9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1.Kajian Pustaka Ada beberapa penelitian sebelumnya yang terkait dengan penelitian ini, diantaranya adalah sebagai berikut: Penelitian yang dilakukan oleh Toni, A.B. Tangdililing dan Asmadi (2013) dalam
Jurnal
Tesis
PMIS-Universitas
Tarumanegara-PSIS
yang
berjudul
“Pelaksanaan Fungsi Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Kalimantan Barat: Suatau Studi tentang Penyusunan Raperda ”. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh pelaksanaan fungsi legislasi DPRD Provinsi Kalimantan Barat masa periode tahun 2009 sampai dengan tahun 2014 jika disimak dengan cermat belum dapat melaksanakan fungsinya secara optimal, terutama dalam menyusun Raperda yang memuat daftar urut dan prioritas Raperda. Kondisi ini dibuktikan dengan data empiris mengenai rekapitulasi Raperda Provinsi Kalimantan Barat dari tahun 2010–2012 bahwa persentase rasio pembahasan/legislasi (output) masih rendah sangat rendah bila dibandingkan dengan target (input) yang ada. Pelaksanaan Legislasi DPRD Provinsi Kalimantan Barat dalam penyusunan Raperda, pada kenyataannya belum sesuai dengan harapan. Dalam pelaksanaan kegiatan legislasi, terlihat Raperda yang dihasilkan DPRD Provinsi Kalimantan Barat periode 2009-2014 relatif masih rendah, yakni banyak Peraturan Daerah selama kurun waktu 2010-2012 tidak mencapai target bahkan terjadi penurunan dari tahun ke tahun. Faktor yang mempengaruhi pelaksanaan fungsi legislasi DPRD Provinsi
10
Kalimantan Barat dalam penyusunan Raperda Provinsi Kalimantan Barat, meliputi faktor kemampuan, pengalaman dan penguasaan data. Aludin (2009) dalam tugas akhir program magister Universitas Terbuka yang berjudul “Hubungan Legislatif dengan Eksekutif dalam Pembentukan Peraturan Daerah tentang Pemilihan Kepala Desa di Kabupaten Wakatobi” membahas mengenai hubungan lembaga legislatif dan eksekutif di Kabupaten Wakatobi dalam pembentukan peraturan daerah diatur dalam Peraturan Daerah tentang pemeilihan kepala desa yang diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005 yang mengatur tentang Pemerintahan Desa yang menyatakan pemeilihan kepala desa dapat ditetapkan melaui peraturan daerah. Hasil dari penelitian ini menyatakan bahwa hubungan antara lembaga legislatif dan eksekutif dalam pembahasan Perda Pemilihan Kepala Desa di Kab. Wakatobi telah berjalan sesuai dengan kesetaraan dan kemitraan yang diamanatkan dalam UU No. 32 Tahun 2004. Hal ini tercermin dari pelibatan yang seimbang antara unsur legislatif dan eksekutif pada pembahasan raperda melalui sidang paripurna DPRD. Eduart Hartono (2009) dalam tugas akhir program magister Universitas Terbuka yang berjudul “Hubungan anatar Aspek-Aspek Pendidikan dan Pelatihan Anggota DPRD dengan Unsur Kinerja Anggota DPRD: Studi pada Anggota DPRD Kabupaten Lampung Tengah” menyatakan bahwa tugas sebagai anggota DPRD merupakan suatu pekerjaan yang unik karena anggota DPRD direkrut dari berbagai latar belakang termasuk latar belakang pendidikan yang beragam. Dengan latar belakang yang beragam tersebut anggota DPRD dituntut untuk mampu menganalisis
11
permasalahan dalam bobot tanggung jawab yang sama. Program pendidikan dan pelatihan untuk anggota DPRD dimaksudkan anatara lain untuk mengurangi kesenjangan pengetahuan yang dimiliki, sekaligus untuk menyatukan fokus dan cakrawala berfikir anggota DPRD demi peningkatan kinerja bersama. Penelitian ini mendapatkan hasil bahwa secara umum aspek-aspek pendidikan dan pelatiahn memiliki hubungan yang signifikan dengan unsur kinerja anggota DPRD. Hal ini berarti bahwa peningkatan kinerja anggota DPRD salah satunya ditentukan oleh pendidikan pelatihan yang ditempuh oleh anggota DPRD. Penelitian yang dilakukan oleh Tedi, Amanda dan Pascarani (2014) dalam laporan akhir penelitian dosen muda yang berjudul “Analisis Dinamika Hubungan DPRD dan Kepala Daerah dalam Penyususunan Produk Legislasi Daerah di Kabupaten Karangasem Tahun 2012-2013” dilatar belakangi oleh Relasi Kepala Daerah dengan DPRD bervariasi antar daerah. Kondisinya tergantung pada faktor kapasitas figur kepala daerah, asal partai, besaran jumlah dukungan masyarakat (popular vote), serta konfigurasi kekuatan politik di DPRD (Marijan, 2010). Kepala daerah yang dipilih mayoritas mutlak dan memperoleh dukungan koalisi partai-partai yang memiliki suara mayoritas di DPRD cenderung berpola executive heavy. Kepala daerah berkarakteristik seperti ini memiliki legitimasi kuat karena popular vote pilihan rakyat. Kepala daerah yang memiliki dukungan besar dari partai-partai yang mengendalikan kekuasaan di DPRD, maka secara politik anggota DPRD cenderung bertanggung jawab pada dukungannya tersebut, sehingga dalam menjalankan fungsinya, DPRD cenderung memberikan dukungan kebijakan pemerintah daerah daripada melakukan perlawanan.
