BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Partisipasi Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, partisipasi didefinisikan sebagai peran
serta dalam suatu kegiatan. Conyer dalam Soetomo (2006) menyatakan bahwa partisipasi masyarakat adalah keikutsertaan masyarakat secara sukarela yang didasari oleh determinan dan kesadaran sendiri dalam suatu program. Menurut WHO dalam Notoatmodjo (2007), partisipasi merupakan salah satu strategi untuk memperoleh perubahan perilaku dalam suatu program. 2.2
Rehabilitasi Narkoba Salah satu program pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan
peredaran gelap narkoba yang bertujuan untuk menurunkan jumlah permintaan narkoba
adalah
rehabilitasi.
Rehabilitasi
adalah
proses
pemulihan
pada
ketergantungan penyalahgunaan narkoba secara konprehensif meliputi aspek biopsikososial dan spiritual sehingga memerlukan waktu lama, kemauan keras, kesabaran, konsistensi, dan pembelajaran terus menerus. Secara umum, metode rehabilitasi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu rehabilitasi rawat inap dan rehabilitasi rawat jalan (Deputi Bidang Rehabilitasi, 2014). Rehabilitasi rawat inap merupakan proses perawatan terhadap klien dimana klien diinapkan di lembaga rehabilitasi dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan rencana terapi untuk memulihkan kondisi fisik dan psikisnya akibat penyalahgunaan narkoba (Perka Nomor 4 tahun 2015). Rehabilitasi rawat inap terdiri dari tiga tahap, yaitu tahap rehabilitisa medis, rehabilitasi nonmedis/sosial, dan tahap bina lanjut. 6
7
Rehabilitasi rawat jalan merupakan proses perawatan terhadap klien dimana klien datang berkunjung ke lembaga rehabilitasi medis dan lembaga rehabilitasi sosial sesuai jadwal dalam kurun waktu tertentu berdasarkan rencana terapi untuk memulihkan kondisi fisik dan psikisnya akibat penyalahgunaan narkoba (Perka Nomor 4 tahun 2015). Tahapan rehabilitasi rawat jalan berbeda dengan rawat inap, adapun tahapannya adalah tahap awal yang terdiri dari pelaksanaan asesmen serta evaluasi fisik dan psikis klien, tahapan lanjutan berupa konseling, dan tahap akhir untuk pelaksanaan kegiatan pasca rehab. Berdasarkan pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2011, pasal 17 ayat 1 menyatakan bahwa rehabilitasi medis dapat dilaksanakan melalui rawat jalan atau rawat inap sesuai dengan rencana rehabilitasi dengan mempertimbangkan hasil asesmen. Yayasan Dua Hati Bali merupakan salah satu lembaga swadaya masyarakat yang melaksanakan program rehabilitasi rawat jalan bagi penyalahguna narkoba sejak Mei 2015, dan menjadi mitra kerjasama BNNP Bali. Berdasarkan pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2011 pasal 15, dinyatakan bahwa setiap penyelenggara program rehabilitasi harus menyusun standar prosedur operasional penatalaksanaan rehabilitasi sesuai dengan jenis dan metode terapi yang digunakan dengan mengacu pada standar dan pedoman penatalaksanaan rehabilitasi. Adapun pola rehabilitasi rawat jalan di Yayasan Dua Hati Bali diwali
dengan penjangkauan penyalahguna narkoba yang kemudian diregistrasi sesuai dengan kartu identitas yang dimiliki. Lalu, dilanjutkan dengan resume asesmen dan konseling individu sebanyak delapan kali. Hasil dari pelaksanaan rehabilitasi tersebut kemudian dilaporkan pada BNNP Bali.
