BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Budaya Organisasi 1. Pengertian budaya organisasi Budaya adalah sebagai pengetahuan, kepercayaan, seni, hukum, persamaan, asumsi, nilai dan perilaku normal yang bisa diterima oleh kelompok (Robbins, 2012). Nilai dan norma yang sada tersebut akan melekat pada perilaku setiap orang yang berada dalam suatu organisasi. Dalam kurun waktu yang relatif lama perilaku tersebut akan muncul sebagai budaya kerja yang ditunjukkan dalam setiap tindakan. Terbentuknya budaya kerja diharapkan tidak hanya peristiwa psikologis di dalam diri seseorang, tidak hanya sekedar rangsangan emosional, melainkan setelah melalui pertimbangan rasional, memasuki lubuk hati menjadi keyakinan, komitmen, sehingga yang bersangkutan memegang teguh secara konsisten (Naicker. N, 2008).
Organisasi adalah bentuk formal dari sekelompok manusia dengan tujuan individualnya masing-masing (gaji, kepuasan kerja, dll) yang bekerjasama dalam suatu proses tertentu untuk mencapai tujuan bersama (tujuan organisasi). Organisasi adalah suatu koordinasi rasional kegiatan sejumlah orang untuk mencapai tujuan umum melalui pembagian pekerjaan dan fungsi lewat hirarki otoritas dan tanggungjawab (Schein,2010). Karakterisitik organisasi menurut Schein meliputi : memiliki struktur, tujuan, saling berhubungan satu bagian dengan bagian yang lain untuk mengkoordinasikan aktivitas di dalamnya.
Hal tersebut didukung pendapat Ivancevich (2010) yang menyatakan bahwa budaya kerja dalam organisasi mempengaruhi cara manusia bertindak di dalam organisasi, di mana budaya kerja mempengaruhi bagaimana karyawan bekerja, memandang pekerjaan mereka, bekerja bersama rekan kerja, dan memandang 6
7
masa depan. Perilaku tersebut terus ditularkan dari generasi-generasi menjadi budaya kerja yang dianut bersama dalam organisasi tersebut (Kreiner dan Kinicki, 2010).
Setiap organisasi mempunyai suatu budaya dan bergantung pada kekuatannya, budaya dapat mempunyai pengaruh yang bermakna pada setiap perilaku karyawan organisasi. Budaya dalam organisasi didefenisikan oleh beberapa penulis sebagai berikut
Budaya
organisasi
merupakan bauran nilai-nilai,
kepercayaan, norma dan pola perilaku dalam suatu organisasi. Sama dengan kepribadian seorang individu (Gibson, Ivancevich, & Donelly, 2010).Budaya organisasi adalah satu wujud anggapan yang dimiliki, diterima secara implicit oleh kelompok dan menentukan bagaimana kelompok tersebut rasakan, pikirkan, dan beraksi terhadap lingkungannya yang beraneka ragam (Kreitner dan Kinicki, 2010).Budaya organisasi adalah seperangkat sikap, nilai-nilai, keyakinan, dan perilaku yang dipegang oleh sekelompok orang dan dikomunikasikan dari generasi ke generasi berikutnya (Matsumoko, 2006 dalam Moeljono, 2008).
Secara singkat maka disimpulkan bahwa budaya organisasi adalah sesuatu yang mempengaruhi karyawan untuk bekerja dan menyatu dalam organisasi, digunakan sebagai pola asumsi dasar dalam bekerja yang disepakati bersama karyawannya dan perlu dikomunikasikan dari generasi ke generasi.
2. Tipe Budaya Organisasi Menurut Kreitner dan Kinicki (2010), terdapat 3 tipe umum budaya organisasi yaitu : a.
Budaya konstruktif adalah budaya dimana para karyawan didorong untuk berinteraksi dengan orang lain dan mengerjakan tugas dan proyeknya dengan cara yang akan membantu mereka dalam memuaskan kebutuhannya,
8
berhubungan dengan pencapaian tujuan aktualisasi diri, penghargaan yang manusiawi dan persatuan.
b.
Budaya pasif-defensif bercirikan keyakinan yang memungkinkan bahwa karyawan berinteraksi dengan karyawan lain dengan cara yang tidak mengancam eamanan kerjanya sendiri. Budaya ini mendorong keyakinan normatif
yang
berhubungan
dengan
persetujuan,
konvensional,
ketergantungan dan penghindaran.
c.
Budaya agresif-defensif mendorong karyawannya untuk mengerjakan tugasnya dengan keras untuk melindungi keamanan kerja dan status mereka. Tipe budaya ini lebih bercirikan keyakinan normatif yang mencerminkan oposisi, kekuasaan dan kompetitif. Setiap tipe berhubungan dengan seperangkat keyakinan normatif yang berbeda. Keyakian normatif mencerminkan pemikiran dan keyakinan individu mengenai bagaimana anggota dari sebuah kelompok atau organisasi tertentu diharapkan menjalankan tugasnya danberinteraksi dengan orang lain.
Secara alami budaya organisasi sukar untuk dipahami, tidak berwujud, implisit dan dianggap biasa saja. Setiap perusahaan memiki tipe budaya organisasi, sebuah organisasi atau perusahaan mungkin dapat memiliki budaya organisasi dominan yang sama, namun perusahaan memiliki keyakinan normatif dan karakteristik budaya organisasi yang lain.