12
Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa Dinamika hubungan Kepala Daerah dan DPRD di Kabupaten Karangasem cenderung mengarah pada executive heavy. Kepala Daerah banyak mengambil peran sepihak tanpa melibatkan DPRD sebagai mitra penganggaran dan pengawasan. Muara koreksi fraksi pada aktifitas rapat paripurna berkisar pada pemetaan problem besar, seperti kinerja pengelolaan keuangan daerah, tranparansi dan prioritas pembangunan, serta trend sisa lebih pagu anggaran (SiLPA) yang senantiasa naik setiap akhir tahun anggaran. Saran kedepan agar relasi Kepala Daerah dan DPRD lebih menunjukan pola balanced power. DPRD memiliki kemampuan yang professional dalam menghasilkan produk legislasi. Ketersediaan tim ahli yang kompeten menjadi pendukung yang baik bagi berdayanya anggota legislatif dalam menghasilkan insiatif legislasi. Dari keempat penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, dapat dilihat bahwa penelitian mengenai “Kinerja Legislasi DPRD Kabupaten Tolitoli” belum pernah dilakukan. Akan tetapi terdapat sedikit persamaan antara keempat penelitian diatas dengan penelitian yang akan penulis teliti. Persamaan penelitian oleh Toni Kurniadi dkk dan Aludin ini yaitu sama-sama membahas fungsi legislasi DPRD. Kemudian penelitian dari Eduart Hartono dan Tedi Dan kawan-kawan juga memiliki persamaan dalam membuat produk legislasi hanya perbedaannya terletak pada fokus penelitian yang dilakukan oleh Eduart adalah aspek pendidikan dan pelatihan untuk meningkatkan kualitas produk legislasi, sedangkan penelitian yang akan penulis teliti ini akan memfokuskan pada permasalahan produk melalui kinerja legislasi DRPD Kabupaten Tolitoli, secara khusus inovasi produk legislasi yang dapat memecahkan atau meningkatkan pertumbuhan lokalistik daerah.
13
2.2.Kerangka Konseptual 2.2.1. Gambaran Umum dan Indikator Kinerja a.
Gambaran Umum Kinerja
Istilah kinerja sering digunakan untuk menyebut prestasi atau tingkat keberhasilan individu maupun kelompok. Kinerja (performance) adalah gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan/program/kebijakan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi dan visi organisasi yang tertuang dalam strategic planning suatu organisasi (M. Mahsun,2009).
Mahsun juga menyatakan bahwa
kinerja dapat diketahui hanya jika individu atau kelompok individu tersebut mempunyai kriteria keberhasilan yang telah ditetapkan. Kriteria keberhasilan ini berupa tujuan-tujuan atau target-target tertentu yang hendak dicapai. Tanpa tujuan atau target, kinerja seseorang atau organisasi tidak dapat diketahui karena tidak ada tolak ukurnya. b. Indikator Kinerja Indikator kinerja (performance indicators) sering disamakan dengan pengukuran kinerja (performance measure). Namun sebenarnya, meskipun keduanya merupakan kriteria pengukuran kinerja, terdapat perbedaan makna. Indikator kinerja mengacu pada penilaian kinerja secara tidak langsung yaitu hal-hal yang sifatnya hanya merupakan indikasi-indikasi kinerja, sehingga bentuknya cenderung kualitatif (Mahsun, 2009). Hal ini menegaskan bahwa indikator kinerja dapat dianalisa secara kualitatif tanpa menghilangkan setiap faktor yang mempengaruhinya.