8
2.3
Partisipasi Penyalahguna Narkoba dalam Rehabilitasi Rawat Jalan Undang-undang nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika, pasal 1 (15)
menyatakan bahwa penyalahguna adalah orang yang menggunakan narkotika tanpa hak atau melawan hukum. Partisipasi penyalahguna narkoba adalah keikutsertaan penyalahguna secara sukarela dalam program pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba, untuk meningkatkan derajat kesehatan dan kehidupan sosialnya. Partisipasi penyalahguna narkoba dalam rehabilitasi rawat jalan tidak sama. Beberapa penyalahguna narkoba dapat berpartisipasi dalam program rehabilitasi sampai akhir sehingga disebut berpartisipasi penuh, sedangkan beberapa diantara mereka ada yang berhenti di tengah-tengah program karena alasan tertentu sering disebut drop out. Penyalahguna narkoba dinyatakan berpartisipasi penuh apabila mengikut rehabilitasi selama 3 bulan atau melaksanakan konseling sebanyak delapan kali atau lebih. Akan tetapi, penyalahguna akan dinyatakan drop out apabila menolak mengikuti konseling, tidak dapat dihubungi, atau melaksanakan konseling kurang dari delapan kali. Hasil penelitian Ntembi, (2010) menunjukkan bahwa penyalahguna narkoba yang tidak berpartisipasi penuh akan cenderung kembali pada kebiasaanya untuk mengonsumsi narkoba (relaps). 2.4
Faktor-Faktor
yang
Mempengaruhi
Kelangsungan
Partisipasi
Penyalahguna Narkoba dalam Rehabilitasi Rawat Jalan Faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi dapat diidentifikasi dengan memodifikasi teori perubahan perilaku. Salah satu teori perubahan perilaku yang dikembangkan oleh Lawrence Green adalah Precede Model. Berdasarkan teori
9
tersebut, perilaku dipengaruhi oleh tiga faktor utama, diantaranya (Notoatmodjo, 2014). 1.
Faktor Predisposisi (Predisposing factors), yang terwujud dalam pengetahuan, sikap, keyakinan, nilai-nilai, dan hal lain yang ada dalam diri individu.
2.
Faktor Pemungkin (Enabling factors), yang terwujud dalam ketersediaan fasilitas atau sarana pendukung perubahan perilaku.
3.
Faktor Pendorong atau Penguat (Renforcing factors), yang terwujud dalam sikap dan perilaku kelompok referensi dari perilaku masyarakat.
Berdasarkan hal tersebut, adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kelangsungan partisipasi penyalahguna narkoba dalam rehabilitasi rawat jalan adalah sebagai berikut. 2.4.1 Faktor Predisposisi (Predisposing Factors) 1.
Umur Penelitian dari Storie (2005) menunjukkan bahwa umur dari penyalahguna
narkoba akan mempengaruhi kelangsungan partisipasi dalam program rehabilitasi. Hal ini disebabkan karena terdapat perbedaan kebutuhan pengobatan antara mereka yang masih muda dan sudah tua dan kondisi fisik yang berbeda. Penyalahguna yang berumur lebih tua bertahan lebih lama dalam upaya pemulihan (Villafranca, 2006). Penelitian Satre et al. (2004) juga menyatakan bahwa penyalahguna yang berumur lebih tua, berpartisipasi lebih lama dalam program rehabilitasi. Namun, penelitian Ntembi (2010) menunjukkan hasil yang bertentangan. Dalam penelitiannya dinyatakan bahwa umur tidak mempengaruhi rehabilitasi karena adiksi pada semua umur sama saja. Hasil serupa ditemukan oleh Sharma dan Rakesh (2007), faktor umur tidak berpengaruh terhadap kelangsungan partisipasi dalam rehabilitasi dengan nilai p=0,07.
10
2.
Umur Pertama Kali Menggunakan Narkoba Umur pertama kali menggunakan narkoba juga berperan terhadap upaya untuk
berhenti menggunakan narkoba. Pemakai narkoba pada usia yang sangat muda akan memperlambat waktu untuk berhenti dibandingkan dengan yang mulai menggunakan narkoba pada usia yang lebih tua. Berdasarkan hasil penelitian Chen dan Kandel (1998) dalam Sawitri (2012), hal tersebut disebabkan oleh tingkat adiksi yang berbeda. 3.