3. Prinsip-prinsip Organisasi Prinsip
–
prinsip Organisasi menurut
Fayol
adalah:
1)
Division
of
work (pembagian pekerjaan) Tugas/Pekerjaan dibagi secara rata pada masingmasing individu ataupun tim 2) Authority dan responsibility (kewenangan dan tanggung jawab) Masing-masing personal atau Tim memiliki kewenangan dan tanggung jawab terhadap pekerjaan yang telah diberikan kepadanya. 3)
9
Dicipline (disiplin) Kedisiplinan merupakan hal yang sangat pokok dalam sistem manajemen. 4) Unity of command (kesatuan komando) Merupakan kesatuan perintah,satu perintah dari atasan menjadi tanggung jawab bersama. 5) Unity of direction (kesatuan arah) Merupakan tujuan yang sama. 6) Sub ordination of individual to generate interest (kepentingan individu tunduk pada kepentingan umum). 7) Renumeration of personal (penghasilan pegawai) Penghasilan pegawai merupakan bentuk reward yang diberikan atas jasa yang telah dilakukan.
Budaya organisasi adalah sebuah sistem makna bersama yang dianut oleh para anggota yang membedakan suatu organisasi dari organisasi-organisasi lainnya. Sistem makna bersama ini adalah sekumpulan karakteristik kunci yang dijunjung tinggi oleh organisasi. Budaya organisasi sebagai istilah deskriptif. Budaya
organisasi
berkaitan
dengan
bagaimana
karyawan
memahami
karakteristik budaya suatu organisasi, dan tidak terkait dengan apakah karyawan menyukai karakteristik itu atau tidak. Budaya organisasi adalah suatu sikap deskriptif, bukan seperti kepuasan kerja yang lebih bersifat evaluatif.
Penelitian mengenai budaya organisasi berupaya mengukur bagaimana karyawan memandang organisasi mereka untuk mendorong kerja tim, menghargai inovasi, menekan inisiatif. Sebaliknya, kepuasan kerja berusaha mengukur respons afektif terhadap lingkungan kerja, seperti bagaimana karyawan merasakan ekspektasi organisasi, praktik-praktik imbalan, dan sebagainya.
Kebiasaan, tradisi, dan cara umum dalam melakukan segala sesuatu yang ada di sebuah organisasi saat ini merupakan hasil atau akibat dari yang telah dilakukan sebelumnya dan seberapa besar kesuksesan yang telah diraihnya di masa lalu. Hal ini mengarah pada sumber tertinggi budaya sebuah organisasi: para pendirinya. Secara tradisional, pendiri organisasi memiliki pengaruh besar
10
terhadap budaya awal organisasi tersebut. Pendiri organisasi tidak memiliki kendala karena kebiasaan atau ideologi sebelumnya. Ukuran kecil yang biasanya mencirikan organisasi baru lebih jauh memudahkan pendiri memaksakan visi mereka pada seluruh anggota organisasi.
Proses penyiptaan budaya terjadi dalam tiga cara. Pertama, pendiri hanya merekrut dan mempertahankan karyawan yang sepikiran dan seperasaan dengan mereka. Kedua, pendiri melakukan indoktrinasi dan menyosialisasikan cara pikir dan berperilakunya kepada karyawan. Terakhir, perilaku pendiri sendiri bertindak
sebagai
model
peran
yang
mendorong
karyawan
untuk
mengidentifikasi diri dan, dengan demikian, menginternalisasi keyakinan, nilai, dan asumsi pendiri tersebut. Apabila organisasi mencapai kesuksesan, visi pendiri lalu dipandang sebagai faktor penentu utama keberhasilan itu. Di titik ini, seluruh kepribadian para pendiri jadi melekat dalam budaya organisasi.
Inovasi dan keberanian mengambil risiko dituntut untuk bersikap inovatif dan berani mengambil risiko. Perhatian pada hal-hal rinci sejauh mana karyawan diharapkan menjalankan presisi, analisis, diperhatian pada hal-hal detail. Orientasi hasil mencakup sejauh mana manajemen berfokus lebih pada hasil ketimbang pada teknik dan proses yang digunakan untuk mencapai hasil tersebut.
Orientasi orang mencakup sejauh mana keputusan-keputusan
manajemen mempertimbangkan efek dari hasil tersebut atas orang yang ada di dalam organisasi. Orientasi tim mencakup sejauh mana kegiatan-kegiatan kerja di organisasi pada tim ketimbang pada indvidu-individu. Keagresifan mencakup sejauh mana orang bersikap agresif dan kompetitif ketimbang santai. Stabilitas mencakup
sejauh
mana
kegiatan-kegiatan
organisasi
menekankan
dipertahankannya status quo dalam perbandingannya dengan pertumbuhan nilai dominan dan subbudaya organisasi.
11
Budaya organisasi mewakili sebuah persepsi yang sama dari para anggota organisasi atau dengan kata lain, budaya adalah sebuah sistem makna bersama. Karena itu, harapan yang dibangun dari sini adalah bahwa individu-individu yang memiliki latar belakang yang berbeda atau berada di tingkatan yang tidak sama dalam organisasi akan memahami budaya organisasi dengan pengertian yang serupa.
