BAB II TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Tinjauan Pustaka
Sektor perkebunan merupakan sektor yang berperan sebagai penghasil devisa negara, salah satu komoditas perkebunan penghasil devisa adalah kopi. Indonesia merupakan salah satu penghasil kopi terbaik di dunia, khususnya untuk jenis kopi Arabika. Kopi merupakan salah satu komoditi perkebunan nasional yang memegang peranan cukup penting dalam perekonomian Indonesia. Peran tersebut dapat berupa pembukaan lapangan pekerjaan dan sebagai sumber pendapatan petani kopi, terutama petani kopi Arabika (Tim Karya Tani Mandiri, 2010).
Menurut Panggabean (2011), sekitar 90% hasil produksi kopi di Indonesia berasal dari perkebunan kopi rakyat dan sisanya adalah produksi kopi yang berasal dari perkebunan besar milik negara dan swasta. Beberapa faktor yang mempengaruhi kestabilan hasil produksi perkebunan kopi rakyat, diantaranya, faktor kebiasaan petani, faktor ekonomi, dan faktor keamanan lingkungan. Belum adanya pemetaan sentra penghasil kopi yang menggambarkan karakteristik dari masing-masing daerah dan kurangnya penyuluhan (edukasi) dalam mengatasi hama penyakit tanaman kopi menjadi salah satu penyebab produksi kopi hasil perkebunan rakyat belum banyak diekspor. Akibatnya, pendapatan petani kopi pun tidak memiliki kenaikan yang signifikan setiap tahunnya dan ini sangat berdampak pada ketimpangan pendapatan petani kopi dalam suatu daerah penghasil kopi.
Pada umumya masyarakat desa yang mayoritasnya berprofesi sebagai petani memiliki keragaman mata pencaharian untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Walaupun suatu keluarga telah memiliki usahatani utama, namun tetap berupaya untuk mengusahakan berbagai jenis cabang usahatani lainnya maupun kegiatan produktif diluar usahatani, seperti, kerajinan, memburuh ke usahatani milik petani lain, bertukang, berdagang, dan sebagainya (Perbatakusuma, 2011).
Dari hasil penelitian Simanjuntak (2005) di Desa Tanjung Beringin, diketahui bahwa ada sekitar 83% petani kopi yang memiliki pekerjaan sampingan diluar usahatani kopi dan kegiatan produktif lain diluar kegiatan usahatani. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain, luas lahan yang dimiliki, harga jual kopi yang fluktuatif, kurangnya modal, penguasaan terhadap bidang pekerjaan lain, hama penyakit yang sedang menjangkit, kesempatan yang ada, semakin besarnya kebutuhan rumah tangga, dan sebagainya. Pekerjaan sampingan ini memberikan pendapatan tambahan yang signifikan terhadap pendapatan keluarga petani, namun pendapatan dari usahatani kopi tetap menjadi sumber pendapatan utama keluarga petani kopi. Usahatani kopi memberikan kontribusi terbesar terhadap pendapatan keluarga petani, yakni, sebesar 77,28%. Sedangkan usahatani diluar usahatani kopi dan kegiatan produktif lain diluar kegiatan usahatani masing-masing memberikan kontribusi sebesar 6,08% dan 16,64% terhadap pendapatan total keluarga petani.
Distribusi pendapatan merupakan salah satu indikator pemerataan. Pemerataan akan terwujud jika proporsi pendapatan yang dikuasai oleh sekelompok masyarakat tertentu sama besarnya dengan proporsi kelompok tersebut. Misalnya
jika sekelompok masyarakat proporsinya sebesar 40% dari total penduduk maka seharusnya mereka juga menguasai pendapatan sebesar 40% dari total pendapatan. Ada sejumlah alat atau media untuk mengukur tingkat ketimpangan distribusi pendapatan. Alat atau media yang lazim digunakan adalah Koefisien Gini (Gini Ratio) dan cara perhitungan yang digunakan oleh Bank Dunia (Hasrimi, 2010).
