100% ...(2.5)
Dalam rangka mengukur tingkat kesehatan bank ada perbedaan sedikit antara ROA berdasarkan teoritis dan cara perhitungan berdasarkan ketentuan Bank Indonesia. Secara teoritis, laba yang diperhitungkan adalah laba setelah pajak, sedangkan dalan sistem CAMEL laba yang diperhitungkan adalah laba sebelum pajak. Besarnya nilai untuk laba sebelum pajak dapat dilihat pada perhitungan laba rugi yang disusun oleh bank yang bersangkutan, sedangkan total aktiva dapat dilihat pada neraca. Perhitungan kredit dilakukan sebagai berikut : i)
Nilai kredit 0 untuk rasio ROA sebersar 0% atau negatif.
ii)
Setiap kenaikan sebesar 0,015% mulai dari 0, nilai kredit ditambah 1 dengan maksimal 100.
b)
Beban Operasi terhadap Pendapatan Operasi (BOPO). BOPO adalah perbandingan antara beban operasional dengan pendapatan
operasional. Rasio ini digunakan untuk mengukur tingkat efisiensi bank dalam melakukan kegiatan operasinya. Untuk bank syariah, pendapatan operasional bank terdiri atas pendapatan bagi hasil, keuntungan atas kontrak jual beli, fee, biaya administrasi dan lain-lain. Rasio BOPO dirumuskan sebagai berikut :
𝐵𝑂𝑃𝑂 =
𝐵𝑒𝑏𝑎𝑛 𝑂𝑝𝑒𝑟𝑎𝑠𝑖𝑜𝑛𝑎𝑙 𝑃𝑒𝑛𝑑𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑂𝑝𝑒𝑟𝑠𝑖𝑜𝑛𝑎𝑙
× 100%
...(2.6)
Rasio ini diharapkan kecil karena biaya yang terjadi diharapkan dapat tertutup dengan pendapatan operasional yang dihasilkan pihak bank. Besarnya nilai beban operasional maupun pendapatan operasional laporan keuangan laba rugi yang bersangkutan. Perhitungan kredit dilakukan sebagai berikut : i)
Nilai kredit 0 ketika rasio BOPO sebesar 100% atau lebih.
ii)
Setiap penurunan 0,08% mulai dari 100%, nilai kredit ditambah 1 sampai dengan maksimal 100.
5. Aspek Likuiditas (Likuidity) Suatu bank dapat dikatakan liquid apabila bank yang bersangkutan mampu membayar semua hutangnnya terutama hutag-hutang jangka pendek. Dalam hal ini yang dimaksud dengan hutang jangka pendek yang ada didalam bank antara lain simpanan masyarakat seperti simpanan tabungan, giro dan deposito. Dikatakan liquid jika pada saat bank ditagih bank mampu membayar. Kemudian bank juga harus dapat memenuhi semua permohonan kredit yang layak dibiayai. Dalam perbankan, rasio likuiditas terdapat dua macam, yaitu LDR (Loan to Deposit Ratio). LDR adalah rasio antara jumlah seluruh kredit yang diberikan bank dengan dana yang diterima oleh bank. LDR menyatakan seberapa jauh kemampuan bank untuk membayar kembali penarikan dana yang dilakukan deposan dengan mengandalkan kredit yang diberikan sebagai sumber likuiditasnya. Dengan kata lain, seberapa jauh pemberian kredit kepada nasabah kredit dapat mengimbangi kewajiban bank untuk segera memenuhi permintaan deposan yang ingin menarik kembali uangnya yang telah digunakan oleh bank untuk memberikan kredit. Rasio ini dirumuskan sebagai berikut : 𝐿𝐷𝑅 =
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎 𝐾𝑟𝑒𝑑𝑖𝑡 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝐷𝑖𝑏𝑒𝑟𝑖𝑘𝑎𝑛 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎 𝐷𝑎𝑛𝑎 𝑃𝑖𝑎𝑘 𝐾𝑒𝑡𝑖𝑔𝑎
× 100%
...(2.7)
Jumlah kredit yang diberikan dalam rumus diatas adalah kredit / pembiayaan yang diberikan bank yang sudah direalisasikan / ditarik / dicairkan. Dana pihak ketiga meliputi dana simpanan masyarakat yang berupa giro, tabungan, dan berbagai macam deposito. Semakin tinggi rasio tersebut memberikan indikasi semakin rendahnya kemampuan likuiditas bank yang bersangkutan. Hal ini disebabkan karen jumlah dana yang diperlukan untuk membiayai kredit semakin besar. Rasio LDR ini merupakan indikator kerawanan dan kemampuan dari suatu bank. Sebagian praktisi perbankan menyepakati bahwa batas aman dari suatu bank adalah sebesar 80%. Namun batas toleransi berkisar antara 85%-100%. Perhitungan nilai kredit dilakukan sebagai berikut :
i)
Nilai kredit 0 ketika rasio LDR sebesar 115% atau lebih.
