6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 PENDAHULUAN
Pada bab ini akan menjelaskan teori tentang baterai logam udara yang diadopsi dari beberapa jurnal yang berkaitan dengan baterai logam udara secara umum, prinsip kerja, dan komponen-komponen penyusunnya. Selain itu dalam bab ini juga akan menjelaskan mengenai teori tentang baterai seng udara dan membran elektrolit nata de coco yang diaplikasikan dalam baterai seng udara, meliputi karakteristik membran, fungsi dan beberapa parameter yang berkaitan dengan membran elektrolit nata de coco serta teori tentang korosi.
2.2 BATERAI
Baterai atau akumulator adalah sebuah sel listrik dimana di dalamnya berlangsung proses elektrokimia yang reversible (dapat berbalikan) dengan efisiensinya yang tinggi. Yang dimaksut dengan proses reversible adalah dalam baterai dapat berlangsung proses pengubahan kimia menjadi tenaga listrik (proses pengosongan), dan sebaliknya dari tenaga listrik menjadi tenaga kimia. Pengisian kembali baterai dengan cara regenerasi dari elektroda-elektroda yang dipakai, yaitu dengan melewatkan arus listrik dalam arah (polaritas) yang berlawanan di dalam sel. Tiap sel baterai terdiri dari duam macam elektroda yang berlainan, yaitu elektroda positif dan elektroda negatif yang dicelupkan kedalam suatu larutan kimia (Aslimeri et al, 2008). Menurut Subhan, (2011) baterai adalah suatu perangkat yang terdiri dari dua atau lebih sel elektrokimia yang mengkonversi energi kimia menjadi energi listrik. Pengertian baterai secara umum mencangkup beberapa sel baterai yang digabungkan.
7
Sel baterai adalah unit terkecil dari suatu sistem proses elektrokimia yang terdiri dari elektroda, elektrolit, separator, wadah dan terminal. Kenerja baterai melibatkan transfer elektron melalui suatu media yang bersifat kondusif dari elektroda negatif (anoda) ke elektroda positif (katoda) sehingga menghasilkan arus listrik dan beda potensial. Bahan dan luas permukaan elektroda mampu mempengaruhi beda potensial yang dihasilkan. Setiap bahan elektroda memiliki tingkat potensial elektroda yang berbeda-beda. Jika luas permukaan elektroda diperbesar maka akan semakin banyak elektron yang dapat dioksidasi dibandingkan dengan elektroda dengan luas permukaan yang kecil (Kartawidjaja dan Abdulrahman, 2008). Menurut Aslimeri et al (2008) prinsip kerja baterai meliputi proses pengosongan (discharge) dan proses pengisian (charging), dimana reaksi kimia pada saat pengisian (charging) adalah kebalikan dari saat pengosongan (discharge). a. Proses pengosongan (discharge) pada sel berlangsung menurut skema Gambar 2.1. Bila sel dihubungkan dengan beban maka elektron mengalir dari anoda melalui beban ke katoda, kemudian ion-ion negatif mengalir ke anoda dan ion-ion positif mengalir ke katoda.
Gambar 2.1 Proses pengosongan (discharge) (Aslimeri et al, 2008) b. Pada proses pengisian (charging) pada sel berlangsung menurut skema Gambar 2.2 dibawah ini adalah bila sel dihubungkan dengan power supply maka elektroda positif menjadi anoda dan elektroda negatif menjadi katoda dan proses kimia yang terjadi sebagai berikut:
8
1) Aliran elektron menjadi terbalik, mengalir dari anoda melalui power supply ke katoda. 2) Ion-ion negatif mengalir dari katoda ke anoda. 3) Ion-ion positif mengalir dari anoda ke katoda.
Gambar 2.2 Proses pengisian (charging) (Aslimeri et al, 2008) Dalam pengisian dan pengosongan baterai, ada beberapa parameter yang menjadi pertimbangan bagus atau tidaknya sebuah baterai. Parameter tersebut antara lain (Segara et al, 2013): 1) Tegangan 2) Kapasitas Baterai 3) Baterai State of Charge (SOC) 4) Resistansi Internal 5) Pelepasan Muatan Sendiri (Self-Discharge) Terdapat dua klasifikasi baterai, yaitu baterai primer dan baterai sekunder. Baterai primer adalah baterai yang tidak dapat diisi ulang (unrecharge) dan hanya dapat digunakan sekali pakai, sedangkan baterai sekunder adalah baterai yang dapat digunakan berkali-kali karena dapat diisi ulang (rechargeable). Kemampuan baterai sekunder untuk diisi ulang dikarenakan reaksi elektrokimianya yang bersifat reversible sehingga baterai sekunder dapat mengonversi energi kimia menjadi energi listrik pada proses pengosongan (discharging) dan mengonversi energi listrik menjadi energi kimia pada proses pengisian (charging) (Berndt dan Kiehne, 2003).
9
Baterai primer sering dijumpai dalam bentuk sel tunggal seperti baterai silinder, baterai berbentuk kancing, ataupun dalam bentuk multisel yaitu baterai tunggal yang disusun dalam satu paket baterai. Sedangkan baterai skunder mempunyai ciri seperti densitas yang tinggi, laju discas yang cepat, mempunyai kurva discas yang flat dan kebanyakan kasus adalah mempunyai kinerja yang baik pada temperature yang rendah. Secara umum, densitas energi dari baterai skunder lebih rendah dari baterai primer (Linden dan Reddy, 2011).