14
Pemerintah daerah dapat melakukan sejumlah perbandingan dalam upaya melakukan analisis kinerja di organisasinya. Menurut Mahsun (2009) menyatakan beberapa perbandingan yang bisa dilakukan anatara lain: a) Membandingkan kinerja tahun ini denga kinerja tahun lalu b) Membandingkan kinerja tahun ini dengan berbagai standar peraturan yang diturunkan dari pemerintah pusat atau dari daerah sendiri c) Membandingkan kinerja unit atau seksi yang ada pada sebuah departemen dengan unit atau departemen lain yang menyediakan jasa layanan yang sama d) Membandingkan dengan berbagai ketetuan pada sektor swasta e) Membandingkan semua bidang dan fungsi yang menjadi tangggungjawab pemerintah daerah dengan bidang dan fungsi yang sama pada pemerintah daerah lain. Indikator kinerja sebagai pembanding kinerja legislasi disini akan lebih menitik beratkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku baik dari pusat maupun produk legislasi lokal. 2.2.2. Pemerintah Daerah dalam Menjalankan Desentralisasi a. Pemerintah Daerah Pemerintah daerah menurut UU No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintah daerah
pasal
1 ayat
2
menyebutkan
bahwa
pemerintah
daerah adalah
penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi yang seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
15
Definisi diatas memberikan penjelasan bahwa pemerintah daerah sebagai penyelenggara daerah otonom oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas desentralisasi dimana unsur penyelenggara pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati atau Walikota dan perangkat daerah. Hal ini menegaskan bahwa kepala daerah dan DPRD memiliki hubungan kemitraan yang sejajar atau patnership. b. Asas-Asas Pemerintah Daerah Dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan, khususnya pemerintahan daerah, sangat bertalian erat dengan beberapa asas dalam pemerintahan suatu negara, yaitu asas sentralisasi, asas desentralisasi, asas dekonsentrasi dan asas tugas pembantuan berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004. Asas sentralisasi adalah sistem pemerintahan dimana segala kekuasaan dipusatkan di pemerintah pusat. Asas desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Asas dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah kepada instansi vertikal wilayah tertentu. Sedangkan asas tugas pembantuan adalah penugasan dari pemerintah kepada daerah dan/atau desa; dari pemerintah provinsi kepada pemerintah kabupaten/kota dan/atau desa; serta dari pemerintah kebupaten/kota kepada desa untuk tugas tertentu. Dengan demikian, dari sekian banyaknya asas-asas pemerintahan daerah, desentrasi merupakan asas yang menyatukan penyerahan sejumlah urusan pemerintahan dari pemerintah pusat atau dari pemerintah daerah yang lebih tingggi kepada pemerintah daerah yang lebih rendah sehingga menjadi urusan rumah tangga sendiri daerah itu. Oleh karena itu,
16
prakarsa, wewennag dan tanggungjawab mengenai urusan-urusan diserahkan sepenuhnya menjadi tanggungjawab daerah itu. c. Otonomi Daerah Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pemerintah Daerah berwenang
untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Guna merealisasikan amanat UUD tersebut, maka melalui Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, sebagaimana telah beberapa kali direvisi, pemerintah memberlakukan kebijakan otonomi daerah. Otonomi daerah berarti hak, wewenang dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri
sesuai
dengan
peraturan
perundang-undangan
yang
berlaku
(Dwidjoyanto,2000) Hakekat otonomi daerah merupakan kemandirian daerah itu sendiri, sehingga daerah yang otonom dapat disebut daerah yang mandiri baik dalam membuat maupun melaksanakan keputusan yang terbaik bagi masyarakat. Tujuan adanya otonomi daerah yaitu untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melaui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 dinyatakan bahwa otonomi daerah adalah kewenangan daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.Penerapan model demokrasi lokal ini mengandung arti bahwa penyelengggaraan desentralisasi dan otonomi daerah menuntut adanya partisipasi dan kemandirian masyarakat lokal tanpa mengabaikan
17
prinsip persatuan bangsa dan negara. Partisipasi dan kemandirian disini adalah berkaitan dengan kemampuan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan atas prakarsa sendiri yang berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. (Smith dalam Khairul, 2009:63) Smith juga memiliki pandangan bahwa otonomi daerah merupakan wewenang untuk mengatur urusan pemerintahan yang bersifat lokalistik menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat setempat, dengan demikian desentralisasi sebenarnya menjelmakan otonomi masyarakat setempat untuk memecahkan berbagai masalah dan pemberian layanan yang bersifat lokalitas demi kesejahteraan masyarakat yang bersangkutan. (Smith dalam Khairul, 2009:63) 2.2.3. Tujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) a. Pengertian DPRD Kabupaten Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten yang disingkat DPRD Kabupaten adalah bentuk lembaga perwakilan rakyat daerah di Indonesia yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggaraan pemerintah daerah di Kabupaten. (Saldi Isra, 2013:249) DPRD sebagai badan legislatif daerah berkedudukan sejajar dan menjadi mitra dari pemerintah daerah. Sejajar dan menjadi mitra memiliki arti bahwa DPRD dan pemerintah daerah memiliki tanggung jawab yang sama dalam mewujudkan pemerintahan daerah yang efisien, efektif dan transparan dalam rangka memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada masyarakat demi terjaminnya produktivitas dan kesejahteraan masyarakat di daerah. (Dedi S.B & Dadang S., 2002:232)
