BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Minyak Jelantah Minyak goreng berulang kali atau yang lebih dikenal dengan minyak jelantah adalah minyak limbah yang bisa berasal dari jenis-jenis minyak goreng seperti halnya minyak jagung, minyak sayur, minyak samin dan sebagainya, minyak ini merupakan minyak bekas pemakaian kebutuhan rumah tangga umumnya, dapat digunakan kembali untuk keperluan kuliner, akan tetapi bila ditinjau dari komposisi kimianya, minyak jelantah mengandung senyawa-senyawa yang bersifat karsinogenik, yang terjadi selama proses penggorengan (Anonim, 2009). Tabel sifat fisik dan kimia minyak jelantah dapat dilihat pada tabel 1 berikut ini: Tabel 1. Sifat fisik dan kimia minyak jelantah Sifat Fisik Minyak Jelantah
Sifat Kimia Minyak Jelantah
Warna coklat kekuning-kuningan
Hidrolisa, minyak akan diubah menjadi asam lemak bebas dan gliserol.
Berbau tengik
Proses oksidasi berlangsung bila terjadi
kontak antara
sejumlah
oksigen dengan minyak. Terdapat endapan
Proses
hidrogenasi
dapat
menumbuhkan ikatan rangkap dari rantai karbon asam lemak pada minyak. (sumber: geminastiti, 2012)
Titik didih minyak jelantah adalah 3750C, sehingga untuk merubah fasanya menjadi uap, diperlukan temperatur yang lebih tinggi dari titik didihnya. Titik nyala minyak jelantah terjadi pada suhu 240-300oC, densitasnya sebesar
5
6
0.898 Kg/L, visikositasnya sebesar 7s.d30 Pa.s dan nilai kalor sebesar 9197.29 cal/gr (Fassenden, 1986). Minyak jelantah merupakan bahan alternatif yang dapat menggantikan kerosene sebagai bahan bakar kompor rumah tangga, karena memiliki nilai kalor per satuan volumenya hanya 5% dibawah harga nilai kalor yang dimiliki kerosene. Titik nyala dari uap minyak jelantah berkisar 240-300oC, sedangkan titik flash dari uap kerosene berkisar 38-40oC dan viskositas minyak jelantah 30 kali lebih tinggi dibandingkan kerosene. Oleh karena itu, pada pemanfaatan minyak jelantah sebagai bahan bakar kompor perlu dicampur dengan kerosene. (Stump and Muhlbauer, 2006). Minyak goreng sangat mudah untuk mengalami oksidasi (Ketaren, 2005). Maka, minyak goreng berulang kali atau yang disebut minyak jelantah telah mengalami penguraian molekul-molekul, sehingga titik asapnya turun drastis, dan bila disimpan dapat menyebabkan minyak menjadi berbau tengik. Bau tengik dapat terjadi karena penyimpanan yang salah dalam jangka waktu tertentu menyebabkan pecahnya ikatan trigliserida menjadi gliserol dan FFA (free fatty acid) atau asam lemak jenuh. Selain itu, minyak goreng ini juga sangat disukai oleh jamur aflatoksin. Jamur ini dapat menghasilkan racun aflatoksin yang dapat menyebabkan penyakit pada hati. Penggunaan minyak berkali-kali dengan suhu penggorengan yang cukup tinggi akan mengakibatkan minyak menjadi cepat berasap atau berbusa dan meningkatkan warna coklat serta flavour yang tidak disukai pada bahan makanan yang digoreng. Kerusakan minyak goreng yang berlangsung selama penggorengan akan
menurunkan nilai gizi dan mutu bahan yang digoreng.
Namun jika minyak goreng bekas tersebut dibuang selain tidak ekonomis juga akan mencemari lingkungan (Ketaren, 2005). Kerusakan minyak akan mempengaruhi mutu dan nilai gizi bahan pangan yang digoreng. Minyak yang rusak akibat proses oksidasi dan polimerisasi akan menghasilkan bahan dengan rupa yang kurang menarik dan cita rasa yang tidak enak, serta kerusakan sebagian vitamin dan asam lemak esensial yang terdapat dalam minyak. Oksidasi minyak akan menghasilkan senyawa aldehida, keton,
7
hidrokarbon, alkohol, lakton serta senyawa aromatis yang mempunyai bau tengik dan rasa getir. Pembentukan senyawa polimer selama proses menggoreng terjadi karena reaksi polimerisasi, adisi dari asam lemak tidak jenuh. Hal ini terbukti dengan terbentuknya bahan menyerupai gum (gelembung) yang mengendap di dasar tempat penggoregan (Ketaren, 2005). Selama penggorengan sebagian minyak akan teradsorbsi dan masuk ke bagian luar bahan yang digoreng dan mengisi ruangan kosong yang semula diisi oleh air. Hasil
penggorengan
biasanya
mengandung
5%- 40%
minyak.
