BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Pengetahuan Pada dasarnya pengetahuan adalah sejumlah fakta dan teori yang
memungkinkan seseorang untuk dapat memecahkan masalah yang dihadapinya. Pengetahuan dapat diperoleh melalui pengalaman langsung maupun pengalaman orang lain (Notoatmodjo, 2010). Pengetahuan adalah hasil dari tahu, dan hal ini terjadi setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui pancaindera manusia, antara lain: indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. Sejumlah besar pengetahuan manusia diperoleh melalui penglihatan dan pendengaran (Notoatmodjo, 2007). Menurut Notoatmodjo (2007), pengetahuan terbagi atas enam tingkatan antara lain: a.
Tahu (know) Tahu dapat diartikan sebagai mengingat suatu materi yang sudah dipelajari
sebelumnya. Termasuk dalam pengetahuan adalah mengingat kembali sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Tahu adalah tingkat pengetahuan yang paling rendah. b.
Memahami (comprehension) Memahami adalah kemampuan menjelaskan tentang objek yang telah
diketahui secara benar dan dapat menginterpretasi materi tersebut secara benar. c.
Aplikasi (application) Aplikasi adalah kemampuan untuk dapat menerapkan materi yang telah
dipelajari pada situasi atau kondisi yang nyata. d.
Analisis (analysis) Analisis adalah kemampuan untuk menjabarkan materi atau objek ke
dalam komponen-komponen tetapi masih dalam suatu struktur organisasi yang masih ada kaitannya satu sama lain.
Universitas Sumatera Utara
e.
Sintesis (synthesis) Sintesis adalah kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan
bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. f.
Evaluasi (evaluation) Evaluasi adalah kemampuan untuk dapat melakukan penilaian terhadap
suatu materi atau objek.
2.2
Obesitas
2.2.1 Definisi Obesitas Obesitas adalah suatu keadaan yang ditandai dengan adanya penimbunan jaringan lemak tubuh secara berlebihan (Flier dan Maratos, 2008). Selain itu, obesitas juga dapat didefinisikan atas dasar nilai indeks massa tubuh (IMT) dan hubungannya dengan peningkatan kejadian komplikasi sekunder (Krebs dan Primak, 2007). Obesitas dan overweight seringkali dianggap sebagai suatu keadaan yang sama, padahal kedua istilah ini sebenarnya mempunyai pengertian yang berbeda. Overweight adalah suatu keadaan dimana adanya kelebihan berat badan dibandingkan dengan berat badan ideal baik karena adanya penimbunan jaringan lemak atau non lemak (Flier dan Maratos, 2008).
2.2.2 Pengukuran IMT Obesitas tidak hanya berkaitan dengan berat badan total, tetapi juga distribusi simpanan lemak di dalam tubuh. Secara klinis obesitas dapat dikenali dengan mudah antara lain (Sjarif, 2005): (1) wajah membulat, (2) pipi tembam, (3) leher relatif pendek, (4) dagu rangkap, (5) dada membusung dengan payudara yang membesar yang terdiri dari jaringan lemak, (6) perut membuncit disertai adanya lipatan dari dinding perut, (7) kedua tungkai berbentuk X dengan kedua pangkal paha bagian dalam saling menempel dan bergesekan, hal ini dapat menyebabkan terjadinya laserasi dan ulserasi yang dapat menimbulkan bau yang kurang sedap, (8) pada anak laki-laki penis terlihat kecil karena tertutup jaringan lemak suprapubik.
