BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Status Gizi 1. Pengertian Status Gizi Status gizi atau tingkat konsumsi pangan adalah suatu bagian penting dari status kesehatan seseorang (Suhardjo, 1989). Menurut Roedjito (1989) status gizi adalah status kesehatan yang dihasilkan oleh keseimbangan antara kebutuhan dan asupan gizi. Almatsier (2001) menyatakan status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat. Zat gizi dibedakan antara status gizi kurang, baik dan lebih. Menurut Suhardjo (1996) status gizi adalah keadaan kesehatan individu-individu atau kelompok-kelompok yang ditentukan oleh derajat kebutuhan fisik akan energi dan zat-zat gizi lain yang diperoleh dari pangan dan makanan yang dampak fisiknya diukur secara antropometri. Menurut Supariasa (2001) status gizi adalah ekspresi dari keadaan keseimbangan atau perwujudan dari “nutriture” dalam bentuk variabel tertentu. 2. Pengukuran Status Gizi Metode pengukuran status gizi dibagi dua yaitu langsung seperti pengukuran antropometri pemeriksaan tanda-tanda klinis, pemeriksaan biokimia, pemeriksaan biofisik dan pengukuran tidak langsung seperti status
vital,
konsumsi makanan dan faktor-faktor etiologi (Roedjito, 1880) Pengukuran status gizi bertujuan untuk memperoleh suatu gambaran dimana masalah gizi terjadi dan dianalisa faktor-faktor ekologi yang langsung atau tidak langsung sehingga dapat dilakukan upaya-upaya perbaikan (Suhardjo, 1990). 3. Pengukuran Status Gizi Secara Antropometri Keadaan pertumbuhan tubuh sangat erat kaitannya dengan masalah konsumsi energi dan protein, maka ukuran-ukuran tubuh sederhana sebagai refleksi keadaan (misalnya berat badan dan tinggi badan) dapat digunakan untuk menilai gangguan pertumbuhan dan keadaan gizi kurang yang diakibatkan oleh defisiensi energi dan protein. Antropometri atau ukuran tubuh dapat memberikan
gambaran-gambaran tentang status gizi energi dan protein. Antropometri atau ukuran tubuh dapat memberikan gambaran tentang status energi dan protein seseorang oleh karena itu antropometri sering digunakan sebagai indikator status gizi yang berkaitan dengan masalah KEP (Suhardjo, 1990). Dalam prakteknya ukuran yang sering digunakan untuk identifikasi masalah KEP diantaranya yang sudah dikenal adalah berat badan (BB), tinggi badan (TB), lingkar lengan atas (LILA), lingkar kepala (LK), lingkar dada (LD) dan lapis lemak bawah kulit (LLBK). Diantara beberapa macam antropometri tersebut yang paling sering digunakan adalah berat badan (BB) dan tinggi badan (TB) sedangkan antropometri yang lain digunakan hanya untuk keperluankeperluan khusus (Suhardjo, 1990). TABEL 1 KLASIFIKASI STATUS GIZI Klasifikasi
Skor (baku WHO-NCHS)
Gizi lebih
> 2,0 SD
Gizi baik
-2,0 SD – 2,0 SD
Gizi kurang
< - 2,0 SD
Gizi buruk
< -3,0 SD
Sumber : Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi, 2000 4. Beberapa Indeks Antropometri Dan Interpretasinya Dalam pengukuran status gizi secara antropometri ada beberapa indeks yang digunakan yaitu : BB/U, TB/U dan BB/TB, masing-masing indeks ini akan tepat jika digunakan untuk pengukuran anak balita dan masing-masing indeks mempunyai kelemahan dan keuntungan (Suhardjo, 1990). a. Indeks Berat Badan Menurut Umur (BB/U) Berat badan (BB) merupakan salah satu antropometri yang memberikan gambaran tentang masa tubuh (tulang, otot dan lemak). Tubuh sangat sensitif terhadap perubahan keadaan yang mendadak misalnya karena terserang penyakit infeksi, menurunnya nafsu makan atau menurunnya jumlah makanan yang dikonsumsi. Keuntungan indeks ini adalah dapat lebih mudah dan dimengerti oleh masyarakat umum, sensitif untuk melihat perubahan