2.3 BATERAI LOGAM UDARA
Teknologi baterai yang saat ini banyak menarik perhatian sebagai solusi penyimpanan energi yang mungkin untuk beberapa dekade adalah baterai logam udara (Cheng dan Chen, 2012). Baterai logam udara menggunakan logam sebagai anoda dan memerlukan oksigen dari udara yang masuk melalui katoda. Biasanya katoda ini merupakan suatu karbon berpori. Reaksi elektrokimia yang terjadi di dalam baterai logam udara akan menghasilkan energy listrik (Sagir dan Ahmad, 2011). Menurut Arai dan Hayasi (2009) bahan aktif dari elektroda positif pada baterai logam udara adalah oksigen yang terkandung dalam udara ambien. Oksigen adalah agen pengoksidasi kuat, dan ringan dan tersedia di mana-mana. Oksigen disuplai dari luar baterai, sebagian besar interior baterai dapat digunakan untuk menampung bahan elektroda negatif, hal ini memberikan baterai logam-udara kapasitas besar. Untuk mengambil keuntungan dari elektroda udara, bahan elektroda negatif harus memenuhi persyaratan tertentu antara lain: 1) Memiliki daya pereduksi yang kuat, dengan potensial elektroda yang biasanya lebih negatif daripada elektroda hidrogen, untuk memberikan tegangan baterai yang tinggi. 2) Memiliki berat molekul rendah, kepadatan tinggi dan perubahan valensi besar untuk menyediakan kapasitas baterai yang besar (per berat atau per volume). 3) Biaya rendah dan sumber daya yang melimpah serta ramah lingkungan. Tegangan dan kepadatan energi dari baterai logam-udara sangat tergantung pada jenis bahan elektroda negatif (anoda) yang digunakan. Umumnya, baterai logam-udara
10
menawarkan kepadatan energi tertinggi dari semua sistem baterai. Energi spesifik dan densitas energi masing-masing mencapai lebih dari 500 Wh kg-1 (1Wh kg-1 = 3.6 J g-1) dan 1000 WhL-1 (1WhL-1 = 3.6 x 106 Jm-3). Berdasarkan pedekatan sistem elektrolitnya, baterai logam udara dapat dikelompokan menjadi dua, yaitu elektrolit akues dan elektrolit dengan pelarut aprotik. Sistem sel yang berbasiskan elektrolit akues merupakan sistem yang tidak sensitif dengan kelembaban. Ini berbeda dengan sistem berbasiskan elektrolit dengan pelarut aprotik yang dapat terdegradasi oleh kelembaban (J. Cho et al, 2011). Baterai logam udara termasuk dalam baterai primer (Linden dan Reddy, 2011). Walaupun begitu, ada peneliti yang mengklasifikasikan baterai logam udara sebagai baterai skunder, karena beberapa baterai logam udara dapat diisi daya kembali (Vincenzo dan Benedetto, 2014). Baterai logam-udara biasanya milik sistem utama termasuk jenis cadangan, meskipun bentuk terkait digunakan sebagai baterai sekunder yang secara mekanik atau elektronik diisi ulang. Kerugian utama adalah self-discharge dari baterai, yaitu, reaktivitas bahan elektroda negatif dengan air dan oksigen. Kelemahan penting lainnya adalah output daya yang terbatas yang dihasilkan dari kinerja elektroda udara dan ketergantungan kinerja pada kondisi ambient seperti kelembaban dan suhu (Arai dan Hayasi, 2009).
2.4 KOMPONEN BATERAI LOGAM UDARA
Secara umum, baterai logam udara mempunyai tiga komponen utama, pertama yaitu anoda yang berupa bahan logam. Kedua adalah elektrolit, dimana elektrolit yang paling umum adalah KOH. Sementara yang ketiga adalah katoda yang berupa karbon berpori (Vincenzo dan Benedetto, 2014). Walaupun begitu, pada beberapa jenis baterai logam udara ada yang menambahkan suatu komponen tambahan yaitu bahan pemisah di dalam sistem baterai logam udara tersebut (J. Cho et al, 2011).
11
Gambar 2.3 Tampilan potongan baterai logam udara (Arai dan Hayasi, 2009)
2.4.1
Anoda
Anoda merupakan elektroda negatif yang berkaitan dengan reaksi oksidasi setengah sel yang melepaskan elektron ke dalam sirkuit eksternal (Subhan,2011). Dalam baterai logam udara anoda merupakan salah satu komponen yang sangat penting. Dimana pengklasifikasiannya di dasarkan pada jenis logam yang digunakan (J. Cho et al, 2011). Secara teoritis, nilai tegangan (voltage) yang dihasilkan oleh masing-masing jenis baterai logam udara ini akan berbeda mengikut jenis logam yang digunakan sebagai anoda. Perbedaan ini di dasarkan kepada nilai energi potensial standar masingmasing logam. Tabel 2.1 berikut memperlihat densitas energi untuk beberapa jenis logam baterai udara. Tabel 2.1 Densitas energi logam anoda (Vincenzo dan Benedetto, 2014) Anoda
Ekivalen
Voltase
Muatan
Energi Spesifik
Voltase
Elektrokimia
Teoritikal
Valensi
Teori
Operasi
Logam (Ah/g)
(V)
Li
3,86
3,4
1
13,0
2,4
Ca
1,34
3,4
2
4,6
2,0
Mg
2,20
3,1
2
6,8
1,2 – 1,4
Al
2,98
2,7
3
8,1
1,1 – 1,4
Zn
0,82
1,6
2
1,3
1,0 – 1,2
Fe
0,96
1,3
2
1,2
1,0
(metal)(kWh/kg) Praktikal (V)
12
2.4.2
Elektrolit
Elektrolit merupakan merupakan komponen yang berfungsi sebagai jembatan garam dalam sistem sel galvanic atau baterai. Tujuan dari elektrolit ini adalah sebagai mediator untuk terjadinya perpindahan ion di dalam sistem baterai, sehingga reaksi elektrokimia dapat berlangsung. Jenis elektrolit yang digunakan akan mempengaruhi densitas energi, konduktivitas, waktu hayat, kapasitas energi. Dengan demikian, pemilihan elektrolit yang sesuai menjadi sangat penting (Wang, 2006). Menurut Arrhenius (1884) dalam Utami et al (2009) zat elektrolit dalam larutannya akan terurai menjadi partikel-partikel yang berupa atom atau gugus atom yang bermuatan listrik yang dinamakan ion. Ion yang bermuatan positif disebut kation, dan ion yang bermuatan negatif dinamakan anion. Peristiwa terurainya suatu elektrolit menjadi ion-ionnya disebut proses ionisasi. Ion-ion zat elektrolit tersebut selalu bergerak bebas dan ion-ion inilah yang sebenarnya menghantarkan arus listrik melalui larutannya. Sedangkan zat nonelektrolit ketika dilarutkan dalam air tidak terurai menjadi ion-ion, tetapi tetap dalam bentuk molekul yang tidak bermuatan listrik. Hal inilah yang menyebabkan larutan nonelektrolit tidak dapat menghantarkan listrik. Berikut ini adalah hasil eksperimen uji daya hantar listrik terhadap beberapa larutan: Tabel 2.2 Uji daya hantar listri pada larutan (Utami et al, 2009) No.
