BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sistem Biometrik Biometrik berasal dari bahasa Yunani yang artinya Bios yakni kehidupan dan metrikos yakni mengukur. Manusia secara intuitif mengenali karakteristik manusia lain berdasarkan raut muka, suara, dan aroma. Hal inilah yang mendorong perkembangan teknologi informasi dan keamanan komputer untuk dapat mengenali
karakteristik
manusia sehingga dikenal dengan istilah Biometrik. Sistem Biometrik pada dasarnya adalah sistem pengenalan pola yang mengenali individu manusia berdasarkan
sejumlah vektor yang diturunkan dari karakteristik
fisiologis atau karakteristik perilaku yang dimiliki seseorang. Kresimir Delac, et al (2004) dan Javier Ortega-Garcia, et al (2004) mengemukakan bahwa Biometrik memberikan dimensi baru dengan mengaitkan identitas seseorang dengan sesuatu tentang dia sendiri atau yang dia hasilkan. Metode biometrik dibagi dalam dua kategori sebagai berikut. 1. Metode otentikasi berdasarkan perilaku (Behavioral-based authentication methods), yakni proses otentikasi dengan pengenalan terhadap pola perilaku seseorang. 2.
Metode
otentikasi
berdasarkan
fisiologis
(Physiological -based
authentication
methods), yakni proses otentikasi berdasarkan karakteristik fisiologis seseorang. Karakteristik fisiologis ini lebih stabil dan tinggi akurasinya dibandingkan dengan karakteristik perilaku kecuali bila terjadi cacat/kerusakan fisik pada orang tersebut. Pada dasarnya, menurut Kresimir Delac, et al (2004) bahwa setiap fisiologis dan perilaku manusia bisa digunakan untuk biometrik asalkan memenuhi kriteria sebagai berikut. 1. Universality,
setiap
orang
mempunyai
karakteristik
dan
kemungkinan-
kemungkinan tidak terpenuhinya harus bisa diantisipasi. 2. Uniqueness, seberapa unik sehingga bisa membedakan dua orang yang berbeda. 3. Permanent, tidak berubah terhadap waktu untuk rentang waktu tertentu/bukan sekejap. 4. Collectability, dapat diukur secara kuantitatif dan mudah.
5. Performance, akurasi yang ingin dicapai dan kondisi lingkungan yang dibutuhkan untuk mencapai akurasi tersebut. 6. Acceptability, seberapa luas bisa diterima oleh masyarakat umum dan tidak membahayakan pemakai. 7. Circumvention, seberapa susah untuk membodohi sistem sehingga bisa ditembus dan cukup tahan terhadap kemungkinan penyimpangan.
Mode Operasi Biometrik Menurut Salil Prabhakar, et al (2003), operasi biometrik mempunyai dua macam mode, yakni mode identifikasi dan mode verifikasi. Mode identifikasi bertujuan mencari jawaban
identitas
siapa orang
tersebut sedangkan
mode verifikasi
bertujuan
memastikan apakah benar orang yang dimaksud (bukan orang lain). Sistem dengan mode identifikasi akan mengenali suatu individu dengan mencari keseluruhan template dalam basis data untuk karakteristik yang cocok dengan pencocokan satu-ke-banyak (1:M). Identifikasi cocok dibangun untuk sistem aplikasi pengenalan negatif yang bertujuan untuk menolak/mencegah seseorang menggunakan lebih dari satu identitas. Untuk sistem pengenalan positif yakni untuk memastikan hanya pengguna yang benar yang bisa akses. Metode tradisional non Biometrik seperti password hanya untuk pengenalan positif dan hanya Biometrik yang bisa digunakan untuk pengenalan negatif.
Gambar 7 Biometrik Untuk Identifikasi (Salil Prabhakar et al, 2003) Sistem dengan mode verifikasi akan mem-verifikasi identitas seseorang dengan membandingkan dengan karakteristik Biometrik dari suatu template yang telah disimpan dalam basis data dengan pencocokkan satu ke satu (1:1). Verifikasi identitas lazimnya dipakai sebagai pengenalan positif.