Todaro (1989) menyatakan bahwa Gini Ratio akan dapat dijelaskan dengan menggunakan kurva Lorenz. Dengan menggunakan kurva Lorenz maka tingkat pemerataan akan dapat diketahui dengan jalan membandingkan bidang yang terletak antara garis diagonal dengan kurva Lorenz (bidang yang diarsir) dengan bidang setengah bujur sangkar sebagaimana terlihat pada gambar dibawah ini, Gambar 1. Bentuk Arsiran Kurva Lorenz
Sumber : http://statistikaterapan.files.wordpress.com Dari gambar di atas, sumbu horisontal menggambarkan prosentase kumulatif penduduk, sedangkan sumbu vertikal menyatakan bagian dari total pendapatan yang diterima oleh masing-masing prosentase penduduk tersebut. Sedangkan garis diagonal di tengah disebut “garis kemerataan sempurna”. Karena setiap titik pada garis diagonal merupakan tempat kedudukan prosentase penduduk yang sama
dengan prosentase penerimaan pendapatan. Semakin jauh jarak garis kurva Lorenz dari garis diagonal maka semakin tinggi tingkat ketidakmerataannya. Sebaliknya, semakin dekat jarak kurva Lorenz dari garis diagonal maka semakin tinggi tingkat pemerataan distribusi pendapatannya. Pada gambar di atas, besarnya ketimpangan digambarkan sebagai daerah yang diarsir (Budi, 2011).
Collier dalam Hayami (1985) mengemukakan bahwa pendapatan dari kegiatan di luar pertanian sangat penting sebagai tambahan pendapatan yang bersumber dari kegiatan pertanian. Selanjutnya, ia mengemukakan, pendapatan dari kegiatan non pertanian dalam perekonomian agraris secara teoritis dapat berpengaruh positif terhadap pemerataan pendapatan jika pola penguasaan lahan pertanian relatif tidak merata. Berpengaruh negatif jika pola penguasaan lahan relatif merata dan sumbangan penghasilan kegiatan luar pertanian relatif kecil.
Studi yang dilakukan oleh Departemen Tenaga Kerja dalam Kustiah (1983) menyimpulkan bahwa semakin miskin suatu daerah maka semakin merata distribusi pendapatannya dan demikian pula sebaliknya. Terjadinya hal tersebut karena kegiatan usaha tani yang dilakukan oleh masyarakat miskin pada umumnya adalah pertanian berlahan sempit dan cenderung mengandalkan tenaga kerja ketimbang modal. Penggunaan tenaga kerja di luar keluarga pada umumnya tidak dibayar karena adanya pertukaran tenaga kerja di antara mereka secara resiprokal. Berbeda dengan petani yang berlahan luas yang pada umumnya lebih mengandalkan faktor modal dan tenaga kerja bayaran dengan berprinsip efisiensi skala usaha. Dengan kondisi demikian pembagian pendapatan pada kelompok petani miskin cenderung akan lebih merata ketimbang petani mampu. Secara
konkrit hasil studi tersebut menunjukkan bahwa besarnya koefisien Gini untuk daerah hampir miskin sebesar 0,270, daerah miskin sebesar 0,234, daerah sedikit lebih miskin 0,213, dan daerah sangat miskin 0,161.