status gizi jangka pendek dan dapat mendeteksi kegemukan atau over weight. Kelemahannya adalah mengakibatkan interpretasi status gizi yang keliru bila terdapat oedema, memerlukan data umur yang akurat terutama untuk kelompok anak dibawah usia lima tahun atau balita sering terjadi kesalahan dalam pengukuran misalnya pengaruh pakaian atau gerakan anak pada saat penimbangan dan secara operasional sering mengalami hambatan karena masalah sosial budaya setempat (Suhardjo, 1990). b. Indeks Tinggi Badan Menurut Umur (TB/U) Tinggi badan merupakan antropometri yang menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal. Pada keadaan normal, tinggi badan tumbuh seiring dengan pertambahan umur. Pertumbuhan tinggi badan tidak seperti berat badan, relatif kurang sensitif terhadap masalah kekurangan gizi dalam waktu pendek. Pengaruh defisiensi zat gizi terhadap tinggi badan akan nampak dalam waktu yang relatif lama. Berdasarkan karakteristrik tersebut diatas, maka indeks ini menggambarkan status gizi masa lalu. Beaton dan Bengoa (1973) menyatakan bahwa indeks TB/U di samping memberikan gambaran status gizi masa lampau, juga lebih erat kaitannya dengan status sosial-ekonomi. Keuntungan Indeks TB/U, antara lain: Baik untuk menilai status gizi masa lampau, ukuran panjang dapat dibuat sendiri, murah dan mudah dibawa. Kelemahan Indeks TB/U adalah: Tinggi badan tidak cepat naik, bahkan tidak mungkin turun, Pengukuran relatif sulit dilakukan karena anak harus berdiri tegak, sehingga diperlukan dua orang untuk melakukannya, ketepatan umur sulit didapat (Supariasa, 2000). c. Indeks Berat Badan Menurut Tinggi Badan (BB/TB) Pengukuran antropometri yang baik adalah menggunakan indikator BB/TB, ukuran ini dapat menggambarkan status gizi saat ini dengan lebih sensitif. Artinya mereka yang BB/TB kurang dikategorikan sebagai “kurus” atau “Wasted”. Berat badan mempunyai hubungan linier dengan tinggi badan, artinya dalam keadaan normal perkembangan berat badan akan mengikuti
pertambahan tinggi badan pada percepatan tertentu. Dengan demikian berat badan yang normal akan proporsional dengan tinggi badannya, indikator BB/TB ini diperkenalkan oleh Jelliffe pada tahun 1966 dan merupakan indikator yang baik untuk menilai status gizi saat kini, terutama bila data umur yang akurat sering sulit diperoleh. Oleh karena itu indikator BB/TB merupakan indikator terhadap umur. Kelebihan pemakaian indek BB/TB adalah independen terhadap umur dan ras dapat menilai status “kurus” dan “gemuk”dan keadaan maramus atau KEP berat lain. Kelemahannya adalah kesalahan (Soekirman, 1999). d. Indeks Lingkat Lengan Atas Menurut Umur (LLA/U) Lingkar lengan atas memberikan gambaran tentang keadaan jaringan otot dan lapisan lemak bawah kulit. Lingkar lengan atas berkorelasi dengan indeks BB/U maupun BB/TB. Lingkar lengan atas merupakan parameter antropometri yang sangat sederhana dan mudah dilakukan oleh tenaga yang bukan profesional. Kader posyandu dapat melakukan pengukuran ini. Lingkar lengan atas sebagaimana dengan berat badan merupakan parameter yang labil, dapat berubah-ubah dengan cepat. Oleh karena itu, lingkar lengan atas merupakan indeks status gizi saat ini. Perkembangan lingkar lengan atas yang besarnya hanya terlihat pada tahun pertama kehidupan (5,4 cm), sedangkan pada umur 2 tahun sampai 5 tahun sangat kecil yaitu kurang lebih 1,5 cm per tahun dan kurang sensitif untuk usia selanjutnya (Jelliffe, 1966) terjemahan dari supariasa. Indeks lingkar lengan atas sulit digunakan untuk melihat pertumbuhan anak. Pada usia 2 sampai 5 tahun perubahannya tidak nampak secara nyata, oleh karena itu lingkar lengan atas banyak digunakan dengan tujuan screening individu, tetapi dapat juga digunakan untuk pengukuran status gizi. Penggunaan lingkar lengan atas sebagai indikator status gizi, disamping digunakan secara tunggal, juga dalam bentuk kombinasi dengan parameter lainnya LLA/U dan LLA menurut tinggi badan yang juga disebut Quack Stick.