Sebagian besar organisasi memiliki budaya dominan dan banyak subbudaya. Sebuah budaya dominan mengungkapkan nilai-nilai inti yang dimiliki bersama oleh mayoritas anggota organisasi. Ketika berbicara tentang budaya sebuah organisasi, hal tersebut merujuk pada budaya dominannya, jadi inilah pandangan makro terhadap budaya yang memberikan kepribadian tersendiri dalam organisasi. Subbudaya cenderung berkembang di dalam organisasi besar untuk merefleksikan masalah, situasi, atau pengalaman yang sama yang dihadapi para anggota. Subbudaya mencakup nilai-nilai inti dari budaya dominan ditambah nilai-nilai tambahan yang unik.
Jika organisasi tidak memiliki budaya dominan dan hanya tersusun atas banyak subbudaya, nilai budaya organisasi sebagai sebuah variabel independen akan berkurang secara signifikan karena tidak akan ada keseragaman penafsiran mengenai apa yang merupakan perilaku semestinya dan perilaku yang tidak semestinya. Aspek makna bersama dari budaya inilah yang menjadikannya sebagai alat potensial untuk menuntun dan membentuk perilaku. Itulah yang memungkinkan seseorang untuk mengatakan, misalnya, bahwa budaya Microsoft menghargai keagresifan dan pengambilan risiko dan selanjutnya menggunakan informasi tersebut untuk lebih memahami perilaku dari para eksekutif dan karyawan Microsoft. Tetapi, kenyataan yang tidak dapat diabaikan adalah banyak organisasi juga memiliki berbagai sub budaya yang bisa mempengaruhi perilaku anggotanya.
12
4. Pengaruh fungsi budaya organisasi a. Batas Budaya berperan sebagai penentu batas-batas; artinya, budaya menciptakan perbedaan atau yang membuat unik suatu organisasi dan membedakannya dengan organisasi lainnya. b. Identitas Budaya memuat rasa identitas suatu organisasi. c. Komitmen Budaya memfasilitasi lahirnya komitmen terhadap sesuatu yang lebih besar daripada kepentingan individu. d. Stabilitas Budaya meningkatkan stabilitas sistem sosial karena budaya adalah perekat sosial yang membantu menyatukan organisasi dengan cara menyediakan standar mengenai apa yang sebaiknya dikatakan dan dilakukan karyawan.
5. Tingkatan budaya organisasi Teori yang dikemukakan Schein (2010), mengungkapkan bahwa budaya organisasi dapat ditemukan dalam tiga tingkatan antara lain : a.
Artifak (artifacts) dimensi budaya organisasi yang paling terlihat bersifat kasat mata tetapi seringkali tidak dapat diartikan. Tingkat analisis artifak terdiri dari lingkungan fisik organisasi,arsitektur, teknologi, tata letak kantor, cara berpakaian, pola perilaku yang dapat dilihat atau didengar, serta dokumen publik seperti anggaran dasar, materi orientasi karyawan, dan cerita.
b.
Nilai (espaused beliefs and values) semua pembelajaran organisasi merefleksikan nilai-nilai anggota organisasi yang menetap dalam perilaku atau fikiran, perasaan mereka mengenai apa yang seharusnya berbeda dengan apa yang ditetapkan pendiri atau top management.
c.
Asumsi dasar (underlaying assumption) merupakan inti dari budaya yang tertanam dan diterima begitu saja (taken for granted), tidak kasat mata, dan tidak disadari. Hubungan dengan lingkungan, sifat realitas, waktu dan ruang, karakteristik sifat manusia, sifat aktivitas manusia, sifat dari hubungan antar manusia.
13
B. Kinerja 1. Definisi Kinerja Kinerja berasal dari kata-kata job performance dan disebut juga actual performance atau prestasi kerja atau prestasi sesungguhnya yang telah dicapai oleh seseorang karyawan. Kinerja atau performance merupakan gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu program kegiatan atau kebijakan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, visi, dan misi organisasi yang dituangkan
melalui
perencanaan
strategi
suatu
organisasi.
Sedangkan
pengukuran kinerja mempunyai pengertian suatu proses penilaian tentang kemajuan pekerjaan terhadap tujuan dan sasaran dalam pengelolaan sumber daya manusia untuk menghasilkan barang dan jasa, termasuk informasi atas efisiensi serta efektivitas tindakan dalam mencapai tujuan organisasi. Kinerja setiap kegiatan dan individu merupakan pencapaian produktivitas suatu hasil, di mana sumber dan pada lingkungan tertentu secara bersama membawa hasil akhir yang didasarkan mutu dan standar yang telah ditetapkan (Moeheriono, 2009).