18
b. Hak, Tugas dan Wewenang DPRD Kabupaten DPRD memiliki hak yang melekat dari setiap anggota DPRD sesuai dengan UU No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPRD dan DPD. Pertama, hak interplasi adalah hak DPRD untuk meminta keterangan kepada pemerintah mengenai kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kedua, hak angket adalah hak DPRD untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu peraturan daerah dan/atau kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Ketiga, hak menyatakan pendapat adalah hak DPRD untuk menyatakan pendapat atas kebijakan pemerintah atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di tanah air atau di dunia internasional, tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi dan hak angket, atau dugaan perbuatan tercela, dan/atau Bupati dan/atau Wakil Bupati adalah tidak lagi memenuhi syarat sebagai Bupati dan/atau Wakil Bupati Undang-Undang No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPRD dan DPD juga mengatur tentang tugas dan wewenang DPRD Kabupaten/Kota, antara lain membentuk peraturan daerah Kabupaten/Kota bersama Bupati/Walikota; membahas dan memberikan persetujuan rancangan peraturan daerah mengenai anggaran pendapatan dan belanja daerah Kabupaten/Kota yang diajukan oleh Bupati/Walikota; melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan daerah dan anggaran pendapatan dan belanja daerah Kabupaten/Kota; mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian Bupati/Walikota dan/atau Wakil Bupati/Wakil Walikota kepada
19
Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur untuk mendapatkan pengesahan pengangkatan dan/atau pemberhentian; memilih Wakil Bupati/Wakil Walikota dalam hal terjadi kekosongan jabatan Wakil Bupati/Wakil Walikota; memberikan pendapat dan pertimbangan kepada pemerintah daerah Kabupaten/Kota terhadap rencana perjanjian internasional di daerah; memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama internasional yang dilakukan oleh pemerintah daerah Kabupaten/Kota; meminta
laporan
keterangan
pertanggungjawaban
Bupati/Walikota
dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah Kabupaten/Kota; memberikan persetujuan terhadap rencana kerjasama dengan daerah pihak lain atau dengan pihak ketiga yang membebani masyarakat dan daerah; mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan melaksanakan wewenang dan tugas lain yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan. 2.2.4. Kinerja Dewan Perwakilan Rakyat Daerah a. Kedudukan dan Fungsi Lembaga Perwakilan Rakyat Daerah sebagai Pemegang Fungsi Legislasi Berdasarkan ketentuan pasal 363 dan 364 UU Republik Indonesia No. 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, DPRD Kabupaten/Kota terdiri atas anggota partai politik peserta pernilihan umum yang dipilih berdasarkan hasil pemilihan umum. Kedudukan DPRD Kabupaten/Kota adalah sebagai lembaga perwakilan rakyat daerah yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah kabupaten/kota. Berdasarkan pasal 148 ayat (1)
20
UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah mengemukakan bahwa DPRD Kabupaten/Kota merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah Kabupaten/Kota yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah Kabupaten/Kota. DPRD Kabupaten/Kota mempunyai tiga fungsi, yaitu legislasi, anggaran, dan pengawasan. Fungsi legislasi DPRD yakni menyusun perundang-undangan dalam bentuk Peraturan Daerah. Fungsi anggaran DPRD yakni memberikan persetujuan terhadap rencana anggaran daerah yang mencakup rencana anggaran pendapatan, belanja, dan pembiayaan. Fungsi pengawasan DPRD adalah memastikan berjalannya perundang-undangan yang ada dan optimalnya kinerja eksekutif (Yunita, 2004). Ketentuan UU Republik Indonesia No. 22 Tahun 2003 pasal 77, mendefinisikan fungsi legislasi adalah legislasi daerah yang merupakan fungsi DPRD Kabupaten/Kota untuk membentuk peraturan daerah Kabupaten/Kota bersama Bupati/Walikota, dan membuat ketentuan yang menyangkut internal DPRD Kabupaten/Kota. Menurut UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, untuk melaksanakan fungsi legislasi Anggota DPRD, para anggota DPRD diberi hak prakarsa mengajukan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda), hak amandemen (mengubah Raperda baik secara subtansial maupun redaksional), dan hak anggaran termasuk mengajukan RAPBD, mengajukan bentuk dan arah kebijakan anggaran pendapatan dan belanja daerah , menentukan alokasi anggaran menurut program dan lokasi sesuai Pasal 19 ayat (1) huruf d sampai g. Proses fungsi legislasi dapat dilihat pada bagan di bawah ini.