Keuntungan Indeks LLA/U, ada beberapa keuntungan indeks LLA/U yaitu:Indikator yang baik untuk menilai KEP berat, alat ukur murah, sangat ringan, dan dapat dibuat sendiri, alat dapat diberi kode warna untuk menentukan tingkat keadaan gizi, sehingga dapat digunakan oleh yang tidak dapat membaca dan menulis. Kelemahan Indeks LLA/U, adapun kelemahan mengidentifikasi anak dengan KEP berat, hanya dapat mengidentifikasi anak dengan KEP berat, sulit menentukan ambang batas, sulit digunakan untuk melihat pertumbuhan anak terutama anak usia 2 sampai 5 tahun yang perubahannya tidak tampak nyata (Supariasa, 2000). e. Gabungan Indeks BB/U, TB/U, BB/TB. Untuk memperoleh gambaran status gizi KEP masa kini maupun masa lalu, WHO merumuskan penggunaan gabungan beberapa indeks antropometri yaitu BB/U, TB/U, dan BB/TB. Klasifikasi status gizi menurut standar WHONCHS berdasarkan Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VII (2000) adalah sebagai berikut :
TABEL 2 PENGGOLONGAN KEADAAN GIZI MENURUT INDEKS ANTROPOMETRI Status gizi
Ambang batas baku untuk keadaan gizi berdasarkan indeks BB/U
TB/U
BB/TB
LLA/U
LLA/TB
Gizi baik
> 80 %
> 85 %
> 90 %
> 85 %
> 85 %
Gizi kurang
61-80 %
71-85 %
81-90 %
71-85 %
76-85 %
Gizi buruk
< 60 %
< 70 %
< 80 %
< 70 %
< 75 %
Sumber : Puslitbang Gizi, 1980 terjemahan dari Supariasa, 2001 5. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Status Gizi Faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi dibagi dua yaitu faktor langsung dan tidak langsung. Faktor yang mempengaruhi status gizi secara
langsung antara lain konsumsi makanan dan penyakit-penyakit infeksi, sedangkan faktor tidak langsung antara lain dapat tingkat pendapatan pendidikan, tingkat sosial ekonomi. (Roedjito, 1989). Di negara-negara berkembang penyakit infeksi dan konsumsi makanan yang kurang memenuhi syarat gizi merupakan faktor utama yang mempengaruhi pertumbuhan dan status gizi anak terutama masa prasekolah. Keadaan ini sangat erat kaitannya dengan masalah sosial ekonomi masyarakat di negara berkembang. Gangguan gizi yang kronis pada masa anak-anak tampak akibatnya pada pertumbuhan usia berikutnya, apabila tidak ada upaya untuk menanggulangi (Suhardjo, 1990). B. Konsumsi Protein Kebutuhan badan manusia untuk mempertahankan dan memperbaiki tenunan sel yang sudah tua harus berlangsung selama hidup. Protein dalam jaringan tubuh kita tidak statik, atau tetap. Artinya, sel-sel jaringan tersebut dipecah dan diganti dengan protein baru yang disintesis dari asam amino yang berasal dari makanan dan tenunan dalam tubuh. Apabila seseorang baru saja menjadi donor darah, mengalami menstruasi yang berlebihan, pendarahan yang hebat, kebakaran kulit, TBC kronis, dan sebagainya, maka keperluan proteinnya akan sangat tinggi. Pada umumnya, protein diperlukan tubuh untuk : a. Pertumbuhan dan pengembangan tubuh b. Perbaikan dan pergantian sel-sel jaringan tubuh yang rusak atau yang telah tua c. Produksi enzim pencernaan dan enzim metabolisme d. Bagian yang penting dari hormon-hormon tertentu, seperti misalnya toksin dan insulin Protein dalam jumlah yang kecil atau beberapa jenis asam amino tertentu diperlukan untuk pembentukan (sintesis) enzim, hormon dan antibodi. Semua enzim adalah protein yang bertindak sebagai katalis dalam pencernaan dan metabolisme. Beberapa hormon, khususnya toksin, adrenalin, dan insulin yang diproduksi oleh kelenjar, kelenjar hormon pada umumnya terdiri atas protein. Hormon tersebut