Gambar 8 Biometrik Untuk Verifikasi (Salil Prabhakar et al, 2003) Proses pengambilan template karakteristik Biometrik dan penyimpanannya dinamakan proses Enrollment. Proses ini melibatkan serangkaian pengecekan kualitas fitur dan melakukan ekstraksi fitur ke dalam template karakteristik Biometrik untuk disimpan ke dalam basis data.
Gambar 9 Proses Enrollment Dalam Biometrik (Salil Prabhakar et al, 2003)
Proses ini dalam Biometrik fisiologis melibatkan sejumlah sensor bio-elektronik yang mampu melakukan proses pembacaan (scanning) fisiologis untuk diubah ke dalam serangkaian template karakteristik biometrik dan kemudian disimpan ke dalam basis data. Sensor bioelektronik ini yang menentukan ketepatan sistem Biometrik fisiologis. Biometrik perilaku lebih menekankan pada algoritme pengenalan pola seperti Jaringan Syaraf Tiruan (JST) dengan kemampuannya untuk membedakan pola yang kompleks. Implementasi sistem biometrik secara umum dapat digambarkan dalam gambar blok diagram berikut ini :
Gambar 10 Blok Diagram Sistem Biometrik (Simon Liu et al, 2001) Menurut Anil K. Jain, et al (2004), modul komponen yang penting dalam sistem biometrik sebagai berikut. 1. Feature Extraction Module : modul ini berfungsi sebagai Biometric enrollment untuk mempersiapkan data biometrik mentah yang dibaca oleh blok Biometric devices dan dilakukan penyaringan sehingga bisa didapatkan karakteristik Biometrik yang sesuai untuk disimpan dalam Template storage. 2. Matching Module : modul ini berfungsi sebagai Biometric verification untuk melakukan pencocokan karakteristik Biometrik dengan informasi yang tersimpan dalam Template storage. Proses ini melakukan query dan Template storage akan memberikan template karakteristik yang sesuai. 3. Fusion Module : modul ini merupakan tambahan dan berfungsi sebagai modul penggabungan beberapa metode Biometrik yang digunakan dengan tujuan untuk mendapatkan hasil yang lebih teliti dengan cara melakukan penggabungan beberapa metode sekaligus dalam satu Fusion Module sebagaimana dijelaskan dalam gambar berikut. 4. Decision Module : modul ini merupakan tambahan dan berfungsi sebagai pembuat keputusan akhir hasil yang diinginkan apakah diterima atau tidak.
Gambar 11 Gabungan Metode Biometrik Dalam Satu Sistem (Anil K. Jain et al, 2004) Gambar 11 (a) memperlihatkankan Fusion Module dilakukan setelah Feature Extraction Module; Gambar 11 (b) memperlihatkan Fusion Module dilakukan setelah Matching Module; Gambar 11 (c) memperlihatkan Fusion Module dilakukan setelah Decision Module.