Berbicara masalah pedesaan tidak terlepas dengan masalah kemiskinan dan keterbelakangan. Kemiskinan dilihat dari rendahnya tingkat pendapatan, kurangnya konsumsi kalori yang diperlukan oleh tubuh manusia dan melebarnya kesenjangan antara masyarakat yang kaya dengan masyarakat yang miskin. Kemiskinan yang menimpa sekelompok masyarakat berhubungan dengan status sosial ekonominya dan potensi wilayah. Faktor sosial ekonomi, yaitu, faktor yang berasal dari dalam diri masyarakat itu sendiri dan cenderung melekat pada dirinya seperti tingkat pendidikan dan keterampilan yang rendah, teknologi dan rendahnya aksesibilitas terhadap kelembagaan yang ada. Kedua faktor tersebut menentukan aksesibilitas masyarakat miskin dalam memanfaatkan peluangpeluang ekonomi dalam menunjang kehidupannya. Kemiskinan sesungguhnya merupakan suatu fenomena yang kait-mengait antara suatu faktor dengan faktor yang lainnya. Oleh karena itu untuk mengkaji kemiskinan harus diperhatikan jalinan antara faktor-faktor penyebab kemiskinan dan faktor-faktor yang berada di balik kemiskinan tersebut (Hasrimi, 2010).
Todaro (1989) memperlihatkan jalinan antara kemiskinan dan keterbelakangan dengan beberapa aspek ekonomi dan aspek non ekonomi. Tiga komponen utama sebagai penyebab keterbelakangan dan kemiskinan masyarakat, faktor tersebut, antara lain, rendahnya taraf hidup, rendahnya rasa percaya diri, dan terbatasnya kebebasan. Ketiga aspek tersebut memiliki hubungan secara timbal balik balik.
Rendahnya taraf hidup disebabkan oleh rendahnya tingkat pendapatan, rendahnya pendapatan disebabkan oleh rendahnya produktivitas tenaga kerja, rendahnya produktivitas tenaga kerja disebabkan oleh tingginya pertumbuhan tenaga kerja, tingginya angka pengangguran, dan rendahnya investasi perkapita. Selanjutnya rendahnya
tingkat
pendapatan
berpengaruh
terhadap
tingkat
kesehatan,
kesempatan pendidikan, pertumbuhan tenaga kerja dan investasi perkapita.
Secara lebih khusus studi Hayami (1985) di Indonesia, Malaysia, dan Thailand menemukan bahwa kemiskinan dan ketidakmerataan disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain, produktivitas tenaga kerja rendah sebagai akibat rendahnya teknologi, penyediaan tanah dan modal jika dibanding tenaga kerja, tidak meratanya
distribusi kekayaan terutama
tanah.
Untuk
kasus Indonesia
Kartasasmita (1996), mengemukakan empat faktor penyebab kemiskinan. Faktor tersebut, yaitu, rendahnya taraf pendidikan, rendahnya taraf kesehatan, terbatasnya lapangan kerja, dan kondisi keterisolasian.
Penelitian yang dilakukan oleh Tumpal Butar-Butar (2005), yang dilakukan di Kecamatan Silima Pungga-Pungga, Kabupaten Dairi, mengungkapkan bahwa pendidikan, luas lahan dan aksesibilitas berpengaruh terhadap pendapatan. Penelitian yang dilakukan oleh Faturochman dan Molo (1994), mencakup rumah tangga miskin di Yogyakarta, bahwa status ekonomi rumah tangga berbanding terbalik dengan jumlah anggota rumah tangga, dengan kata lain, makin buruk status rumah tangga, makin banyak angggota rumah tangga. Dilihat dari pendekatan bahwa rumah tangga dengan kepala keluarga yang miskin lebih banyak yang tidak bersekolah, tidak bisa membaca dan tidak bisa menulis.
Studi empiris Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Departemen Pertanian (1995) yang dilakukan pada tujuh belas provinsi di Indonesia. Propinsi tersebut, antara lain, Jambi, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Lampung, Bengkulu, Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Sulawesi Selatan, Maluku dan Irian Jaya. Hasil studi tersebut menyimpulkan bahwa ada enam faktor utama penyebab kemiskinan masyarakat pedesaan di Indonesia. Faktor tersebut, antara lain, rendahnya kualitas sumber daya manusia, rendahnya sumber daya fisik, rendahnya penerapan teknologi, rendahnya potensi wilayah yang ditunjukkan oleh rendahnya potensi fisik dan infrastruktur, kurang tepatnya kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah dalam investasi dan pengentasan kemiskinan, dan kurang berperannya kelembagaan yang ada.