Jenis Kelamin Penelitian Thull (2009) menunjukkan bahwa 60,7% dari penyalahguna yang
drop out berjenis kelamin laki-laki. Sebagian besar hasil pelaksanaan rehabilitasi lebih berhasil pada perempuan dibandingkan laki-laki (NIDA, 2000). Hal ini disebabkan karena perempuan lebih mampu untuk mendapatkan dukungan sosial (keluarga atau teman) dibandingkan laki-laki, serta lebih mudah untuk mencari pengalihan gejala withdrawal (sakaw) (Sawitri, 2012). Akan tetapi, penelitian Ntembi (2010) menyatakan bahwa jenis kelamin tidak mempengaruhi rehabilitasi karena adiksi pada laki-laki maupun perempuan adalah sama. Hal tersebut didukung dengan hasil penelitian Hser et al. (2005) yang menemukan bahwa tidak ada perbedaan rate bertahan dan menyelesaikan rehabilitasi pada laki-laki dan perempuan. Hasil yang sama juga ditemukan Schroder et al. (2009), bahwa jenis kelamin tidak mempengaruhi kejadian drop out dalam rehabilitasi (nilai p=0,76). 4.
Pendidikan Pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau
kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan (KBBI, 2016). Dari seluruh penyalahguna yang drop out, 47,3% nya berpendidikan tinggi dan hanya 10,7% nya yang berpendidikan rendah (Thull, 2009).
11
Akan tetapi, Sharma dan Rakesh (2007) menemukan bahwa faktor pendidikan tidak berpengaruh terhadap kelangsungan partisipasi dalam rehabilitasi dengan nilai p=0,07. 5.
Pekerjaan Pekerjaan adalah suatu kegiatan yang dijadikan sebagai sumber penghidupan
(KBBI, 2016). Hasil penelitian Thull (2009) menunjukkan bahwa penyalahguna yang berhenti sebelum rehabilitasi selesai adalah mereka yang berpenghasilan rendah. Disisi lain, Sharma dan Rakesh (2007) menyatakan bahwa pekerjaan tidak berpengaruh secara statistik terhadap kelangsungan partisipasi dalam rehabilitasi (nilai p=0,06). 2.4.2 Faktor Pemungkin (Enabling Factors) Faktor pemungkin adalah faktor yang terwujud dalam ketersediaan fasilitas dan sarana pendukung pelaksanaan rehabilitasi rawat jalan penyalahguna narkoba. Fasilitasi pencegahan penyalahgunaan narkoba di Indonesia telah diatur dengan Permendagri nomor 21 tahun 2013. Peraturan tersebut memberikan peluang kepada pemerintah daerah untuk terlibat dalam penanganan dan fasilitasi penyalahgunaan narkoba melalui kegiatan seminar, loka karya, whorkshop, pemberdayaan masyarakat, dan kegiatan lainnya. Ketersediaan fasilitas rujukan untuk rehabilitasi dan tenaga asesor serta konselor merupakan faktor yang memungkinkan penanggulangan penyalahgunaan narkoba. Sampai saat ini, baru terdapat 90 fasilitas rehabilitasi di Indonesia yang sebagian besar merupakan bagian dari rumah sakit jiwa, sehingga penyalahguna enggan untuk melaporkan dirinya karena takut diasosiasikan sebagai orang gila (BNN, 2015). Disamping itu, partisipasi penyalahguna narkoba dalam rehabilitasi juga dipengaruhi oleh hubungan baik antara
12
penyahguna narkoba dengan tenaga asesor maupun konselor (p<0,01) (Schroder et al., 2009). 2.4.3 Faktor Pendorong Atau Penguat (Renforcing Factors) 1.
Dukungan Sosial Penyalahguna narkoba akan dapat menyelesaikan rehabilitasinya apabila
mendapatkan dukungan yang besar dari keluarga dan lingkungan sosialnya. Hasil penelitian Sharma dan Rakesh (2007) menunjukkan adanya hubungan yang bermakna secara statistik antara dukungan sosial dan lama bertahan dalam rehabilitasi (nilai p=0,03). NHS melaporkan bahwa setengah dari 30.000 penyalahguna yang dinyatakan drop out pada tahun 2005, tidak melanjutkan upaya pemulihannya (NHS, 2009). Hal tersebut diperkuat oleh penelitian Ball et al. (2006) yang menemukan bahwa kehilangan motivasi dan harapan, serta adanya masalah dengan orang terdekat merupakan alasan penyalahguna tidak menyelesaikan rehabilitasinya
(drop
out).