2. Komponen Kinerja Menurut Kurniadi (2013) komponen kinerja merupakan deskripsi dari kinerja menyakut tiga komponen penting, pertama yaitu tujuan dari setiap unit organisasi merupakan strategi untuk meningkatkan kinerja. Tujuan ini akan memberikan arah dan mempengaruhi bagaimana seharusnya perilaku kerja yang diharapkan organisasi terhadap personil. Kedua adalah ukuran yang dibutuhkan untuk mengukur apakah seorang personil telah mencapai kinerja yang diharapkan, secara kuantitatif dan kualitatif. Ketiga adalah penilaian kinerja secara reguler yang dikaitkan proses pencapaian tujuan kinerja personil. Tindakan ini akan ini akan membuat personil untuk senantiasa berorientasi terhadap tujuan dan berperilaku kerja sesuai dan searah dengan tujuan yang hendak dicapai. Menurut kantor Sumber Daya Manusia Universitas East Tennesasee, salah satu tujuan penilaian kinerja adalah mempertahankan atau meningkatkan kepuasaan kerja dan moral karyawan dengan mempersilahkan
14
supervisior menilai terhadap perkembangan pekerjaan karyawan dan kemajuan tiap individu
3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kinerja Menurut Gibson (2000 dalam Triwibowo, 2013) menyatakan bahwa faktor yang memengaruhi perilaku dan kinerja seseorang faktor individu meliputi (kemampuan, latar belakang, demografi), faktor organisasi meliputi ( sumber daya, imbalan, struktur, desain pekerjaan serta gaya kepemimpinan) dan faktor psikologi yaitu persepsi, sikap, dan kepribadian, motivasi.
4. Penilaian Kinerja Manajer pemula setingkat kepala ruangan akan menilai kinerja perawat terhadap pelaksanaan fungsi-fungsi manajemen yang telah diberikan kepada perawat pelaksana. Kinerja keperawatan yang akan dinilai adalah penerapan asuhan keperawatan
dari
pengkajian,
diagnosa
keperawatan,
perencanaan,
implementasi sampai evaluasi.
5. Tujuan dan Manfaat Penilaian Kinerja Menurut Wibowo (2012), penilaian kinerja, yaitu mengacu pada sistem formal dan terstruktur yang digunakan untuk mengukur, menilai dan mempengaruhi sifat-sifat yang berkaitan dengan pekerjaan, perilaku dan hasil, termasuk tingkat ketidakhadiran. Sedangakan tujuan penilaian kinerja atau prestasi kinerja staf pada dasarnya meliputi: a). Untuk mengetahui tingkat prestasi karyawan selama ini; b). Pemberian imbalan yang serasi; c). Mendorong pertanggung jawab dari karyawan; d). Untuk membedakan antara karyawan yang satu dengan yang lain; e). Pengembangan SDM yang masih dapat dibedakan lagi ke dalam penugasan kembali, kenaikan jabatan, dan training; f). Meningkatkan motivasi kerja dan etos kerja; g). Memperkuat hubungan antara karyawan dengan supervisor melalui diskusi tentang kemajuan kerja mereka; h). Sebagai alat untuk umpan balik dari karyawan dan sebagai alat untuk menjaga tingkat kinerja; i). Sebagi
15
salah satu sumber informasi untuk perencanaan SDM dan pengambilan keputusan.
Penilaian kinerja dapat digunakan sebagai informasi untuk penilaian efektif manajemen sumber daya manusia dengan melihat kemampuan personil dan pengambilan keputusan dalam pengembangan personil. Penilaian kinerja merupakan alat yang paling dapat dipercaya oleh manajer perawat dalam mengontrol sumber daya manusia dan produktivitasnya.
Menurut Nursalam (2011) manfaat penilaian kinerja terdiri dari 6 hal, yaitu: (a) meningkatkan prestasi kerja staf, baik secara individu maupun kelompok, dengan memberikan kesempatan pada mereka untuk memenuhi kebutuhan aktualisasi diri dalam kerangka pencapaian tujuan dari kualitas pelayanan rumah sakit; (2) peningkatan yang terjadi pada prestasi staf secara perorangan akan mempengaruhi atau mendorong sumber daya manusia secara keseluruhannya; (3)
merangsang
minat
dalam
pengembangan
pribadi
dengan
tujuan
meningkatkan hasil karya dan prestasi, yaitu melalui umpanbalik terhadap prestasi mereka; (4) membantu rumah sakit untuk mendapat menyusun program pengembangan dan pelatihan staf yang lebih tepat guna. Rumah sakit akan mempunyai tenaga yang trampil untuk pengembangan pelayanan keperawatan di masa depan; (5) menyediakan alat dan sarana untuk membandingkan prestasi kerja melalui peningkatan gaji atau system imbalan yang baik; (6) memberikan kesempatan kepada pegawai atau staf untuk menyampaikan perasaan tentang pekerjaannya atau hal lain yang ada kaitannya melalui jalur komunikasi dan dialog, sehingga dapat mempererat hubungan antara atasan dan bawahan. Manfaat tersebut, berlaku untuk semua perawat yang mempunyai potensi dan kemampuan, sehingga dapat dicalonkan untuk menduduki jabatan serta tanggung jawab yang lebih besar pada masa yang akan dating, atau mendapatkan imbalan yang lebih baik. Bagi karyawan yang terhambat disebabkan karena
16
kemauan, motivasi dan sikap yang kurang baik, maka perlu diberikan pembinaan berupa teguran atau konseling oleh atasannya langsung.
6. Kinerja Perawat Pelaksana Kinerja merupakan pencapaian / prestasi seseorang berkenaan dengan seluruh tugas yang dibebankan kepadanya. Standar kerja mencerminkan keluaran normal dari seorang karyawan yang berprestasi rata-rata, dan bekerja pada kecepatan / kondisi normal. Menurut Mardiana dalam Triwibowo (2013) menyatakan bahwa kinerja karyawan merupakan tujuan akhir dan merupakan cara bagi manajer untuk memastikan bahwa aktivitas karyawan dan output yang dihasilkan kongruen dengan tujuan organisasi.
