5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Ubi Kayu 1. Tanaman Ubi Kayu Ubi kayu atau singkong merupakan salah satu sumber karbohidrat yang berasal dari umbi. Ubi kayu atau ketela pohon merupakan tanaman perdu. Ubi kayu berasal dari benua Amerika, tepatnya dari Brasil. Penyebarannya hampir ke seluruh dunia, antara lain Afrika, Madagaskar, India, dan Tiongkok. Ubi kayu berkembang di negara – negara yang terkenal dengan wilayah pertaniannya ( Purwono, 2009 : 58 ). Penyebaran tanaman ubi kayu di Nusantara, terjadi pada sekitar tahun 1914 – 1918, yaitu saat terjadi kekurangan atau sulit pangan. Tanaman ubi kayu dapat tumbuh dengan baik pada daerah yang memiliki ketinggian sampai dengan 2.500 m dari permukaan laut. Demikian pesatnya tanaman ubi kayu berkembang di daerah tropis, sehingga ubi kayu dijadikan sebagai bahan makanan pokok ketiga setelah padi dan jagung. Pada daerah yang kekurangan pangan tanaman ini merupakan makanan pengganti ( subtitusi ) serta dapat pula dijadikan sebagai sumber kabohidrat utama. Adapun sentra produksi ubi kayu di Nusantara adalah Jawa, Lampung, dan NTT
6
( Sunarto, 2002 : 7 ). Umumnya tanaman ini dibudidayakan oleh manusia terutama adalah untuk diambil umbinya, sehingga segala upaya yang selama ini dilakukan adalah untuk mempertinggi hasil umbinya. 2. Taksonomi dan Morfologi Dalam
sistematika
(
taksonomi
)
tanaman
ubi
kayu
diklasifikasikan sebagai berikut : Kingdom
: Plantae ( tumbuh – tumbuhan )
Divisio
: Spermatophyta ( tumbuhan berbiji )
Subdivisio
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledonae ( biji bekeping dua )
Ordo
: Euphorbiales
Famili
: Euphorbiaceae
Genus
: Manihot
Species
: Manihot glaziovii Muell
( Suprapti Lies, 2005 : 12 ) Ubi kayu mempunyai banyak nama, yaitu ketela, keutila, ubi kayee ( Aceh ), ubi parancih ( Minangkabau ), ubi singkung ( Jakarta ), batata kayu ( Manado ), bistungkel ( Ambon ), huwi dangdeur (Sunda), tela pohung ( Jawa ), tela balandha ( Madura ), sabrang sawi ( Bali ), kasubi ( Gorontalo ), lame kayu ( Makassar ), lame aju ( Bugis ), kasibi ( Ternate, Tidore ) ( Purwono, 2009 : 57 ).
7
3. Bagian Tanaman Ubi Kayu / Singkong Bagian tubuh tanaman singkong terdiri atas batang, daun, bunga, umbi, dan kulit umbi. a. Batang Batang tanaman singkong berkayu, beruas – ruas, dengan ketinggian mencapai lebih dari 3 m. Warna batang bervariasi, ketika masih muda umumnya berwarna hijau dan setelah tua menjadi keputih – putihan, kelabu, atau hijau kelabu. Batang berlubang, berisi empulur berwarna putih, lunak, dengan struktur seperti gabus. b. Daun Susunan daun singkong berurat, menjari dengan cangap 5 – 9 helai. Daun singkong, terutama yang masih muda mengandung racun sianida, namun demikian dapat dimanfaatkan sebagai sayuran dan dapat menetralisir rasa pahit sayuran lain, misalnya daun papaya dan kenikir. c. Bunga Bunga tanaman singkong berumah satu dengan penyerbukan silang sehingga jarang berbuah. d. Umbi Umbi yang terbentuk merupakan akar yang menggelembung dan berfungsi sebagai tempat penampung makanan cadangan. Bentuk umbi biasanya bulat memanjang, terdiri atas kulit luar tipis
8
( ari ) berwarna kecoklat – coklatan ( kering ), kulit dalam agak tebal berwarna keputih – putihan ( basah ), dan daging berwarna putih atau kuning ( tergantung varietasnya ) yang mengandung sianida dengan kadar yang berbeda ( Suprapti Lies, 2005 : 13 ). e. Kulit Umbi Kulit umbi ini menutupi umbi secara keseluruhan. Karena kulit umbi mempunyai susunan sel serta mempunyai lapisan tertentu sehingga kulit umbi dapat dengan mudah dipisahkan dari bagian umbinya. 4. Pengaruh Umur Panen Ubi Kayu Terhadap Kandungan HCN a. Varietas Adira 1 Umur panen : 7 – 10 bulan Kadar HCN : 27,5 mg / kg ubi kayu b. Varietas Adira 2 Umur panen : 9 – 10 bulan Kadar HCN : 124 mg / kg ubi kayu c. Varietas Basiorao Umur panen : 8 – 10 bulan Kadar HCN : lebih dari 80 mg / kg ubi kayu d. Varietas Bogor ( Karet ) Umur panen : 7 - 9 bulan Kadar HCN : lebih dari 100 mg / kg ubi kayu.