Konsumsi minyak yang rusak atau minyak jelantah dapat menyebabkan berbagai penyakit seperti pengendapan lemak dalam pembuluh darah (Artherosclerosis)dan penurunan nilai cerna lemak (Luciana, 2008). Akibat penggunaan minyak goreng yang berulang kali dijelaskan melalui penelitian yang dilakukan oleh Rukmini (2007) tentang regenerasi minyak goreng bekas dengan arang sekam menekan kerusakan organ tubuh. Hasil penelitian pada tikus wistar yang diberi pakan mengandung minyak goreng bekas yang sudah tidak layak pakai terjadi kerusakan pada sel hepar (liver), jantung, pembuluh darah maupun ginjal. Penggunaan minyak goreng jelantah secara berulang-ulang dapat membahayakan kesehatan tubuh.
Hal tersebut
dikarenakan pada
saat
pemanasan akan terjadi proses degradasi, oksidasi dan dehidrasi dari minyak goreng. Proses tersebut dapat membentuk radikal bebas dan senyawa toksik yang bersifat racun (Rukmini, 2007). Sehubungan dengan banyaknya minyak jelantah dari sisa industri maupun rumah tangga dalam jumlah tinggi dan menyadari adanya bahaya konsumsi minyak goreng bekas, perlu dilakukan upaya-upaya untuk memanfaatkan minyak goreng bekas tersebut agar tidak terbuang dan mencemari lingkungan. Pemanfaatan minyak jelantah dapat dilakukan dengan memanfaatkan minyak jelantah sebagai bahan bakar campuran atau yang lebih dikenal dengan energi mix (Pardede, 2012).
8
2.2 Kerosene Kerosene merupakan campuran alkana dengan rantai C12H26–C15H32, memiliki titik didih 150-3000C dan mempunyai titik nyala 30-40oC. Komposisi kerosene terdiri dari senyawa hidrokarbon jenuh (paraffin), bebas dari aromatik dan hidrokarbon tak jenuh dengan kandungan sulfur serendah mungkin. Selain dari produk distilasi crude, kerosene juga dihasilkan dari unit hidrocraker. Kerosene umumnya digunakan sebagai bahan bakar rumah tangga (minyak kompor) dan sebagai minyak lampu, dalam hal ini bahan bakar disediakan melalui sumbu-sumbu atau disemprotkan dengan tekanan dan dikabutkan sebelum dibakar, dalam penggunannya sebagai bahan bakar pada kompor tekan syarat-syarat utama kerosene adalah sebagai berikut (panduan pertamina, 1989): 1. Syarat Pembakaran Terutama dalam pembakaran dengan sumbu, kerosene harus memberi api yang baik dan tidak memberi asap. Asap adalah hasil pembakaran yang tidak sempurna dan terdiri dari butir-butir arang yang halus, jadi kerosene tidak boleh mengandung bahan yang sulit terbakar sempurna, dalam hal ini hidrokarbon aromatik harus tidak banyak terkandung dalam kerosene. Sifat pembakaran ini biasa diukur dengan titik asap (smoke point), besarnya minimal 15 mm, disamping itu kerosene tidak boleh meninggalkan jelaga terlalu banyak. 2. Syarat Penguapan Daya menguap adalah sifat penting juga dalam penggunaan kerosene. Kerosene harus mudah menguap sehingga mudah dinyalakan diwaktu dingin. Kerosene harus stabil dan tidak mudah rengkah dalam penguapan sehingga tidak membentuk endapan yang membentuk kebuntuan. 3. Syarat Keselamatan Pada penggunaannya didalam rumah tangga, kerosene tidak boleh pula terlalu mudah menguap dan terlalu mudah terbakar. Oleh karena itu, titik nyala (flash point) harus dibatasi, yaitu titik nyala minimal 30 oC dan maksimal 40 oC. Untuk pengaliran kerosene pada kompor tekan perlu