Universitas Sumatera Utara
Evaluasi rutin yang biasanya dilakukan pada anak-anak terdiri dari: 1. Pengukuran berat badan (BB) dan tinggi badan (TB), perhitungan IMT dan memplot ketiga parameter tersebut pada kurva pertumbuhan yang didasarkan pada usia dan jenis kelamin. 2. Riwayat diet dan pola aktivitas anak. 3. Pemeriksaan laboratorium umum dilakukan pada anak dengan kategori persentil ≥95
th
dan mempunyai bukti komorbiditas. Pemeriksaan
laboratorium ini terdiri dari profil lemak, insulin, glukosa, tes fungsi hati, dan tes tiroid (Krebs dan Primak, 2007). Indeks massa tubuh (IMT) adalah suatu standard pengukuran obesitas pada orang dewasa. Walaupun IMT tidak dapat mengukur jumlah lemak secara langsung, tetapi IMT merupakan metode yang paling banyak digunakan dalam menentukan apakah orang tersebut mendapat obesitas atau tidak. Pendekatan lain yang digunakan dalam menentukan obesitas antara lain (Dehghan et al, 2005): •
Antropometri (ketebalan lipatan kulit)
•
Densitometri (berat badan di dalam air)
•
CT Scan
•
MRI
•
Electrical Impendance
Menurut Nihiser et al (2007) pengukuran yang paling sering digunakan dan paling sederhana adalah BB (berat badan) dan TB (tinggi badan). Kedua pengukuran ini merupakan langkah awal dalam pemeriksaan klinis karena kedua pengukuran tersebut dibutuhkan untuk menghitung IMT. Indeks massa tubuh (kg/m2) didapatkan dengan cara membagi berat badan dalam kg dengan tinggi badan dalam meter dikuadratkan. IMT ini relatif tidak dipengaruhi oleh tinggi badan, tetapi mempunyai hubungan yang bermakna dengan lemak tubuh. Indeks massa tubuh seringkali digunakan untuk mengukur berat badan dengan kaitannya terhadap risiko kesehatan karena pengukuran langsung (contoh, pengukuran lipatan kulit, underwater weightning) cenderung lebih invasif dan mahal. Pengukuran IMT relatif mudah, murah, tidak invasif dan cepat (Himes dan Dietz, 1994) dalam (Nihiser et al, 2007).
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.1 Kategori IMT untuk Anak, Remaja dan Dewasa Kategori IMT
IMT untuk Usia
Kategori IMT
IMT Untuk
Untuk Anak dan
2-20 Tahun
Untuk Dewasa
Dewasa
Remaja
Berdasarkan Jenis
(kg/m2)
Kelamin (Persentil) Obesitas
≥95
Obesitas
≥30
Overweight
≥85th dan <95th
Overweight
≥25 dan <30
Normal
≥5th dan <85th
Normal
≥18,5 dan <25
Underweight
<5th
Underweight
<18,5
th
Sumber : Nihiser et al, 2007. Body Mass Measurement in School Metode pengukuran IMT pada anak dan remaja adalah sama dengan orang dewasa, tetapi interpretasi berbeda (Hammond, 2008).Untuk anak-anak pada masa tumbuh kembang, penentuan obesitas ditentukan menggunakan grafik CDC 2000. Dengan memasukkan data ke grafik, dapat ditentukan posisi persentilnya. Untuk persentil 86-94th dikategorikan dalam overweight dan untuk persentil≥ 95
th
dikategorikan dalam obesitas. Grafik CDC 2000 dapat dilihat pada gambar 2.1 dan 2.2.
Gambar 1
Grafik penentuan IMT berdasarkan usia CDC 2000 untuk anak laki-laki usia 2-20 tahun
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2 Grafik penentuan IMT berdasarkan usia CDC 2000 untuk anak perempuan usia 2-20 tahun 2.2.3 Etiologi Obesitas Obesitas merupakan suatu penyakit yang merupakan kompleks kombinasi antara genetik dan faktor yang didapat seperti lingkungan, psikososial, biologis, dan faktor sosial ekonomis. Obesitas biasanya disebabkan oleh kelebihan masukan makanan yang nantinya akan disimpan menjadi simpanan lemak tubuh ketika masukan energi melebihi pengeluaran, dan keadaan ini biasanya terjadi bila ada keseimbangan energi positif dalam waktu yang lama (Dehghan et al, 2005). Faktor genetik mempengaruhi risiko anak untuk mendapat obesitas. Selain itu faktor lingkungan, gaya hidup, dan budaya daerah tampaknya memainkan peranan penting dalam peningkatan prevalensi obesitas di dunia. Dalam kasus yang cukup sedikit juga dijumpai adanya pengaruh hormon dalam terjadinya
Universitas Sumatera Utara
obesitas (Dehghan et al, 2005). Secara umum, berbagai faktor yang menentukan keadaan obesitas seseorang seperti: a.