Larutan yang Diuji
Rumus Kimia
Pengamatan Nyala Lampu
Elektrode
1
Asam sulfat
H2SO4
Menyala terang Ada gelembung gas
2
Natrium hidroksida
NaOH
Menyala terang Ada gelembung gas
3
Asam cuka
CH3COOH
Tidak menyala
Ada gelembung gas
4
Amonium
NH4OH
Tidak menyala
Ada gelembung gas
hidroksida 5
Larutan gula
C12H22O11
Tidak menyala
Ada gelembung gas
6
Larutan urea
CO(NH2)2
Tidak menyala
Ada gelembung gas
7
Garam dapur
NaCl
Menyala terang Ada gelembung gas
13
Secara umum sistem elektrolit di dalam baterai logam udara terbagi menjadi dua macam yaitu, sistem akues dan non akues. Sistem akues merupakan sistem elektrolit yang menggunakan air sebagai pelarut elektrolit dalam baterai logam udara (Richard et al, 2002). Sementara sistem non-akues menggunakan pelarut organik/aprotik atau cairan ionik sebagai elektrolit (Lorenzo et al, 2014). Penggunaan cairan ionik ini didasarkan kepada sifat logam yang mudah teroksidasi oleh air ataupun larutan alkali (Gelman et al, 2014-2015). Namun, menurut laporan yang di nyatakan oleh J. Cho et al pada tahun 2011, selain sistem akues dan non-akues, sistem elektrolit baterai logam udara dapat ditambah lagi dengan sistem hibrid dan elektrolit padatan. Tujuan penggunaan dari sistem elektrolit hibrid dan elektrolit padatan pada dasarnya adalah sama dengan sisten nonakues, yaitu mengurangi kontak langsung antara logam anoda baterai dengan air. Pada sistem hibrid, larutan elektrolit yang digunakan terdiri kombinasi dua jenis elektrolit, yaitu non-akues dan akues seperti yang ditunjukkan pada gambar 2.4.
Gambar 2.4 Skematik konfigurasi sel pada Metal-Air Battery (J. Cho et al, 2011) Cairan ionik atau juga pelarut aprotik diletakkan di atas permukaan anoda. Ini dilakukan untuk mencegah terjadinya kontak langsung antara air dengan logam anoda.
14
Sementara larutan elektrolit akues diletakkan pada posisi bersentuhan dengan katoda, dan diantara cairan ionik dan larutan akues diletakan suatu matriks pembatas yang berupa membran semipermeabel ataupun keramik berpori.
2.4.3
Katoda
Katoda merupakan elektroda positif, dimana terjadi reaksi setengah sel yaitu reaksi reduksi yang menerima elektron dari sirkuit luar sehingga reaksi kimia reduksi terjadi pada elektroda ini (Subhan, 2011). Katoda dalam sistem baterai logam udara terdiri dari tiga komponen utama, yaitu karbon berpori, katalis serta polimer pengikat. Arsitektur performa elektrokimia dari katoda pada baterai logam udara adalah mirip dengan sel bahan bakar, karena mekanisme reaksi yang terjadi pada sel bahan bakar mirip dengan mekanisme yang terjadi dengan baterai logam udara. Pada kasus sel bahan bakar hidrogen, proton H+ bergerak melalui elektrolit untuk bereaksi dengan ion oksida pada katalis untuk membentuk air (J. Cho et al, 2011). Sementara pada kasus baterai logam udara, ion logam dari anoda bergerak melalui elektrolit dan bereaksi dengan ion O22- atau O2- yang diperoleh dari reaksi reduksi O2 oleh katalis pada permukaan katoda udara untuk membentuk suatu endapan oksida dari ion logam anoda. O2 yang terlibat dalam sistem baterai logam udara berasal dari udara yang masuk melalui pori-pori karbon pada yang terdapat pada katoda (Yugang, 2013). Keberadaan endapan oksida logam dari ion logam anoda yang berlebihan akan membawa masalah baru kepada sistem baterai logam udara. Endapan oksida ini dapat menutupi pori-pori dari karbon pada katoda, sehingga oksigen dari udara tidak dapat masuk kedalam sistem baterai logam udara. Kondisi ini akan menyebabkan turunnya densitas energi baterai logam udara, karena reaksi elektrokimia dalam sistem baterai terhambat. Ini menunjukkan bahwa mikrostruktur dari karbon akan memberikan efek pada performa dari baterai logam udara. Ukuran partikel karbon yang terlalu kecil kurang sesuai digunakan sebagai matriks pembuatan katoda udara. Hal ini karena dengan ukuran partikel karbon yang kecil maka ketika terjadi penyusunan partikel-partikel karbonya akan membentuk pori-
15
pori yang lebih kecil dan rapat. Kondisi ini meneyebabkan kemampuan oksigen untuk masuk ke dalam sistem baterai logam udara melalui katoda akan turun. Idealnya ukuran partikel karbon adalah sekitar 30 nm (J. Cho et al, 2011). Sementara jika partikel karbon terlalu besar, memang akan membentuk poripori yang lebih besar, yang secara teoritis akan memudahkan masuknya oksigen kedalam sistem baterai logam udara. Namun pada aplikasinya, terutama untuk baterai logam udara dengan sistem akues, justru akan menyebabkan densitas energi baterai menurun. Fenomena ini terjadi karena, dengan semakin banyaknya oksigen yang masuk ke dalam sistem baterai logam udara, maka kecepatan reaksi elektrokimia yang terjadi juga semakin cepat, sehingga proses pembentukan endapan dan korosi pada permukan anoda akan berlangsung cepat (Zheng et al, 2008). Komponen lain yang terdapat di dalam katoda baterai logam udara adalah katalis yang dicampur bersama dengan partikel karbon. Fungsi dari katalis ini adalah mereduksi gas O2 dari udara menjadi O22- atau O2- (Yugang, 2013). Beberapa jenis katalis yang digunakan diantaranya adalah Pt, La0.8Sr0.2, MnO3, Fe2O3, NiO, Fe3O4, Co3O4, CuO dan CoFe2O4 dengan ukuran partikel 1-5 μm. Sementara itu katalis dengan ukuran nanostruktur yang telah dilaporkan oleh peneliti sebelumnya antara lain dari kelompok mangan oksida seperti α-MnO2, β-MnO2, λMnO2, Mn2O3 and Mn3O4. Reaksi katalitik yang terjadi pada oksigen adalah reaksi reduksi oksigen (oxygen reduction reaction, ORR) dan reaksi evolusi oksigen (oxygen evolution reaction,OER) (J. Cho et al, 2011).
2.4.4
Separator
Separator adalah suatu material berpori yang terletak di antara anoda dan katoda berfungsi untuk mencegah agar tidak terjadi hubungan singkat dan kontak antara katoda dan anoda. Separator dapat berupa elektrolit yang berbentuk gel, atau plastik film nano pori (microporous), atau material inert berpori yang diisi dengan elektrolit cair. Sifat listrik separator ini mampu dilewati oleh ion tetapi juga mampu memblokir elektron, jadi bersifat konduktif ionik sekaligus tidak konduktif elektron (Subhan, 2011).
16
Beberapa hal yang penting dalam memilih material sebagai separator baterai logam udara antara lain material tersebut bersifat insulator, memiliki hambatan listrik yang kecil, kestabilan mekanik (tidak mudah rusak), tidak mudah terdegradasi dengan elektrolit serta memiliki ketebalan lapisan yang seragam atau sama di seluruh permukaan. Struktur pori dan penyerapan elektrolit berpengaruh terhadap konduktivitas ion. Separator dengan porositas yang tinggi dapat menyerap lebih banyak elektrolit liquid. Sehingga besarnya penyerapan elektrolit pembawa muatan ion sangat dibutuhkan (Li et al, 2011). Beberapa material yang dapat digunakan sebagai separator antara lain polyolefins (polyethylene dan polypropylen), PVdF (polyvinylidene fluodire), PTFE, PVC dan poly ethylene oxide (Manjunatha et al, 2011).
2.5 BATERAI SENG UDARA
Baterai seng-udara terdiri dari tiga bagian; logam seng sebagai anoda, elektroda udara sebagai katoda, yang terbagi ke dalam lapisan difusi gas dan lapisan aktif katalitik, dan pemisah, seperti yang ditunjukkan pada gambar 2.5 (J. Cho et al, 2011). Karena kelarutan oksigen sangat rendah pada tekanan atmosfer, maka perlu untuk menggunakan oksigen dalam fase gas, tidak cair (Zhu et al, 2003).
Gambar 2.5 Prisip kerja baterai seng udara (J. Cho et al, 2011) Oksigen dari atmosfer berdifusi ke dalam elektroda karbon berpori oleh perbedaan tekanan oksigen di luar dan di dalam sel, kemudian katalis memfasilitasi pengurangan oksigen ke ion hidroksil dalam elektrolit alkali dengan elektron yang
17
dihasilkan dari oksidasi logam seng sebagai reaksi anoda. Ini sebabnya J. Cho et al (2011) menyebut proses ini sebagai reaksi tiga fase: katalis (padat), elektrolit (cairan), dan oksigen (gas). Reaksi tiga fase yang terjadi di katoda dapat dilihat pada lingkaran merah pada gambar 2.4. Struktur ini mendukung perolehan oksigen dalam baterai seng udara. Ion hidroksil yang dihasilkan bermigrasi dari katoda udara ke anoda seng untuk menyelesaikan reaksi sel. Prisip kerja baterai seng udara ini secara keseluruhan dapat digambarkan sebagai reaksi elektrokimia dari anoda dan katoda dalam larutan alkali, sebagai berikut:
Anoda:
Zn → Zn2+ + 2e-
(2.1)
Zn2+ + 4OH- → Zn(OH)2-4 (Eo = -1,25 V vs. NHE) Zn(OH)2-4 → ZnO + H2O + 2OHKatoda:
O2 + 2H2O + 4e- → 4OH-
(2.2)
(Eo = 0,4 V vs. NHE) Reaksi keseluruhan:
2Zn + O2 → 2ZnO (Eo = +1,65 V)
(2.3)
Dari persamaan kimia diatas, potensi kesetimbangan dari baterai seng udara harus 1,65 V, dimana Eeq = E0 (katoda) -E0 (anoda). Akan tetapi, nilai praktis tegangan yang mampu dicapai baterai seng udara kurang dari 1,65 V karena hilangnya interval sel akibat adanya kerugian ohmik, kerugian aktivasi, pembentukan dendrit dan adanya penyerapan karbon dioksida (Sapkota dan Kim, 2009). Menurut J. Cho et al (2011) kerugian elektrokimia pada baterai seng udara secara sederhana dapat dipahami dari perilaku elektrokimia baterai seng udara melalui kurva polarisasi skematik masing-masing reaksi anoda dan katoda. Gambar 2.5 adalah
18
kurva potensial skematis (v) dan current (i) untuk memahami secara efisien penyebab utama kehilangan potensial pada sel seng dengan oksigen. Potensial ekuilibrium dari sel seng (garis hitam) adalah 1,65 V, namun tegangan praktis (garis merah) dalam debit lebih rendah dari 1,65 V karena reaksi reduksi oksigen (oxygen reduction reaction) yang lamban. Potensial besar diperlukan untuk mengisi baterai seng-udara, lebih tinggi dari potensial ekuilibrium (garis biru).
