BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep merokok 2.1.1 Definisi Rokok Rokok adalah salah satu produk tembakau yang dimaksudkan untuk dibakar, dihisap, dan/atau dihirup termasuk rokok kretek, rokok putih, cerutu atau bentuk lainnya yang dihasilkan dari tanaman nicotiana tabacum, nicotiana rustica, dan spesies lainnya atau sintetisnya yang asapnya mengandung nikotin dan tar, dengan atau tanpa bahan tambahan (PBM Menkes & Mendagri, 2011). Rokok berbentuk silinder dari kertas berukuran panjang antara 70 hingga 120 mm (bervariasi tergantung negara) dengan diameter sekitar 10 mm yang berisi daundaun tembakau yang telah dicacah. Rokok dibakar pada salah satu ujungnya dan dibiarkan membara agar asapnya dapat dihirup lewat mulut pada ujung lainnya (Wigand JS, 2006). 2.1.2 Perokok Perokok dapat dibedakan menjadi 2, yaitu perokok aktif dan perokok pasif. Perokok aktif adalah orang yang secara langsung menghisap asap utama yang pertama kali keluar dari rokok (mainstream), sedangkan perokok pasif adalah orang yang bukan perokok namun terpaksa menghisap atau menghirup asap rokok yang dikeluarkan oleh perokok (Republik Indonesia, 2011).
8
9
2.1.3 Faktor-faktor penyebab ketergantungan merokok Subanada
(2004)
menyatakan
faktor-faktor
yang
menyebabkan
ketergantungan merokok: 1. Faktor Psikologis Merokok dapat menjadi sebuah cara bagi individu untuk santai dan kesenangan, tekanan-tekanan teman sebaya, penampilan diri,sifat ingin tahu, stress, kebosanan dan ingin kelihatan gagah merupakan hal-hal yang dapat mengkontribusi mulainya merokok. Selain itu, individu dengan gangguan cemas bisa menggunakan rokok untuk menghilangkan kecemasan yang mereka alami. 2. Faktor Biologis Faktor lain yang mengkontribusi perkembangan ketergantungan nikotin adalah merasakanadanya efek bermanfaat dari nikotin. Proses biologinya yaitu nikotin diterima reseptor asetilkotin-nikotinik yang kemudian membagi ke jalur imbalan dan jalur adrenergenik. Pada jalur imbalan, perokok akan merasakan nikmat, memacu sistem dopaminergik. Hasilnya perokok akan merasa lebih tenang, daya pikir serasa lebih cemerlang, dan mampu menekan rasa lapar. Di jalur adrenergik, zat ini akan mengaktifkan sistem adrenergik pada bagian otak lokus seruleus yangmengeluarkan serotonin. Meningkatnya serotonin menimbulkan rangsangan rasa senang sekaligus keinginan mencari rokok lagi. Hal inilah yangmenyebabkan perokok sangat sulit
10
meninggalkan rokok, karena sudahketergantungan pada nikotin. Ketika berhenti merokok rasa nikmat yang diperoleh akan berkurang. 3. Faktor Jenis Kelamin Tim peneliti dari Universitas Yale Amerika Serikat melakukan penelitian untuk menemukan adanya perbedaan respon yang terjadi di antara otak pria dan otak wanita saat merokok. Dengan menggunakan metode scan Position Emission Tomography (PET) pada otak saat sampel merokok, didapatkan hasil bahwa pria lebih sensitif terhadap pelepasan
dopamin
dibandingkan
wanita.
Penelitian
tersebut
menunjukkan pelepasan dopamin pada pria berlangsung konsisten dan cepat dalam ventral striatum kanan, yaitu daerah otak yang menjadi pusat dari efek obat-obatan penguat seperti nikotin. Sehingga tingkat sensitif yang tinggi ini membuat pria cenderung menjadi pecandu rokok. Berbeda dengan pria, pelepasan dopamin pada wanita cenderung lebih lambat terjadi di dorsal striatum, yaitu daerah otak yang membentuk pola kebiasaan. Otak wanita juga tidak terlalu sensitif terhadap pelepasan dopamin. Penelitian ini menyimpulkan bahwa pria menggunakan rokok untuk mendapat efek kuat dalam tubuhnya, sehingga membentuk pola ketergantungan dan membuat pria ingin selalu merokok. Sementara wanita cenderung merokok hanya saat suasana hatinya tidak baik untuk membantu memperbaiki mood, sehingga efek candu tidak terlalu kuat pada wanita (Jones, 2014).
11
4.
Faktor Umur Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 menemukan
kelompok perokok usia 19-24 tahun atau dapat dikategorikan mahasiswa memiliki proporsi sebesar 24,6% dari total jumlah perokok pada saat itu dan diperkirakan terus meningkat. Mahasiswa dengan rentang umur 19-24 sebagian besar mulai merokok saat dibangku SMA bahkan SMP, sehingga ketergantungan mereka terhadap rokok sudah tinggi dan terakumulasi. Ditambah di lingkungan kampus mereka dengan mudah mengabaikan larangan merokok karena lingkungan yang lebih permisif, berbeda dengan lingkungan SMP maupun SMA dimana ada guru yang akan memarahi jika merokok. Ditambah dengan anggapan mereka sudah dewasa dan sering beraktifitas di luar rumah dinilai mampu mengambil keputusan sendiri dalam hidupnya (Setyorini, 2013). 5. Faktor Lingkungan Faktor lingkungan yang berkaitan dengan penggunaan tembakau antara lain orang tua, saudara kandung maupun teman sebaya yang merokok, reklame tembakau, artis pada reklame tembakau di media.Orang tua memegang peranan terpenting, selain itu juga reklame tembakau diperkirakan mempunyai pengaruh yang lebih kuat daripada pengaruh orang tua atau teman sebaya, hal ini mungkin karena mempengaruhi persepsi remaja terhadap penampilan dan manfaat rokok.