Perawat adalah tenaga professional yang mempunyai kemampuan baik intelektual, teknikal, interpersonal dan moral, bertanggung jawab serta berwenang melaksanakan asuhan keperawatan. Keperawatan menurut lokakarya Nasional Keperawatan tahun 1983 adalah suatu bentuk pelayanan keperawatan professional yang merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan berdasarkan ilmu keperawatan berbentuk pelayanan bio-psiko-sosio-spiritual yang komprehensif, ditujukan kepada individu, keluarga dan masyarakat baik sakit maupun sehat yang mencakup seluruh proses kehidupan manusia.
Kinerja Perawat adalah bentuk pelayanan professional yang merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan. Merawat bagi orang sakit sudah ada sejak zaman purba yang didasari oleh insting dan pengalaman. Dalam sistem asuhan keperawatan, kinerja dapat diartikan melalui kepatuhan perawat professional dalam melaksanakan asuhan keperawatan sesuai standar. Untuk penilaian ini digunakan metode dan instrument penilaian yang baku oleh Departemen Kesehatan RI Tahun 2005. Kinerja keperawatan adalah prestasi kerja yang ditunjukkan oleh perawat pelaksana dalam melaksanakan tugas-tugas asuhan keperawatan sehingga menghasilkan output yang baik kepada customer
17
(Organisasi, Pasien, Perawatan sendiri) dalam kurun waktu tertentu (Kurniadi, 2013).
Beberapa hal yang penting tentang kinerja perawat menurut Triwibowo (2013) adalah : (a) kinerja mencerminkan hasil akhir seseorang, yaitu perbandingan antara target dan tingkat pencapaian; (b) kinerja berkaitan dengan seluruh tugastugas yang diberikan kepada seseorang; (c) kinerja diukur dalam waktu tertentu. Kinerja mengandung dua komponen penting menurut (Triwibowo 2013), yaitu : (1) kompetensi berarti individu atau organisasi memiliki kemampuan untuk mengidentifikasikan tingkat kinerjanya; (2) produktifitas yaitu kompetensi tersebut diatas dapat diterjemahkan kedalam tindakan atau kegiatan-kegiatan yang tepat untuk mencapai hasil kinerja (outcome).
Proses peningkatan kinerja memberikan kesempatan terbaik untuk membangun pengalaman yang terus berkembang. Jadi, untuk membuat peningkatan yang berarti dalam kinerja harus terus berusaha mencapai tingkat terbaik. Peningkatan tersebut memerlukan berbagai kebijakan dan program yang dirancang untuk meningkatkan 3R (Result, Resources, dan Ratio) organisasi. Berdasarkaan pengertian di atas, peneliti menarik kesimpulan bahwa kinerja merupakan kualitas dan kuantitas dari suatu hasil kerja (output) individu maupun kelompok dalam suatu aktivitas tertentu yang diakibatkan oleh kemampuan alami atau kemampuan yang diperoleh dari proses belajar serta keinginan untuk berprestasi.
7. Penilaian Kinerja Pelayanan Keperawatan Dalam menilai kinerja perawat digunakan standar praktek keperawatan yang merupakan pedoman bagi perawat dalam melaksanakan asuhan keperawatan. Instrumen evaluasi penerapan standar asuhan keperawatan (SAK) pada pedoman studi dokumentasi asuhan keperawatan yang meliputi pengkajian, diagnosa, perencanaan, tindakan, evaluasi dan catatan asuhan keperawatan. Instrumen
18
evaluasi persepsi pasien/keluarga terhadap mutu asuhan keperawatan di rumah sakit terdiri dari data umum, data pelayanan keperawatan, saran pasien/ keluarga untuk perbaikan, merupakan pertanyaan terbuka. Dan instrumen evaluasi tindakan perawat berdasarkan SOP yang dinilai yaitu persiapan dan pelaksanaan tiap kegiatan keperawatan (Depkes, 2001). Penerapan SAK pada pedoman studi dokumenasi asuhan keperawatan, dinilai atas (Depkes, 2001):
a. Standar 1 : Pengkajian Keperawatan. Pengkajian merupakan dasar utama atau langkah awal dari proses keperawatan secara keseluruhan. Pada tahap ini semua data dan informasi tentang klien yang dibutuhkan dikumpulkan dan dianalisa untuk menentukan diagnosa keperawatan. Pengkajian keperawatan terdiri dari 3 tahap yaitu pengumpulan data, pengorganisasian atau pengelompokan data serta menganalisa data untuk merumuskan diagnosa keperawatan (Nursalam, 2003). Instrumen penilaian kinerja perawat pada proses pengkajian keperawatan menurut Depkes (2001) terdiri dari: mencatat data yang dikaji sesuai dengan pedoman pengkajian, data dikelompokkan berdasarkan biopsiko-sosial-spiritual, data dikaji sejak pasien masuk sampai pulang, dan masalah dirumuskan berdasarkan kesenjangan antara status kesehatan dengan norma dan pola fungsi kehidupan.
b. Standar 2 : Diagnosa Keperawatan Diagnosa keperawatan adalah pernyataan yang menjelaskan status atau masalah kesehatan aktual dan potensial. Proses diagnostik mencakup analisis kritis dan interpretasi data, identifikasi masalah klien, dan perumusan diagnosa keperawatan (Potter dan Perry, 2005). Instrumen penilaian kinerja perawat pada proses diagnosa keperawatan menurut Depkes (2001) terdiri dari: diagnosa keperawatan berdasarkan masalah yang telah dirumuskan, diagnosa keperawatan mencerminkan PE/PES, dan merumuskan diagnosa keperawatan aktual/potensial.