9
diperhatikan adalah mengenai kecepatan pemompaan dan viskositasnya, karena akan mempengaruhi sifat elekro statis dari kerosene (makin cepat aliran kerosene makin tinggi elektro statisnya). 4. Syarat Kebersihan Selain syarat kebersihan umum, kerosene juga harus tidak mengeluarkan jelaga atau hasil pembakaran yang berbahaya bagi kesehatan dan berbau tidak nyaman. 2.2.1 Sifat Fisik Kerosene Minyak bumi biasanya mengandung 5-25% kerosene, sedangkan dalam kerosene mengandung senyawa-senyawa seperti parafin, naftan, aromatik, dan senyawa belerang. Jumlah kandungan komponen senyawa dalam kerosene akan mempengaruhi sifat-sifat kerosene (Stump and Muhlbauer, 2006). Sifat-sifat yang harus dimiliki kerosin antara lain sebagai berikut: a. Warna Kerosene dibagi dalam berbagai kelas warna, yaitu: - Water spirit (tidak berwarna) - Prime spirit - Standard spirit b. Sifat bakar Nyala kerosene tergantung pada susunan kimia dari kerosene. Jika mengandung banyak aromatik maka apinya tidak dapat dibesarkan karena apinya berarang, sedangkan jika kerosene mengandung senyawa alkana, nyala api yang dihasilkan adalah yang paling baik. Sifat bakar napthan terletak antara aromatik dan alkana. c. Densitas Densitas didefinisikan sebagai perbandingan massa bahan bakar terhadap volum pada suhu acuan 15°C. Pengetahuan mengenai densitas ini berguna untuk penghitungan kuantitatif dan pengkajian kualitas penyalaan pada kompor tekan.
10
d. Boiling Point Boiling point atau titik didih adalah suhu dimana tekanan uap sebuah zat cair sama dengan tekanan external yang dialami oleh cairan. Suatu cairan yang berada pada kondisi vakum akan memiliki titik didih yang rendah dibandingkan jika cairan itu berada pada kondisi dengan tekanan atmospere. e. Viskositas Viskositas menunjukkan tingkat kekentalan dari suatu cairan. Kekentalan cairan disebabkan oleh gaya kohesif antara molekul-molekulnya. Kerosene harus mudah mengalir pada sumbu lampu sehingga dapat terbakar sempurna. f. Smoke Point Smoke point atau titik asap adalah tinggi nyala yang dapat dihasilkan oleh lampu standar tanpa terjadi langas atau jelaga. Smoke point yang tinggi menunjukkan bahwa kerosene mempunyai panas pembakaran yang tinggi. g. Flash Point Flash point atau titik nyala adalah suhu dimana uap yang berada di atas minyak dapat menyala sementara dan akan meledak seketika ketika terdapat api. Harga flash point yang rendah pada kerosene menunjukkan bahwa kerosene tidak mudah menyala oleh percikan api, sehingga aman dari bahaya ledakan atau kebakaran. h. Kadar Belerang Kerosene yang berbau menunjukkan bahwa kerosene mengandung merkaptan dan H2S sehingga nilai panas pembakaran rendah serta bersifat korosif. Rendahnya kandungan sulfur menunjukkan bahwa kerosene tidak menimbulkan
pencemaran,
tidak
korosi,
serta
mempunyai
nilai
pembakaran tinggi. Sedangkan kerugian yang disebabkan bila kadar belerang terlalu tinggi, adalah: -
Memberikan bau yang tidak enak dari gas-gas yang dihasilkan.
11
-
Mengakibatkan korosi dari bagian-bagian logam, seperti rusaknya silinder-silinder yang disebabkan oleh asam yang mengembun pada dinding silinder.