12
6. Faktor Genetik Dahulu diperkirakan bahwa faktor lingkungan memiliki peran yang jauh lebih penting terhadap munculnya ketergantungan fisik perokok terhadap nikotin, tetapi menurut hasil penelitian terakhir, faktor genetik memiliki kontribusi sebesar 50-70% (Tyndale &Sellers, 2005). Pernyataan ini didukung oleh hasil studi pada anak kembar dan keluarga (twin and family studies) yang menunjukkan bahwa kecenderungan untuk munculnya ketergantungan fisik terhadap nikotin oleh karena faktor genetik mencapai angka heritability sebesar 42-80% (Henningfield et al., 2000; Caron et al., 2005; Boardman et al., 2006). Penelitian lain menyatakan bahwa gen CYP2A6
telah
terbukti meningkatkan kecenderungan perokok untuk mengkonsumsi rokok per hari lebih banyak dibandingkan dengan perokok yang tidak memiliki gen ini (Hendy, 2010). 2.1.4 Kandungan zat pada rokok Rokok mengandung kurang lebih 4.000 jenis bahan kimia, dengan 40 jenis di antaranya bersifat karsinogenik (dapat menyebabkan kanker), dan setidaknya 200 diantaranya berbahaya bagi kesehatan. Racun utama pada rokok adalah tar, nikotin, dan karbon monoksida (CO). Selain itu, dalam sebatang rokok juga mengandung bahan-bahan kimia lain yang tak kalah beracunnya. Zat-zat beracun yang terdapat dalam rokok antara lain adalah sebagai berikut :
13
1. Nikotin Nikotin yaitu zat atau bahan senyawa porillidin yang terdapat dalam Nicotiana Tabacum, Nicotiana Rustica dan spesies lainnya yang sintesisnya bersifat adiktif dapat mengakibatkan ketergantungan. Komponen ini paling banyak dijumpai didalam rokok. Kadar nikotin berbeda-beda tergantung jenis tembakau serta posisi daun, daun yang letaknya relatif lebih tinggi daripada daun lainnya memiliki kadar nikotin lebih tinggi. Zat ini mendominasi alkaloid yang ada pada rokok (sekitar 95% alkaloid dalam rokok merupakan nikotin) dan mencapai berat kering 1,5% tembakau dalam rokok. Rata-rata dalam sebatang rokok mengandung 10-14 mg nikotin dan sekitar 1 mg nikotin diabsorbsi ke dalam peredaran darah sistemik selama merokok (Hukkanen et al., 2005). Saat rokok dibakar, nikotin dalam tembakau terdestilasi dan terhisap bersama dengan fraksi partikulat (tar) ke arah pangkal rokok. Absorbsi nikotin melewati membran biologis targantung pada pH. Nikotin memiliki sifat basa lemah dengan pKa 8,0, maka dari itu dalam kondisi lingkungan yang asam, nikotin banyak yang terionisasi dan menjadi sulit untuk menembus membran. Sebaliknya, jika kondisi lingkungan basa (pH 6,5 atau lebih), lebih banyak nikotin yang dapat terabsorbsi dalam paru (Hukkanen et al., 2005). Ketika asap rokok mencapai saluran bronkioli respiratorius dan alveoli paru, nikotin dalam tar yang berdiameter rata-rata 1 μm dengan
14
cepat diabsorbsi. Konsentrasinya dalam darah meningkat dengan cepat saat merokok dan mencapai puncaknya sesaat setelah selesai merokok. Absorbsi yang cepat ini diduga karena luasnya permukaan bronkioli dan alveoli paru disertai dengan pH paru yang sedikit basa, yaitu 7,4. Setelah setiap satu hisapan, nikotin terabsorbsi dari alveolus menuju kapiler paru, dan dari sini mengalir ke dalam ventrikel kiri melalui vena pulmonalis untuk dipompakan ke seluruh tubuh. Akhirnya, nikotin dapat mencapai otak hanya dalam waktu 7 detik, dan dengan cepat pula mengaktivasi neuron-neuron dopaminergik pada brain reward system (O‟Brian, 2006). Selama berada dalam sirkulasi sistemik, nikotin memililki afinitas yang tinggi pada beberapa organ tertentu, yaitu otak, hati, ginjal kelenjar adrenal dan paru. Afinitas nikotin pada jaringan otak sangatlah tinggi, afinitas ini semakin tinggi sebanding dengan peningkatan reseptornya pada perokok (Perry et al., 1999). Afinitas yang tinggi ini disebabkan ikatannya yang spesifik pada reseptor asetilkolin nikotinik dalam sistem saraf pusat. Ditambah pula dengan kenyataan bahwa otak merupakan organ vital dengan vaskularisasi yang tinggi, maka distribusi nikotin dalam otak terjadi hampir secara instan setelah ia memasuki aliran darah sistemik. Nikotin merupakan alkaloid yang bersifat stimulan dan pada dosis tinggi bersifat racun. Zat ini hanya ada dalam tembakau, sangat aktif dan mempengaruhi otak atau susunan saraf pusat. Nikotin juga
15
memiliki karakteristik efek adiktif dan psikoaktif. Dalam jangka panjang, nikotin akan menekan kemampuan otak untuk mengalami kenikmatan, sehingga perokok akan selalu membutuhkan kadar nikotin yang
semakin
tinggi
untuk
mencapai
tingkat
kepuasan
dan
ketergantungannya. 2. Tar Yang dimaksud dengan tar adalah kondensat asap berbentuk senyawa polinuklir hidrokarbon aromatika yang merupakan total residu dihasilkan saat rokok dibakar setelah dikurangi nikotin dan air, yang bersifat karsinogenik (Republik Indonesia, 2003; Republik Indonesia, 2012). Dengan adanya kandungan tar yang beracun ini, sebagian dapat merusak sel paru karena dapat lengket dan menempel pada jalan nafas dan paru-paru sehingga mengakibatkan terjadinya kanker. Pada saat rokok dihisap, tar masuk kedalam rongga mulut sebagai uap padat asap rokok. Setelah dingin akan menjadi padat dan membentuk endapan berwarna coklat pada permukaan gigi, saluran pernafasan dan paruparu. Pengendapan ini bervariasi antara 3-40 mg per batang rokok, sementara kadar dalam rokok berkisar 24-45 mg. Sedangkan bagi rokok yang menggunakan filter dapat mengalami penurunan 5-15 mg. Walaupun rokok diberi filter, efek karsinogenik tetap bisa masuk dalam paru-paru, ketika pada saat merokok hirupannya dalam-dalam, menghisap berkali-kali dan jumlah rokok yang digunakan bertambah
16
banyak (Sitepoe, 1997). Tar terbentuk selama pemanasan tembakau dan kadar tar yang terdapat asap rokok inilah yang menyebabakan adanya risiko kanker (Sukendro, 2007). 3. Karbon Monoksida (CO) Gas karbon monoksida (CO) adalah sejenis gas yang tidak memiliki bau.Unsur ini dihasilkan oleh pembakaran yang tidak sempurna dari unsur zat arang atau karbon.Gas karbon monoksida bersifat toksik yang bertentangan dengan oksigen dalam transpor maupun penggunaannya. Gas CO yang dihasilkan sebatang rokok dapat mencapai 3-6%, sedangkan CO yang dihisap oleh perokok paling rendah sejumlah 400 ppm (parts per million) sudah dapat meningkatkan kadar karboksi haemoglobin dalam darah sejumlah 2-16% (Sitepoe, 1997).
2.2 Definisi Ketergantungan Ketergantungan suatu obat dapat didefinisikan sebagai keadaan dimana obat dapat mengontrol perilaku. Ciri-ciri utama ketergantungan obat antara lain penggunaan obat yang menimbulkan efek psikoaktif dan adanya sistem rewards pathway yang mempengaruhi perilaku pengguna (Kotlyar &Hatsukami, 2002). Pada saat pemaparan nikotin, dopamin dalam otak meningkat sehingga memperkuat stimulasi otak dan mengaktifkan rewards pathway. Rewards system inilah yang menimbulkan keinginan untuk menggunakan nikotin kembali dan memicu ketergantungan fisik terhadap nikotin terjadi cepat dan hebat. Apabila rewards pathway dalam otak telah aktif maka penghentian obat menimbulkan
17
gejala iritabel, kejang, gelisah, sulit konsentrasi, sakit kepala dan tidak bisa tidur (Mycek et al., 2001). 2.2.1 Mekanisme ketergantungan nikotin melalui saraf kolinergik dan dopaminergik Potensi obat yang menyebabkan ketergantungan umumnya ditentukan oleh reinforcing effect dan kecepatan obat menembus otak. Semakin cepat suatu obat menembus
otak
maka
semakin
besar
potensi
obat
tersebut
menimbulkanketergantungan (Stratton et al., 2001). Ketika menghisap rokok, nikotin masukdalam aliran darah melalui organ paru-paru dan mencapai otak lebih cepatdibandingkan obat yang diberikan secara intravena (Mukherjee, 2003). Nikotin
terikat
sebagai
agonis
pada
reseptor
kolinergik
yaitu
asetilkolinnikotinik (nAChR) yang terletak pada otak, ganglia otonom dan neuromuscularjunction (Nestler et al., 2001; Kotlyar &Hatsukami, 2002). nAChR adalah reseptor pentamer yang terhubung kanal ion (Dani &Betrand, 2007). AchR pada sel saraf terdiri dari sub unit αx dan βy. Reseptor ini terhubung dengan kanal ion Na sehingga aktivasi reseptor ini kemudian memasukkan ion Na ke dalam sel dan mengaktifkan reseptor kanal ion Ca pada retikulum sarkoplasmik (sel otot) dan retikulum endoplasmik (sel saraf) sehingga ion Ca menuju ke sitosol, menimbulkan kontraksi (Nestler et al., 2001). Nikotin terikat secara selektif sebagai agonis pada nAChR yang terletakpada ganglia otonom yang tersusun dari sub unit (α3)2 (β4)3 dan otak (α4)2 (β2)3 (Dai &Harris, 2007; De Biasi &Salas, 2008). Ikatan inimenginduksi eksitasi pre-sinaptik dan post-sinaptik dan meningkatkanpermiabilitas ion Na+, Ca2+, Cl- dan K (De Biasi &Salas, 2008). Ion
18
Ca2+ dalam
sel
menginduksi
kontraksi
otot
dan
pelepasan
berbagai
neurotransmiter dan hormon (Ikawati, 2004). Efluks kationkationtersebut memicu depolarisasi sel dan memperantarai pelepasan neurotransmitter dari daerah presinaptik seperti asetilkolin (Rosenthal etl al., 2011). Asetilkolin yang dilepaskan mengaktivasi saraf dopaminergik untuk melepaskan dopamin pada daerah postsinaptik di daerah nucleus accumbens (NAc) (Van Andel et al., 2003). Pelepasan dopamin pada area post sinaptik selain diperantarai oleh asetilkolin, peran nikotin juga dapat secara langsung mengaktivasi saraf dopaminergik itu sendiri. Nikotin yang terikat pada nAChR sub unit α4β2 juga mengeksitasi saraf dopaminergik melalui depolarisasi (Dani dan Harris, 2007). Depolarisasi ini disebabkan karena masuknya ion Na+ ke dalam membran sel, dan K+ diluar membran sel. Nikotin selain bertindak sebagai agonis juga menyebabkan desentisasi nAChR karena nAChR tidak berikatan dengan asetikolin sehingga menurunkan pelepasan dopamin. Pelepasan dopamin pada jalur mesokortikolimbik inilah yang berperan dalam tingkah laku dan menyebabkan efek ketergantungan terhadap obat-obat psikostimulan, termasuk nikotin (Dani &Harris, 2007; De Biasi &Salas, 2008). Pelepasan hormon dan neurotransmitter tersebut memodulasi subyektifitas, kognitif dan efek perilaku yang berhubungan dengan merokok (Kotlyar & Hatsukami, 2002).