19
c. Standar 3 : Perencanaan Keperawatan Rencana asuhan keperawatan adalah pedoman tertulis untuk perawatan klien. Rencana perawatan tertulis mendokumentasikan kebutuhan perawatan kesehatan klien, tujuan, hasil yang diharapkan dan aktifitas dan starategi keperawatan spesifik. Selama perencanaan perawat berkolaborasi dengan klien dan keluarganya juga berkonsultasi dengan tim perawat lainnya, menelaah literatur yang berkaitan, memodifikasi asuhan dan mencatat informasi yang relevan tentang kebutuhan perawatan kesehatan klien dan klinik (Kusnanto, 2003). Instrumen penilaian kinerja perawat pada proses perencanaan keperawatan menurut Depkes (2010) terdiri dari : perencanaan bardasarkan diagnosa keperawatan, disusun menurut urutan prioritas, rumusan tujuan mengandung komponen pasien, subyek, perubahan, perilaku, kondisi pasien dan kriteria waktu, rencana tindakan menggambarkan keterlibatan pasien keluarga, rencana tindakan mengacu pada tujuan dengan kalimat perintah, terinci dan jelas, dan rencana tindakan menggambarkan kerjasama dengan tim kesehatan lain. d. Standar 4 : Tindakan Keperawatan Potter dan Perry (2009) menjelaskan bahwa selama tindakan, perawat mengkaji kembali klien, memodifikasi rencana asuhan keperawatan, mengidentifikasi area bantuan, mengimplementasikan tindakan keperawatan dan mengkomunikasikan tindakan. Instrumen penilaian kinerja perawat pada proses tindakan keperawatan menurut Depkes (2010) terdiri dari: tindakan dilaksanakan mengacu pada rencana perawatan, perawat mengobsevasi respon pasien terhadap tindakan keperawatan, revisi tindakan berdasarkan evaluasi, dan semua tindakan yang telah dilaksanakan dicatat ringkas dan jelas.
e. Standar 5 : Evaluasi Keperawatan Menurut Nursalam (2010), kriteria proses dalam evaluasi keperawatan adalah menyusun perencanaan evaluasi dari hasil intervensi secara komperehensif,
20
tepat waktu dan terus menerus, menggunakan data dasar dan respon klien dalam mengukur perkembangan kearah pencapaian tujuan, memvalidasi dan menganalisis data baru dengan teman sejawat, bekerja sama dengan klien dan keluarga
untuk
memodifikasi
rencana
asuhan
keperawatan
dan
mendokumentasikan hasil evaluasi dan memodifikasi perencanaan.Instrumen penilaian kinerja perawat pada proses evaluasi keperawatan menurut Depkes (2011) terdiri dari : evaluasi mengacu pada tujuan dan hasil evaluasi dicatat.
f. Standar 6 : Catatan Asuhan Keperawatan Catatan asuhan keperawatan adalah bukti pencatatan dan pelaporan yang dimiliki perawat dalam melakukan asuhan keperawatan (Nursalam, 2011). Dalam catatan asuhan keperawatan ini pencatatan yang dilakukan harus sesuai dengan yang dikerjakan dan yang ditulis dengan jelas sehingga dapat digunakan antar tim kesehatan. Instrumen penilaian kinerja perawat pada proses catatan asuhan keperawatan menurut Depkes (2010) terdiri dari : menulis pada format yang baku, pencatatan dilakukan sesuai dengan tindakan yang dilaksanakan, pencatatan ditulis dengan jelas, setiap melakukan tindakan/kegiatan perawat mencantumkan paraf/nama jelas, dan tanggal jam dilakukannya tindakan, dan berkas catatan keperawatan disimpan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Penerapan SAK pada pedoman studi dokumentasi asuhan keperawatan digunakan untuk mengumpulkan data agar dapat menilai kelengkapan pendokumentasian asuhan keperawatan yang dilakukan oleh perawat. Penilaian dilakukan dengan cara membandingkan pendokumentasian yang ditemukan dalam rekam medik pasien dengan pendokumentasian yang ditentukan dalam standar keperawatan. Dimana pengisian pedoman studi dokumentasi SAK dilakukan oleh perawat dengan kriteria sebagai berikut: perawat terpilih dari ruangan tempat dilakukan evaluasi, perawat yang telah menguasai/memahami proses perawatan, dan telah mengikuti pelatihan penerapan standar asuhan keperawatan di RS (Depkes, 2010).