Untuk ruang lingkup yang lebih luas Both dan Firdausy (1996) dalam artikelnya yang berjudul “Effect of Price and Market Reform on The Poverty Situation of Rural
Communities”
menyimpulkan
bahwa
ada
beberapa
faktor
yang
mempengaruhi kemiskinan masyarakat di pedesaan Asia. Faktor tersebut, antara lain, faktor ekonomi (modal, tanah, dan teknologi), faktor sosial dan budaya (pendidikan, budaya miskin dan kesempatan kerja), faktor geografis dan lingkungan, dan faktor pribadi (jenis kelamin, kesehatan dan usia). Keempat faktor tersebut mempengaruhi tingkat aksesibilitas masyarakat terhadap pasar, fasilitas umum dan kredit.
II.2. Landasan Teori
Untuk menghitung biaya dan pendapatan dalam usaha tani dapat dingunakan tiga jenis pendekatan yaitu pendekatan nominal (nominal approach), pendekatan nilai yang akan datang (future value approach), dan pendekatan nilai sekarang (present value approach). Namun pada penelitian ini, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan nilai sekarang (present value approach), yaitu, pendekatan yang memperhitungkan semua pengeluaran dan penerimaan dalam proses produksi pada saat dimulainya proses produksi (Suratiyah, 2009).
Pendapatan usahatani mengukur imbalan yang diperoleh keluarga petani dari penggunaan faktor-faktor produksi kerja, pengelolaan dan modal milik sendiri atau modal pinjaman yang diinvestasikan ke dalam usahatani. Barangkali ukuran yang sangat berguna untuk menilai penampilan usahatani kecil adalah penghasilan usahatani. Angka ini diperoleh dari pendapatan usahatani dengan menggurangkan bunga yang dibayarkan kepada modal pinjaman (Soekartawi, 1995).
Selanjutnya Soekartawi (1995) dalam bukunya menyatakan bahwa penerimaan usahatani adalah perkalian antara produksi yang diperoleh dengan harga jual. Pernyataan ini dapat dilukiskan sebagai berikut, TR = Y . Py dimana, TR
= Total penerimaan yang diterima petani kopi Arabika (Rp.)
Y
= Produksi kopi Arabika (kg)
Py
= Harga jual kopi Arabika per-kg
Menurut Soekartawi (1995), pendapatan petani dari usahatani dapat dihitung dengan menggunakan rumus, π = TR – TC dengan, π
= Pendapatan petani (Rp.)
TR
= Total penerimaan petani (Rp.)
TC
= Total biaya produksi (Rp.)
Cara perhitungan distribusi pendapatan suatu daerah akan menentukan bagaimana pendapatan suatu daerah mampu menciptakan perubahan dan perbaikan dalam kehidupan masyarakatnya, seperti mengurangi kemiskinan, pengangguran dan kesulitan lain dalam masyarakat. Distribusi pendapatan suatu daerah yang tidak merata, tidak akan menciptakan kemakmuran bagi masyarakatnya secara umum. Sistem distribusi yang tidak merata hanya akan menciptakan kemakmuran bagi golongan tertentu saja. Begitu pula sebaliknya, distribusi pendapatan suatu daerah yang merata akan menciptakan kemakmuran bagi masyarakatnya karena sistem ini mampu menciptakan kemakmuran bagi seluruh lapisan masyarakatnya. Perbedaan pendapatan timbul karena adanya perbedaan dalam kepemilikan sumber daya dan faktor produksi. Pihak yang memiliki faktor produksi yang lebih banyak akan memperoleh pendapatan yang lebih banyak juga.