19
2.3 Neurobiologi pada Reward Process dan Ketergantungan Rewards dan ketergantungan merupakan hal yang berbeda. Rewards berhubungan dengan sesuatu yang menyenangkan, sedangkan ketergantungan atau ketergantungan merupakan sesuatu yang bersifat menyakitkan dan menimbulkan perasaan yang tidak nyaman. Rewards adalah pengalaman sebagai respon dari berbagai macam stimuli yang memberikan dan membangkitkan kenikmatan dan kegembiraan, sedangkan ketergantungan atau adiksi melibatkan perilaku yang memaksakan, gigih dan perilaku yang tidak terkontrol yang sifatnya merusak. Meskipun perbedaan yang sangat mencolok diantara keduanya, namun terdapat persamaan peran neurobiological yang mendasari keduanya (Adinoff MD, 2004). Jalur mesolimbik tertentu menjadi komponen yang digunakan dalam menilai proses reward. Jalur ini berasal dari badan sel dopaminergic pada Ventral Tegmental Area (VTA), axon saraf dopaminergicyang memanjang dan berakhir pada Nucleus Accumbens (NAc), namun juga menyebar ke amygdala, bed nucleus of stria nucleus (BNST), lateral septal area, dan lateral hypothalamus. Letak VTA berdekatan dengan substantia nigra yang juga penghasil dopamin, jika subtantia nigrayang tersambung dengan dorsal striatum memediasi aktivitas motoris, sedangkan jalur mesolimbik berperan pada reward process (Gardner EL &Ashby CR Jr, 2000). Penyebaran bagian-bagian dari reward area dapat dilihat pada Gambar 2.1.
20
Gambar 2.1 Reward pathway (Nestler & Malenka, 2004)
Pengalaman reward dialami seseorang seiring dengan aktifnya jalur mesolimbic dopaminergic tersebut. Mekanisme ini pada dasarnya aktif karena mendapatkan stimulasi alami seperti aktivitas makan dan hubungan seksual, namun mekanisme yang sama juga terjadi pada substansi berbeda yang sering disalahgunakan penggunaannya seperti alkohol, amfetamin, kokain, mariyuana, nikotin, opium yang efeknya lebih berbahaya pada keseluruhan sistem tubuh (Fredholm, 2003; Gardner et al., 1997). Sistem dopaminergik yang dipengaruhi oleh nikotin adalah dopamin pada jalur mesokortikolimbik yaitu pada daerah vental tegmental area (VTA), profrontalcortex (PFC) nucleus accumbens (NAc) (Dani &Harris, 2007). Mekanisme ketergantungan nikotin melalui saraf dopaminergik sangat berpengaruh, karena secara langsung mengaktivasi jalur mesolimbik yang berperan dalam reward mechanism. Mekanisme ini melibatkan reseptor nAChRS, glutamat, dan asam gamma-aminobuytric (GABA) sebagai inhibitor. Input
21
sinaptik dari glutamin dan GABA dimodulasi oleh subtipe nAChRS yang berbeda kemampuan atau periode desentisasinya (kehilangan kepekaan). Pada awalnya nikotin yang sebagai agonis berikatan pada nAChRS tipe α4 meningkatkan pelepasan dopamin pada VTA, dalam hitungan detik hingga menit terjadi desentisasi (kehilangan kepekaan) pada saraf tersebut sehingga pelepasan dopamin terhenti. Pada saat terjadi peningkatan dopamin, tipe non-α4 nAChRS mengaktifkan GABA sebagai inhibitor namun juga terjadi desentisasi secara cepat. Pada saat yang sama, α4 nAChRS merangsang transmisi glutamat, peningkatan transmisi glutamat pada VTA meningkatkan pelepasan dopamin secara jangka panjang akibat terpapar nikotin. Dengan demikian keseimbangan input sinaptik yang terjadi sebelumnya kembali beralih pada periode eksitasi. Pergeseran ini bahkan lebih kuat daripada input GABA untuk menginhibisi pelepasan dopamin sebelumnya. Periode recovery hingga terjadi transmisi GABA kembali kira-kira membutuhkan waktu hingga 1 jam (Mansvelder & McGehee, 2000). Pada saat terjadi penguatan reward yang melibatkan dopamin, pada awalnya mempengaruhi jalur mesolimbik dan kemudian menyebar ke sirkuit neuronal yang berperan pada memori emosional, pemikiran yang obsesif, respon stress, dan sistem perencanaan keputusan, antara lain: 1.
Amygdala Aktivitas amygdala berkaitan dengan membangkitnya emosi terhadap
suatu kejadian yang terekam dalam ingatan. Amygdala juga terlibat dalam pemberian nilai pada suatu stimulus apakah bersifat reward atau dengan
22
memberi kesan menakutkan pada stimulus yang tidak dikenal (Adinoff MD, 2004). 2.
Anterior cingulate Bagian ini mencakup fungsi kontrol diri, problem solving, attention, dan
respon adaptasi jika terjadi perubahan kondisi (Allman et al, 2001). Berperan juga dalam kontrol dalam proses penyelesaian masalah terutama jika respon yang dikeluarkan rendah (Braver et al., 2001). 3.
Bed Nucleus of the Stria Terminalis (BNST) BNST terlibat pada kebiasaan yang secara otonom dalam menanggapi
stimulus yang menakutkan, seperti respon terhadap stress. BNST merupakan bagian dari amygdala dan juga sangat sensitif terhadap dopamin (Erb & Stewart, 1999). 4.
Dorsolateral Prefrontal Complex (DLPFC) DLPFC sangat krusial dalam mengontrol dan meregulasi aktivitas
kognitif, perencanaan tindakan dan tujuan, dan pengendalian atensi (Fuster, 2008). 5.