Gambar 2.6 Skema kurva polarisasi baterai seng udara (J. Cho et al, 2011) Perhatikan bahwa overpotential pada anoda seng relatif lebih kecil dari pada elektroda udara; Juga, arus katodik terjadi di katoda, elektroda udara. Sebaliknya arus anodik terjadi pada anoda, elektroda seng, dalam debit (garis merah). Tentu saja, setiap arah arus dibalik saat pengisian (garis biru). Dari kurva polarisasi, adalah mungkin untuk melihat bahwa overpotential besar (jalur hijau pada gambar 2.5) diperlukan untuk menghasilkan ion hidroksil dengan reaksi reduksi oksigen (oxygen reduction reaction). Inilah sebabnya mengapa tegangan kerja dari sel zinc-air yang sebenarnya (E1. Gambar 2.5 garis merah) jauh lebih kecil dari 1,65 V, potensi rangkaian terbuka (open-circuit potential) (Eeq. garis hitam). Mengingat reaksi balik (oxygen evolution reaction), potensi yang lebih besar diperlukan untuk pengisian (Gambar 2.5, garis biru).
19
2.6 MEMBRAN ELEKTROLIT
Membran elektrolit sendiri didefinisikan sebagai suatu larutan dari garam-garam logam alkali yang ada didalam matriks polimer (Meyer, 1998). Membran elektolit bermatriks padatan digunakan sebagai separator baterai sekaligus sebagai elektrolitnya. Prinsip dasar dari membran elektrolit adalah meningkatkan daya hantar dari matriks polimer dengan menambahkan garam atau asam kuat pada kondisi anhidrat. Kemampuan menghantarkan ion dari matriks polimer disebabkan adanya interaksi antara kation dengan elektron-elektron bebas pada suatu heteroatom: -O- pada eter, -S- pada sulfide, -N- pada amina, dan -P- pada fosfat (Poinsignon, 1989). Sifat dari membran elektrolit ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu: kepolaran dari heteroatom, jarak antar heteroatom setelah adanya penambahan garam atau asam kuat, fleksibilitas rantai polimer, besarnya energi kohesif dari jaringan polimer, dan energi kisi dari garam. Tabel 2.3 Struktur polimer membran elektrolit (Widjajanti dan Marfuatun, 2015) Struktur
Nama Polimer
(-CH2-CH2O-)n
Polietilena oksida (PEO)
(-CH-CH2O-)n
Poli(propilena oksida) (PPO)
| CH3 (-CH2-CH2-NH-)n
Poli(etilena imina) (PEI)
[(-CH2-)n-S-)2
Poli(alkilena sulfida)
(-CH2-CH-)n
Poli(vinil pirolidon) (PVP)
| N [(CH3O-C2H4-OC2H4O)2PN]
Poli(bis metoksi etoksi)etoksi fosfazana
Semua jenis polimer belum tentu bisa digunakan untuk dikembangkan menjadi membran elektrolit. Ada beberapa syarat dari membran elektrolit (Meyer, 1998; Arora dan Zhang, 2004) antara lain: 1. Mempunyai kekuatan mekanik yang cukup tinggi untuk menahan tekanan antara katoda dan anoda.