ii)
Setiap penurunan 1% mulai dari 0, nilai kredit ditambah 4 sampai dengan maksimal 100.
2.2
Kajian Penelitian Sebelumnya Penelitian mengenai merger dan akuisisi di Indonesia pertama kali
dilakukan oleh Alimin yang meneliti faktor-faktor tertentu yang menpengaruhi merger di Indonesia yaitu: peningkatan skala ekonomis, pengamanan bahan baku, perluasan pasar, penghematan pajak, pemanfaatan kapasitas hutang, peningkatan laba, dan pengurangan persaingan. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa semua faktor tersebut signifikan kecuali faktor pengaman bahan baku dan pemanfaatan kapasitas hutang. Penelitian yang dilakukan oleh Sutrisno (1998) bertujuan untuk melihat reaksi pasar terhadap aktivitas merger dan akuisisi bila diukur dengan harga pasar saham. Penelitian ini menganalisis 57 kasus merger dan akuisisi selama periode Januari 1990 sampai Juni 1997. Hasil analisis menunjukkan penurunan rata-rata harga saham dengan perbedaan yang signifikan antara periode sebelum dan setelah laporan keuangan gabungan. Hal ini memberikan bukti empiris bahwa aktivitas merger dan akuisisi pada perusahaan publik di BEJ secara
signifikan berpengaruh terhadap keputusan investasi investor seperti yang tercerrnin pada harga saham. Payamta dan Nursholikah (2001) dalam penelitiannya yang diukur dengan rasio CAMEL tidak terdapat perbedaan tingkat kinerja bank sebelum dan sesudah merger. Freddy Koesmoyo dan Aida Yulianti (2001) melakukan penelitian kinerja keuangan empat BUMN yang ada di indonesia sebelum dan sesudah go publik. Variabel yang digunakan adalah return on assets (ROA), return on equity (ROE), gross profit margin (GPM), net pofit margin (NPM), operating profit margin (OPM), dan debt to equity ratio (DER). Hasil dari Penelitian tersebut Menunjukkan tidak adanya perubahan yang signifikan antara kinerja perusahaan sebelum dan sesudah go publik. Payamta dan Setiawan (2004) yang meneliti kinerja keuangan perusahaan yang melakukan merger dan akuisisi dari rasio-rasio keuangan dan return saham di sekitar peristiwa terjadi. Hasil penelitiannya menunjukkan rasiorasio keuangan dua tahun sebelum dan sesudah peristiwa merger dan akuisisi tidak mengalami perubahan yang signifikan. Sedangkan abnormal return saham sebelum pengumuman merger danakuisisi positif, namun setelah pengumuman merger dan akuisisi justru negatif. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Widjanarko (2006) yang menunjukkan tidak ada perubahan yang signifikan dari kinerja keuangan perusahaan yang diproksikan dari rasio-rasio keuangan dua tahun sebelum dan sesudah merger dan akuisisi. Penelitian lainnya dilakukan Sutrisno dan Sumarsih (2004) yang meneliti return saham perusahaan yang melakukan merger dan akuisisi dalam jangka panjang yaitu dengan jangka waktu pengamatan satu tahun sebelum dan dua tahun sesudah merger dan akuisisi, menunjukkan hasilnya bahwa merger dan akuisisi memberi pengaruh pada return saham yang bisa bernilai positif dan negatif walaupun tidak signifikan secara statistik. Pradana (2008) Analisis perbandingan kinerja keuangan PT Bank Danamon Indonesia Tbk. sebelum dan sesudah diakuisisi Konsorsium Asia Finance dengan menggunakan metode CAMEL. Hasilnya bahwa kinerja
keuangan bank setelah diakuisisi lebih baik dari pada kinerja keuangan bank sebelum diakuisisi. Lestariningrum (2009) Analisis perbandingan kinerja Bank mandiri dan Bank Permata setelah merger. Hasilnya Nilai CAR, NPL, dan ROA Bank Mandiri lebih baik dari Bank Permata. Sedangkan untuk nilai LDR Bank Pertama lebih baik dari Bank Mandiri.