Hippocampus Hippocampus berperan penting dalam ingatan jangka pendek yang
melibatkan integrasi berbagai rangsangan terkait dan juga penting untuk konsolidasi menjadi ingatan jangka panjang (Fanselow & Dong, 2010). 6.
Insular cortex Bagian ini berperan dalam proses nyeri, juga berperan dalam berbagai
macam emosi seperti: marah, sedih, gembira, dan berperan dalam usaha dan
23
kehendak yang disadari, seperti keinginan untuk makan, keinginan untuk mengkonsumsi obat (Adinoff MD, 2004). 7.
Orbitofrontal Cortex (OFC) OFC merupakan bagian yang berperan pada proses kogntif decision-
making dengan peran alaminya sebagai pengekalkulasi „untung rugi‟ dari suatu tindakan berdasarkan konstruk –konstruk dari reward dan punishment yang sudah dapat dipelajari (Elliot et al., 2000). Di Chiara (1998) menyatakan bahwa pemakaian zat dan obat-obatan yang berkelanjutan memperkuat sensitifitas jalur mesolimbik dan area asosiasinya. Pengalaman yang melekat pada saat menggunakan obat ataupun zat menimbulkan “addiction memory” (Boening, 2001) yang tertanam di jalur mesolimbik terutama amygdala(See, 2003). Pada saat terjadi penyalahgunaan obat, sirkuit tersebut aktif dan menimbulkan keinginan yang besar dan berkelanjutan untuk menggunakan obat tersebut (O‟Brien, 1998). Pada periode abstinence (putus rokok untuk beberapa saat), studi pencitraan melalui fMRI menunjukkan bahwa terjadi peningkatan aktivitas pada bagian mesolimbik (nucleus accumbens, amygdala, dan hippocampus) dan pada bagian mesokortikal (prefrontal cortex, orbitofrontal cortex, dan anterior cingulate) yang dimana kedua area besar tersebut terdapat pada sirkuit dopamin (Due et al., 2002; Mc Clernon et al.,).
24
2.4 HPA (Hypothalamus-Pituitary-Adrenal ) Aksis HPA Aksis adalah bagian utama dari sistem Neuroendokrin (Saraf pada hormon) yang mengontrol reaksi terhadap stres dan pula memiliki fungsi penting dalam mengatur berbagai proses tubuh seperti pencernaan, sistem kekebalan tubuh ,suasana hati, emosi, seksualitas, dan penyimpanan penggunaan energi. Sumbu HPA juga terlibat dalam gangguan kecemasan, gangguan bipolar, pascatraumatic stress disorder, depresi klinis, kelelahan dan sindrom iritasi usus besar. 2.4.1 Hipotalamus Di dalam hipotalamus banyak terdapat neuron-neuron yang mensintesis peptida dan katekolamin, substansi ini kemudian disalurkan ke sistem sirkulasi dan bertindak sebagai hormon. Beberapa hormon hipotalamus posterior seperti ADH dan oxytocin disalurkan ke sirkulasi sistemik untuk langsung menuju jaringan, sedangkan hormon hipotalamus yang lain seperti GnRH, GHRH, Somatostatin, TRH, Dopamine, CRH menuju ke sirkulasi portal untuk disalurkan ke anterior pituitari dimana hormon-hormon tersebut dapat bertindak sebagai stimulator maupun inhibitor untuk hormon-hormon dari anterior pituitari. Hipotalamus bertindak sebagai kontrol dan pusat integrasi dari stimulus interoceptif dan eksteroceptif. Sebagai contoh, saat seseorang mengalami dehidrasi saat berada di lingkungan dengan temperatur yang panas ataupun setelah berolahraga, hipotalamus merespon dengan meningkatkan tekanan osmotik pada cairan ekstraseluler. Pada saat yang sama, berkurangnya volume cairan ekstraseluler dirasakan dan direspon oleh sistem saraf perifer kemudian informasi ini diteruskan kembali ke hipotalamus yang kemudian akan merilis ADH (Anti
25
Diuretic Hormone) yang berperan untuk mengurangi kehilangan cairan tubuh melalui peningkatan reabsorbsi air pada saluran tubulus ginjal dan menstimulasi rasa haus. 2.4.2 Kelenjar Pituitari Kelenjar pituitari atau kelenjar hipofisis terletak pada dasar otak besar. Kelenjar ini terdiri dari bagian anterior dan posterior. Hipofisis anterior memproduksi hormon GH, ACTH, TSH, ICSH, FSH, LH, dan Proklactin. Sedangakan hipofisis posterior menghasilkan hormon ADH dan oksitosin. Hormon antidiuretik (ADH) berfungsi mengatur kadar air dalam tubuh melalui pembentukan urin dan mencegah pengeluaran urin yang terlalu banyak, sedangkan hormon oksitosin berfungsi untuk kontraksi otot dalam proses kelahiran. Kelenjar pituitari merupakan kelenjar utama yang menghasilkan bermacam-macam hormon dan mengatur kerja hormon lainnya. Oleh karena itu kelenjar pituitari (hipofisis) disebut kelenjar pengendali (master of gland). Struktur anatomi kelenjar pituitari dan fungsi hormon yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 2.2 dan Tabel 2.1.
Gambar 2.2 Kelenjar Pituitari (Mescher A, 2009)
26
Tabel 2.1 Fungsi Hormon Hipofisis Anterior (Anonim, 2012)
No
Hormon yang dihasilkan
Fungsi
1
Somatotrophic Mengendalikan pertumbuhan tubuh, kelebihan hormon ini Hormone (STH) atau mengakibatkan pertumbuhan raksasa, sedangkan kekurangan hormon pertumbuhan hormon ini mengakibatkan kekerdilan.
2
Thyroid Stimulating Hormone (TSH)
Mengendalikan kegiatan kelenjar tiroid untuk menghasilkan hormon tiroksin.
3
Adrenocorticotrophic Hormone (ACTH)
Mengendalikan kegiatan kelenjar adrenal dalam menghasilkan glukokortikoid
4
Follicle Stimulating Hormone (FSH)
Wanita: mengatur perkembangan ovarium (pemasak folikel) Pria: mengatur perkembangan testis dan spermatogenesis.
5
Lutenizing Hormone (LH)
Wanita: mempengaruhi ovulasi dan membentuk korpus luteum. Pria: mengatur sekresi dari hormon testosterone dan aldosteron pada testis.
6
Hormon prolaktin (PRL)
Mempengaruhi pertumbuhan kelenjar air susu
7
Melanocyte Stimulating Hormon
Mensintesis melamin (pigmen warna).
8
Antidiuretic Hormon (ADH)
Mencegah urin terlalu banyak.