21
Gambar 2.1. Proses Fungsi Legislasi
Sumber: Legal Drafting Pembentukan Perda Tahun 2007 Merujuk pada UU No. 12 Tahun 2011 pasa1 7 ayat (1), Perda merupakan bentuk hukum terendah dari hierarki bentuk peraturan perundangan di Indonesia. Secara keseluruhan, jenis peraturan dan hierarki peraturan perundang-undangan adalah sebagai berikut: (1) UUD Republik Indonesia Tahun 1945; (2) UU/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; (3) Peraturan Pemerintah; (4) Peraturan Presiden; dan (5) Peraturan Daerah. Tata urutan hukum di Indonesia , dapat dilihat dari gambar dan tabel dibawah ini. Gambar 2.2. Tata Urutan Hukum di Indonesia
Sumber: Legal Drafting Pembentukan Perda Tahun 2007 b. Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Menurut UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan khususnya pasal 5 dan pasal 6 yang merumuskan bahwa dalam
22
membentuk
peraturan
perundang-undangan
harus
berdasarkan
pada
asas
pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik meliputi; kejelasan tujuan, kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat, kesesuaian antara jenis dan materi muatan, dapat dilaksanakan, kedayagunaan dan kehasilgunaan, kejelasan rumusan, dan keterbukaan. Peraturan perundang-undangan, termasuk didalamnya adalah peraturan daerah juga harus memiliki asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan berdasarkan UU No. 12 Tahun 2011. Hal ini dimaksudkan agar setiap perda yang terbentuk dapat dijalankan dengan efektif, efisien dan tidak bertentangan dengan peraturan lainnya. c. Tahapan Pembentukan Peraturan Daerah UU No. 12 Tahun 2011 pasal 26 tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan menyebutkan bahwa Rancangan peraturan daerah dapat berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau Gubernur, atau Bupati/Walikota, masingmasing sebagai kepala pemerintah daerah Provinsi, Kabupaten, atau Kota. Secara umum, terdapat tujuh langkah yang perlu dilalui dalam menyusun suatu Perda baru. Uraian dari masing-masing langkah dapat bervariasi, namun secara umum seluruh langkah ini perlu dilalui. Langkah 1 : Identifikasi isu dan masalah. Langkah 2 : Identifikasi legal baseline atau landasan hukum, dan bagaimana peraturan daerah (Perda) baru dapat memecahkan masalah. Langkah 3 : Penyusunan Naskah Akademik. Langkah 4 : Penulisan Rancangan Perda.