2.3
Kerangka Pemikiran Tujuan umum perusahaan melakukan merger dengan perusahaan lain
untuk meningkatkan pangsa pasar dan nilai tambah melalui upaya penciptaan efisiensi yang lebih baik, meningkatkan sinergi operasional, sinergi keuangan, strategic realignment, dan bagi bank publik adalah alasan q-ratio. Q-ratio adalah perbandingan kapitalisasi saham perusahaan dengan nilai perolehan (replacement cost) aktiva perusahaan. Perusahaan dengan q-ratio diatas satu menunjukan bahwa manajemen perusahaan tersebut superior. Perusahaan hanya akan mengambil alih perusahaan lain, jika marginal q-ratio di atas satu. Artinya, nilai kapitalisasi saham perusahaan setelah digabung akan lebih tinggi dari pada biaya perolehannya. Dengan demikian, merger tidak akan terjadi jika angka q-ratio setelah merger lebih rendah dari pada angka sebelum merger. Nilai tambah dalam proses merger sering dituliskan dengan simbol 1 + 1 = 3 (Fred,2001). Berdasarkan tujuan merger diatas, jelas bahwa merger tidak hanya dibutuhkan oleh bank yang tidak sehat, namun justru sesama bank sehatpun perlu mempertimbangkan merger. Dalam kondisi intern perbankan maupun makro ekonomi, baik domestik maupun internasional, yang masih lesu seperti saat ini, langkah merger ditanah air tampakan akan banyak terjadi pada bank yang kurang baik. Ketentuan CAR minimal 8% dari Bank for International Settlement (BIS) yang harus diterapkan oleh seluruh bank di Indonesia pada akhir tahun 2001 menjadi pemicu utama bank-bank yang tidak dapat memenuhi ketentuan CAR untuk segera merger. Menurut seorang ekonom dari Australia National University (ANU) Ross McLeod, antara tujuan pemenuhan CAR dengan tujuan melakukan merger
merupakan hal yang tidak saling berkaitan. Bank yang tidak dapat memenuhi CAR minimum sebaiknya tidak perlu dimerger. Apabila pemilik bank tidak sanggup lagi menyuntikkan modal, maka bank tersebut harus segera dijual, kalau perlu dengan negative bid. Dalam kondisi seperti itu, tujuan penjualan bank bukan lagi mencari keuntungan, namun lebih fokus untuk menekan kerugian pemerintah seminimal mungkin. Bagi pembeli bank, kepada yang bersangkutan harus diberikan dua opsi, pertama, apakah pembelilan bank tersebut bertujuan untuk meneruskan bisnis bank (going concern), atau untuk likuidasi (liquidatin value). Apabila pembelilan bank tersebut untuk tujuan going concern, maka pembeli tersebut dalam waktu singkat (misalnya maksimum tiga bulan) wajib menyetorkan modal untuk memenuhi CAR minimum. Ditengah maraknya rencana merger terhadap bank yang tidak sehat, kita tampaknya perlu bank mengkaji peluang merger bagi bank yang sehat untuk mengantisipasi berbagai faktor di masa depan. Pada kurun waktu lima tahun mendatang, berbagai faktor global akan menyebabkan terjadinya pembentukan kembali industri perbankan nasional. Menurut Booz Allen dan Halmiton, faktor global yang menjadi penyebab pembentukan kembali industri perbankan sedikitnya ada lima (five global will shape the future evolution of Indonesia`s Banking System). Pertama, globalisasi, ditandai oleh adanyan peningkatan jumlah bank asing yang beropersi baik langsung atau tidak langsung di Indonesia. Kedua, konsolidasi akan adanya dorongan untuk merger bagi bank didalam negri untuk memperoleh skala usaha yang hemat dan berbiaya rendah. Ketiga, semakin dirasakan adanya proses disintermediasi perbankan karena perusahaan-perusahaan besar akan dapat secara langsung berhubungan engan para kreditur tanpa harus melalui bank. Keempat, perubahan struktur pendapatan bank, bergeser dari dominasi pendapatan dari jasa bank (fee based income). Kelima, pengawasan perbankan yang lebih ketat karena adanya berbagai perturan/regulasi tambahan seperti New Based Capital Accord (2005), Lembaga Asuransi Deposito (2004), Lembaga Baru Pengawasan Perbankan dan sebagainya.