21
Sedangkan, rekam medik pasien yang dinilai harus memenuhi kriteria sebagai berikut: rekam medik pasien yang telah dirawat minimal 3 (tiga) hari diruangan yang bersangkutan, data dikumpulkan
sebelum
berkas medik pasien
dikembalikan pada bagian Medical Recors RS, khusus untuk Kamar Operasi dan IGD, penilaian dilakukan setelah pasien dipindahkan ke ruangan lain/pulang, dan rekam medik pasien yang memenuhi kriteria selama periode evaluasi berjumlah 20 untuk setiap ruangan (Depkes, 2010).
Tujuan dan manfaat standar asuhan keperawatan pada dasarnya mengukur kualitas asuhan kinerja perawat dan efektifitas manajemen organisasi. Dalam pengembangan standar menggunakan pendekatan dan kerangka kerja yang lazim sehingga dapat ditata siapa yang bertanggungjawab mengembangakan standar bagaimana proses pengembangan tersebut. Standar asuhan berfokus pada hasil pasien, standar praktik berorientasi pada kinerja perawat professional untuk memberdayakan
proses
keperawatan.
Standar
finansial
juga
harus
dikembangkan dalam pengelolaan keperawatan sehingga dapat bermanfaat bagi pasien, profesi perawat dan organisasi pelayanan. Kinerja dalam tinjauan teori keperilakuan mencakup 3 (tiga) komponen utama, yaitu : pengetahuan, sikap dan praktik (PSP) atau knowledge, attitude, dan practice (KAP). 8. Evaluasi kinerja perawat Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam melaksanakan evaluasi secara optimal, antara lain aspek-aspek yang akan dinilai, pelaksanaan penilaian, masalah yang akan dihadapi dalam penilaian, metode-metode dalam penilaian dan management by objective (MBO). a. Aspek yang dinilai Evaluasi terhadap kinerja perawat dapat dilakukan dengan menilai berbagai hal yang berkaitan dengan pekerjaan yang dilakukan perawat, yaitu kualitas pekerjaan yang diselesaikan, kuantitas pekerjaan, tanggung jawab dalam melaksanakan pekerjaan dan inisiatif serta ketepatan dalam bekerja. Faktor lain yang dapat dinilai adalah kecepatan dalam bekerja, tingkat kemandirian, perilaku selama bekerja, kehadiran/pemanfaatan waktu, hubungan dengan staf
22
lain, dan keterampilan dalam bekerja. Pengetahuan yang dimiliki, keabsahan pekerjaan yang dilakukan dan potensi pekerja yang dapat dikembangkan juga sangat penting untuk dinilai berkaitan dengan kinerja perawat.Disamping itu, evaluasi kinerja perawat juga dapat dilakukan dengan menilai berbgai aspek yang disesuaikan dengan tingkat/jabatan perawat. Aspek tersebut antara lain prestasi keja, tanggung jawab, ketaatan, kejujuran, kerja sama, prakasa dan kepemimpinan.
b. Pelaksana penilaian Pelaksana penilaian pada umumnya disesuaikan dengan kebutuhan penilaian. Untuk mencapai hasil penilaian yang objektif, evaluasi kinerja terhadap perawat dapat di lakukan berbagai unsur, yaitu penyelia atau atasan langsung, perawat sendiri (self evaluation), perawat lain (peer group), konsultan peneliain kinerja dan dapat juga dilakukan oleh pasien atau keluarga pasien.
c. Masalah dalam penilaian Seiring dalam melakukan penilaian kinerja, perawat dihadapkan pada berbagai masalah, permasalahan yang dapat dijumpai dalam melaksanakan evaluasi kinerja terhadap perawat adalah terdapatnya kelonggaran atau kekerasan (leniency or severity), kecenderungan ke pusat (central tendency), dan halo error/halo effect.
d. Metode penilaian Ada beberapa metode yang dapat digunkan didalam melakukan penilaian terhdap kinerja perawat, antra lain penilaian berorientasi masa lain yang dapat dibuat dengan menggunkan rating scale, check list, critical incident method, field review method performance test and observation, dan dengan berdasarkan metoda penilaian kelompok. Metode lain yang dapat digunakan adalah melalui penilaian yang berorientasi masa depan yang mencakup
23
penilaian diri sendiri, penilaian psikologis, pendekatan MBO, dan penilaian pusat.
e. Management by objective Management by objective (MBO) adalah bahwa setiap tingkat organisasi, masing-masing pejabat/pemimpin hendaknya menetapkan suatu tujuan yang konkret sedemikian rupa sehingga tujuan tersebut mampu mnunjang tercapainya tujuan organisasi secara keseluruhan ( Kuntoro, 2010 ). Benardin ( 2001 ) menyampaikan ada 6 kriteria dasar atau dimensi untuk mengukur kinerja : 1) Quality terkait dengan proses atau hasil mendekati sempurna/ideal dalam memenuhi maksud atau tujuan 2) Quantity terkait dengan satuan jumlah atau kuantitas yang hasilkan 3) Timeliness terkait dengan waktu yang diperlikan dalam menyelesaikan aktivitas atau menghasilkan produk 4) Cost-effectiveness terkait dengan tingkat penggunaan sumber-sumber organisasi ( orang, uang, material, teknologi ) dalam mendapatkan atau memperoleh hasil atau penguranganpemborosan dalam penggunaan sumbersumber organisasi 5) Need fo supervision terkait dengan kemampuan individu dapat menyelesaikan pekerjaan atau fungsi-fungsi pekerjaantanpa asistensi pimpinan atau intervensi pengawasan pimpinan 6) Interpersonal
inpact
terkait
dengan
kemampuan
individu
dalam
meningkatkan perasaan harga diri, keinginan baik, dan kerja sama pekerja dan anak buah (Wibowo, 2012 ).