Rendahnya
dukungan
dari
lingkungan
sekitar
penyalahguna narkoba khususnya keluarga untuk hidup tanpa narkoba, dapat menjerumuskan penyalahguna yang telah menjalani rehabilitasi untuk kembali pada kebiasaannya mengkonsumsi narkoba. Dukungan masyarakat sangatlah penting dalam menanggulangi pemasaran gelap narkoba, karena tidak hanya mempengaruhi penyalahguna namun juga seluruh masyarakat (Ntembi, 2010). 2.
Jenis Narkoba Jenis zat atau narkoba yang digunakan oleh seorang penyalahguna merupakan
salah satu faktor yang mempengaruhi kelangsungan partisipasinya dalam rehabilitasi. Penelitian Sharma dan Rakesh (2007) menunjukkan bahwa jenis zat yang digunakan tidak berpengaruh secara statistik terhadap kelangsungan partisipasi dalam program rehabilitasi dengan nilai p=0,26. Pemakaian narkoba secara umum yang tidak sesuai
13
dengan aturan dapat menimbulkan efek yang membahayakan tubuh. Berdasarkan efek yang ditimbulkan, narkoba dibedakan menjadi 3, yaitu anti depresan, halusinogen, dan stimulan. Anti depresan yaitu zat yang menekan sistem sistem syaraf pusat dan mengurangi aktifitas fungsional tubuh sehingga pemakai merasa tenang, bahkan bisa membuat pemakai tidur serta tidak sadarkan diri. Jika seseorang menggunakan narkoba jenis anti depresan ini dengan dosis yang berlebih dapat mengakibatkan kematian. Jenis narkoba anti depresan antara lain alkohol, opioda, dan berbagai turunannya seperti morphin dan heroin. Stimulan yang merangsang fungsi tubuh dan meningkatkan kegairahan serta kesadaran. Jenis narkoba stimulan antara lain kafein, kokain, amphetamin. Contoh yang sekarang sering dipakai adalah shabu-shabu dan ekstasi. Halusinogen zat yang memilik efek utamanya untuk mengubah daya persepsi atau mengakibatkan halusinasi. Narkoba jenis halusinogen kebanyakan berasal dari tanaman seperti mescaline dari kaktus dan psilocybin dari jamur-jamuran. Yang sering digunakan adalah marijuana atau ganja (Utomo, 2007). 2.5
Analisis Kesintasan Analisis Kesintasan (Survival Analysis) adalah sekumpulan metode analisis
data yang mempelajari waktu bertahan hidup individu terhadap suatu kejadian, yang menekankan pada waktu dimulainya pengamatan hingga munculnya kejadian (Widarsa, 2014). Terdapat dua fungsi yang diestimasi dalam analisis kesintasan, yaitu fungsi kesintasan (survival function) dan fungsi hazard (hazard function). Fungsi kesintasan menunjukkan kemungkinan subjek pengamatan bertahan hidup dalam suatu kejadian (bukan kejadian yang diharapkan) berdasarkan waktu. Sedangkan fungsi hazard menunjukkan potensi terjadinya suatu kejadian dalam suatu
14
waktu tertentu serta menunjukkan waktu spesifik dari subjek yang bertahan hidup (Despa, 2016). Secara teori, fungsi kesintasan dapat digambarkan dengan kurva mulus dan memiliki karakteristik sebagai berikut (Kleinbaum dan Klein, 2005): 1.
Tidak meningkat, kurva cenderung menurun ketika π‘ meningkat
2.
Untuk π‘=0,π π‘ =π 0 =1 adalah awal dari penelitian, karena tidak ada objek yang mengalami peristiwa, probabilitas waktu kesintasan 0 adalah 1
3.