Alasan perusahaan lebih tertarik memilih merger sebagai strateginya daripada pertumbuhan internal adalah karena merger dianggap jalan cepat untuk mewujudkan tujuan perusahaan dimana perusahaan tidak perlu memulai dari awal suatu bisnis baru. Merger juga dianggap dapat menciptakan sinergi, yaitu nilai keseluruhan perusahaaan setelah merger yang lebih besar daripada penjumlahan nilai masing-masing perusahaan sebelum merger. Selain itu merger dapat memberikan banyak keuntungan bagi perusahaan antara lain peningkatan kemampuan dalam pemasaran, riset, skill manajerial, transfer teknologi, dan efisiensi
berupa
penurunan
biaya
produksi.
Dengan
demikian,
tujuan
menggabungkan usaha melalui merger diharapkan dapat meningkatkan kinerja perusahaan. Untuk
mengukur
kinerja
keuangan
bank
yang
sehat
biasanya
menggunakan berbagai alat ukur. Salah satu alat ukur utama yang juga digunakan oleh penulis untuk menentukan kondisi suatu bank dikenal dengan nama analisis CAMEL. Analisis ini terdiri dari capital, asset quality, management, earning, dan likuidity. Hasil dari aspek-aspek ini kemudian akan menghasilkan kondisi suatu bank. Langkah-langkah perhitungan kinerja keuangan suatu bank umum yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 30/11/KEP/DIR Tanggal 30 April 1997 dan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 30/277/KEP/DIR Tanggal 19 Maret 1998 perihal Tingkat Kesehatan Bank Umum. Penilaian kinerja keuangan bank pada penelitian ini lebih memfokuskan pada penilaian secara kuantitatif dengan menggunakan rasio-rasio keuangan yang dipilih Bank Indonesia yang dianggap mampu mencerminkan kondisi keuangan suatu bank. Masing-masing kriteria penilaian kinerja keuangn bank yang diperoleh dari Surat Edaran BI Nomor 3/30/DPNP tanggal 14 Desember 2001 lampiran tentang pedoman perhitungan rasio keuangan. Penelitian Wardiah (2001) memberikan gambaran kinerja bank pemerintah yang melakukan merger. Penilaian kinerja perbankan diukur berdasarkan aspekaspek CAMEL yang meliputi aspek Capital, Asset Quality, Management,
Earnings dan Likudity. Metode penelitian dirancang untuk melihat perbedaan kinerja bank sebelum dan sesudah merger dengan alat analisis uji statistic non parametric yaitu Mann-Whitney Test. Hasil penelitian CAR sesudah merger menunjukkan perbaikan Asset Quality sesudah merger lebih baik dari sebelumnya ini menunjukkan merger mampu mengoptimalkan aktiva yang dimiliki. Sedangkan aspek manajemen diproksi dengan Net Interest Margin ternyata tidak ada perbedaan yang signifikan antara sebelum dan sesudah merger, karena fungsi intermediasi belum pulih. Dari sisi Earning yang diukur dengan ROA juga tidak ada perbedaan yang signifikan sebelum maupun sesudah merger, begitu juga Biaya operasional dan Pendapatan operasional tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan antara sebelum dan sesudah merger. Untuk likuiditas tidak ada perbedaan yang signifikan baik sebelum maupun sesudah merger. Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan diatas, maka penulis mencoba menganalisis perbandingan kinerja keuangan PT. Bank CIMB Niaga sebelum dan sesudah merger dengan menggunakan metode CAMEL selama periode bulan November 2006 sampai bulan November 2010.