20
2. Mempunyai kestabilan kimia yang cukup besar. Membran harus inert, baik pada kondisi oksidasi maupun reduksi yang sangat kuat, dan tidak menghasilkan pengotor. 3. Mempunyai konduktivitas ion yang tinggi (> 10-5 S cm-1), pada range suhu 20 oC sampai dengan 60 oC. 4. Kemudahan untuk dibuat dalam ukuran tipis (~ 40 μm). Semakin tipis membran, maka resistensinya semakin kecil. Selain itu, membran yang tipis tidak membutuhkan ruang yang besar di dalam rangkaian baterai, sehingga elektroda yang digunakan bisa lebih panjang yang akan meningkatkan kapasitas dari baterai. 5. Mempunyai kestabilan termal. Ketika dipanaskan membran tidak boleh menyusut dan mengkerut. Penyusutan maksimal yang diperbolehkan adalah 5% ketika dipanaskan pada kondisi vakum dengan suhu 90 oC selama 60 menit. 6. Mempunyai stabilitas dimensi atau ukuran. Ketika membran dalam kondisi tidak digulung, membran harus tetap bisa dalam kondisi datar dan ujung-ujungnya tidak melengkung. Menurut Widjajanti dan Marfuatun (2015) sejarah perkembangan membran elektrolit dimulai dengan pengembangan membran dari PEO. Saat ini, telah banyak dikembangkan membran elektrolit dengan menggunakan polimer lain yang mempunyai sifat yang lebih bagus dari membran elektrolit dari PEO murni. Beberapa membran elektrolit yang telah dikembangkan dapat dilihat pada Tabel 2.4. Tabel 2.4 Membran elektrolit yang dikembangkan (Widjajanti dan Marfuatun, 2015) Komposisi Membran Elektrolit Polimer jaringan fosfat-polieter
Sifat Membran - Konduktivitas ioniknya 1,01 x10-4 S cm-1
(PPNs)/ etilena karbonat/ LiCF3SO3 P(VDF-HFP)/ LiClO4
- Konduktivitas ioniknya 1,04 x 10-2 S cm-1 - Membran berpori
P(AN-MMA)
- Konduktivitas ioniknya 1,25 x 10-3 S cm-1 - Mempunyai kestabilan termal sampai suhu 300 oC - Mempunyai diameter pori sekitar 0,5 μm
Selulosa Asetat/LiClO4
- Konduktivitas ioniknya 4,9 x 10-3 S cm-1
21
- Dapat terbiodegradasi Poliuretan termoplastik
- Konduktivitas ioniknya 3 x 10-4 S cm-1
(TPU)/LiClO4 PVA/PEO/LiClO4
- Konduktivitas ioniknya 4,49 x 10-5 S cm-1 - Mempunyai sifat mekanik dan kestabilan termal yang bagus
2.6.1
Elektrolit Polimer
Elektrolit polimer mengandung kation atau anion yang bebas bergerak dan bertindak sebagai pembawa muatan. Konduktivitas ion suatu polimer bergantung pada konsentrasi/kepekatan dan mobilitas suatu ion. Suatu polimer menjadi konduksi ion apabila ditambahkan bahan tak organik atau bahan organik ke dalam polimer tersebut (Gray, 1987). Penggunaan elektrolit polimer yaitu sebagai salah satu alternatif pengganti elektrolit cair yang sering menimbulkan masalah. Elektrolit polimer bisa digunakan sebagai pemisah dalam komponen elektronik dalam sistem baterai. Di samping itu, elektrolit polimer dapat beroperasi pada suhu yang tinggi yaitu antara 60 ° - 100 °C dan mempuntyai sifat yang fleksibel dimana dapat dibentuk sesuai kebutuhan. (Linden, 1995). Ciri-ciri suatu polimer yang dapat didoping dan berfungsi sebagai induk ion (host ion) yaitu: 1. Polimer mempunyai gugus yang mampu untuk menyumbang elektron guna membentuk ikatan koordinasi dengan kation garam dopan. Interaksi ini terjadi bila polimer mempunyai pasangan elektron bebas yang disediakan oleh atom nitrogen, oksigen, sulfur atau klor. 2. Polimer yang mempunyai rantai fleksibel sehingga atom doping dengan mudah terikat dengan polimer aktif. 3. Mempunyai temperatur peralihan kaca (Tg) yang rendah supaya pergerakan ion mudah (Chew, 2005) dan (Saharman et al, 2005)
22
2.7 NATA DE COCO
Nata de coco merupakan produk fermentasi air kelapa yang biasa dijadikan sebagai produk makanan. Bentuk dari nata de coco terlihat seperti jeli, berwarna putih sampai bening, bertekstur kenyal. Bibit nata de coco adalah bakteri Acetobacter xylinum yang dapat membentuk serat nata jika ditumbuhkan dalam air kelapa yang sudah diperkaya dengan karbon dan nitrogen melalui proses yang terkontrol (Yano et al, 2008). Dalam kondisi demikian, bakteri tersebut akan menghasilkan enzim yang dapat menyusun zat gula menjadi ribuan rantai serat atau selulosa. Dari jutaan renik yang tumbuh pada air kelapa tersebut, akan dihasilkan jutaan lembar benang-benang selulosa yang akhirnya nampak padat berwarna putih hingga transparan, yang disebut sebagai nata atau selulosa bakteri (Watanabe et al, 1998). Faktor-faktor yang mempengaruhi Acetobacter xylinum pada pertumbuhannya adalah nutrisi, sumber karbon, sumber nitrogen, serta tingkat keasaman media, temperatur, dan udara (oksigen). Senyawa karbon yang dibutuhkan dalam fermentasi nata berasal dari monosakarida dan disakarida. Sumber dari karbon ini yang paling banyak digunakan adalah gula. Sumber nitrogen bisa berasal dari bahan organik seperti ZA atau urea. Meskipun bakteri Acetobacter xylinum dapat tumbuh pada pH 3,5 – 7,5, namun akan tumbuh optimal bila pH nya 4,3. Sedangkan suhu ideal bagi pertumbuhan bakteri Acetobacter xylinum pada suhu 28 – 31oC (Iguchi et al, 2000). Kandungan dari nata de coco adalah selulosa yang mempunyai kemurnia sangat tinggi. Selulosa dari nata de coco mempunyai kapasitas air yang cukup besar dan kuat ulur yang tinggi (Chawla et al, 2009). Menurut Barud et al, (2011) selulosa bakterial mempunyai beberapa keunggulan antara lain kemurnian tinggi, tingkat polimerisasi tinggi (hingga 8000), kristalinitas tinggi (70% sampai 80%), kadar air yang tinggi sampai 99% dan memiliki kekuatan tarik tinggi, elastis serta terbiodegradasi.
23
Gambar 2.7 Struktur serat selulosa bakterial (Klemm et al, 2001)
Gambar 2.8 Susunan serat selulosa bakterial menggunakan SEM (Klemm et al, 2001) Melihat struktur dari selulosa bakterial yang memiliki ikatan atom OH dimungkinkan nata de coco bisa menjadi inhibitor untuk logam seng pada baterai logam udara. Karena menurut pendapat Abu-Dalo et al, (2012) dan juga Gobara et al, (2017) bahwa senyawa organik yang banyak mengandung oksigen (O), nitrogen (N) dan juga sulfur (S) berpotensi sebagai inhibitor.