Parameter Kinerja Secara umum, pengguna awam beranggapan bahwa dengan sistem biometrik maka ketelitian 100% akan mudah diperoleh. Seperti halnya sistem password yang memberikan ketelitian sangat tinggi dengan hanya kesalahan satu bit, maka hasilnya akan ditolak. Namun, tidak demikian halnya dengan biometrik. Biometrik sidik jari dan DNA mempunyai jaminan ilmiah bahwa tidak ada satu orang pun yang mempunyai karakteristik fitur biometrik yang 100% identik walaupun demikian ada ketidaktelitian yang terjadi akibat ketidakakuratan pembacaan karakteristik biometrik. Sebagai contoh, pembacaan sidik jari yang tidak jelas akibat permukaan kotor atau tergores sehingga
menimbulkan goresan nyata atau cacat menetap. Jadi kemampuan mengidentifikasi perbedaan identitas individu (distinctiveness) tidak bisa dikatakan sama dengan ketelitian (accuracy). Oleh karena sifat kinerja tersebut, maka dalam sistem biometrik diperlukan perimbangan toleransi akurasi yang diinginkan. Jika terlalu tinggi, akan berakibat pembacaan berulang-ulang sehingga tidak efisien. Jika terlalu rendah, akan berakibat kekeliruan dalam pengambilan keputusan. Perimbangan toleransi akurasi tersebut dinyatakan dalam ambang keputusan (Decision threshold)
dalam kurva
distribusi
probabilitas dalam gambar 12 dibawah ini :
Gambar 12 Distribusi Kurva Probabilitas Terhadap Skor Pencocokan Pola (Salil Prabhakar et al, 2003) Kurva distribusi probabilitas pencocokan yang asli (Genuine) beririsan dengan kurva distribusi probabilitas pencocokan yang palsu (Imposter). Daerah irisan False Match menyatakan probabilitas sistem keliru mengenali pola yang asli sebagai palsu. Sedangkan False nonmatch menyatakan probabilitas sistem keliru mengenali pola yang palsu sebagai asli. Banyak istilah yang digunakan dengan maksud yang sama dan agar tidak membingungkan, maka digunakan acuan sebagai berikut. 1. False Rejection Rate (FRR): persentase dari pengguna yang sah (asli), namun dikenali oleh sistem sebagai penyusup (imposter). Ini disebut juga False Positive/False Match/False Alarm Rate.
2. False Acceptance Rate (FAR):
persentase dari pengguna yang tidak sah
(penyusup), namun dikenali oleh sistem sebagai pengguna yang sah (asli). Ini disebut juga False Negative/False Nonmatch. Kinerja biometrik ditentukan berdasarkan kedua parameter tersebut. Jika tingkat kesalahannya tinggi, maka sistem biometrik harus ditinjau apakah memang ada kesalahan algoritme atau kesalahan pembacaan sensor atau memang tipe biometrik itu sendiri tidak bisa memenuhi kriteria Distinctiveness. Berdasarkan hal tersebut, maka sistem Biometrik dapat dipahami bukan ditujukan untuk menggantikan sistem keamanan IT yang sudah ada saat ini, melainkan sebagai pelengkap untuk memberikan nilai tambah terhadap keamanan.
Penekanan Kunci Dinamik (Dynamic Keystroke) Keystroke artinya penekanan tombol/kunci (key). Beberapa penelitian Biometrik perilaku menemukan bahwa ada pola-pola tertentu dalam cara pengetikan seseorang terhadap suatu kata/kalimat. Sebagaimana halnya orang berbicara mengucapkan katakata, ada intonasi, nada dan warna suara khas, maka demikian halnya dengan pola pengetikan tombol/kunci. Parameter yang biasa diukur dalam hal ini adalah waktu, yakni waktu lamanya suatu tombol ditekan dan selang waktu antar penekanan dua tombol yang berturutan. Menurut Kresimir Delac et al (2004) bahwa tiap orang dalam mengetik keyboard mempunyai cara karakteristik tertentu. Namun, tabel 3 menjelaskan bahwa metode ini tidak terlalu bisa membedakan individu (Distinctiveness), serta dianggap cukup sebagai informasi untuk membedakan dalam hal proses verifikasi saja. Tabel 3 Perbandingan Karakteristik Biometrik (Anil K. Jain et al, 2004). H, M dan L menyatakan Tinggi (baik), Sedang dan Rendah (Jelek)