Ada sejumlah alat atau media untuk mengukur tingkat ketimpangan distribusi pendapatan. Alat atau media yang lazim digunakan adalah Koefisien Gini (Gini Ratio) dan cara perhitungan yang digunakan oleh Bank Dunia. Koefisien Gini (Gini Ratio) merupakan ukuran ketidakmerataan atau ketimpangan (pendapatan atau kesejahteraan) agregat (secara keseluruhan) yang angkanya berkisar antara nol (pemerataan sempurna) hingga satu (ketimpangan yang sempurna). Untuk
menghitung besarnya nilai koefisien Gini (Gini Ratio) dapat digunakan rumus berikut, 𝐧
dengan,
𝐆𝐑 = 𝟏 – � 𝐟 𝐱𝐢 (𝐘𝐢−𝟏 + 𝐘𝐢 ) 𝐢=𝟏
GR
= Angka koefisien Gini (Gini Ratio)
fx
= Proporsi jumlah RT
Yi
= Proporsi jumlah pendapatan RT kumulatif
i
= Index yang menunjukkan nomor sampel
Untuk negara-negara yang sedang berkembang, seperti Indonesia, indikator nilai koefisien Gini (Gini Ratio) yang menentukan tingkat ketimpangannya dapat dilihat pada tabel berikut ini, Tabel 2. Indikator Ketimpangan Gini Ratio. Nilai Gini Ratio
Tingkat Ketimpangan
< 0,35 0,35 – 0,5 > 0,5
Rendah Sedang Tinggi
Sumber : http://statistikaterapan.files.wordpress.com Koefisien Gini (Gini Ratio) biasanya diperlihatkan oleh kurva yang dinamakan kurva Lorenz. Kurva ini memperlihatkan hubungan kuantitatif antara prosentase penerimaan pendapatan penduduk dengan prosentase pendapatan yang benarbenar diperoleh selama kurun waktu tertentu, biasanya satu tahun. Kurva Lorenz dan Koefisien Gini (Gini Ratio) dapat dipergunakan untuk mengukur dan membandingkan ketimpangan dari distribusi pendapatan masyarakat dalam suatu daerah. Bentuk kurva Lorenz dapat dilihat dari gambar berikut ini,
Gambar 2. Bentuk Kurva Lorenz
Sumber : http://www.dadang-solihin.blogspot.com Setiap titik yang terdapat pada garis diagonal melambangkan prosentase jumlah penerimanya (prosentase penduduk yang menerima pendapatan itu terdapat total penduduk atau populasi). Sebagai contoh, titik tengah garis diagonal melambangkan 50 persen pendapatan yang tepat didistribusikan untuk 50 persen dari jumlah penduduk. Titik yang terletak pada posisi tiga perempat garis diagonal melambangkan 75 persen pendapatan nasional yang didistribusikan kepada 75 persen dari jumlah penduduk. Garis diagonal merupakan garis "pemerataan sempurna" (perfect equality) dalam distribusi ukuran pendapatan.
Prosentase pendapatan yang ditunjukkan oleh titik-titik disepanjang garis diagonal tersebut sama dengan prosentase penduduk penerimanya terhadap total penduduk. Titik A menunjukkan bahwa 10% kelompok penduduk terbawah (termiskin) dari total penduduk hanya menerima 1,8% total pendapatan (pendapatan nasional). Titik B menunjukkan bahwa 20% kelompok terbawah yang hanya menerima 5%
dari total pendapatan, demikian seterusnya bagi setiap delapan kelompok lainnya. Perhatikanlah bahwa titik tengah, menunjukkan 50% penduduk hanya menerima 19,8% dari total pendapatan. Semakin tinggi derajat ketidakmerataan maka kurva Lorenz akan semakin melengkung (cembung) dan semakin mendekati sumbu horizontal sebelah bawah.