9
e. Varietas Mangi Umur panen : 8 – 9 bulan Kadar HCN : 30 mg / kg ubi kayu ( Lizalightz. Blogspot.com / 2010 / 10 ). Berdasarkan deskripsi varietas singkong, maka penggolongan jenisnya dapat dibedakan menjadi 2 macam : a. Jenis ubi kayu manis, yaitu jenis ubi kayu yang dapat dikonsumsi langsung. Contoh varietasnya : gading, adira 1, mangi, betawi, mentega, randu, lanting, dan kaliki. b. Jenis ubi kayu pahit, yaitu jenis ubi kayu untuk diolah atau bila akan dikonsumsi harus melalui proses. Contoh varietasnya : karet, bogor, SPP, dan adira 2 ( Rukmana, Rahmat, 1997 ). Bila rasa ubi kayu semakin pahit maka kandungan sianidanya tinggi ( Winarno, F. G, 2001 ). 5. Kandungan Gizi Ubi Kayu / Singkong Kandungan gizi ubi kayu / singkong dapat dilihat dalam Tabel 1.
10
Tabel 1. Kandungan Gizi dalam tiap 100 g Singkong
No.
Unsur Gizi
Singkong
Singkong
Putih
Kuning
1.
Kalori ( kal )
146,00
157,00
2.
Protein ( g )
1,20
0,80
3.
Lemak ( g )
0,30
0,30
4.
Karbohidrat ( g )
34,70
37,90
5.
Kalsium ( mg )
33,00
33,00
6.
Fosfor ( mg )
40,00
40,00
7.
Zat Besi ( mg )
0,70
0,70
8.
Vitamin A ( SI )
0
385,00
9.
Vitamin B1 ( mg )
0,06
0,06
10.
Vitamin C ( mg )
30,0
30,0
11.
Air ( g )
62,50
60,00
12.
Bagian dapat dimakan ( % )
75,00
75,00
Sumber : Direktorat Gizi, Depkes R.I., 1981 ( Sunarto, 2002 : 8 ).
B. ASAM SIANIDA Asam sianida disebut juga hidrogen sianida (HCN), biasanya terdapat dalam bentuk gas atau larutan dan terdapat pula garam – garam alkali seperti potassium sianida yang dipakai untuk membersihkan logam.