Penelitian Bergadano et al
(2003) menjelaskan lebih lanjut perbedaan
penekanan kunci statik (static keystroke) dengan penekanan kunci dinamik (dynamic keystroke ). Penekanan kunci statik berdasarkan pada pola pengetikan tombol/kunci dari kata-kata yang selalu sama (fixed string) dalam proses enrollment maupun dalam proses verifikasi. Sedangkan penekanan kunci dinamik berdasarkan pada pola pengetikan tombol/kunci dari kata-kata yang tidak selalu sama saat proses enrollment maupun saat proses verifikasi. Pendekatan metode penekanan kunci statik cukup mudah dengan menggunakan statistik maupun algoritme soft computing. Namun bukan tidak mungkin, pola pengetikan kata seseorang bisa ditiru dengan mudah. Sebagaimana halnya orang yang bisa meniru suara orang lain. Walaupun tidak harus sama persis, namun akibat sifat parameter kinerja Biometrik ada peluang kemungkinan seseorang bisa menerobos masuk ke dalam sistem. Penekanan kunci dinamik memungkinkan teks kata yang digunakan berbeda sehingga akan menyusahkan orang yang tidak berhak karena orang tersebut harus meniru setiap kata-kata yang ada di dalam sistem. Penekanan kunci dinamik memerlukan
adanya
analisis
sehingga
bisa
mengambil
pola-pola karakteristik
pengetikan yang khas dari keseluruhan kata tersebut. Penelitian Oscar Coltell , et al (1999) menyebutkan bahwa kestabilan yang lebih baik bisa diperoleh dengan pengetikan kata-kata yang bermakna daripada pengetikan kata-kata sembarang. Secara logis memang demikian, seseorang akan lebih mengetik secara konsisten untuk kata -kata yang dia tahu maknanya dibandingkan dengan kata-
kata yang dia tidak tahu maknanya. Kebanyakan orang mengetik sambil melihat
kata
yang diketik dengan letak huruf di keyboard. Sedikit orang yang bisa mengetik tanpa sama sekali melihat huruf di keyboard dan hanya fokus pada kata yang diketik. Namun demikian, yang bersangkutan tetap akan mengalami kesulitan saat dia diharuskan mengetik kata-kata dengan huruf acak dan tidak bermakna. Akibatnya pola pengetikan yang dihasilkan menjadi tidak konsisten. Penelitian ini dilakukan untuk pengguna di Indonesia, maka kata-kata bermakna yang digunakan harus dalam bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia mempunyai ciri khas berbeda dibandingkan bahasa lainnya dalam pemilihan karakter baik vokal maupun konsonan dalam penyusunan kata. Sebagai contoh, jika bahasa Inggris banyak menggunakan huruf e, maka bahasa Indonesia banyak menggunakan huruf a. Penelitian pendahuluan telah dilakukan (lampiran 1) dengan tujuan untuk mengetahui pasangan karakter apakah yang frekwensinya paling sering muncul dalam bahasa Indonesia. Penelitian pendahuluan melakukan analisis terhadap kata-kata yang dipilih acak dan berjumlah 756 kata yang terdiri atas kata-kata bermakna tumbuhan, tempat, hewan dan perkakas. Analisis dilakukan sedemikian rupa sesuai dengan ruang lingkup penelitian untuk memperoleh pasangan karakter yang menggambarkan pergerakan jari kanan dan kiri saja. Kesimpulan penelitian pendahuluan me njelaskan bahwa pasangan karakter tertentu
yang paling sering muncul dalam bahasa Indonesia
adalah pasangan karakter an, ng, la,en, ka (dalam lima besar terbanyak dengan persentase total 25%). Berdasarkan kesimpulan tersebut, maka penelitian analisis penekanan kunci dinamik terhadap pengguna berbahasa Indonesia difokuskan hanya pada kata-kata yang mengandung pasangan karakter terbanyak dalam lima besar diatas dan tidak perlu difokuskan pada penggunaan karakter yang jarang atau tidak pernah ditemui sebagai contoh, zy, xh, cb.
Disatu sisi, ini berarti memperkecil ruang lingkup kemungkinan
penggunaan semua pasangan karakter yang mungkin (yakni 26x26) dan secara teknis akan memperkecil ukuran basis data dan kecepatan pemrosesan saat pelatihan maupun verifikasi.