Untuk π‘=β,π π‘ =π β =0; secara teori, jika periode penelitian meningkat tanpa limit maka tidak ada satu pun yang bertahan sehingga kurva kesintasan mendekati nol
Gambar 2.1 Kurva Fungsi Kesintasan
Berbeda dengan fungsi kesintasan yang fokus pada tidak terjadinya peristiwa, fungsi hazard fokus pada terjadinya peristiwa. Oleh karena itu, fungsi hazard dapat dipandang sebagai pemberi informasi yang berlawanan dengan fungsi kesintasan.
15
Sama halnya dengan kurva fungsi kesintasan, kurva fungsi hazard juga memiliki karakteristik, yaitu (Kleinbaum dan Klein, 2005): 1.
Selalu non-negatif, yaitu sama atau lebih besar dari nol
2.
Tidak memiliki batas atas
Selain itu fungsi hazard juga digunakan untuk alasan: 1.
Memberi gambaran tentang keadaan failure rate
2.
Mengidentifikasi bentuk model yang spesifik
3.
Membuat model matematik untuk analisis kesintasan biasa
Gambar 2.2 Kurva Fungsi Hazard
Variabel tergantung dalam analisis kesintasan dibedakan menjadi dua, yaitu time dan event status. Time adalah waktu sejak pengamatan dimulai hingga suatu peristiwa terjadi pada individu yang diamati. Ada tiga faktor yang dibutuhkan untuk menentukan time, yaitu: 1.
Waktu awal pencatatan (start point), yaitu waktu awal dilakukannya pencatatan untuk menganalisis suatu kejadian.
16
2.
Waktu akhir pencatatan (end point), yaitu waktu pencatatan berkahir. Waktu ini berguna untuk mengetahui status tersensor atau tidak tersensor seorang pasien untuk bisa melakukan analisis.
3.
Skala pengukuran sebagai batas dari waktu kejadian dari awal sampai akhir kejadian yang dapat dinyatakan dalam hari, minggu, bulan atau tahun.
Sedangkan event status dapat berupa kematian, munculnya suatu penyakit, kambuhnya suatu penyakit, atau hal lain yang mungkin terjadi dan bisa diamati pada individu (Despa, 2016). Subjek penelitian yang tidak mengalami kejadian yang diharapkan sampai penelitian berakhir disebut sensor. Menurut Lee dan Wang (2003) ada 3 tipe penyensoran data, yaitu: 1.
Tipe I, jika objek-objek diobservasi selama waktu tertentu, namun ada beberapa objek yang mengalami peristiwa setelah periode atau masa observasi selesai, dan sebagian lagi mengalami peristiwa diluar yang ditetapkan.
2.
Tipe II, masa observasi selesai setelah sejumlah objek yang diobservasi diharapkan mengalami peristiwa yang ditetapkan, sedang objek yang tidak mengalami peristiwa disensor.
3.
Tipe III, jika waktu awal dan waktu berhentinya observasi dari objek berbedabeda. Sensor tipe III ini sering disebut sebagai random-censored.
Ada beberapa metode analisis data dalam analisis kesintasan, yaitu Life Table, Kaplan-Meier, dan Cox Regression Model. 2.5.1 Life Table Life table atau tabel kematian adalah suatu metode analisis data longitudinal untuk mengukur lama hidup (expectation of life) pada setiap umur dalam suatu kelompok tertentu dengan karakteristik sama yang dikenal dengan kohort. Tabel tersebut memberikan informasi terkait angka subjek yang bertahan hidup, angka
17
kematian, dan harapan hidup. Life table digunakan untuk membandingkan angka kematian pada sekelompok orang dengan populasi umum (Meulen, 2012). Konstruksi tabel kematian terdiri dari beberapa komponen, yaitu: waktu pengamatan, interval waktu pengamatan, jumlah anggota kohort pada awal periode waktu pengamatan ke-x, jumlah anggota kohort yang tersensor dalam periode waktu pengamatan ke-x, jumlah anggota kohort yang berisiko pada periode waktu pengamatan ke-x, jumlah anggota kohort yang mengalami end point pada periode waktu pengamatan ke-x, proporsi kejadian end point pada periode waktu pengamatan ke-x, proporsi survival pada periode waktu pengamatan ke-x, proporsi kumulatif yang bertahan hidup sampai waktu pengamatan ke-x, probability density, dan hazard rate. Waktu pengamatan ke-x yang dihitung dari awal pengamatan sampai angka proporsi survival kumulatif mencapai 50% disebut median survival time (Widarsa, 2014). 