11
1. Sifat – sifat HCN Hidrogen sianida murni mempunyai sifat tidak berwarna, mudah menguap pada suhu kamar, dan mempunyai bau yang khas. Hidrogen sianida mempunyai berat molekul yang ringan, sukar terionisasi, mudah berdifusi dan cepat diserap melalui paru – paru, saluran cerna, dan kulit ( Dep Kes RI, 1989 : 37 ). 2. Toksisitas HCN Yang dimaksud dengan toksis ( racun ) dari suatu zat pada dasarnya merupakan kemampuan zat yang dapat menyebabkan kerusakan atau kerugian pada organisme hidup. Zat beracun alami yang terdapat pada bahan pangan nabati disebut toksitan nabati. Toksitan nabati pada tanaman berfungsi untuk membantu dan mengatur metabolisme serta melindungi tanaman terhadap serangan hama. Pelepasan HCN tergantung dari adanya enzim glikosidase serta adanya air. Senyawa HCN mudah menguap pada proses perebusan, pengukusan, dan proses memasak lainnya. Glikosida sianogenik artinya suatu ikatan organik yang dapat menghasilkan racun biru / HCN yang bersifat sangat toksik. Zat glikosida dinamakan linamarin. Linamarin oleh enzim β glikosidase akan diuraikan menjadi HCN, benzaldehid, dan glukosa. ( Achmad, 1998 : 17 ). Sifat – sifat murni HCN, yaitu mempunyai sifat tidak berwarna, mudah menguap pada suhu kamar dan mempunyai bau khas. HCN mempunyai berat molekul yang ringan, sukar terionisasi, mudah berdifusi
12
dan cepat diserap melalui paru – paru, saluran cerna dan kulit ( Dep Kes RI, 1987 : 37 ). Dosis HCN yang dapat mengakibatkan kematian adalah 0,5 – 3,5 mg HCN per kg berat badan. Gejala yang timbul mati rasa pada seluruh tubuh dan pusing – pusing. Hal ini diikuti oleh kekacauan mental dan pingsan, kejang – kejang dan akhirnya koma ( pingsan lama ). Dosis yang lebih rendah dapat mengakibatkan sakit kepala, sesak pada tenggorokan dan dada berdebar – debar serta kelemahan pada otot – otot. HCN dapat menyebabkan tekanan pada sistem pernafasan saraf pusat sehingga akan terjadi kelumpuhan dan kegagalan pernafasan, jika tidak segera ditolong akan menyebabkan kematian. 3. Efek Racun HCN HCN dalam bentuk gas maupun cairan sangat beracun dan dikenal sebagai racun yang mematikan. HCN akan menyerang langsung serta menghambat sistem antar ruang sel, yaitu menghambat sistem sitokrom oksidase dalam sel – sel, hal ini menyebabkan zat pembakaran ( oksigen ) tidak dapat beredar ke tiap – tiap jaringan sel – sel dalam tubuh. Dengan sistem keracunan itu maka menimbulkan tekanan sistem pernafasan saraf pusat sehingga terjadilah kelumpuhan dari alat – alat pernafasan yang menyebabkan kegagalan pernafasan, menghentikan pernafasan dan jika tidak tertolong akan menyebabkan kematian. Dosis HCN yang dapat menyebabkan kematian adalah 0,5 – 3,5 mg HCN / kg berat badan ( Winarno, F.G. 1986 : 230 ).
13
4. Pengobatan Keracunan Sianida a. Nitrit dan Thiosulfat merupakan pengobatan standar Cara : 0,3 natrium nitrit dalam 10 ml air diberikan secara intravena dan kemudian diikuti dengan pemberian 25 gram natriumthiosulfat dalam 50 % larutan secara perlahan ( 10 menit ). Jika gagal, pengobatan ini dapat diulangi tetapi jangan dalam waktu kurang dari 1 jam. b. EDTA ( Ethylene Diamine Tetra Acetat ) Hanya diberikan bila yang menyebabkan keracunan tidak diketahui secara pasti. Dosis total dari EDTA adalah 300 mg yang diberikan dalam 2 dosis dengan jarak waktu pemberian 10 menit. c. Oksigen Merupakan pengobatan tambahan pada pengobatan keracunan sianida dengan nitrit dan biosulfat. d. Bilasan Lambung Dapat dikerjakan bila keracunan sianida yang berasal dari tumbuh – tumbuhan ( Dep Kes RI, 1989 : 41 ).