2.5 Prinsip Kerja Keyboard Gambar 13 menerangkan lebih lanjut blok diagram elektronik sebagai berikut. Ketika kunci
keyboard ditekan atau ketika dilepaskan,
keyboard Controller
mengirimkan scancode secara serial ke interface mencek jika
keyboard Interface dalam PC.
keyboard
keyboard diaktifkan dan jika aktif akan melakukan Hardware
Interrupt (IRQ0) ke Programmable Interrupt Controller (PIC). PIC kemudian mengirimkan scancode yang dikonversikan secara parallel ke Programmable Peripheral Interface (PPI). PIC yang menerima interupsi hardware IRQ0 dari
keyboard kemudian
mengirimkan interupsi hardware IRQ ke CPU agar CPU melakukan penempatan alamat 9h ke dalam bus data. CPU kemudian segera lompat ke proses untuk segera melayani prosedur Interrupt Services routine 9h didalam BIOS. Proses tersebut akan mengambil scancode dari I/O port 60h yang dimiliki oleh PPI.
Gambar 13 Blok Diagram Elektronik Keyboard Scancode tersebut diubah ke dalam kode ASCII dan disimpan dalam keyboard Buffer dalam BIOS di tempat sementara yang sudah dialokasikan (0000:041E). Setiap masukan dalam antrian terdiri atas dua nilai 8-bit berupa ASCII (di Low Byte) dan SCANCODE (di High Byte). Ketika User Program akan membaca sebuah key, maka program tersebut akan melakukan interrupt 16h. Interrupt 16h ini akan mencek antrian keyboard pada BIOS untuk melihat jika sebuah tombol telah ditekan atau dilepaskan. Kapan terjadinya Interrupt 9h (INT 09h) saat tombol ditekan dan dilepas akan direkam waktunya dan data ini kemudian diolah untuk mendapatkan data input yang diinginkan. Contoh kutipan kode program dalam MS Visual C++ dengan Foundation Class (MFC) sebagai berikut.
Microsoft
BOOL CMyApp::PreTranslateMessage(MSG* pMsg) { BOOL ok=FALSE; if (pMsg->message == WM_KEYDOWN)
{
if (pMsg->wParam == your codes here) // look for specific codes you are interested in { pMsg->time ... // do something with the time else if (pMsg->message == WM_KEYUP)
}}
{
if (pMsg->wParam == your codes here) // look for specific codes you are interested in { pMsg->time ... // do something with the time
}}
return CWinApp::PreTranslateMessage(pMsg);
}
Dari hasil penelitian sebelumnya dan penelitian pendahuluan diketahui bahwa disain piranti keras keyboard lebih menekankan pada perekaman karakter yang masuk daripada informasi waktu kapan tombol ditekan atau dilepas. Ini merupakan kendala tersendiri dalam mendesain program sesuai dengan sifat piranti keras tersebut. Dalam pengetikan yang dilakukan cepat, seringkali urutan tombol tekan dan lepas sedemikian cepatnya sehingga perekaman waktu menjadi tidak tepat. Oleh karena itu, pembatasan diperlukan sehingga pembacaan yang tepat dan sah adalah apabila urutan pengetikan dipatuhi yakni tombol 1 ditekan – tombol 1 dilepas – tombol 2 ditekan – tombol 2 dilepas. Jika urutan tersebut tidak diikuti, maka pembacaan oleh program menjadi tidak tepat dan harus dilakukan pengulangan kembali.
2.6 Jaringan Syaraf Tiruan Jaringan Syaraf Tiruan (Artifical Neural Network) adalah salah satu metode soft computing yang perkembangannya diinspirasikan dari cara kerja syaraf manusia. Implementasi dan riset Jaringan syaraf tiruan (JST) berjalan pesat di berbagai bidang seperti pemetaan pola dan klasifikasi pola, analisis citra dan pengkodean, pengolahan sinyal,
optimisasi,
manipulasi
grafis,
pengenalan
karakter,
robotik,
pengolahan
pengetahuan dan sistem pakar, diagnosis kesehatan, peredaman kebisingan, dan sebagainya.
Di bidang Biometrik, JST berperan dalam pengklasifikasian pola bersama dengan metode soft computing lainnya seperti fuzzy logic dan algoritme genetika hingga bisa diimplementasikan secara nyata saat ini. Peranan JST sebagai Machine Learning dalam sistem Biometrik sangat penting untuk mengatasi masalah pengenalan dan klasifikasi pola yang kompleks (S. Y. Kung et al , 2004).