C.
Hubungan Budaya Organisasi Dengan Kinerja Perawat Pelaksana 1.
Budaya Organisasi
24
Menurut Ivancevich (2010) bahwa budaya kerja dalam organisasi dapat mempengaruhi cara manusia dalam bertindak dalam berorganisasi, di mana budaya kerja mempengaruhi bagaimana karyawan bekerja, memandang pekerjaan mereka, bekerja bersama rekan kerja, dan memandang masa depan.
Menurut Dewan (2001,Warndana, Erawati & Lestari, 2011) mengatakan bahwa pada rentang 31 – 40 tersebut merupakan kelompok usia yang memiliki produktifitas kerja maksimal. Hasil ini didukung oleh penelitian Riyadi & Kusnanto (2007) yang menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara umur perawat dengan kinerja perawat dalam memberikan pelayanan keperawatan. Hasil penelitian Nurimi (2010) menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara usia responden dengan motivasi kerja tenaga keperawatan di ruang rawat inap.
Siagian (2002, Zakiyah, 2012) menjelaskan bahwa pendidikan menyangkut kemampuan intelektual yang berkaitan dengan kemampuan individu menyelesaikan tugas dalam pekerjaannya.
Menurut Herachwati & Basuki (2012) bahwa Menyebutkan lebih detail karakteristik peran gender maskulin yakni agresif, bebas, dominan, objektif, tidak emosional, aktif, kompetitif, ambisi, rasional, rasa ingin tahu tentang berbagai peristiwa dan objekobjek nonsosial dan impulsif.
Menurut Pendhazur dan Tetenbaum (1979) dan Bernard (1992) dalam Lala (2007) karakteristik peran gender feminin lebih memperlihatkan sifat yang hangat dalam hubungan personal.
25
Menurut Heni (2001, dalam Rahayu & Dewi, 2009) mengatakan bahwa lama kerja seorang perawat dapat mempengaruhi kedewasaan seseorang dan lebih berpengalaman dalam melaksanakan tugasnya.
Ginarsih (2004, dalam Rahayu & Dewi, 2009) mengemukakan bahwa lama kerja seseorang juga dapat menunjukkan loyalitas pada instansi dan makin terampil dalam merawat pasien. Sedangkan menurut Siagian (2000, dalam Zakiyah, 2012) mengatakan bahwa masa kerja adalah jangka waktu yang dibutuhkan seseorang dalam bekerja sejak mulai masuk dalam lapangan pekerjaan, semakin lama seseorang bekerja semakin terampil dan berpengalaman dalam melaksanakan pekerjaannya serta dalam berbudaya. Berdasarkan hasil penelitia yang dilakukan oleh
Dahniar (2012)
menunjukkan budaya organisasi dengan baik sebanyak 72 responden sedangkan yang kurang 42 responden. 2.
Kinerja Perawat Menurut penelitian yang dilakukan Padang, Thamrin dan Rahim (2012) menunjukkan bahwa ada hubungan antara usia dengan tingkat kehadiran perawat (p = 0,002; p<0,05). Pada penelitian ini usia sebagian besar responden (66 %) adalah 26-35 tahun.
Menurut Herachwati & Basuki (2012) bahwa Menyebutkan lebih detail karakteristik peran gender maskulin yakni agresif, bebas, dominan, objektif, tidak emosional, aktif, kompetitif, ambisi, rasional, rasa ingin tahu tentang berbagai peristiwa dan objek nonsosial dan impulsif.
Menurut Pendhazur dan Tetenbaum (1979) dan Bernard (1992) dalam Lala (2007) karakteristik peran gender feminin lebih memperlihatkan sifat yang hangat dalam hubungan personal.
26
3.
Hubungan Budaya Dengan Kinerja Perawat Hasil penelitian Wulanda, Brasit & Hamid (2013) ada pengaruh antara budaya organisasi denga kinerja pengawai negeri sipil dengan koefisien korelasi 0,667. Hasil studi ini juga didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Ginting B (2011) bahwa terdapat hubungan yang positif yang signifikan antara budaya organisasi sekolah dengan kinerja guru dengan koefisien korelasi 0,759.
hasil penelitian yang dilakukan oleh Dahniar (2012) menunjukkan bahwa budaya organisasi seperti pendidikan dan pelatihan, hungan kerja, tempat kerja dan disiplin sangat berpengaruh dengan kinerja perawat (OR= 13,552 atau 42,9%). D. Kerangka Konsep Penelitian
Skema 2.1 Kerangka Konsep Penelitian Variabel Independen
Budaya organisasi
Keterangan : Variabel yang diteliti : Pengaruh / Hubungan
Variabel Dependen
Kinerja perawat pelaksana
27
E. Hipotesa Ada hubungan budaya organisasi dengan kinerja perawat pelaksana di ruang rawat inap Rumah Sakit PTPN IV Pabatu tahun 2014.