Tabel sifat fisik dari kerosene dapat dilihat pada tabel 2 di bawah ini: Tabel 2. Sifat Fisik Dan Kimia Kerosene Analisa Densitas 15oC Titik Nyala Titik Asap Kadar Sulpur
Satuan Kg/L C mm min
Kerosene 0.78 30-40 15 0.2
(sumber : panduan pertamina, 1989)
2.2.2 Komposisi Kerosene Kerosene mengandung senyawa-senyawa sebagai berikut (Stump and Muhlbauer, 2006): a. Parafin Parafin adalah kelompok senyawa hidrokarbon jenuh berantai lurus (alkana), CnH2n+2. Contohnya adalah metana (CH4), etana (C2H6), nbutana (C4H10), isobutana (2-metil propana, C4H10), isopentana (2metilbutana, C5H12), dan isooktana (2,2,4-trimetil pentana, C8H18). Jumlah senyawa yang tergolong ke dalam senyawa isoparafin jauh lebih banyak daripada senyawa yang tergolong n-parafin. Tetapi, di dalam minyak bumi mentah, kadar senyawa isoparafin biasanya lebih kecil daripada n-parafin. b. Naftan Naftan adalah senyawa hidrokarbon jenuh yang membentuk struktur cincin dengan rumus molekul CnH2n. Senyawa-senyawa kelompok naftan yang banyak ditemukan adalah senyawa yang struktur cincinnya tersusun dari 5 atau 6 atom karbon. Contohnya adalah siklopentana (C5H10), metilsiklopentana (C6H12) dan sikloheksana (C6H12). Umumnya, di dalam minyak bumi mentah, naftan merupakan kelompok senyawa hidrokarbon yang memiliki kadar terbanyak kedua setelah n-parafin.
12
c. Aromatik Aromatik adalah hidrokarbon tak jenuh yang berintikan atom-atom karbon yang membentuk cincin benzen (C6H6). Contohnya benzen (C6H6), metilbenzen (C7H8), dan naftalena (C10H8). Minyak bumi dari Sumatera dan Kalimantan umumnya memiliki kadar aromatik yang relatif besar. d. Senyawa Belerang Belerang dalam bentuk hidrogen sulfida (H2S), belerang bebas (S), merkaptan (R-SH, dengan R=gugus alkil), sulfida (R-S-R’), disulfida (RS-S-R’) dan tiofen (sulfida siklik). 2.2.3 Pemanfaatan Kerosene Dalam kehidupan kerosene umunya dimanfaatkan sebagai bahan bakar untuk: a. Minyak lampu Kerosene sebagai bahan bakar minyak lampu dihasilkan dengan jalan penyulingan langsung, dimanfaatkan pada lampu petromax atau lampu sumbu. b. Bahan bakar untuk memasak Macam-macam alat pembakar kerosene yaitu: - Alat pembakar dengan sumbu gepeng: baunya tidak enak. - Alat pembakar dengan sumbu bulat: mempunyai pengisian udara yang dipusatkan. c. Bahan bakar motor Motor yang menggunakan bahan bakar kerosene memiliki sebuah karburator juga mempunyai alat penguap untuk kerosin. Motor ini jalannya dimulai dengan bensin dan dilanjutkan dengan kerosin kalau alat penguap sudah cukup panas. Motor ini akan berjalan dengan baik bila kadar aromatik di dalam bensin tinggi. d. Bahan pelarut untuk bitumen Kerosene jenis white spirit sering digunakan sebagai pelarut untuk bitumen aspal.
13
e. Bahan pelarut untuk insektisida Bubuk
serangga
dibuat
dari
bunga
Chrysant
(Pyerlhrum
cinerarieotollum) yang telah dikeringkan dan dihaluskan, sebagai bahan pelarut digunakan kerosene. Untuk
keperluan
ini kerosene harus
mempunyai bau yang enak atau biasanya obat semprot itu mengandung bahan pengharum. 2.3 Kompor Tekan Rancangan kompor pada dasarnya digolongkan menjadi 2 tipe, yaitu kompor sumbu (wick burner) dan kompor bertekanan (pressure burner). Secara umum, kompor bertekanan menghasilkan power output dan efisiensi pembakaran yang lebih tinggi, sehingga bahan bakar yang digunakan lebih kecil untuk setiap satuan berat bahan yang dimasak (Wichert et al, dalam Yunita 2008). Proses yang terjadi pada kompor tekan adalah proses pengkabutan, sedangkan prinsip kerjanya adalah mengubah bahan bakar dari fase cair menjadi fase gas atau uap dan membakarnya dengan oksigen sehingga menyala dan menghasilkan energi panas, seperti yang terlihat pada gambar di bawah ini: (Sudrajat dalam Yunita, 2008)
Gambar 1. Prinsip Kerja Kompor Tekan (Yunita, 2008)
14
Beberapa modifikasi rancangan kompor tekan (Stumpf dan Muhlbauer dalam Yunita, 2008), antara lain: 1. Pencampuran optimal minyak nabati dengan udara dalam vaporizer. 2. Pencampuran optimal minyak nabati dengan kerosene atau etanol. 3. Pemasangan lembaran tikar atau sumbu dari kapas, karung atau fiber glass untuk membantu mempercepat pembakaran awal. 4. Percepatan mengalirnya minyak nabati dari tangki minyak dengan bantuan tekanan udara (pompa udara manual). Kompor tekan memiliki beberapa bagian (Sudrajat dalam Yunita, 2008), seperti: 1. Nosel berfungsi sebagai lubang pengeluaran bahan bakar sehingga terjadi proses pembakaran bahan bakar oleh udara (oksigen). 2. Saluran penyalur bahan bakar dari tangki menuju nosel berfungsi sebagai penyalur bahan bakar dari tangki menuju nosel, dimana selama proses penyaluran bahan bakar ikut dipanasi oleh proses pemanasan awal. 3. Mangkuk berfungsi sebagai tempat terjadinya proses pemanasan awal sehingga dapat memanasi bahan bakar agar viskositasnya menurun maka proses pembakaran akan menjadi lebih mudah. 4. Penyangga kompor berfungsi untuk menjaga posisi kompor tekan agar stabil.