23
Langkah 5 : Penyelenggaraan konsultasi publik: Revisi rancangan perda. Apabila diperlukan, melakukan konsultasi publik tambahan. Langkah 6 : Pembahasan di DPRD. Langkah 7 : Pengesahan Perda. Alur proses penyusunan Perda dapat digambarkan sebagai berikut: Gambar 2.3. Tahapan Penyusunan Perda
Sumber: Legal Drafting Pembentukan Perda Tahun 2007
Berdasarkan ketentuan pasal 140 ayat 1 dan 2 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004, jika dalam waktu yang bersamaan (Satu masa sidang) kepala daerah (Bupati/Walikota) dan DPRD menyampaikan rancangan Perda dengan materi yang sama maka yang dibahas adalah rancangan Perda yang disampaikan oleh DPRD, sedangkan rancangan Perda yang disampaikan oleh kepala daerah digunakan sebagai bahan untuk dipersandingkan. Ketentuan ini menegaskan penguatan terhadap DPRD sebagai representatif rakyat dalam menjalankan fungsi legislasi daerah dalam arti DPRD memiliki peluang
24
dan kewenangan yang luas dalam pembentukan Perda. Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2004 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah pasal 95 ayat (1) secara tegas dinyatakan juga bahwa DPRD memegang kekuasaan dalam membentuk Perda. Penguatan DPRD dalam proses legislasi di daerah merupakan konsekuensi logis dari lembaga tersebut sebagai lembaga perwakilan. Oleh karena itu DPRD dengan kedudukan sebagai lembaga perwakilan rakyat daerah yang salah satu tugas dan wewenangnya membentuk Perda yang dibahas bersama kepala daerah harus memiliki kepekaan dalam merespon dan menampung aspirasi yang berkembang di masyarakat dalam proses pembahasan dan pengesahan Perda. Rancangan Perda disampaikan oleh anggota, komisi, gabungan komisi, dan/atau alat kelengkapan DPRD yang khusus menangani bidang legislasi berdasarkan pasal 141 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 dan Pasal 28 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2004. Berdasarkan atas ketentuan tersebut gagasan untuk membentuk sebuah Perda dapat diusulkan oleh setiap anggota DPRD. Tahapan pembahasan rancangan perda baik rancangan yang berasal dari DPRD maupun dari Kepala daerah dibagi dalam 4 tahap atau tingkatan yang dilakukan DPRD bersama kepala daerah. Pembicaraan tingkat pertama, meliputi penjelasan kepala daerah dalam Rapat Paripurna tentang penyampaian Raperda yang berasal dari kepala daerah, atau penjelasan dalam rapat paripurna oleh pimpinan komisi/gabungan komisi atau pimpinan panitia khusus terhadap Raperda dan/atau perubahan Perda atas usul prakarsa DPRD.
25
Pembicaraan tingkat kedua meliputi; Raperda yang berasal dari Kepala Daerah: (a) Pandangan umum dari fraksi-fraksi terhadap Raperda yang berasal dari kepala daerah, (b) Jawaban kepala daerah terhadap pandangan umum fraksi-fraksi. Raperda atas usul DPRD: (a) Pendapat kepala daerah terhadap Raperda atas usul DPRD, (b) Jawaban dari fraksi-fraksi terhadap pendapat kepala daerah. Pembicaraan
tingkat
ketiga,
meliputi
pembahasan
dalam
rapat
komisi/gabungan komisi atau rapat panitia khusus dilakukan bersama-sama dengan kepala daerah atau pejabat yang ditunjuk. Pembicaraaan tingkat keempat meliputi: (1) Pengambilan keputusan dalam rapat paripuma yang didahului dengan (a) Laporan hasil pembicaraan tahap ketiga; (b) Pendapat akhir fraksi; (c) Pengambilan keputusan. (2) Penyampaian sambutan Kepala Daerah terhadap pengambilan keputusan terhadap Raperda yang telah disetujui bersama oleh DPRD dan Kepala Daerah disampaikan oleh Pimpinan DPRD kepada Kepala Daerah untuk ditetapkan menjadi Peraturan Daerah (Ropi'i, 2007). d. Bentuk Produk Legislasi Daerah Menurut Mardiasmo (2004), produk legislasi yang dibuat oleh eksekutif dan legislatif dapat digolongkan menjadi dua bentuk, yaitu kelompok rutin seperti pengesahan APBD, perubahan APBD, dan pengesahan perhitungan APBD, sedangkan yang kedua adalah kelompok insidentil, yaitu meliputi semua peraturan kepala daerah yang hanya dibuat sekali atau sesuai dengan kebutuhan. Menurut UU No. 12 Tahun 2011, terdapat tiga jenis peraturan yang dapat dibuat oleh Daerah sebagai suatu kesatuan masyarakat hukum yaitu: a. Peraturan Daerah;
26