berfungsi mengatur dan mengkoordinasi keaktifan badan, antibodi adalah senyawa yang membantu kemampuan badan untuk melawan infeksi yaitu masuknya bibit penyakit ke dalam tubuh (Winarno, 1993). 1. Akibat Kekurangan Protein Penyakit kekurangan protein merupakan masalah utama di Indonesia yaitu marasmus dan kwasiorkor. Marasmus adalah penyakit kekurangan energi dan protein. Pada penderita marasmus, penderita sangat kurus sehingga timbul sebutan tulang pembaut kulit. Dibawah kulit trerasa adanya lapisan lemak, bila kulit tersebut dijepit diantara jari akan membentuk lipatan. Lipatan-lipatan kulit terdapat pula dibagian muka, sehingga muka anak menyerupai orang tua yang sudah keriput (Suhardjo dan Kusharto, 1993). Kwasiorkor adalah penyakit akibat kekurangan energi, penderita kwasiorkor tampak apatis, tidak ada perhatian terhadap sekitarnya, rambut tampak halus dengan pigmen yang kurang, sehingga tidak berwarna hitam legam tetapi pirang kemerahan. Ciri khas adalah adanya oedema dan protein darah menurun terutama albumin (Suhardjo dan Kusharto, 1992). Kasus terbanyak adalah campuran kedua gambaran klinik diatas disebabkan oleh kekurangan energi dan protein sekaligus, keadaan campuran ini disebut marasmus kwasiorkor dan ini disebut KEP (Suhardjo dan Kusharto, 1992). 2. Kecukupan Protein yang Dianjurkan Angka kecukupan gizi yang dianjurkan (AKG) dalam suatu kecukupan rata-rata zat gizi setiap harinya hampir setiap orang menurut golongan umur, jenis kelamin, ukuran tubuh dan aktivitas untuk mencegah terjadinya defisiensi gizi atau kelebihan gizi (Muhilal, 1992). Kecukupan gizi yang dianjurkan selalu didasarkan pada patokan berat badan untuk masing-masing kelompok, umur dan jenis kelamin. Patogen berat badan yang mewakili sebagian besar penduduk yang digolongkan mempunyai derjat kesehatan yang optimal. (Muhilal, 1993). Angka kecukupan berbagai zat gizi rata-rata yang dianjurkan ini sesuai untuk susunan hidangan yang sederhana, terutama di pedesaan. Penyesuaian ini
terutama terkait dengan mutu menu, misalnya protein dan mineral. Menu yang lebih banyak makanan hewannya diduga mempunyai susunan asam serta daya cerna yang lebih tinggi dari angka yang tertera dalam angka kecukupan gizi (AKG). Adapun angka kecukukapan protein bagi masyarakat Indonesia yang dianjurkan dan disebar luaskan melalui Widya Karya Nasional Pangan Dan Gizi adalah seperti yang tercantum dalam tabel berikut ini :
TABEL 3 ANGKA KECUKUPAN PROTEIN RATA-RATA YANG DIANJURKAN (PER ORANG PER HARI) Umur
Berat badan (Ka)
Tinggi badan (cm)
Protein (gr)
0-6 bl
6
60
10
7-12 bl
8,5
71
16
1-3 th
12
90
25
4-6 th
17
110
39
7-9 th
25
120
45
10-12 th
35
138
50
13-15 th
46
150
60
16-18 th
55
160
65
19-29 th
56
165
60
30-49 th
62
165
60
50-59 th
62
165
60
60 + th
62
165
60
37
145
50
laki-laki
wanita 10-12 th
13-15 th
48
153
57
16-18 th
50
154
50
19-29 th
52
156
50
30-49 th
55
156
50
50-59 th
55
156
50
60 + th
55
156
50
Hamil(+ an) Trimester 1
+ 17
Trimester 2
+ 17
Trimestter 3
+ 17