Herediter Anak yang obes biasanya berasal dari keluarga penderita obesitas. Jika
kedua orang tua obes, sekitar 80% dari anak-anak mereka akan mendapat obes. Bila salah satu dari orang tuanya mendapat obesitas maka kejadiannya akan turun menjadi 40%, dan bila kedua orang tuanya tidak obes maka kejadian obesitas akan turun menjadi 14% (Sjarif, 2005). Menurut Whittaker et al (1997) seseorang yang mempunyai orang tua obesitas berisiko mendapat obesitas dua kali lebih besar daripada yang tidak mempunyai orang tua obes. Pada kembar identik biasanya didapati nilai IMT yang sangat mirip walaupun keduanya tinggal bersama atau terpisah. Kemiripan IMT pada kembar identik tampaknya mempunyai hubungan yang lebih kuat daripada kembar dizigot. Genetik tampaknya juga berhubungan dengan ambilan energi dan keluaran energi (Flier dan Maratos, 2008 ). Menurut Glugliano dan Carneiro (2004), rata-rata IMT pada orang tua yang memiliki anak obesitas dan overweight lebih tinggi daripada orang tua dari kelompok kontrol (p <0,01). Selain itu ditemukan juga frekuensi overweight dan obesitas pada anak-anak sekitar 51,8% bila kedua orang tuanya obes dan 50% bila salah satu dari orang tua yang obes serta 19,6% bila tidak ada orang tua yang obes. Ada hubungan positif antara overweight dan obesitas pada orang tua dengan kejadian overweight dan obesitas pada anak (p<0,001). Menurut Margarey et al (2003) dalam Glugliano dan Carneiro (2004) menyatakan bahwa ada hubungan positif antara obesitas pada orang tua dengan kejadian obesitas pada anak.
b.
Faktor yang didapat
1)
Diet Beberapa dekade terakhir ini, makanan menjadi lebih mudah diperoleh
pada sebagian besar orang karena harga makanan relatif turun dan adanya
Universitas Sumatera Utara
perubahan konsep makanan yang awalnya makanan sebagai kebutuhan telah bergeser kedudukan menjadi makanan sebagai penanda gaya hidup dan sumber kesenangan (Dehghan et al, 2005). Menurut Dehghan et al (2005), walaupun overweight dan obesitas umumnya diasumsikan sebagai hasil dari peningkatan masukan kalori, tidak ada bukti yang cukup kuat untuk mendukung pernyataan tersebut. Akan tetapi ketidakseimbangan kalori dalam jumlah kecil dalam jangka waktu yang panjang dapat menyebabkan terjadinya obesitas. Beberapa tahun belakangan ini disebutkan bahwa peningkatan kejadian obesitas pada anak terjadi karena adanya peningkatan konsumsi lemak. Akan tetapi, hasil penelitian cross sectional dan penelitian longitudinal bertolak belakang. NHANES menunjukkan bahwa konsumsi lemak pada anak-anak Amerika telah berkurang dalam tiga dekade terakhir ini (Dehghan et al, 2005). Menurut Wright et al (2004) dalam Dehghan et al (2005) didapati bahwa konsumsi lemak rata-rata pada anak laki-laki usia 12-19 tahun adalah dari 37,0% (SD=0,29%) dari total masukan kalori pada tahun 1971-1974 menjadi 32,0% (SD=0,42%) pada tahun 1999-2000. Pola yang sama juga ditemukan pada anak perempuan yang mana konsumsi lemaknya turun dari 36,7% (SD=0,27%) menjadi 32,1% (SD=0,61%). Di sisi lain, beberapa penelitian cross sectional menunjukkan adanya hubungan yang positif diantara konsumsi lemak dan penumpukan lemak pada anak-anak bahkan setelah mengontrol beberapa faktor (Maffeis et al, 1996) dalam Dehghan et al (2005). Peranan diet terhadap terjadinya obesitas sangat besar terutama diet tinggi kalori yang bersumber dari karbohidrat dan lemak. Masukan energi tersebut lebih besar daripada yang dibutuhkan. Anak-anak usia sekolah mempunyai kebiasaan mengkonsumsi makanan cepat saji, yang umumnya mengandung energi tinggi karena 40-50%nya berasal dari lemak (Sjarif, 2005). Menurut Patrick et al (2004), anak laki-laki dan perempuan yang berisiko overweight dan obesitas mengkonsumsi lebih sedikit serat per harinya dibandingkan pada kelompok yang berat badannya normal (p=0,01 untuk perempuan; p<0,001 untuk laki-laki).