2.6.1 Mengapa JST Propagasi Balik Metode algoritme JST banyak variasinya dari yang paling sederhana seperti Perceptron, kemudian berkembang menjadi Adaline
(Adaptive Linear) dan Madaline
(Multi -Adaline) di bidang pengolahan sinyal. Metode paling terkenal hingga saat ini adalah algoritme Propagasi balik (Backpropagation) yang dikembangkan secara formal oleh Werbos, dan kemudian Parker serta Rummelhart dan McClelland (James A. Freeman at al, 1992). Kemudian dikenal juga Bidirectional Associative Memory (BAM) dan Hopfield Memory, Simulated Annealing, Counterpropagation Neural network (CPN), Self Organizing Maps (SOM), dan Adaptive Resonance Theory (ART) . JST Propagasi balik dipilih karena metode algoritme JST ini sering dijadikan acuan dalam beberapa penelitian sebelumnya. M.S. Obaidat, et al (1994) melakukan perbandingan
JST Propagasi Balik, JST Sum-of-Products (Sigma-pi) dan JST Hybri d
Sum-of-Products sebagai kombinasi keduanya. Ketiga JST tersebut mempunyai jumlah sel input dan output yang sama serta sel lapisan antara yang sama dengan jumlah dan data pelatihan yang sama. Kesimpulan menunjukkan bahwa JST Propagasi balik mempunyai hasil ketelitian sebesar 97.5%, dan JST Sum-of-Products menghasilkan 93.7%
serta
JST
pembelajarannya
Hybrid
yang
lebih
Sum-of-Products cepat
memberikan
dibandingkan
lainnya.
96.2%
dan
Penelitian
waktu tersebut
menunjukkan bahwa kinerja jaringan yang lebih baik diperoleh dengan ukuran jumlah pelatihan yang lebih banyak, namun memerlukan waktu pelatihan dan memori yang lebih besar. JST Propagasi balik menggunakan pelatihan terarah (supervised training) yang memudahkan dalam melakukan pembelajaran. Dengan merancang data pelatihan yang berupa pasangan pola input dan target output yang diinginkan, maka JST Propagasi balik akan melakukan pembelajaran sedemikian rupa sehingga diperoleh hasil yang paling mendekati data pelatihan.
JST bersifat lebih adaptif dan fleksibel jika dibandingkan dengan metode soft computing lainnya sehingga memudahkan dalam melakukan ragam variasi dan kombinasi percobaan tanpa memerlukan banyak perubahan pada kode program.
2.6.2 Arsitektur JST Propagasi Balik Arsitektur JST Propagasi balik cukup sederhana dan terdiri atas lapisan input dan lapisan output serta di antaranya terdapat satu atau lebih beberapa lapisan antara yang disebut Hidden Layer. Di setiap lapisan terdapat unit-unit sel yang saling berhubungan
satu
sama
lain
membentuk
seperti
gambar
14
dibawah
ini.
Inputs
Output
Hidden Gambar 14 Arsitektur Lapisan Jaringan Syaraf Tiruan (JST) Arsitektur JST Propagasi balik untuk tiap sel unitnya mengacu pada algoritme JST Propagasi balik dalam buku Neural Networks Algorithm, Applications, and Programming Techniques (James A. Freeman et al, 1992) dan telah diimplementasikan dalam penekanan
keyboard dalam jurnal A
Multilayer Neural Network System for
Computer Access Security oleh M.S. Obaidat, et al (1994)
Gambar 15 Pemrosesan Di Satu Sel Neuron Setiap koneksi antar sel mempunyai bobot W. Output O adalah fungsi f dari perkalian bobot W dengan input V yang merupakan output dari sel neuron sebelumnya yang dinyatakan sebagai berikut.