Menyusui(+ an) 6 bl pertama
+ 17
6 bl kedua
+ 17 Sumber : WWW. Google. Com, 2004
C. Bahan Makanan Sumber Protein Ikan Salah satu jenis penggolongan protein adalah berdasarkan sumbernya yaitu protein nabati dan protein hewani. Berdasarkan nilai biologi serta berdasarkan protein skornya protein hewani lebih unggul dibandingkan dengan protein nabati. Ikan adalah sumber protein hewani yang harganya lebih murah dibandingkan dengan sumber protein yang lain (Afriyanto, 1989). Jika kita amati bahwa konsumsi ikan penduduk Indonesia memang masih kurang padahal secara geografis Indonesia adalah negara kepulauan yang dikelilingi lautan yang kaya akan hasil lautnya. Barangkali hanya beberapa suku yang mengkonsumsi ikan (Afriyanto, 1989). Ikan dan produk-produk perikanan merupakan makanan sumber hewani yang relatif murah dibandingkan dengan sumber-sumber protein hewani lainnya seperti sapi, daging ayam, susu dan telur. Ikan merupakan salah satu hasil perairan yang banyak dimanfaatkan oleh manusia karena beberapa kelebihan. Ikan merupakan sumber protein hewani yang sangat potensial dan biasanya kandungan protein sekitar 15-24 % tergantung dari jenis ikannya. Protein ikan mempunyai daya cerna yang sangat tinggi yaitu hingga 95 % (Afriyanto, 1989).
Selama pembangunan jangka panjang, ketersediaan ikan perkapita mengalami peningkatan yaitu dari 15,6 kg pada tahun 1989 menjadi 19,0 % perkapita pertahun pada tahun 1996. secara khusus jawa dengan proporsi penduduk sebesar 59,3 % memiliki ketersediaan ikan relatif kecil yaitu 28,8 %. Dengan demikian mendapat ketimpangan ketersediaan ikan (Pradja, 1998). D. Konsumsi Ikan Konsumsi ikan penduduk Indonesia masih kurang padahal secara geografis Indonesia merupakan negara kepulauan yang dikelilingi lautan yang kaya akan hasil lautnya. Ikan sebagai sumber protein mempunyai beberapa keunggulan dibandingkan dengan sumber protein lain. Keunggulan tersebut antara lain ikan mudah didapat dan harganya murah memiliki sumber protein hewani yang potensial, memiliki daya cerna yang sangat tinggi dibanding sumber lain, berperan mencegah penyakit degeneratif dan menunjang perkembangan kecerdasan (Rahayu, 1992). Secara umum konsumsi ikan dipengaruhi oleh dua faktor yaitu : 1. Faktor pendorong Faktor pendorong peningkatan konsumsi ikan antara lain adalah faktor tingkat produksi dan harga ikan. Produksi ikan di Indonesia ditujukan untuk konsumsi dan perbaikan gizi masyarakat. Dengan demikian tingkat produksi yang tinggi, baik tingkat nasional maupun tingkat daerah merupakan pendorong yang sangat kuat untuk meningkatkan konsumsi ikan. Selain itu harga ikan di Indonesia relatif lebih murah dibandingkan dengan bahan pangan hewani lainnya yaitu daging dan telur (Soeminar, 1993). 2. Faktor Penghambat Faktor penghambat konsumsi ikan yaitu faktor-faktor yang berhubungan dengan pristise, geografi, selera dan faktor kepercayaan. Masyarakat umumnya memandang bahwa ikan memiliki pristise yang lebih rendah dari telur dan daging, karena itu jika tersedia banyak daging atau telur maka konsumsi ikan akan terdesak. Faktor penghambat lainnya adalah letak geografis suatu daerah, untuk daerah-daerah bukan produsen ikan dan letaknya terisolir, jauh dari pantai atau