KINERJA KEUANGAN BANK METODE CAMEL CAPIT AL CAR
ASSET •APYDAP •Pemenuhan PPAP
KINERJA KEUANGAN SEBELUM MERGER
MANAGEME NT •NPM
PERBANDIN GAN
Gambar 2.1 Skema Kerangka Pemikiran
EARNI NG •ROA •BOPO
LIKUIDIT Y •LDR
KINERJA KEUANGAN SETELAH MERGER
2.4
Pengembangan Hipotesis Kesehatan suatu bank dapat diartikan sebagai kemampuan suatu bank
untuk melakukan kegiatan operasional perbankan secara normal dan mampu memenuhi semua kewajibannya dengan baik dengan cara-cara yang sesuai dengan peraturan perbankan yang berlaku (Susilo, Triandaru, dan Santoso,2000). Penilaian tingkat kesehatan bank ini dapat dilakukan dengan menggunakan metode CAMEL. Metode CAMEL ini diterapkan baik pada bank umum konvensional, bank umum syariah, maupun pada unit usaha syariah. Penilaian tingkat kesehatan bank dengan metode CAMEL merupakan hasil penilaian kualitatif atas berbagai aspek yang berpengaruh terhadap kondisi atau kinerja suatu bank melalui penilaian faktor permodalan misalnya CAR, kualitas aset misalnya APYDAP dan pemenuhan PPAP, manajemen misalnya NPM, rentabilitas misalnya ROA dan BOPO, dan likuiditas misalnya LDR. Penelitian aspek permodalan suatu bank lebih dimaksudkan untuk mengetahui bagaimana atau berapa modal bank tersebut telah memadai untuk menunjang kebutuhannya. Kecukupan modal dalam metode CAMEL dianalisis dengan menggunakan Capital Adequacy Ratio (CAR). CAR adalah rasio untuk mengukur kecukupan modal yang dimiliki bank untuk menunjang aktiva yang mengandung atau menghasilkan resiko, misalnya kredit yang diberikan. Atas dasar pertimbangan dari teori pengaruh merger terhadap kinerja keuangan dimana setelah merger ukuran perusahaan dengan sendirinya bertambah besar karena aset, kewajiban, dan ekuitas perusahaan digabung bersama digabung bersama, maka nilai aspek permodalan setelah merger juga semakin meningkat. Menurut Lestariningrum
(2009)
dalam
penelitiannya
yang
berjudul
Analisis
Perbandingan Kinerja Bank Mandiri dan Bank Permata Setelah Merger menyatakan bahwa terdapat perbedaan kinerja yang diukur dengan CAR. Berdasarkan penjelasan diatas maka dapat dihipotesiskan sebagai berikut : H1 :
Kinerja keuangan berdasarkan CAR sesudah merger ada perbedaan
dari sebelum merger.