Universitas Sumatera Utara
2)
Pola Makan Peran nutrisi dimulai sejak masa gestasi. Perilaku makan mulai terkondisi
dan terlatih sejak awal kehidupan yaitu saat diasuh orang tua. Pemberian susu botol pada bayi mempunyai kecenderungan diberikan dalam jumlah yang lebih besar daripada yang dibutuhkan sehingga risiko menjadi obesitas lebih besar daripada pemberian ASI saja. Hal ini mengakibatkan anak akan terbiasa untuk mengkonsumsi makanan melebihi kebutuhan dan berlanjut hingga ke masa tumbuh dan kembang berikutnya (Sjarif, 2005). Menurut Vanelli et al (2005) dari hasil penelitiannya menemukan bahwa melewatkan makan pagi pada anak-anak dapat meningkatkan risiko overweight dan obesitas. Pada anak-anak yang melewatkan makan pagi dilaporkan 27,5% overweight dan 9,6% obes (p=0,01 dan p=0,04 secara berurutan) dibandingkan anak-anak yang makan pagi (9,1% dan 4,5% berurutan). Penelitian lain yang dilakukan oleh Veugelers dan Fitzgerald (2005) menunjukkan bahwa kebiasaan anak-anak untuk melewatkan sarapan pagi dapat meningkatkan risiko seseorang menderita obesitas. 3)
Aktivitas fisik Aktivitas fisik sehari-hari dipercaya menjadi salah satu faktor munculnya
obesitas pada seseorang. Penelitian yang dilakukan oleh Veugelers dan Fitzgerald (2005) menunjukkan bahwa kebiasaan anak-anak untuk menonton televisi sambil makan dapat meningkatkan risiko seseorang menjadi obesitas. Beberapa dekade terakhir ini, anak-anak menjadi kurang aktif sebagai akibat dari kemudahan dalam mengakses manfaat teknologi. Menurut Pimenta dan Palma (2003) dalam Glugliano dan Carneiro (2003), adanya suatu hubungan positif yang sudah diamati antara kurangnya aktivitas fisik (seperti menghabiskan waktu untuk menonton televisi) dengan peningkatan deposit lemak pada anak usia sekolahan. Suatu data menunjukkan bahwa aktivitas fisik anak-anak cenderung menurun. Anak-anak lebih banyak bermain di dalam rumah dibandingkan di luar rumah, misalnya bermain games computer maupun media elektronik lain dan menonton televisi (Sjarif, 2005).