2.8 MODIFIKASI MEMBRAN ELEKTROLIT NATA DE COCO
Untuk mengembangkan aplikasi serat nata de coco dapat dilakukan usaha peningkatan sifat mekanik dan struktur fisik serat nata de coco dengan cara modifikasi untuk
24
mendapatkan kualitas serat yang lebih baik. Teknik modifikasi kualitas serat nata de coco tersebut secara umum dibagi menjadi dua cara yaitu:
2.8.1
Teknik In Situ
Teknik modifikasi ini sebenarnya sangat sederhana yaitu dengan mengadisi komponen yang larut dalam air ke dalam media pertumbuhan serat nata de coco. Beberapa modifikasi in situ yang diterapkan kepada nata de coco adalah sebagai berikut: Yamanaka et al, (1989) menjelaskan pengaruh bioactive organic agents seperti nalidixic sebagai zat aditif yang ditambahkan ke dalam media pertumbuhan serat nata de coco. Penambahan zat aditif tersebut sebanyak 0.1mM akan memanjangkan serat nata de coco menjadi 1-2 kali semula. Serat yang bertambah panjang tersebut memiliki orientasi planar yang baik yang meningkatkan nilai modulus young serat tersebut. Penelitian mengenai pengadisian Carboxymethyl Cellulose (CMC) & Methyl Cellulos (MC) sebanyak (0.5-2 m/v %) akan mempengaruhi kristalinitas nata de coco. Akibatnya kapasitas tahanan air menjadi 100 kali lebih tinggi, daya serat air dibanding serat murni menjadi lebih tinggi, dan menghasilkan kapasitas pertukaran ion yang baik dengan spesifikasi adsorpsi lead dan uranyl ions, sehingga bisa diaplikasikan sebagai alat penukar ion.
2.8.2
Teknik Post-Modification
Prinsip teknik ini adalah dengan melapisi dari luar serat nata de coco dengan komponen lain dan juga mengisi pori-pori atau ruangan kosong pada jaringan nata de coco dengan suatu agen. Salah satu cara yang dilakukan agar komponen tersebut dapat terdifusi ke dalam ruang kosong adalah dengan cara merendamnya di dalam larutan yang berisi komponen yang ingin diisikan tersebut. Berikut adalah beberapa pengaplikasian teknik post-modification: Dubey et al, (2005) meneliti impregnasi nata de coco surface dengan chitosan yang menjadikan nata de coco sebagai membran yang dapat memisahkan EtOH/ H2O Azeotrops. Kandungan chitosan yang optimal adalah 8 ± 2wt %.
25
Nakayama et al, (2004) mencoba melakukan percobaan merendam selulosa bakterial di dalam larutan glatine menghasilkan peningkatan sifat mekanik yaitu fracture strength meningkat menjadi 5 MPa, serta elastic modulus menjadi 4 MPa. Efek tersebut juga ditimbulkan ketika nata de coco dipadu dengan polisakarida. Terdapat juga penelitian mengenai pelapisan nata de coco dengan logam (Pd, Au, Ag) yang menghasilkan membran tipis, fleksibel, thermallystable.
2.9 KARAKTERISASI MEMBRAN ELEKTROLIT NATA DE COCO
Karakterisasi pada membran nata de coco diklasifikasikan menjadi beberapa uji, yaitu:
2.9.1
Uji Konduktivitas
Suatu material dapat dibedakan menjadi tiga yaitu isolator, semikonduktor, dan konduktor. Bahan organik umumnya bersifat konduktor karena memiliki kandungan air yang sangat tinggi. Konduktivitas merupakan suatu bahan yang dapat menghantarkan arus listrik. Konduktivitas bergantung pada sifat material, susunan kimia, serta dimensinya. Sifat konduktivitas pada suatu material dapat diubah-ubah dengan menambahkan material lain yang biasa disebut dengan doping yang dapat meningkatkan pembawa mayoritas elektron atau lubang (hole) pada suatu material (Nurlaily, 2009). Metode pengukuran konduktivitas terbagi dua yaitu metode DC dan metode AC. Metode DC adalah metode yang memakai tegangan DC. Idealnya, pengukuran dilakukan dengan metode AC, karena hasil dari imigrasi iondan tidak ada kehilangan dielektrik. Metode AC adalah metode yang memakai tegangan AC dan diukur dengan variasi frkuensi (West, 1984). Pada metode AC, hasil yang terukur adalah impedansi dari sampel dan sering ditampilkan seperti pada gambar 2.9. Menurut Chew, (2005) plot impedansi kompleks untuk suatu elektrolit polimer sering tidak menunjukan semibulat seperti gambar 2.9.