Koefisien Gini (Gini Ratio) pertama kali dirumuskan oleh seorang ahli statistik Italia pada tahun 1912, yaitu, Corrado Gini. Gini Ratio merupakan ukuran statistik yang terkait dengan jumlah kumulatif dari total penduduk yang menerima pendapatan terhadap prosentase dari total pendapatan yang ada dalam suatu daerah yang diurutkan meningkat sesuai ukurannya. Nilai maksimum dan minimum dari Gini Ratio masing-masing adalah satu dan nol, berturut-turut mewakili ketimpangan sempurna dan pemerataan sempurna. Perkiraan mengenai bentuk kurva Lorenz dapat dilihat pada gambar dibawah ini, Gambar 3. Perkiraan Bentuk Kurva Lorenz
Sumber : http://www.dadang-solihin.blogspot.com
Dari gambar diatas dapat diketahui bahwa jika nilai Gini Ratio sebesar 0 (pemerataan sempurna) maka kurva Lorenz akan terletak sepanjang garis BD. Jika nilai Gini Ratio terletak antara 0 dan 1 (0 < GR < 1) maka kurva Lorenz akan berbentuk seperti gambar kurva Lorenz diatas, dimana “lengkungan” dari kurva Lorenz tergantung dari besar kecilnya nilai Gini Ratio. Semakin besar nilai Gini Ratio maka bentuk lengkungan kurva Lorenz akan semakin mendekati garis BCD, begitu juga sebaliknya jika nilai Gini Ratio semakin kecil maka bentuk lengkungan kurva Lorenz akan semakin mendekati garis BD. Kemudian, jika nilai Gini Ratio sebesar 1 (ketimpangan sempurna) maka kurva Lorenz akan terletak sepanjang garis BCD.
Gini Ratio merupakan parameter yang digunakan untuk mengukur tingkat ketimpangan
distribusi
pendapatan yang angkanya
berkisar
antara
nol
(pemerataan sempurna) hingga satu (ketimpangan yang sempurna). Semakin kecil nilai Gini Ratio, mengindikasikan semakin meratanya distribusi pendapatan, sebaliknya semakin besar nilai Gini Ratio mengindikasikan distribusi pendapatan yang semakin timpang (senjang) antar kelompok penerima pendapatan. Secara khusus dapat diartikan bahwa jika nilai Gini Ratio sebesar 0 berarti terdapat kemerataan sempurna atau setiap orang memperoleh pendapatan yang sama persis dan jika nilai Gini Ratio sebesar 1 berarti terjadi ketidakmerataaan sempurna dimana satu orang mampu memiliki serta menguasai seluruh pendapatan total di suatu daerah, sementara lainnya tidak memperoleh pendapatan sama sekali.
Selain penggunaan koefisien Gini (Gini Ratio) yang dilengkapi dengan kurva Lorenz, distribusi pendapatan juga dapat dilihat dengan menggunakan kriteria yang ditentukan Bank Dunia (World Bank). Ketimpangan distribusi pendapatan yang diukur dengan kriteria Bank Dunia ini diperoleh dengan menghitung prosentase jumlah pendapatan penduduk dari kelompok yang berpendapatan rendah (40% terendah) dibandingkan dengan total pendapatan seluruh penduduk. Bank dunia mengklasifikasikan tingkat ketimpangan berdasarkan tiga kategori. Tabel 3. Indikator Ketimpangan Menurut Bank Dunia (World Bank). Klasifikasi Distribusi Pendapatan Ketimpangan Tinggi Ketimpangan Sedang Ketimpangan Rendah
40% penduduk berpendapatan rendah menerima < 12% dari total pendapatan 4 % penduduk berpendapatan rendah menerima 12% – 17% dari total pendapatan 40% penduduk berpendapatan rendah menerima > 17% dari total pendapatan
Sumber : http://statistikaterapan.files.wordpress.com Untuk mengetahui taraf hidup petani digunakan klasifikasi kemiskinan didaerah pedesaan dengan cara menghitung pendapatan rumah tangga petani dan pendapatan per-kapita yang disetarakan dengan kg beras. Menurut Sayogyo (1988), kemiskinan untuk daerah pedesaan berdasarkan ekiuvalen konsumsi beras per-kapita per-tahun dapat dibagi kedalam lima kategori, yakni, a.