27
2.4.3
Kelenjar Adrenal Kelenjar adrenal terdiri dari 2 bagian yaitu bagian medula yang
mensekresikan katekolamin dan bagian korteks yang mensekresi hormon steroid. Bagian korteks kelenjar adrenal dibagi menjadi 3 zona, yaitu: zona glomerulosa yang mensekresi aldosteron, zona fasciculata dan zona reticularis yang mensekresi glukokortikoid, androgen dan estrogen. 2.4.4 Kortisol Kortisol merupakan golongan glukokortikoid yang diproduksi oleh kelenjar adrenal. Seperti golongan steroid lainnya, kortisol dimetabolisme di dalam hati. Kadar kortisol umumnya meningkat pada pagi hari dan berangsurangsur turun di siang hari dan kemudian tingkat kortisol sangat menurun pada larut malam. Nilai normal pada pukul 9.00 pagi untuk kortisol ( 11 hidroksikortikosteroid ) adalah 170-720 nmol/l (6-26μg/100ml), sedangkan kadar tengah malam (24:00) kurang dari 220 nmol/l (<8μg/100ml) (Jacoeb, 2002; Aaron, 1998). Kortisol merupakan salah satu hormon yang sangat berperan bagi tubuh, diantaranya pada proses metabolisme, imunitas dan respon inflamasi, dan pada respon terhadap stress. Pada saat aktivitas fisik seperti olahraga, kortisol tetap memelihara kadar plasma glukosa dengan mendorong pemakaian asam lemak sebagai sumber energi. Pada respon inflamasi, kortisol dan golongan glukokortikoid lainnya menekan sintesis pengeluaran asam arakidonat yang merupakan prekursor mediator inflamasi seperti prostaglandin dan leukotrin dan juga menekan proliferasi dari sel mast sehingga proses inflamasi dapat ditekan
28
aktivitasnya. Pada stress akibat trauma, pembedahan, pendarahan, infeksi, hipoglikemi, peningkatan kortisol berperan sebagai reaksi pertahanan diri dan untuk memberikan sinyal ke sistem tubuh yang lain jika ada stres fisik yang terjadi. 2.4.5
Respon HPA Aksis saat Olahraga Olahraga merupakan kegiatan yang menarik dan menyenangkan, tidak
hanya berdampak terhadap peningkatan kesehatan, kondisi fisik dan fisiologis, tetapi juga psikologis. Namun olahraga dengan dosis berat dan bersifat kompetitif salah satu penyebab stres (stresor). Olahraga merupakan stres fisik, yang berpotensi menimbulkan gangguan homeostatis, khusususnya pada olahraga yang dilakukan secara berlebihan (Mastorakos & Pavlatou, 2005). Stres fisik yang ditimbulkan tersebut menurut Uchakin et al (2003) tidak hanya menyebabkan stres fisik itu sendiri, tetapi juga dapat menyebabkan stres kimia fisiologis dan pikologis. Hal ini berpotensi mengganggu homeostatis (Fatouros et al., 2010). Stres oleh tubuh direspon dengan mengaktifkan sistem kardiorespirasi, sistem locus ceruleus (LC/norepinephrin (NE), sistem metabolisme dan HPA axis (Mastorakas & Pavlatou, 2005). Aktifnya hipotalamus–puitutary–adrenal axis (HPA), menimbulkan conditioning stimulus pada alur limbic–hipotalamus–puitutary-adrenal Axis (LHPA axis), kemudian merangsang hipotalamus dan menyebabkan disekresinya hormon corticotrophin relesing hormone (CRH), merangsang hipotalamus untuk sekresi ACTH. Peningkatan sekresi ACTH, menyebabkan meningkatnya sekresi, kortisol (Usui dkk., 2012). Hormon tersebut dikeluarkan untuk menjaga homeostatis dalam menghadapi stres, baik fisik
29
maupun psikologis (Fatouros et al., 2010). Dalam batas tertentu peningkatan kortisol digunakan sebagai upaya untuk menghadapituntutan baru (cope) dengan peningkatan kebutuhan energi yang diakibatkan oleh stresor olahraga (Hackney, 2006). Sistem hormon sangat responsif terhadap stres fisik maupun mental, termasuk di antaranya olahraga yang intensif dan terus menerus. Dalam melakukan upaya adaptasi terhadap stres maka system HPA axis dan hormon yang bertanggung jawab terhadap stres diaktifkan (Kanaley & Hartman, 2002).Aizawaet al., (2006) mengatakan bahwa aktifnya hypothalamo-pituitary-gonadal(HPG) dan HPA axis, pada saat olahraga, untuk adaptasi terhadap stresor olahraga yang dilakukan. Namun demikian aktifnya HPA axis dipengaruhi oleh intensitas, durasi, metode dan tingkat keterlatihan individu (Usui et al., 2008) serta juga sifat dari olahraga (Ronsendal et al., 2002). Pada olahraga yang bersifat kompetitif HPA axis lebih aktif, dibanding dengan olahraga yang nonkompetitif. Hal ini karena olahraga kompetitif, terjadi tekanan fisik dan mental lebih tinggi (Aizawaet al., 2006). Olahraga yang bersifat anaerobik mengakibatkan peningkatan sekresi kortisol yang lebih tinggi dibandingkan dengan olahraga aerobik (Minetto et al., 2006) Respon olahraga bagi tubuh tidak hanya sebagai stresor, tetapi juga berpotensi sebagai stimulator. Hal ini sangat tergantung pada pengelolaan olahraga, olahraga dengan intensitas tinggi dan bersifat kompetitif lebih cenderung menjadi stresor yang dapat menyebabkan distres. Sebaliknya olahraga dengan intensitas yang tepat berkesinambungan, intensitas yang baik, teratur dan menyenangkan
30
berpotensi menjadi stimulator. Olahraga dengan intensitas yang tepat justru dapat menurunkan kecemasan, depresi, meningkatkan rasa enjoy dan mood.Untuk menghindari stres yang kurang baik bagi tubuh maka olahraga harus dilakukan dengan teratur, terukur, berkesinambungan dan menyenangkan, yang dilakukan minimal 3 kali/minggu dengan intensitas antara 60-80% dari HRR (Sugiharto, 2012). 2.4.6 Respon HPA Aksis pada Perokok Emosi dan motivasi yang diatur di dalam otak “dibajak” saat seseorang menjadi pecandu dan ketergantungan akibat penyalahgunaan zat (Koob & Le Moal, 1997). Zat nikotin tidak hanya mempengaruhi sistem mesolimbik yang berkaitan dengan rewards atau imbalan, salah satu sistem yang dipengaruhi juga adalah hypotalamic-pituitary-adrenal (HPA) yang berperan dalam mengontrol reaksi terhadap stres, emosi dan suasana hati. Jalur stres ini meliputi HPA, extrahypothalamic corticotropin-releasing factor (CRF), termasuk amygdala and BNST (Koob & Moal, 2001). Valdes et al (2003) menyatakan bahwa terjadi perubahan respon stres pada HPA saat terjadi paparan zat dan obat-obatan yang menyebabkan ketergantungan. HPA yang diregulasi oleh hipotalamus secara fisiologis mengatur dan menerima respon metabolik harian, tapi saat kondisi emosional akibat ketergantungan suatu zat, regulasi ini digantikan oleh sinyal dari sistem limbik dan area prefrontal cortex (Lovallo, 2006). Sehingga saat terpapar nikotin menyebabkan sekresi corticotropin-releasing-hormone
(CRH)
pada
nukleus
paraventrikular
hipotalamus, diikuti dengan sekresi adrenocorticotropic hormone (ACTH) dari
31