2.4 Proses Pengkabutan pada Kompor Tekan Proses pengkabuatan butiran cairan di dalam fase gas disebut dengan atomisasi. Tujuannya adalah meningkatkan luas permukaan cairan dengan cara memecahkan butiran cairan menjadi banyak butiran kecil. Proses ini dimulai dengan mendorong cairan melalui sebuah nosel (Yunita, 2008). Menurut Graco (1995), energi potensial cairan yang diukur sebagai tekanan cairan untuk nosel hidrolik atau tekanan udara dan cairan untuk nosel pneumatik dengan bantuan geometri nosel menyebabkan cairan diubah menjadi bongkahan-bongkahan kecil. Bongkahan ini selanjutnya pecah menjadi pecahan yang sangat kecil yang biasanya disebut dengan butir (drop), butiran
15
(droplet), atau partikel cairan. Setiap semburan (spray) menghasilkan suatu rentang besar butir, rentang ini dinyatakan sebagai distribusi besar butir (drop size distribution). Distribusi besar butiran ini tergantung pada jenis nosel dan sangat bervariasi untuk setiap jenisnya. Faktor-faktor lain yang mempengaruhi besar butir adalah sifat-sifat fisik cairan, dan kondisi operasi. Ada
berbagai
faktor
yang
mempengaruhi
ukuran
dari
butiran
(droplet), diantara yaitu (Graco, 1995): 1. Tegangan permukaan Tegangan permukaan cenderung untuk menstabilkan cairan, mencegah cairan menjadi butiran-butiran yang lebih kecil. Cairan dengan ketegangan permukaan yang lebih tinggi cenderung memiliki ukuran rata-rata tetesan yang lebih besar pada atomisasi. 2. Densitas Densitas menyebabkan cairan mempertahankan akselerasi. Densitas serupa dengan sifat-sifat baik tegangan permukaan, lebih tinggi cenderung menghasilkan ukuran tetesan yang rata-rata lebih besar.
Gambar 2. Hubungan antara viskositas dan ukuran droplet (Graco, 1995)
16
3. Viskositas Viskositas fluida memiliki pengaruh yang sama pada ukuran butiran droplet seperti pada tegangan permukaan dan densitas. Viskositas menyebabkan fluida melawan agitasi, cenderung untuk mencegah pemecahan cairan
dan mengarah ke ukuran droplet
yang rata-rata
lebih besar. Gambar 2 menunjukkan hubungan antara viskositas dan ukuran droplet ketika proses pengkabutan terjadi. Mekanisme proses pengkabutan dilihat dari fluida kerja dapat dibagi atas pengkabutan hidrolik dan pneumatik (Graco, 1995). 1. Pengkabutan Hidrolik Pada pengkabutan hidrolik, pengkabutan terjadi karena tekanan cairan atau gaya gravitasi pada cairan yang keluar pada mulut nosel dan pecah pada waktu jet berbentuk lembaran. 2. Pengkabutan Pneumatik Pada pengkabutan pneumatik, pengkabutan terjadi sebagai akibat saling aksi antara cairan dengan gesek
antara
cairan
udara dengan
yang
berkecepatan
tinggi.