jauh dari perikanan, konsumsi ikannya rendah misalnya daerah pegunungan. Selera dan kepercayaan tertentu juga mempengaruhi
konsumsi ikan, selera
hubungannya dengan sifat perorangan, tetapi sangat mempengaruhi orang lain atau masyarakat jika bersangkutan merupakan tokoh yang berpengaruh. Sifat amis pada ikan juga mempengaruhi selera konsumen (Soeminar, 1993). E. Hubungan Pola Konsumsi dengan Status Gizi Pada dasarnya ditinjau dari pemenuhan kebutuhan gizi, pola konsumsi ada yang menguntungkan dan ada yang kurang atau tidak menguntungkan. Apabila yang terakhir ini terjadi pada golongan rawan gizi, lebih-lebih pada penduduk ekonomi lemah ,akan berakibat lebih jelek. Mereka dapat menderita kurang makan dan kurang gizi yang dapat menimbulkan gangguan fungsional, yaitu : 1. Menurunnya kecerdasan. 2. Menurunnya produktifitas kerja. 3. Naiknya frekuensi terkena penyakit infeksi. 4. Meningkatnya angka kesakitan dan kemiskinan. Dikatakan oleh Kardjati dan Kusin
(1985) bahwa penurunan angka
prevalensi gizi salah pada anak balita dapat dicapai dengan peningkatan status gizi dan kesehatan anak. Gizi kurang pada anak-anak disebabkan oleh tidak cukupnya makanan tambahan dan penyakit infeksi yang keduanya dapat berawal dari kemiskinan serta lingkungan yang tidak sehat dengan sanitasi buruk . Infeksi dapat memperburuk keadaan gizi sebaliknya gangguan gizi memperburuk kemampuan anak untuk mengatasi penyakit infeksi (Ali Syahbana,1985). Status gizi anak balita merupakan salah satu indikator yang dapat dipakai untuk menunjukkan kualitas hidup suatu masyarakat, dan juga memberikan kesempatan intervensi sehingga akibat lebih buruk dapat dicegah dan perencanaan lebih baik dapat dilakukan untuk mencegah anak-anak lain dari penderitaan yang sama (Jalal dan Soekirman, 1990 terjemahan dari handajani, 1994). Seperti diketahui bahwa faktor-faktor dalam pola kebiasaan makan bersifat multidimensional. Kebiasaan makan dapat dipelajari dan diukur menurut prinsipprinsip ilmu gizi melalui pendidikan, latihan, dan penyuluhan, sejak manusia mulai
mengenal makanan untuk kelangsungan hidupnya. Oleh karena itu dalam pola kebiasaan makan balita, ibulah yang banyak berperan disamping anggota keluarga lainnya serta masyarakat lingkungannya (Handajani, 1994).
F. Kerangka Teori Berdasarkan tinjauan pustaka maka dapat dibuat kerangka teori sebagai berikut: Status gizi
Penyakit dan infeksi
Pola konsumsi ikan Pola asuh Ketersediaan pangan di keluarga
- Sanitasi - Air bersih - Yankes dasar
Tingkat pendidikan, pengetahuan, ketrampilan
-
Pemberdayaan wanita Pemanfaatan sumber daya masyarakat
-
Lapangan kerja Stabilitas nilai uang Ketersediaan pangan Daya beli
Stabilitas ekonomi, politik, sosial
GAMBAR 1 KERANGKA TEORI HUBUNGAN POLA KONSUMSI IKAN DENGAN TINGKAT KECUKUPAN PROTEIN DAN STATUS GIZI ANAK BALITA Sumber : Soekirman, 2000
G. Kerangka Konsep
Tingkat kecukupan protein Pola Konsumsi Ikan Status gizi GAMBAR 2 KERANGKA KONSEP HUBUNGAN POLA KONSUMSI IKAN DENGAN TINGKAT KECUKUPAN PROTEIN DAN STATUS GIZI ANAK BALITA H. Hipotesa 1. Ada hubungan sumbangan konsumsi protein ikan dengan tingkat kecukupan protein anak balita 2. Ada hubungan sumbangan konsumsi protein ikan dengan status gizi anak balita