kelenjar pituitari, dan sekresi kortisol pada kelenjar adrenal. Respon ini menyebabkan keinginan yang terus bertambah untuk merokok (Steptoe & Ussher, 2006). Kortisol juga berperan dan sangat sensitif pada stres psikologis, seperti yang dialami para perokok dalam usaha berhenti merokok, tak jarang perokok gagal dalam usahanya tersebut (al‟Absi et al., 2004). Penelitian pertama mengenai paparan nikotin mempengaruhi aktivasi HPA pada manusia dilakukan oleh Winternitz dan Quillen (1977) yang menyebutkan bahwa dengan mengkonsumsi dua batang rokok bernikotin tinggi menyebabkan peningkatan tajam plasma kortisol. Kirschbaum (1992) menyatakan kenaikan salivary cortisol lebih signifikan ketika mengonsumsi 2 batang rokok daripada hanya sebatang rokok. Pada jangka panjang, perokok memiliki kadar kortisol 36% lebih tinggi daripada non perokok (Steptoe and Ussher, 2006). Akibat peningkatan kortisol secara jangka panjangadalah terjadi penurunan imunitas tubuh, sebab kortisol bersifat immunosuppresif (Roit, 1995). Sifat kortisol berpengaruh pada penekanan sintesis protein, mengurangi populasi eusinofil, limfosit dan makrofag/monosit, kemudian menimbulkan atropi jaringan limfoid, thymus, limpa dan kelenjar limfe (Granner, 1998), sehingga mempengaruhi fungsi imun dan menurunkan derajat kesehatan (Thornton & Andersen, 2006). 2.5 Pengukuran Ketergantungan Nikotin 2.5.1 Fagerstrröm Test for Nicotine Dependence(FTND) Untuk mengukur tingkat ketergantungan nikotin, dipergunakan suatu skala yang telah digunakan sebagai standar untuk penentuan ketergantungan nikotin
32
oleh WHO, yaitu FTND. Skala FTND disebutkan pada berbagai kepustakaan mewakili
aspek
fisik
dan
psikologis
dari
ketergantungan,
khususnya
ketergantungan nikotin. Pewawancara hanya bertanya berdasarkan nomor pertanyaan dan mencocokkan jawaban sampel dengan poin yang mewakilinya, untuk kemudian dijumlahkan sehingga didapatkanlah nilai tingkat ketergantungan nikotin perokok tersebut (Artana &Rai, 2009). Dalam FTND terdapat tujuh area yang digunakan dalam parameter pengukurannya yakni jarak waktu antara bangun tidur dan rokok pertama yang dihisap, kesulitan yang dialami saat berada di lingkungan bebas rokok, jumlah rokok yang dihisap, aktivitas merokok walaupun saat sakit, waktu merokok yang paling sulit dihindari, dan yang terakhir adalah apakah keinginan merokok lebih dominan di saat setelah bangun tidur dibandingkan dengan saat kegiatan lain. Skala FTND memiliki 5 tingkat interpretasi, yaitu skor 1-2 untuk tingkat ketergantungan merokok sangat rendah, skor 3-4 untuk tingkat ketergantungan merokok rendah, skor 5 untuk ketergantungan merokok sedang, skor 6-7 untuk ketergantungan merokok tinggi, dan skor 8-10 untuk tingkat merokok sangat tinggi (Heatherton et al., 1991; Hendy, 2007). Menurut hasil studi Piper et al tahun 2003 yang membandingkan kuesioner WISDM-68 (Wisconsin Inventory of Smoking Dependence Motives), terdiri dari 68 pertanyaan yang terbagi dalam 13 domain motif ketergantungan terhadap nikotin) dengan FTND, terbukti bahwa FTND memiliki korelasi positif yang kuat (koefisien korelasi 0,78, p<0,05) dengan domain motif toleransi pada kuesioner WISDM-68. Jadi, dari hasil penelitiannya, dapat disimpulkan bahwa kuesioner
33
FTND sangat tepat digunakan untuk mendeteksi adanya proses toleransi yang menjadi pertanda bahwa perokok telah mengalami ketergantungan fisik. 2.5.2
Question of Smoking Urge(QSU) QSU digunakan untuk mengukur seberapa besar urgenitas dan
ketergantungan untuk menghisap rokok sebelum dan setelah menjalani suatu treatment atau terapi. Penilaian ini terdiri dari 32 item pertanyaan yang dibagi menjadi 4 grup besar yang mewakili konsep persepsi yang berbeda keinginan mendesak untuk merokok, yaitu: keinginan untuk merokok (8 item pertanyaan), pengharapan untuk mendapat efek positif dari merokok (8 item pertanyaan), meringankan withdrawal effect dan niat untuk merokok masing-masing 8 item pertanyaan. Masing-masing item mempunyai skala 7 poin (1=sangat tidak setuju, 4=tidak terlalu setuju, 7=sangat setuju). Semakin tinggi skor yang didapatkan, maka semakin tinggi pula tingkat kebutuhan seseorang terhadap rokok (Tiffany & Drobes, 1991). Pada penelitian ini digunakan 10 item pertanyaan QSU yang dipilih dari keempat konsep persepsi tersebut, kesepuluh item tersebut memiliki koefisien reliabilitas (Cronbach‟s Alpha) sebesar 0,89 (Cox et al., 2001). 2.6 Olahraga aerobik 2.6.1 Pengertian latihan aerobik Aerobik merupakan suatu olahraga yang dalam latihannya diperlukan oksigen dalam pembentukan energi, menggunakan otot-otot besar, intensitas latihan 60-90% dari Maximum Heart Rate (MHR) (Sari, 2013). Latihan aerobik adalah latihan yang menggunakan energi yang berasal dari pembakaran dengan oksigen. Contoh latihan aerobik adalah lari-lari, jalan-jalan, treadmill, bersepeda,
34
renang dan senam. Efek latihan aerobik adalah kebugaran kardiorespirasi, karena latihan tersebut mampu meningkatkan pengambilan oksigen, meningkatkan kapasitas darah untuk mengangkut oksigen dan denyut nadi menjadi lebih rendah saat istirahat maupun beraktifitas. Manfaat lainnya aerobik bisa meningkatkan jumlah kapiler, menurunkan jumlah lemak dalam darah, dan meningkatkan enzim pembakar lemak (Kurniawati, 2010). 2.6.2 Prinsip-prinsip Latihan Agar program latihan dapat berjalan sesuai tujuan, maka latihan harus diprogramsesuai dengan prinsip-prinsip latihan yang benar (Bompa, 1994) antara lain mengemukakan prinsip-prinsip latihan adalah meliputi FITT (Frequecy, Intensity,Time, Type). Pinsip-prinsip tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Frekuensi Frekuensi menunjuk pada junlah latihan per minggunya. Secara umum, frekuensi latihan lebih banyak, dengan program latihan lebih lama akan mempunyai pengaruh lebih baik terhadap kebugaran paru jantung. Untuk mendapatkan manfaat dari olahraga maka olahraga dilakukan dengan frekuensi olahraga 3 hingga 5 kali seminggu dan 6-7 kali perminggu untuk meningkatkan endurance atlit (Faheyet al., 2013). Latihan dengan frekuensi tinggi membuat tubuh tidak cukup waktu untuk pemulihan. Kegagalan menyediakan waktu pemulihan yang memadai akan dapat menimbulkan cedera. Tubuh membutuhkan waktu untuk bereaksi terhadap rangsangan latihan, pada umumnya membutuhkan waktu lebih dari 24 jam. Semakin bertambah usia semakin lama waktu yang dibutuhkan untuk
35
pemulihan. Pada kenyataannya, individu yang tidak terlatih membutuhkan waktu 48 jam untuk pemulihan dan beradaptasi dengan rangsangan latihan (Sharkey, 2003). 2. Intensitas Intensitas latihan merupakan komponen latihan yang sangat penting untuk dikaitkan dengan komponen kualitas latihan yang dilakukan dalam kurun waktuyang diberikan. Intensitas adalah fungsi kekuatan rangsangan syaraf yang dilakukan dalam latihan, kuatnya rangsangan tergantung dari beban kecepatan gerakan, variasi interval atau istirahat diantara ulangan. Intensitas latihan adalah berat ringannya suatu beban latihan, dapat diukur dari jumlah set, jarak lintasan yang ditempuh, dan target heart zone ( Suharjana, 2008 ). Untuk menentukan intensitas latihan dapat diukur dengan cara mengukur denyut jantung maksimal karena antara denyut jantung dengan pemakaian energi aerobik (VO2) berbanding lurus. Maximal Heart Rate atau Denyut Jantung Maksimal (DJM) dapat diperkirakan dengan menggunakan rumus: HR.max= 220-usia. Menurut American College of Sport Medicine (ACSM), intensitas latihan aerobik harus mencapai 60%-90% dari Maximal Heart Rate (MHR). Berdasarkan MHR yang dicapai untuk latihan aerobik intensitas ringan 60%-69% MHR, intensitas sedang 70%-79% MHR, dan intensitas tinggi 80%-90% MHR. Menurut Fahey et al., (2013) program latihan harus mencapai 60 – 80% dari denyut nadi maksimal.