Kualitas aktiva produktif adalah semua aktiva rupiah atau valas yang dimiliki oleh bank dengan maksud untuk memperoleh penghasilan sesuai dengan fungsinya, yaitu pemberian kredit, kepemilikan sura-surat berharga dan penempatan dana kepada bank lain baik dalam negeri atau luar negeri terkecuali penanaman dana dalam bentuk giro atau penyertaan (Surat Edarn BI No. 3/30/DNDP tanggal 24 Desember 2001). Penilaian kualitas aktiva produktif dilakukan dengan dua rasio, yaitu : Rasio Aktiva Produktif yang Diklasifikasikan terhadap Aktiva Produktif (APYDAP) dan Rasio Pemenuhan Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP). Rasio Aktiva Produktif yang Diklasifikasikan terhadap Aktiva Produktif (APYDAP). Rasio ini digunakan untuk mengetahui perbandingan antara aktiva produktif yang sudah maupun yang tidak berpotensi memberikan penghasilan atau menimbulkan kerugian. Semakin rendah rasio ini maka semakin baik kinerja rasio APYDAP, karena berarti bank telah menanamkan aktiva produktif dengan optimal. Dan sebaliknya semakin tinggi rasio ini maka kinerja rasio APYDAP semakin buruk, karena ini menunjukan bank tidak optimal dalam menanamkan aktiva produktifnya. Menurut Pradana (2008) dalam penelitiannya yang berjudul Analisis Perbandingan Kinerja Keuangan PT Bank Danamon Indonesia Tbk Sebelum dan Sesudah Diakuisisi Konsorsium Asia Finance Indonesia Dengan Menggunakan Metode CAMEL menyatakan kinerja aspek kualitas aset Bank Danamon yang diwakilkan oleh rasio APYDAP setelah diakuisisi tidak lebih baik daripada sebelum diakuisisi. Berdasarkan penjelasan diatas maka dapat disimpulkan hipotesis sebagai berikut : H2 :
Kinerja keuangan berdasarkan APYDAP sesudah merger tidak lebih
baik dari sebelum merger.
Rasio Pemenuhan Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif. Rasio ini digunakan untuk mengetahui sebarapa besar tingkat Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP) yang telah diwajibkan untuk dibentuk sesuai dengan ketentuan yang telah tercamtum dalam Surat Edaran BI No. 3/30/DNDP tanggal 24 Desember 2001. Semakin tinggi rasio ini maka semakin baik kinerja
rasio pemenuhan PPAP, karena ini berarti bank berhasil memperkecil resiko bank dalam kondisi bermasalah. Menurut Pradana (2008) dalam penelitiannya yang berjudul Analisis Perbandingan Kinerja Keuangan PT Bank Danamon Indonesia Tbk Sebelum dan Sesudah Diakuisisi Konsorsium Asia Finance Indonesia Dengan Menggunakan Metode CAMEL menyatakan kinerja aspek kualitas aset Bank Dananmon yang diwakilkan oleh rasio pemenuhan PPAP setelah diakuisisi tidak lebih baik daripada sebelum diakuisisi. Berdasarkan penjelasan diatas maka dapat disimpulkan hipotesis sebagai berikut : H3 :
Kinerja keuangan berdasarkan pemenuhan PPAP sesudah merger
tidak lebih baik dari sebelum merger.