Bias diikutsertakan dalam penjumlahan dan diasumsikan bernilai 1. Namun, bias ini bersifat pilihan atau bisa digunakan bisa tidak (Freeman, 1992, hal.105). f adalah fungsi aktivasi dan yang sering digunakan adalah fungsi sigmoid :
Bobot W akan menentukan besarnya nilai output dan nilai bobot W selalu berubah selama tahapan pembelajaran. Awalnya bobot diberi inisialisasi nilai acak pada rentang nilai tertentu. Akhirnya setelah pembelajaran selesai, bobot W mencapai nilai yang sedemikian rupa, sehingga untuk setiap input yang diberikan maka output bernilai sesuai dengan pola pembelajaran yang telah dilakukan. Bobot W adalah pengetahuan yang disimpan dalam JST sebagaimana halnya informasi yang disimpan dalam jaringan syaraf otak. Jumlah sel neuron di hidden layer akan menentukan jumlah bobot W yang dapat disimpan. Beberapa literatur JST mengatakan bahwa : •
Jumlah sel neuron NH terlalu besar mengakibatkan training error menjadi kecil, namun test error menjadi tinggi.
•
Jumlah sel neuron NH terlalu sedikit berakibat training error menjadi tinggi dan test error menjadi tinggi
Dengan mencari nilai optimum, yakni jumlah sel neuron NH tidak terlalu besar atau terlalu kecil sedemikian rupa sehingga training error dan test error mencapai nilai optimum yang cukup memadai. Jika jumlah sel neuron terlalu banyak akan berakibat pada lamanya waktu pembelajaran dan pemakaian sumber daya memori serta prosessor untuk proses komputasi (Penelitian Daw-Tung Lin, 1997).
2.6.3 Algoritme Pembelajaran JST Propagasi Balik Algoritme JST Propagasi balik menggunakan metode training yang diarahkan (Supervised Training). JST diarahkan dalam proses pembelajaran dengan nilai yang diinginkan (target) sedemikian rupa sehingga JST akan melakukan perubahan bobot W
dan nilai output akan mendekati nilai target. Nilai kesalahan
target dengan output
dinyataka n dalam persamaan berikut.
Nilai kesalahan pada hidden unit akan ditentukan secara berulang (rekursif) sedemikian rupa oleh unit dan bobot lain yang saling berhubungan secara langsung sebagai berikut.
Fungsi f harus differensiabel dan dengan fungsi sigmoid dinyatakan dalam fungsi sebagai berikut.
Nilai kesalahan akan menentukan perubahan bobot dalam persamaan berikut :
Laju pembelajaran (Learning rate ?) adalah parameter untuk menentukan seberapa cepat JST mencapai nilai target yang diinginkan (Convergen).
Laju pembelajaran
berupa konstanta atau variabel yang berubah setiap kali terjadi perulangan. Bila laju ini terlalu besar, maka JST bisa terjebak ke dalam kondisi Local Minima yaitu suatu keadaan dima na JST mengira sudah konvergen dengan tingkat kesalahan pelatihan yang kecil, namun masih menghasilkan tingkat kesalahan pengujian yang besar. Bobot W dalam JST disimpan dan akan dipanggil kembali saat dibutuhkan untuk melakukan pengenalan pola.
2.7 Variabel Fuzzy Metode yang populer digunakan dan banyak dibahas dalam beberapa penelitian sebelumnya adalah Logika Kabur (Fuzzy Logic). Logika Fuzzy pertama
kali
dikemukakan oleh Lotfi Zadeh yang mempunyai peranan penting dalam klasifikasi pola bidang Biometrik, karena karakteristik utama Biometrik adalah adanya unsur yang menyangkut aspek manusia secara fisiologis maupun perilaku yang bersifat kabur (Fuzzy) sehingga sukar untuk direpresentasikan secara pasti ( Crisp).