26
Gambar 2.9 Plot Impedansi kompleks (Chew, 2005) Elkahfi 100 merupakan salah satu alat yang digunakan dalam mengukur konduktivitas membran yang dirancang untuk mengukur karakterisasi arus tegangan (IV). Terdiri dari sebuah sumber tegangan dan pikoamperemeter IV Meter Elkahfi 100 dapat mengukur arus mulai dari 100 pA sampai 3,5 mA. Pada saat pengukuran, data hasil pengukuran diolah dengan menggunakan software Elkahfi 100 yang terkoneksi dengan PC (Personal Computer). Elkahfi 100 menggunakan metode two probe (Astuti, 2011). Metode two probe merupakan
teknik
pengukuran
untuk
mengetahui
resistivitas
pada
bahan
semikonduktor. Cara kerja dalam metode ini dengan menyentuhkan dua titik kontak yang beraliran listrik pada sampel dengan jarak antar titik kontak yang telah diatur, kemudian diplotkan pada grafik arus terhadap tegangan. Rumus resistivitas dapat ditentukan dari bentuk sampel. Sampel thick sheet, merupakan jenis sampel yang mempunyai ketentuan ketebalan sampel harus lebih kecil dibandingkan dengan jarak antar probe (Sari, 2012), rumus yang digunakan yaitu: 𝜋𝑡
𝜌 = 𝑙𝑛2 𝑥𝑅
1
dan 𝜎 = 𝜌
keterangan : ρ = Resistivitas bahan (Ω m) R = hambatan (Ohm) t = ketebalan membran (m) σ = konduktivitas bahan (S cm-1)
(2.4)
27
2.9.2
Scanning Electron Microscopy (SEM)
Scanning Electron Microscopy (SEM) merupakan instrument yang digunakan untuk mengamati permukaan suatu materi dengan memanfaatkan berkas elektron. Scanning Electron Microscopy (SEM) mampu menghasilakn gambar dari suatu objek dengan pembesaran sampai skala 0,1 nanometer (Setiabudi et al, 2012). Scanning Electron Microscopy (SEM) merupakan sejenis mikroskop yang menggunakan elektron sebagai pengganti cahaya untuk melihat benda dengan resolusi tinggi. Analisis SEM bermanfaat untuk mengetahui mikrostruktur (termasuk porositas dan bentuk retakan) benda padat. Berkas sinar elektron dihasilkan dari filamen yang dipanaskan, disebut electron gun. Sebuah ruang vakum diperlukan untuk preparasi cuplikan. Cara kerja SEM adalah gelombang elektron yang dipancarkan electron gun terkondensasi di lensa kondensor dan terfokus sebagai titik yang jelas oleh lensa objektif. Scanning coil yang diberi energi menyediakan medan magnetik bagi sinar elektron. Berkas sinar elektron yang mengenai cuplikan menghasilkan elektron sekunder dan kemudian dikumpulkan oleh detektor sekunder atau detektor backscatter. Gambar yang dihasilkan terdiri dari ribuan titik berbagai intensitas di permukaan Cathode Ray Tube (CRT) sebagai topografi gambar (Kroschwitz, 1990).
2.10 KOROSI
Korosi didefinisikan sebagai degredasi dari material yang diakibatkan oleh reaksi kimia dengan material lainya dan lingkungan (Jones, 1992). Akibat adanya reaksi korosi, suatu material akan mengalami perubahan sifat ke arah yang lebih rendah atau dapat dikatakan kemampuan dari material tersebut akan berkurang. Dalam bidang metalurgi, peristiwa korosi dapat dipandang sebagai suatu peristiwa atau reaksi senyawa kembali ke bentuk asalnya atau bisa disebut sebagai kebalikan dari proses metalurgi ekstraksi. Peristiwa korosi terjadi akibat adanya reaksi kimia dan elektrokimia. Namun, untuk terjadinya peristiwa korosi terdapat beberapa elemen utama yang harus dipenuhi agar reaksi tersebut dapat berlangsung. Elemen-elemen utama tersebut adalah sebagai berikut (Fontana, 1986):
28
a. Material Dalam suatu peristiwa korosi, suatu material akan bersifat sebagai anoda. Anoda adalah suatu bagian dari suatu reaksi yang akan mengalami oksidasi. Akibat reaksi oksidasi, suatu logam akan kehilangan elektron, dan senyawa logam tersebut ion berubah menjadi ion-ion bebas. b. Lingkungan Dalam suatu peristiwa korosi, suatu lingkungan akan bersifat sebagai katoda. Katoda adalah suatu bagian dari rekasi yang akan mengalami reduksi. Akibat reaksi reduksi, lingkungan yang bersifat katoda akan membutuhkan elekron yang akan diambil dari anoda. Beberapa lingkungan yang dapat bersifat katoda adalah Lingkungan air, atmosfer, gas, mineral acid, tanah, dan minyak. c. Reaksi antara material dan lingkungan Adanya reaksi antara suatu material dengan lingkungannya merupakan suatu persyaratan yang sangat penting dalam terjadinya suatu peristiwa korosi. Reaksi korosi hanya akan terjadi jika terdapat hubungan atau kontak langsung antara material dan lingkungan. Akibat adanya hubungan tersebut, akan terjadi reaksi reduksi dan oksidasi yang berlangsung secara spontan. d. Elektrolit Untuk mendukung suatu reaksi reduksi dan oksidasi dan melengkapi sirkuit elektrik, antara anoda dan katoda harus dilengkapi dengan elektrolit. Elektrolit menghantarkan listrik karena mengandung ion-ion yang mampu menghantarkan elektroequivalen force sehingga reaksi dapat berlangsung. Reaksi korosi logam melibatkan dua reaksi setengah sel, yaitu reaksi oksidasi pada anoda dan reaksi reduksi pada katoda. Reaksi katoda dan anoda yang terjadi dalam proses korosi adalah sebagai berikut (Jones, 1992). Anoda : M → Mn+ + ne-
(2.5)
Katoda : a. Evolusi hidrogen (asam)
: 2H+ + 2 e- → H2
(2.6)
29
b. Reduksi air (netral/basa)
: H2O + 2 e- → H2 + 2OH-
(2.7)
c. Reduksi oksigen (asam)
: O2 + 4H+ + 4 e- → 2H2O
(2.8)
d. Reduksi oksigen (netral/basa) : O2 + 2H2O + 4e- → 4OHe. Reduksi ion logam
: M3+ + e- → M2+
(2.9) (2.10)
Berdasarkan bentuk kerusakan yang dihasilkan, penyebab korosi, lingkungan tempat terjadinya korosi, maupun jenis material yang diserang, korosi teragi menjadi beberapa macam, diantaranya adalah korosi merata (uniform corrosion), korosi galvanic (galvanic corrosion), korosi celah (crevice corrosion), korosi sumuran (pitting corrosion), korosi batas butir (intergranular corrosion), korosi erosi (erosion corrosion), fretting, dealloying, hydrogen damaged dan environmentally induced corrosion (Jones, 1992).