2.5.2 Kaplan-Meier Kaplan Meier adalah metode untuk membuat tabel dan grafik fungsi kesintasan (survival function) atau fungsi hazard (hazard function) untuk lama waktu terjadinya suatu kondisi yang diteliti dari saat pengamatan dimulai (time to event data). Metode ini didesain untuk menganalisis efek dari variable kovariat terhadap lama waktu terjadinya suatu kondisi (Widarsa, 2014). Misalnya membandingkan lama partsipasi penyalahguna narkoba dalam rehabilitasi antara laki-laki dan perempuan. Dalam mempersiapkan analisis Kaplan Meier, setiap subjek dikelompokkan berdasarkan variabel time, event status, dan kelompok yang dibuat dalam sebuah tabel. Setelah itu, urutkan data berdasarkan variabel time dari yang durasinya paling pendek dan kemudian dianalisis dengan aplikasi komputer yang mendukung (Rich et al., 2010). Analisis ini akan menghasilkan proporsi survival dari subjek penelitian
18
untuk lama waktu tertentu (x), harapan hidup sampai waktu ke x, median harapan hidup, angka harapan hidup sampai 5 tahun, mean harapan hidup, rerata kematian kasar (average hazard rate), grafik proporsi survival kumulatif (the cumulative survival proportion). Untuk menguji signifikansi perbedaan proporsi survival dari dua kelompok yang dibandingkan, maka diperlukan analisis lanjutan yaitu logrank test. Prinsip logrank test sama dengan mantel-haenzel test yang merupakan analisis strata dan dalam hal ini stratanya adalah waktu. Perbedaan proporsi survival antara dua kelompok akan dinyatakan bermakna apabila nilai chi-square hitung lebih besar dari nilai chi-square tabel dan nilai p lebih kecil dari 0,05 (Widarsa, 2014). 2.5.3 Cox Regression Model Cox Regression Model (proportional hazards regression analysis) adalah teknik analisis statistik untuk menganalisis hubungan antara variabel bebas kategorikal atau kontinyu dengan variabel tergantung βtime-until-event dataβ (Wayne W., 2009). Analisis Cox Regression sangat memperhitungkan selang waktu antar dua kejadian (data survival). Dalam penelitian clinical trial, model ini memungkinkan peneliti untuk mengisolasi efek intervensi dari pengaruh efek variabel lain (Walters, 2009). Model cox regression
menggambarkan kemungkinan individu
untuk
mengalami suatu kejadian dalam interval waktu tertentu, jika diketahui individu tersebut masih hidup sampai dengan waktu t (hazard rate). Nilai hazard dalam cox regression tidak linier, sehingga model regresinya menjadi (Widarsa, 2014) :
19
Keterangan:
Persamaan di atas menunjukkan bahwa exponential koefisien regresi di atas merupakan ratio dari hazard, sehingga metode ini disebut juga metode proportional hazard regression. Hazard Ratio adalah perbandingan hazard kelompok terpapar dengan kelompok tidak terpapar. Bila variabel X adalah variabel paparan dengan kategori 1=terpapar dan 0=tidak terpapar, maka penghitungan HR dapat dilakukan dengan cara berikut (Widarsa, 2014). 1.
Menentukan hazard rate kelompok terpapar
Karena x=1, maka
2.
Menentukan hazard rate kelompok tidak terpapar
Karena x = 0, maka
3.
Menghitung Hazard Ratio
20
Berdasarkan perhitungan tersebut dapat diringkas, bahwa HR dari variabel paparan (X) adalah sama dengan expotensial koefisien regresi (ο’) dari varaiabel paparan (X) tersebut. Jadi, HR dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut.
Note: HR > 1, artinya variabel bebas meningkatkan risiko HR = 1, artinya variabel bebas tidak berpengaruh HR < 1, artinya variabel bebas menurunkan risiko