Kualitas manajemen menunjukan kemampuan manajemen bank untuk mengidentifikasi, mengukur, mengawasi dan mengontrol resiko-resiko yang timbul melalui kebijakan-kebijakan dan strategi untuk mencapai target. Kualitas manajemen dalam metode CAMEL dianalisis dengan menggunakan Net Profit Margin (NPM). NPM adalah rasio yang menggambarkan tingkat keuntungan bank,
dibandingkan
dengan
pendapatan
yang
diterima
dari
kegiatan
operasionalnya. Semakin besar rasio ini maka semakin baik kinerja manajemen bank, karena menunjukan bahwa kemampuan manajemen dalam memperoleh laba semakin meningkat. Berdasarkan pertimbangan dari teori pengaruh merger terhadap kinerja keuangan dimana setelah merger ukuran perusahaan dengan sendirinya bertambah besar karena aset, kewajiban, dan ekuitas perusahaan digabung bersama. Jika ukuran bertambah besar ditambah dengan sinergi yang dihasilkan dari gabungan aktivitas-aktivitas yang simultan maka laba perusahaan juga semakin meningkat. Walaupun ada kejadian yang sebaliknya, menurut Ihsan (2011) dalam penelitiannya yang berjudul Analisis Kinerja Keuangan Perusahaan yang Melakukan Merger Di Bursa Efek Indonesia (BEI) menyatakan tidak ada perbedaan yang signifikan Net Profit Margin antara sebelum dan sesudah merger. Berdasarkan penjelasan diatas maka dapat disimpulkan hipotesis sebagai berikut : H4 :
Kinerja keuangan berdasarkan NPM sesudah merger tidak ada
perbedaan dari sebelum merger.
Rentabilitas adalah kemampuan bank dalam menghasilkan laba atau keuntungan selama periode tertentu, juga bertujuan untuk mengukur tingkat efektivitas manajemen dalam menjalankan operasional perusahaanya. Rentabilitas digunakan untuk menilai keberhasilan bank dalam menghasilkan laba sebelum pajak melalui penanaman yang dilakukan untuk seluruh aktiva yang dimilki. Bank yang sehat adalah bank yang diukur secara rentabilitas terus meningkat diatas standar yang telah ditetapkan. Penilaian rentabilitas meliputi : Return On Asset (ROA) dan Beban Operasi terhadap Pendapatan Operasi (BOPO). Return On Asset (ROA). ROA adalah rasio yang digunakan untuk mengukur kemampuan manajemen bank dalam memperoleh keuntungan (laba) secara keseluruhan. Semakin tinggi rasio ini maka semakin baik kinerja rasio ROA, karena berarti bank telah menggunakan seluruh aktivanya untuk menghasilkan keuntungnan dengan optimal. Atas dasar pertimbangan dari teori pengaruh merger terhadap kinerja keuangan dimana setelah merger ukuran perusahaan dengan sendirinya bertambah besar karena aset, kewajiban, dan ekuitas perusahaan digabung bersama. Jika ukuran bertambah besar ditambah dengan sinergi yang dihasilkan dari gabungan aktivitas-aktivitas yang simultan maka laba perusahaan juga semakin meningkat. Walaupun ada kejadian yang sebaliknya, menurut Lestariningrum (2009) dalam penelitiannya yang berjudul Analisis Perbandingan Kinerja Bank Mandiri dan Bank Permata Setelah Merger menyatakan tidak terdapat perbedaan kinerja yang diukur dengan ROA antara Bank Mandiri setelah merger dengan Bank Permata setelah merger. Berdasarkan penjelasan diatas maka dapat disimpulkan hipotesis sebagai berikut : H5 :
Kinerja keuangan berdasarkan ROA sesudah merger tidak ada
perbedaan dari sebelum merger.
Beban Operasi terhadap Pendapatan Operasi (BOPO). BOPO adalah perbandingan antara beban operasional dengan pendapatan operasional. Rasio ini digunakan untuk mengukur tingkat efisiensi bank dalam melakukan kegiatan operasinya. Semakin kecil rasio ini maka semakin baik kinerja rasio BOPO,
karena berarti bank berhasil menutupi biaya dengan pendapatan operasional yang dihasilkan oleh bank. Dan sebaliknya semakin tinggi rasio ini maka kinerja rasio BOPO semakin buruk, ini berarti bank belum berhasil menutupi biaya dengan pendapatan operasional yang dihasilkan oleh bank. Menurut Suwardi (2008) dalam penelitiannya yang berjudul Analisis Kinerja Keuangan Sebelum dan Sesudah Merger pada PD BPR BKK Purwodadi menyatakan tidak signifikan lebih baik dari sebelum pada kinerja keuangan dengan rasio BOPO. Berdasarkan penjelasan diatas maka dapat disimpulkan hipotesis sebagai berikut : H6 :
Kinerja keuangan berdasarkan BOPO sesudah merger tidak lebih
baik dari sebelum merger.