b. Peraturan Kepala Daerah; c. Keputusan Kepala Daerah; dan d. Peraturan Bersama Kepala Daerah ( Permendagri No. 15/2006). Ranah DPRD adalah peraturan daerah, sedangkan peraturan kepala daerah dan keputusan kepala daerah adalah ranah kepala daerah sebagai penjabaran dari Perda. Sebagai daerah otonom berdasarkan UU No. 22 Tahun 2009, secara subtantif Perda seharusnya mencerminkan prinsip-prinsip keotonomian suatu daerah yang berbasis pada kondisi dan kebutuhan nyata yang ada pada masyarakat dan pemerintahannya (Noordiansyah, 2009). Hal inilah yang membuat fungsi legislasi dapat menghasilan produk berupa Perda menjadi kunci utama dalam melaksanakan asas desentralisasi. Lembaga yang memiliki kewenangan tersebut adalah DPRD. e. Indikator Kinerja Legislasi DPRD Pada penelitian ini, penulis perlu menguraikan teori-teori dan konsep yang berkaitan
dengan
indikator
kinerja
menurut
Robbins
(2006)
yang
akan
mempengaruhi kinerja legislasi DPRD dalam kaitan studi analisis kinerja DPRD Kabupaten Tolitoli. Berikut ini merupakan beberapa konsep yang berkaitan dengan objek penelitian, antara lain: a) Kualitas Kualitas kinerja diukur dari persepsi pelaku organisasi terhadap kualitas pekerjaan yang dihasilkan serta kesempurnaan tugas terhadap keterampilan dan kemampuan pelaku organisasi (Robbins, 2006). Pelaku organisasi dalam penelitian ini adalah anggota DPRD Kabupaten Tolitoli dalam rangka mencapai kesempurnaan
27
menjalankan fungsi legislasi dari keterampilan dan kemampuan anggota DPRD Kabupaten Tolitoli. Salah satu alat ukur keteramilan dan kemampuan anggota DPRD tersebut adalah melalui analisis pendidikan anggota DPRD Kabupaten Tolitoli. Pendidikan adalah suatu cara yang berkaitan dengan suatu perubahan didalam bertingkah laku karena pengalaman dan keterampilan serta pengetahuan yang diperolehnya. Perubahan yang terjadi didalam diri seseorang karena adanya proses belajar, dapat berupa pengetahuan, keterampilan maupun sikap. Perubahan ini merupakan suatu proses dimana seseorang menerima gagasan baru atau keterampilan yang dapat memuaskan diri. Jika seseorang telah memiliki keinginan yang kuat untuk memenuhi kebutuhan dasarnya, maka ia akan mempunyai semangat dan mendorong untuk belajar. Pendidikan merupakan faktor individu yang sangat mempengaruhi kinerja organisasi karena dianggap sangat kompleks sebab pendidikan akan menentukan kemapuan seseorang dalam menjalankan manajerial, kedisiplinan, komitmen, dan kreativitas. b) Kuantitas Kuantitas merupakan jumlah yang dihasilkan atau dinyatakan dalam istilah seperti jumlah unit, jumlah siklus aktivitas yang diselesaikan (Robbins, 2006). Kuantitas penelitian ini akan diukur melalui jumlah Perda yang dihasilkan oleh DPRD Kabupaten Tolitoli selama periode Tahun 2009-2014 dari jumlah Raperda yang dijadikan prioritas pembahasan dalam Program Legislasi Daerah DPRD Kabupaten Tolitoli. Kuantitas akan menentukan kinerja DPRD Kabupaten Tolitoli
28
dalam menjalankan fungsi legislasi atau membuat peraturan perudang-undangan di tingkat daerah. c) Ketepatan Waktu Ketepatan waktu merupakan tingkat aktivitas diselesaikan pada awal waktu yang dinyatakan, dilihat dari sudut koordinasi dengan hasil output serta memaksimalkan waktu yang tersedia untuk aktivitas lain (Robbins, 2006). Ketepatan waktu DPRD Kabupaten Tolitoli dalam menyelesaikan Raperda menjadi Perda dalam setiap pembahasan Raperda pada masa sidang merupakan salah satu indikator yang dapat dianalisa untuk mengetahui kinerja legislasi DPRD Kabupaten Tolitoli. d) Efektivitas Efektivitas merupakan tingkat penggunaan sumber daya organisasi (tenaga, uang, teknologi, bahan baku) dimaksimalkan dengan maksud menaikkan hasul dari setiap unit dalam penggunaan sumber daya (Robbins, 2006). Sumber daya DPRD Kabupaten Tolitoli dalam menjalankan fungsi legislasi telah diatur berdasarkan UU No. 12 Tahun 2011 pasal 26 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan serta UU No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPRD dan DPD juga mengatur tentang tugas dan wewenang DPRD Kabupaten/Kota berdasarkan struktur yang dibentuk berdasarkan Alat Kelengkapan Dewan (AKD). Robbins (1996) membuat perincian mengenai segi-segi struktur organisasi. Perspektif perubahan organisasinya nampak dari faktor-faktor determinan (penentu) struktur organisasi. Dimensi-dimensi struktur organisasi adalah: (1) Kompleksitas; (2) Formalisasi; dan (3) Sentralisasi. Dimensi-dimensi ini telah mencakup unsur-unsur struktural.