36
3. Waktu (Time) Durasi menunjukan pada lama waktu yang digunakan untuk latihan.Untuk mendapatkan manfaat dari olahraga maka olahraga dilakukan dengan durasi 20 – 60 menit setiap latihan (Fahey, et al., 2013). Menurut Suharjana (2008) durasi latihan aerobik yang baik adalah 20–60 menit, dilakukan secara kontinyu, dengan melibatkan otot–otot besar. 4. Tipe Tipe latihan adalah bentuk atau model latihan yang disesuaikan dengan fasilitas yang ada dan kesenangan atlit. Contoh latihan aerobik adalah larilari, jalan-jalan, treadmill, bersepeda, renang dan senam. 2.6.3 Metode Latihan Aerobik Hinson (1995) berpendapat bahwa untuk mengembangan latihan aerobik dapat menggunakan beberapa metode, antara lain: Continuos Training, Interval Training, Circuit Training. Continuous Training atau latihan kontinyu atau sering disebut latihan terus menerus adalah latihan yang dilakukan tanpa jeda istirahat, dengan kecepatan yang konstan dilakukan secara terus-menerus tanpa berhenti. Waktu yang digunakan untuk latihan kontinyu relatif lama, antara 30-60 menit dengan menggunakan intensitas 60-80% dari HR max dan frekuensinya 3-5 hari perminggunya. Contoh latihan kontinyu seperti: jogging, jalan kaki, lari diatas treadmill, bersepeda statis, dan berenang. Interval Training atau latihan berselang adalah latihan yang bercirikan adanya interval kerja diselingi interval istirahat (recovery). Bentuknya bisa
37
interval running (lari interval) atau interval swimming (berenang interval). Latihan interval biasanya menggunakan intensitas tinggi, yaitu 80-90% dari kemampuan maksimal dengan durasi antara 2-5 menit. Lama istirahat antara 2-8 menit. Perbandingan latihan dengan istirahat adalah 1:1 atau 1:2. Metode ini bermanfaat untuk meningkatkan kebugaran dan memacu pembakaran kalori lebih banyak karena tubuh dituntut untuk selalu beradaptasi selama latihan. Circuit training dirancang selain untuk mengembangkan kapasitas paru, juga untuk mengembangkan kekuatan otot. Sirkuit training merupakan bentuk latihan yangterdiri dari beberapa pos (station) latihan yang dilakukan secara berurutan dari pos satu sampai pos terakhir. Jumlah pos antara 8-16. Istirahat dilakukan pada jeda antara pos satu dengan yang lainnya. 2.6.4 Fisiologi olahraga Menurut Faheyet al., (2013) selama latihan, kebutuhan pada sistem kardiorespirasi meningkat. Sel-sel tubuh terutama pada otot-otot yang bekerja, sangat membutuhkan oksigen dan bahan bakar untuk menghilangkan sisa – sisa metabolisme pada tubuh. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut maka tubuh akan membuat perubahan sebagai berikut : 1. Olahraga
menurunkan
hormon
stres
seperti
kortisol
dan
meningkatkan hormon endorphin. Hormon endorphin merupakan suatu zat yang membuat tubuh menjadi lebih baik, ketika hormon endorphin dilepaskan selama latihan maka suasana hati secara alami akan menjadi naik. Selain hormon endorphin, pada saat melakukan olahraga juga akan melepaskan hormon lainnya seperti adrenalin, serotonin dan
38
dopamin yang akan bekerja secara bersama-sama untuk membuat tubuh menjadi lebih baik. Endorphin merupakan hormon yang diproduksi di kelenjar pituitari dan berfungsi sebagai penghilang rasa sakit alami dari tubuh (Sprouse-Blum, et al., 2010). Aktivitas fisik merangsang pikiran dan emosi di pusat otak sehingga menghasilkan perbaikan suasana hati dan fungsi kognitif. Hal tersebut meningkatkan aktivitas gelombang α di otak yang berhubungan dengan keadaan santai (Fahey et al., 2013). Penelitian yang dipimpin oleh dr.Henning Boecker di Jerman pada tahun 2008 menggunakan Positron Emission Tomography (PET Scans) untuk mengukur aktivitas endorphin di otak dari 10 pelari pada saat istirahat dan setelah lari dengan jarak yang panjang. Mereka membandingkan gambar dari PET scans untuk menentukan area mana dari otak yang mempunyai aktivitas endorphin paling tinggi. Peneliti juga meminta pelari untuk melaporkan suasana hati termasuk dengan tingkat euforia. Hasil dari penelitian menunjukkan endorphin dihasilkan selama latihan, endorphin yang melekat pada reseptor dibagian otak umumnya terkait dengan emosi (limbik dan prefrontal), jumlah endorphin yang diproduksi di otak cocok dengan tingkat perubahan suasana hati yang dilaporkan oleh pelari. Selama olahraga, hormon endorphin akan dilepaskan dan hormon tersebut dapat menghasilakan perasaan euforia,
39
phenylethylamine yang dapat meningkatkan suasana hati, energi dan perhatian (Therapy, 2008). 2. Denyut jantung meningkat hingga 160 – 180 denyut/menit selama melakukan latihan intens. 3. Stroke volume jantung meningkat, yang berarti bahwa jantung memompa lebih banyak darah yang keluar setiap jantung berdenyut. Tekanan darah sistolik akan meningkat dan tekanan darah diastolik akan stabil atau sedikit menurun. 4. Setiap menit jantung akan memompa lebih banyak darah dan mengedarkan ke seluruh tubuh akibat dari denyut jantung lebih cepat dan stroke volume jantung yang meningkat. Selama latihan, curah jantung akan meningkat menjadi 20 liter atau lebih/menit, dibandingkan pada saat istirahat 5 liter/menit. 5. Adanya perubahan pada aliran darah, sebanyak 85-90% dari darah yang dikirimkan ke otot yang bekerja. Pada saat istirahat, hanya sekitar 15-20% dari darah yang didistribusikan ke tulang dan otot. 6. Untuk mengoksidasi aliran darah yang meningkat, maka tubuh membutuhkan oksigen sehingga akan bernapas lebih cepat dan lebih dalam, sampai dengan 40-60 napas/menit. Oksigen merupakan komponen yang paling penting dalam sistem penghasil energi pada tubuh, sehingga kemampuan sistem kardiorespirasi untuk mengambil dan mengantarkan oksigen ke seluruh tubuh merupakan hal yang paling penting untuk fungsi tubuh. Semua perubahan yang terjadi
40
selama melakukan latihan akan dikendalikan dan dikoordinasikan oleh pusat-pusat khusus di otak, yang menggunakan sistem saraf serta pembawa pesan kimia untuk mengontrol proses kardiorespirasi pada saat latihan. 2.6.5
Pengertian, Teknik dasar dan pelaksanaan lari aerobik Lari adalah gerakan tubuh dimana kedua kaki ada saat melayang di udara
(kedua telapak kaki lepas dari tanah) yang mana lari diartikan berbeda dengan jalan yang selalu kontak dengan tanah. Lari adalah frekuensi langkah yang dipercepat sehingga pada waktu berlari ada kecenderungan badan melayang. Artinya pada waktu lari kedua kaki tidak menyentuh tanah sekurang-kurangnya satu kaki tetap menyentuh tanah.Jadi saat berjalan terdapat hanya 2 kondisi, melangkah dan menapak. Sedangkan saat berlari terdapat 3 kondisi, yaitu melangkah, melayang, menapak seperti pada Gambar 2.3
Gambar 2.3 Tahapan lari ( Adelssr, 1986)
41
Teknik lari dibutuhkan untuk menghasilkan kecepatan yang lebih dengan efisiensi tenaga yang tinggi, juga untuk pencegahan cedera. Berikut adalah langkah-langkah agar dapat berlari dengan cepat dan baik menurut Ihsan (2012): 1. Nafas Teknik nafas sebenarnya lebih ke pola, yaitu perpaduan antara dalamnya nafas dan ritmenya. Dalam nafas yang paling baik adalah bernafas dalam-dalam walaupun sedikit lebih lama. Hal ini bertujuan untuk memperbanyak persentasi volume udara yang masuk sampai paru-paru dalam satu hembusan. Dibandingkan bernafas dengan dangkal yang lebih singkat, cara ini masih lebih baik. Sementara ritme nafas yang baik adalah mengikuti langkah kaki, sehingga gerakan seluruh tubuh serasa harmonis. Umumnya, ritme pernafasan yang cocok adalah 3 - 3 (menghirup selama 3 langkah kaki, menghembus selama 3 langkah kaki). 2.