Suatu bank dapat dikatakan liquid apabila bank yang bersangkutan mampu membayar semua hutangnnya terutama hutag-hutang jangka pendek. Dalam hal ini yang dimaksud dengan hutang jangka pendek yang ada didalam bank antara lain simpanan masyarakat seperti simpanan tabungan, giro dan deposito. Dikatakan liquid jika pada saat bank ditagih bank mampu membayar. Dalam perbankan, rasio likuiditas dapat dihitung dengan rasio LDR (Loan to Deposit Ratio). LDR menyatakan seberapa jauh kemampuan bank untuk membayar kembali penarikan dana yang dilakukan deposan dengan mengandalkan kredit yang diberikan sebagai sumber likuiditasnya. Semakin rendah rasio ini maka semakin baik kinerja rasio LDR, karena berarti bank dapat membayar seluruh penarikan yang dilakukan oleh deposan. Menurut Suwardi (2008) dalam penelitiannya yang berjudul Analisis Kinerja Keuangan Sebelum dan Sesudah Merger pada PD BPR BKK Purwodadi menyatakan menyatakan rasio LDR sebelum merger berbeda secara signifikan dengan sesudah merger. Berdasarkan penjelasan diatas maka dapat disimpulkan hipotesis sebagai berikut : H7 :
Kinerja keuangan berdasarkan LDR sesudah merger ada perbedaan
dari sebelum merger.
Untuk mengukur kinerja keuangan bank yang sehat penulis menggunakan alat ukur utama yang juga digunakan untuk menentukan kondisi suatu bank
dikenal dengan nama analisis CAMEL. Skor CAMEL adalah skor hasil perhitungan dari rasio-rasio dalam komponen CAMEL, yang terdiri dari : Capital Adequqcy Ratio (CAR) , Aktiva Produktif yang Diklasifikasikan terhadap Total Aktiva Produktif (APYDAP), Pemenuhan Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP) , Net Profit Margin (NPM), Return On Assets (ROA), Rasio Beban Operasi terhadap Pendapatan Operasi (BOPO) dan Loan to Deposit Ratio (LDR). Semakin tinggi skor CAMEL, maka semakin sehat bank tersebut, yang berarti semakin baik juga kinerja keuangan bank tersebut. Berdasarkan pertimbangan dari teori pengaruh merger terhadap kinerja keuangan dimana setelah merger ukuran perusahaan dengan sendirinya bertambah besar karena aset, kewajiban, dan ekuitas perusahaan digabung bersama. Jika ukuran bertambah besar ditambah dengan sinergi yang dihasilkan dari gabungan aktivitas-aktivitas yang simultan maka laba perusahaan juga semakin meningkat. Sehingga tingkat kesehatan bank juga meningkat atau lebih baik setelah merger. Walaupun ada kejadian yang sebaliknya, menurut Pradana (2008) dalam penelitiannya yang berjudul Analisis Perbandingan Kinerja Keuangan PT Bank Danamon Indonesia Tbk Sebelum dan Sesudah Diakuisisi Konsorsium Asia Finance Indonesia Dengan Menggunakan Metode CAMEL menyatakan kinerja keuangan Bank Danamon secara keseruhun yang diwakilkan oleh Skor CAMEL setelah diakuisisi tidak lebih baik daripada sebelum diakuisisi. Berdasarkan penjelasan diatas maka dapat disimpulkan hipotesis sebagai berikut : H8 :
Kinerja keuangan berdasarkan skor CAMEL sesudah merger tidak
lebih baik dari sebelum merger.