14
C. Analisis HCN Analisis HCN dapat dilakukan dengan 2 metode, yaitu Metode Spektrofotometri dan Metode Argentometri. 1. Analisis HCN Metode Spektrofotometri Prinsip kerja metode ini adalah cianida dalam contoh diubah menjadi cianogen chloride (CNCl) karena bereaksi dengan chloramin T pada pH kurang dari 8 terhidrolisa menjadi cianat. Setelah bereaksi secara sempurna, CNCl membentuk warna merah biru dengan asam barbiturat dalam piridin dan warna yang terjadi dibaca pada panjang gelombang 578 nanometer. 2. Analisis HCN Metode Argentometri Argentometri adalah suatu proses titrimetri dengan menggunakan larutan standar sekunder perak nitrat. Sebelum digunakan sebagai titran, larutan ini harus dibakukan dulu dengan larutan standar primer. Selain itu juga diperlukan suatu indikator untuk melihat parubahan pada titik akhir titrasi. Ada beberapa macam metode Argentometri : 1. Metode Argentometri Mohr 2. Metode Argentometri Volhard 3. Metode Argentometri Fajans 4. Metode Argentometri Liebig
15
1. Cara Mohr Digunakan
untuk
menetapkan
kadar
garam –
garam
halogenida dengan prinsip pengendapan bertingkat dengan menggunakan indikator K2CrO4. Titik akhir titrasi terbentuk endapan yang berwarna merah coklat. 2. Cara Volhard Digunakan untuk titrasi perak dengan adanya asam nitrat dengan larutan standar KCNS atau NH4CNS. Indikatornya adalah larutan besi (III) nitrit atau larutan besi (III) ammonium sulfat. Prinsip dari cara ini adalah pembentukan senyawa yang larut. Larutan perak nitrat standar berlebih, kelebihannya ditritasi dengan larutan thiosianat standar. Perhitungan kadar HCN dalam ubi kayu jenis karet digunakan rumus : Kadar HCN = ( ml blanko – ml titrasi ) x N x 27 x 100
x 10.000
gram sampel x 1000 Reaksi : CN‾ + AgNO3 »
AgCN
putih keruh + NO3‾
AgNO3 + KCNS
AgCNS
putih + KNO3
Fe³ + 3 KCNS
Fe ( CNS )3‾ + 3 K‾ Larutan merah
3. Cara Fajans Digunakan untuk menetapkan garam – garam halogenida dengan indikator absorbsi, misalnya flouresin dan eosin. Suatu kelemahan dari indikator absorbsi adalah bahwa perak halida
16
terpekakan terhadap aksi cahaya oleh suatu lapisan zat utama yang terabsorbsi. 4. Cara Liebig Digunakan untuk menetapkan garam halogenida, misalnya garamnya dengan kekeruhan. Bila suatu larutan perak nitrat ditambahkan kepada suatu larutan yang mengandung ion sianida, terbentuklah endapan putih ketika kedua cairan berkontak satu sama lain. Tetapi setelah diaduk, endapan melarut kembali disebabkan oleh terbentuknya suatu sianida kompleks yang stabil.
D. Kerangka Teori
Umbi singkong
Mempunyai ciri – ciri :
Preparasi HCN
1. Warna putih 2. Berukuran besar
Destilasi
3. Panjang ± 20 – 25 cm
Analisis HCN dengan Metode Argentometri Volhard
Kadar HCN
17
E. Kerangka Konsep
Umbi Singkong
Mempunyai ciri - ciri 1. Warna putih 2. Berukuran besar 3. Panjang ± 20 – 25 cm
1. Direbus selama 0 menit
1. Dikukus selama 0 menit
2. Direbus selama 15 menit
2. Dikukus selama 15 menit
3. Direbus selama 30 menit
3. Dikukus selama 30 menit
4. Direbus selama 45 menit
4. Dikukus selama 45 menit
Metode Argentometri
Metode Argentometri
Volhard
Volhard
Kadar HCN setelah
Kadar HCN setelah
Proses Perebusan
Proses Pengukusan
Perbedaan Kadar HCN
18
F. Hipotesa Ho :
Lamanya waktu perebusan dan pengukusan tidak berpengaruh terhadap penurunan kadar HCN pada ubi kayu jenis karet ( Manihot glaziovii Muell ).
Ha :
Lamanya waktu perebusan dan pengukusan berpengaruh terhadap penurunan kadar HCN glaziovii Muell ).
pada ubi kayu jenis karet ( Manihot