Paling miskin, bila konsumsi beras sebanyak < 180 kg/kapita/tahun
b.
Miskin sekali, bila konsumsi beras sebanyak 180 – 240 kg/kapita/tahun
c.
Miskin, bila konsumsi beras sebanyak 241 – 320 kg/kapita/tahun
d.
Nyaris miskin, bila konsumsi beras sebanyak 321 – 480 kg/kapita/tahun
e.
Diatas garis kemiskinan (tidak miskin), bila konsumsi beras sebanyak > 480 kg/kapita/tahun.
Sedangkan Badan Pusat Statistik Indonesia (BPS) menggunakan batas miskin dari besarnya rupiah yang dibelanjakan per-kapita dalam sebulan untuk memenuhi kebutuhan minimum makanan dengan acuan yang digunakan ialah 2.100 kalori per-hari. Adapun pengeluaran kebutuhan minimum bukan makanan meliputi pengeluaran untuk perumahan, sandang, serta aneka barang dan jasa. Selama periode 1976 sampai sekarang, telah terjadi peningkatan batas garis kemiskinan oleh BPS, yang disesuaikan dengan kenaikan harga barang-barang yang dikonsumsi oleh masyarakat. Batas garis kemiskinan ini dibedakan antara daerah perkotaan dan pedesaan. Berikut ini akan digambarkan melalui tabel mengenai indikator garis kemiskinan, jumlah penduduk serta prosentase penduduk miskin di Indonesia dalam kurun waktu Maret 2009 s/d Maret 2010 yang disusun oleh Badan Pusat Statistik Indonesia pada tahun 2011. Tabel 4. Garis Kemiskinan dan Jumlah Penduduk Miskin Menurut Daerah (Kurun Waktu : Maret 2009 – Maret 2010). Garis Kemiskinan (Rp. / Kapita / Bulan) Makan
Bukan Makanan
Total
Jumlah Penduduk Miskin (Juta)
155.909 163.077
66.214 69.912
222.123 232.989
11,91 11,10
10,72 09,87
139.331 148.939
40.503 43.415
179.835 192.354
20,62 19,93
17,35 16,56
147.339 155.615
52.923 56.111
200.262 211.726
32,53 31,02
14,15 13,33
Daerah / Tahun
Prosentase Penduduk Miskin (%)
Perkotaan Maret 2009 Maret 2010
Pedesaan Maret 2009 Maret 2010
Kota + Desa Maret 2009 Maret 2010
Sumber : Badan Pusat Statistik Tahun 2010.
II.3. Kerangka Pemikiran
Perkebunan kopi Arabika rakyat semakin berkembang dewasa ini. Akan tetapi, perluasan perkebunan kopi Arabika rakyat ini tidak diikuti dengan perkembangan pengolahan kopi Arabika. Perkebunan kopi Arabika rakyat masih menggunakan cara tradisional (hanya mengandalkan tenaga manusia) sehingga kualitas kopi Arabika yang dihasilkan pun pada umumnya lebih rendah daripada kualitas perkebunan kopi besar (swasta maupun pemerintah). Hal ini turut mempengaruhi harga kopi Arabika rakyat dimana harga jual kopi Arabika mereka lebih rendah.
Akibat harga jual kopi Arabika rakyat yang cenderung fluktuatif serta ketebatasan luas lahan yang diusahakan petani kopi Arabika akan mempengaruhi tingkat pendapatan petani kopi Arabika, sementara kebutuhan keluarga dengan jumlah tanggungan yang cukup besar akan mendorong petani kopi Arabika untuk mencari kegiatan lain diluar usahatani kopi Arabika, baik usahatani non-kopi Arabika maupun kegiatan produktif diluar usahatani, sebagai sumber mata pencaharian tambahan. Dengan semakin banyaknya kegiatan diluar usahatani kopi Arabika yang ditekuni diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan keluarga petani kopi.