Variabel yang bersifat tegas (Crisp) menyatakan bahwa nilai keanggotaan suatu item x dalam himpunan A (dinyatakan dengan simbol µ A[x] ) hanya ada dua kemungkinan nilai, yakni satu (anggota himpunan) dan nol (bukan anggota himpunan). Sebagai contoh, kecepatan pengetikan seseorang dinyatakan dalam lima kategori kecepatan sebagai berikut. Sangat Cepat (SC) berkisar di antara 210 – 259 ms. Cepat (C) berkisar di antara 260 – 299 ms. Sedang (S) berkisar di antara 300 – 359 ms. Lambat (L) berkisar di antara 360 – 419 ms. Sangat Lambat (SL) berkisar di antara 420 – 499 ms. Jika ada perubahan sedikit, sebagai contoh dari 259 ke 261 ms, maka berakibat perbedaan kategori yang signifikan dan mengakibatkan perubahan keputusan akhir yang signifikan juga. Representasi dalam pemahaman bahasa alami (Natural Language), seperti istilah cepat, sedang, dan lambat untuk tiap kebudayaan, lingkungan dan faktor kondisi manusia bersifat sangat relatif. Untuk kasus penelitian ini, faktor perbedaan piranti keras keyboard atau
faktor kondisi pengguna bisa berpengaruh terhadap ketepatan
keputusan akhir sehingga variabel kecepatan akan susah sekali bila direpresentasikan dalam bentuk tegas (Crisp). Himpunan Fuzzy dapat digunakan untuk mengantisipasi hal tersebut. Kecepatan pengetikan seseorang dapat masuk ke dalam dua himpunan yang berbeda. Sebagai contoh, Sangat Cepat (SC) dan Cepat (C) dengan masing-masing mempunyai nilai fungsi keanggotaan yang berbeda (rentang 0 hingga 1). Apabila bernilai 0, maka x tidak menjadi anggota himpunan dan bila bernilai 1, maka x menjadi anggota penuh himpunan. Nilai keanggotaan Fuzzy tidak sama dengan probabilitas walaupun keduanya mempunyai rentang yang sama
0 hingga 1. Keanggotaan Fuzzy menyatakan ukuran
terhadap pendapat atau keputusan sedangkan probabilitas menyatakan proporsi terhadap frekwensi sesuatu bernilai benar untuk jangka yang panjang. Himpunan Fuzzy mempunyai dua atribut, yakni : a. Atribut Linguistik : Nama yang mewakili suatu keadaan. Sebagai contoh, Sangat Cepat, Cepat, Sedang, Lambat, Sangat lambat. b. Atribut Numeris : Nilai yang menunjukkan ukuran dari variabel tersebut.
2.7.1 Mengapa Digunakan Variabel Fuzzy Variabel Fuzzy mempunyai banyak keunggulan dalam representasi data dibandingkan variabel dalam bentuk tegas (crisp). Data yang diperoleh dari karakteristik pengetikan merupakan karakteristik perilaku yang
tidak tegas. Adanya beberapa
penyimpangan akibat faktor perilaku dan lingkungan mengakibatkan sukar untuk ditarik batas yang tegas. Dalam kasus ini variabel Fuzzy memberikan representasi yang lebih sesuai dibandingkan representasi dalam himpunan yang tegas.
2.7.2 Struktur Himpunan Fuzzy, Semesta Pembicaraan, Domain dan Fungsi Keanggotaan Definisi variabel Fuzzy merujuk pada variabel yang digunakan yakni variabel waktu. Himpunan Fuzzy adalah grup yang mewakili kondisi yang dibagi menjadi 5 himpunan, yakni : Sangat Cepat (SC), Cepat
(C), Sedang (S), Lambat (L), Sangat
Lambat (SL) Fungsi keanggotaan (membership function) adalah fungsi yang menunjukkan pemetaan titik input data ke dalam nilai keanggotaan (Degree of membership) yang memiliki interval
0 hingga 1. Bisa dikatakan tidak ada standar resmi dalam pemilihan
representasi bentuk fungsi keanggotaan dan sangat bergantung pada ruang lingkup dan karakteristik tiap permasalahan. Namun merujuk pada penelitian sebelumnya (Sajjad Haider et al, 2000), maka bentuk fungsi keanggotaan yang digunakan adalah fungsi keanggotaan segitiga.