Gaya
udara menyebabkan cairan menjadi
butiran. Jika ditinjau proses pencampuran dengan udara dengan cairan, nosel pneumatik dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu jenis pencampuran dalam dan pencampuran luar. 2.5 Proses Pembakaran Pembakaran didefinisikan sebagai suatu proses pembentukan cahaya (api) dan panas akibat kombinasi kimia walaupun secara umum pembakaran dikenal sebagai suatu proses reaksi kimia antar bahan bakar dan oksidator dalam hal ini oksigen yang melibatkan pelepasan energi panas (Strehlow dalam Sunandar, 2010). Oksigen yang diperlukan diambil dari udara yang terdiri dari: ±79% N2 dan ±21% O2 (Daywin et al, 1991). Syarat terjadinya proses pembakaran pada bahan bakar (Daywin et al, 1991) adalah: adanya bahan bakar, adanya udara (oksigen), dan adanya titik nyala sebagai pemicu pembakaran. Terdapat dua aspek penting dalam termodinamika
17
kimia pembakaran, yaitu: pertama, stoikiometri pembakaran, dalam stoikiometri kimia pembakaran. Jika udara yang masuk lebih besar dari jumlah stoikiometrinya, campuran ini disebut dengan fuel-lean, apabila lebih sedikit dari stoikiometri, campuran ini disebut fuel-rich (Daywin et al, 1991). Perbandingan stoikiometri udara bahan bakar ditetapkan dengan menulis neraca massa atom dengan asumsi bahwa bahan bakar bereaksi secara sempurna. Oksigen yang dipergunakan dalam kebanyakan proses pembakaran berasal dari udara yang umumnya tersusun atas 21% oksigen dan 79% nitrogen (%volume), sehingga untuk setiap mol oksigen dalam udara terdapat 0.79/0.21 mol N2 atau 3.76 mol nitrogen. Untuk bahan bakar hidrokarbon C x H y reaksi pembakarannya sebagai berikut: (Kuo K.K dalam Sunandar 2010) Cx H y + a O 2
xCO 2 + (y/2) H 2 O ....................................................(1)
Dimana: a= x + (y/4) Untuk pembakaran pada minyak jelantah dan kerosene reaksi pembakarannya adalah: C16H32O2 + 24 O2
16 CO2
+
Jelantah
Udara
Karbon dioksida
C15H32 +
23 O2
15 CO2
Kerosene
Udara
16 H2O ...............................................(2) Air
+ 16 H2O ................................................(3)
Karbon dioksida
Air
Kedua, hukum termodinamika 1, besarnya energi yang dilepaskan pada saat reaksi pembakaran terjadi disebut dengan panas pembakaran. Besarnya panas pembakaran ini sangat tergantung dari jenis bahan bakar yang dipergunakan dan kondisi proses, isobar, isotermal atau isovol. Secara umum panas pembakaran suatu reaksi pembakaran dinyatakan dalam panas sensibel dan panas laten. Pada termofluida panas pembakaran didefinisikan sebagai panas yang dilepaskan per satuan massa bahan bakar jika stoikiometri reaktan (bahan bakar + udara) terbakar, dimana reaktan dan produk atau hasil reaksi berada pada suhu 298.15 K dan tekanan 1 atm (Kuo K.K. dalam Sunandar 2010).
18
2.6 Water Boiling Test (WBT) Teknik pengambilan data dengan WBT cukup singkat, simulasi sederhana dari pemanasan air pada umumnya. Dengan metode WBT dapat mengukur konsumsi bahan bakar pada suatu tangki pembakaran dan menunjukkan prediksi kegunaan bahan bakar secara kasar untuk berbagai keperluan pembakaran dengan penentuan koefisien konduktivitas termal. Metode WBT digunakan untuk mengukur beberapa aspek dari tangki yang berkaitan dengan kemampuan tungku untuk memelihara bahan bakar. Metode WBT dirancang cukup baik untuk mengukur koefisien konduktivitas termal, laju pembakaran, konsumsi spesifik bahan bakar dan kemampuan pembakaran. Proses pengujian water boiling test yaitu dengan melakukan pendidihan air. Massa air yang digunakan sebagai basis sebanyak 1kg. Pengujian ini juga dipengaruhi oleh laju alir bahan bakar dan konsumsi bahan bakar selama proses berlangsung. Massa bahan bakar sebelum dan sesudah pemanasan ditimbang dengan menggunakan timbangan. Selisih antara massa bahan bakar sebelum pemanasan dengan massa bahan bakar sesudah pemanasan adalah massa bahan bakar yang digunakan selama proses pendidihan. Sehingga diperoleh nilai kalor yang diterima oleh air serta koefisien konduktifitas termal kompor.