29
Pengambilan keputusan tergantung dari struktur organisasi. Sentralisasi mempertimbangkan dimana letak dari pusat pengambilan keputusan yang dapat berada di puncak organisasi, didelegasikan ke level bawah, atau diberikan kepada suatu tim yang bersifat sementara (ad hoc). Keputusan sebuah organisasi menerapkan sentralisasi ataupun desentraslisasi didasarkan pada kebutuhan dan tujuannya. Sentralisasi-desentralisasi dianggap penting karena organisasi adalah sistem pengambilan keputusan dan pengolahan informasi melalui sekumpulan orang. Organisasi membantu pencapaian tujuan melalui koordinasi dari usaha kelompok, pengambilan keputusan dan pengolahan informasi adalah yang utama agar koordinasi dapat terlaksana. Organisasi harus menanggapi dengan cepat perubahan kondisi yang terdapat pada titik dimana perubahan itu teljadi. Desentralisasi mendorong tindakan yang cepat karena menghindari kebutuhan untuk memproses informasi melalui hirarki vertikal (Robbins, 1996). e) Kemandirian Kemandirian merupakan tingkat seseorang pelaku organiasi yang nantinya akan menjalankan fungsi kerjanya, serta komiten kerja yaitu suatu tingkat dimana pelaku organisasi mempunyai komitmen kerja dengan instansi dan tanggungjawab pelaku organisasi terhadap kantor/institusi (Robbins, 2006). Pola yang terbentuk atau kebiasaan cara kerja DPRD Kabupaten Tolitoli dalam menjalankan fungsi legislasi akan mempengaruhi kinerja DPRD Kabupaten Tolitoli sehingga dapat membentuk sebuah budaya organisasi atau kultur organisasi. Selain dipengaruhi oleh variabel-variabel pendidikan dan struktural, kinerja suatu organisasi juga akan dipengaruhi oleh kultur atau budaya organisasi itu sendiri.
30
Kultur atau budaya organisasi adalah nilai-nilai dominan yang didukung oleh organisasi, dan asumsi serta kepercayaan dasar yang terdapat di antara anggota organisasi. Kultur yang kuat dicirikan oleh nilai inti organisasi yang dianut dengan kuat, diatur dengan baik, dan dirasakan bersama secara luas serta menjadi sebuah kebiasaan. f) Lingkungan Dalam bukunya yang berjudul Teori Organisasi, Struktur, Desain dan Aplikasi (1996), Robbins menyatakan bahwa dalam setiap proses dan analisis, faktor lingkungan selalu memberi pengaruh dan dampak yang cukup signifikan dibandingkan dengan faktor-faktor yang lainnya. Oleh karena itu, faktor lingkungan penting dalam analisis mengenai kinerja lembaga DPRD, karena setiap lembaga/organisasi beroperasi di bawah pengaruh lingkungan. Tidak ada lembaga/organisasi yang beroperasi dalam kevakuman. Organisasi selalu berinteraksi dengan lingkungannya (Robbins, 1996). Robbins juga mengemukakan bahwa lingkungan organisasi adalah segala sesuatu yang berada di luar organisasi yang selanjutnya dibedakan menjadi dua kategori lingkungan organisasi, yaitu lingkungan umum dan lingkungan khusus. Lingkungan umum mencakup kondisi yang mungkin mempunyai dampak terhadap organisasi tetapi relevansinya tidak begitu jelas. Termasuk keadaan politik, lingkungan sosial, hukum, dan lain-lain. Lingkungan khusus adalah bagian dari lingkungan yang secara langsung relevan bagi organisasi dalam mencapai tujuannya. Lingkungan khusus antara lain mencakup klien atau pelanggan, pemasok, para pesaing, lembaga pemerintah, dan kelompok penekan.
31
2.3.Kerangka Pemikiran Analisis Kinerja Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Periode Tahun 2009-2014
Kinerja Legislasi DPRD (Perda) tidak sesuai aturan dan harapan
Minimnya
Mayoritas
Inovasi daerah
produk legislasi
usulan Perda
dalam membuat
yang bersumber
dari eksekutif
produk Perda
dari usulan
untuk
DPRD
memecahkan persoalan lokalistik masih kurang
Permasalahan Bagaimana kinerja legislasi DPRD Kabupaten Tolitoli periode tahun 2009-2014? Rumusan Masalah Untuk mengetahui kinerja legislasi DPRD Tujuan
Kabupaten Tolitoli periode tahun 2009-2014. Indikator kinerja (Robbins, 2006):
Menganalisis kinerja legislasi DPRD Kabupaten Tolitoli periode tahun 20092014
Analisis
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Kualitas Kuantitas Ketepatan Waktu Efektivitas Kemandirian Lingkungan
lingkungan