Postur Tubuh Bagaimana bentuk tubuh ketika berlari akan sangat menentukan
performa yang dapat dihasilkan. Postur tubuh yang baik akan menghemat tenaga tubuh sehingga dapat berlari cepat tanpa kelelahan dengan cepat. Posisi tubuh yang baik saat berlari dapat dilihat pada Gambar 2.4.
42
Gambar 2.4 Posisi tubuh saat berlari (Ihsan M, 2012)
3. Gerakan Tubuh Hal terakhir namun tak kalah penting juga adalah gerakan tubuh yang tepat. Gerakan juga akan menentukan berapa banyak dorongan yang dapat dihasilkan untuk setiap tenaga yang dihabiskan. Gerakan tubuh saat berlari yang baik memiliki beberapa poin yaitu: pola langkah yang pendek dengan frekuensi 3 langkah per detik dan turnover yang tidak terlalu cepat sehingga dapat menghasilkan dorongan yang cukup tanpa cepat melelahkan kaki, menggunakan bagian tengah telapak kaki untuk menginjak permukaan tanah agar betis tidak cepat lelah, dan ayunan tangan untuk menyeimbangkan gerakan kaki. Mengenai kecepatan gerakan tubuh saat berlari, Kuntaraf (1992) mengatakan bila seseorang lari lebih cepat dari 9 menit untuk jarak 1,6 km, maka dapat disebut berlari. Sedangkan jika jarak tersebut ditempuh dalam waktu yang lebih lambat dari 9
43
menit, maka disebut jogging. Pengertian lain jogging adalah lari yang lambat dan kontinyu (Soekarman, 1989). 2.6.6
Manfaat latihan aerobik dalam mengurangi keinginan merokok Olahraga menjadi metode non farmakologi yang efektif dalam
mengurangi ketergantungan merokok saat periode abstinence (putus merokok) sementara (Taylor et al., 2007; Ussher et al., 2008). Manfaat olahraga dalam mengurangi ketergantungan merokok melalui beberapa mekanisme yang sudah diteliti oleh beberapa peneliti sebelumnya. Studi yang dilakukan Rensburg et al tahun 2009 dengan rata-rata usia sampel 30 tahun menggunakan pencitraan fMRI untuk melihat perbedaan bagian otak yang teraktivasi pada saat kondisi pasif dan setelah melakukan satu sesi latihan aerobik dengan periode smoking abstinence selama 15 jam sebelum dilakukan penelitian. Pada saat dilakukan scanning pada kelompok kontrol (tidak mendapat perlakuan), terjadi peningkatan aktivitas yang signifikan pada area asosiasi reward (caudate nucleus), area motivasi (orbitofrontal cortex), dan area visuospatial (parietal lobe, parahippocampal, dan fusiform gyrus). Hasil ini menunjukkan pengalaman yang dialami seseorang sebelumnya meningkatkan keinginan dan emosional untuk kembali merokok. Post exercise scanning menunjukkan terjadi hypo-activity (penurunan aktifitas) pada area-area tersebut. Post exercise scanning juga mendapatkan hasil dimana terjadi penurunan aktivitas pada area dorsolateral prefrontal cortex (DLPFC) saat area yang lain yaitu frontal cortex (terutama broadmann area 10) dan anterior cingulate teraktivasi. Kedua area ini mempunyai fungsi eksekutif yang kompleks dalam menganalisa dan
44
memecahkan suatu masalah dan juga sebagai reward anticipation. Hasil penemuan tersebut dapat dijelaskan melalui teori yang dikemukakan Dietrich (2004) bahwa pada saat latihan aerobik terjadi „Transient Hypofrontality’yaitu inhibisi pada regio otak tertentu yang fungsinya tidak berhubungan untuk mengelola dan mengatur fisiologi homeostasis saat latihan, seperti inhibisi pada area prefrontal cortex dan amygdala. Aktivitas olahraga membutuhkan dukungan yang besar dari saraf sensoris, motoris, dan autonom (Vissing et al., 1996) sehingga bagian PFC dan amygdala yang dominan pada fungsi kognitif dan emosi terinhibisi. Studi yang dilakukan Christensen et al (2000) menggunakan PET (Positron Emission Tomography) mendapatkan hasil bagian otak yang aktif saat bersepeda antara lain: korteks sensoris primer, korteks motoris primer dan area korteks motoris suplementer. Teori transient hypofrontalityini juga didukung oleh beberapa studi yang dilakukan menggunakan EEG (electroencephalogram). Pada pencitraan EEG, terjadi peningkatan gelombang alpha dan tetha pada korteks frontalis setelah berolahraga (Youngstedt et al., 1993; Petruzzello & Landers, 1994; Kubitz & Pothakos, 1997; Nybo & Nielsen, 2001; Henning, 2008; Fahey et al., 2013). Peningkatan gelombang alpha adalah sebagai indikator penurunan aktivitas otak dan perubahan suasana hati, emosi dan kognitif berhubungan dengan keadaan santai, nyaman dan rileks (Kubitz & Pothakos, 1997; Fahey et al., 2013). Penelitian lain menyatakan aktivitas aerobik setelah periode 13 jam abstinence dengan rentang usia sampel 16-65 tahun dan intensitas 40%-60% denyut jantung maksimal dalam latihan menggunakan static bycicle terbukti
45
mampu menurunkan keinginan merokok saat pertengahan waktu latihan, dan 5 menit setelah latihan (Daniel et al., 2007). Studi lain yang menggunakan periode abstinent selama 2 jam dan rata-rata usia sampel 30 tahun dilakukan oleh Taylor dan Katomeri (2007) dengan menggunakan latihan aerobik metode brisk walking selama 15 menit dapat menurunkan keinginan merokok dan withdrawal symptoms. Batas minimal periode abstinen selama 2 jam cukup untuk menilai adanya peningkatan keinginan mendesak untuk merokok pada awal penilaian (Carter & Tiffany, 1999; Schuh & Stitzer, 1995). Penelitian lain yang dilakukan Scerbo et al (2010) membandingkan efek dari intensitas yang berbeda dari latihan aerobik selama 15 menit dengan 3 jam periode abstinen, dengan metode lari (80-85% heart rate maksimal) efektif dalam menurunkan ketergantungan merokok pada 10 dan 20 menit setelah latihandan juga terjadi penurunan level kortisol yang lebih signifikan 30 menit setelah latihan. Rasa enak dan nyaman setelah olahraga yang ditandai dengan peningkatan gelombang alpha dan tetha akan tercapai sehingga secara psikis memberikan dampak positif bagi rasa tenang, nyaman, rileks dan stres yang menurun. Respon positif ini melalui jalur HPA aksis yang akan merangsang hipotalamus dan Locus Coerulus (LC). Hipotalamus akan menurunkan sekresi Corticotropin Releasing Hormone (CRH) Adrenocorticotropic Hormone sehingga ACTH menurun dan merangsang Pro-opimelanocortin (POMC) yang juga akan menurunkan
produksi
(Valentino,2008)
ACTH
dan
menstimulasi
produksi
endorphin