Produksi kopi Arabika dan penerimaan petani kopi Arabika merupakan dua konsep yang tidak dapat dipisahkan. Produksi kopi Arabika yang tinggi akan meningkatkan penerimaan petani kopi Arabika dan begitu pula sebaliknya. Penerimaan petani kopi Arabika ini sangat dipengaruhi oleh harga jual kopi Arabika yang diterima oleh petani kopi Arabika, dimana penerimaan petani kopi Arabika diperoleh dengan mengalikan hasil produksi kopi Arabika (dalam kg) dengan harga jual kopi Arabika per-kg.
Untuk memperoleh suatu pendapatan dari usahatani kopi Arabika, terlebih dahulu petani kopi Arabika harus menghitung berbagai jenis biaya pengeluaran dari proses prapanen hingga pascapanen dari usahatani kopi Arabika mereka. Biaya pengeluaran ini disebut juga dengan biaya produksi, yang terdiri dari, penyusutan peralatan pertanian, upah tenaga kerja, penggunaan sarana produksi (pupuk dan herbisida), dan biaya PBB. Setelah menghitung jumlah biaya produksinya, barulah petani kopi Arabika dapat menghitung pendapatannya dengan mengurangi penerimaan petani kopi Arabika terhadap jumlah biaya produksinya.
Pendapatan petani kopi Arabika ini kemudian ditambahkan dengan pendapatan petani kopi Arabika yang berasal dari luar usahatani kopi Arabika sehingga menghasilkan sebuah perhitungan baru yang disebut dengan total pendapatan petani kopi Arabika. Dari total pendapatan petani kopi Arabika ini, akan dianalisa tingkat ketimpangan pendapatan petani kopi Arabika dan proporsi penduduk miskin didaerah mereka. Tingkat ketimpangan pendapatan dihitung dengan menggunakan dua media, yakni, indikator koefisien Gini (Gini Ratio) yang dilengkapi dengan kurva Lorenz dan indikator Bank Dunia (World Bank). Sedangkan dalam menganalisis proporsi penduduk miskin digunakan dua kriteria juga, yakni, kriteria garis kemiskinan menurut Sajogyo (1988) dan kriteria garis kemiskinan menurut BPS (2010). Untuk lebih jelas lagi mengenai kerangka pemikiran yang digunakan dapat dilihat pada skema kerangka pemikiran berikut,
Gambar 4. Skema Kerangka Pemikiran Petani Kopi Arabika
Usahatani Kopi Arabika
Usahatani Non-Kopi Arabika & Kegiatan Produktif Lain Diluar Usahatani
Produksi Kopi Arabika Harga Jual Kopi Arabika Penerimaan Total Biaya Produksi Pendapatan
Pendapatan Tambahan Total Pendapatan
Proporsi Penduduk Miskin
Kriteria Kemiskinan Sajogyo (1988)
Kriteria Kemiskinan BPS (2010)
Tingkat Ketimpangan Pendapatan
Bank Dunia (World Bank)
Gini Ratio dan Kurva Lorenz
II.4. Hipotesis Penelitian
a.
Sumber-sumber pendapatan petani kopi Arabika diluar usahatani kopi Arabika didaerah penelitian cukup beragam.
b.
Pendapatan dari usahatani kopi Arabika mampu memberikan kontribusi lebih dari 50% terhadap total pendapatan keluarga petani kopi Arabika didaerah penelitian.
c.
Tingkat ketimpangan distribusi pendapatan petani kopi Arabika didaerah penelitian berada dalam ketegori menengah, baik menurut indikator ketimpangan Gini Ratio, maupun indikator ketimpangan Bank Dunia.
d.
Proporsi petani kopi Arabika miskin didaerah penelitian lebih dari 50% jika ditinjau dari kriteria garis kemiskinan menurut Sajogyo (1988) dan BPS (2010).