Universitas Sumatera Utara
Sebaliknya menonton televisi akan menurunkan aktivitas dan keluaran energi, karena mereka menjadi jarang atau kurang berjalan, bersepeda, naik turun tangga. Suatu penelitian kohort mengatakan bahwa menonton televisi lebih dari lima jam meningkatkan prevalensi dan angka kejadian obesitas pada anak 6-12 tahun (18%), serta menurunkan angka keberhasilan sembuh dari terapi obesitas sebanyak 33% (Sjarif, 2005). Sekitar 75% aktivitas rutin anak-anak terdiri dari tidur dan duduk. Perbedaan diamati diantara kedua kelompok dimana didapati jumlah jam tidur lebih lama pada kelompok overweight dan obesitas daripada kelompok kontrol baik pada anak perempuan dan laki-laki. Perbedaan yang signifikan (p<0,05) ketika dibandingkan antara anak yang tidak obes dengan anak yang mengalami obesitas (Glugliano dan Carneiro, 2003). Menurut Glugliano dan Carneiro (2003), persentase lemak tubuh anak pada kelompok overweight dan obesitas secara langsung dan signifikan (r : +0,306; p :0,05) berhubungan dengan rata-rata harian aktivitas duduk, dan secara berlawanan dan signifikan dengan jumlah jam tidur (r : -0,278; p<0,02). Penelitian Patrick et al (2004), anak laki-laki dan perempuan dengan berat badan normal secara signifikan lebih banyak melakukan aktivitas fisik daripada anak-anak yang memiliki risiko overweight dan overweight. Tetapi, hanya anak laki-laki yang menunjukkan perbedaan stastistik diantara kelompok yang melakukan aktivitas ringan (p=0,02). Anak laki-laki pada kelompok yang berisiko overweight dan overweight lebih banyak menghabiskan waktunya untuk menonton televisi pada hari libur dibandingkan dengan anak-anak yang memiliki berat badan normal (p<0,001), dimana tidak ditemukan perbedaan pada anak perempuan. 4)
Tingkat Pendidikan Orangtua Menurut Kromeyer-Hauschild (1999), frekuensi overweight menurun pada
ibu dengan tingkat pendidikan tinggi dibandingkan ibu dengan tingkat pendidikan menengah. Prevalensi obesitas pada ibu dengan tingkat pendidikan menengah adalah sebesar 68,7%, diikuti oleh ibu dengan tingkat pendidikan tinggi sebesar 23,6%, dan prevalens terkecil (7,7%) ditemukan pada ibu dengan tingkat
Universitas Sumatera Utara
pendidikan rendah. Namun, dalam penelitian ini tidak diteliti hubungan obesitas pada anak dengan tingkat pendidikan ayah. Sedangkan menurut Lamerz et al (2005), semakin tinggi tingkat pendidikan orang tua semakin sedikit kejadian obesitas. Pada penelitian yang dilakukan tahun 1995 di Jerman, prevalens obesitas anak pada ibu yang menyelesaikan pendidikan dalam 13 tahun adalah sebesar 6%, masa belajar 10-12 tahun sebesar 6,3%, masa belajar 9 tahun sebesar 13,3%, dan ibu yang tidak memiliki gelar pendidikan adalah sebesar 25,2%. Prevalensi obesitas anak pada ayah dengan masa pendidikan 13 tahun sebesar 5,8%, ayah dengan masa pendidikan 10-12 tahun sebesar 9%, pada ayah dengan masa pendidikan 9 tahun didapatkan angka obesitas sebesar 21,8%. Menurut penelitian Hui et al (2003), status ekonomi yang digambarkan oleh pendidikan orang tua dan pendapatan rumah tangga tidak menunjukkan perbedaan signifikan diantara ketiga kelompok. Pada penelitian ini didapati kejadian obesitas pada anak dengan ayah yang tingkat pendidikannya rendah sebesar 16,0%, 67,9% untuk tingkat pendidikan sedang, dan 16% pada tingkat pendidikan tinggi. Sedangkan pada anak dengan ibu berpendidikan rendah sebesar 17,6%, sedang sebesar 73,3%, dan 9,2% untuk tingkat pendidikan tinggi. Menurut Glugliano dan Carneiro (2003), prevalens obesitas anak pada ibu dengan tingkat pendidikan universitas adalah 48,5%, sekolah tinggi sebesar 43,9%, dan pada tingkat pendidikan sekolah dasar sebesar 7,6%. Prevalens obesitas anak pada ayah dengan tingkat pendidikan universitas sebesar 63,1%, 27,7% untuk tingkat pendidikan sekolah tinggi, dan 9,2% untuk sekolah dasar. Menurut Cho et al (2009), semakin tinggi tingkat pendidikan orang tua maka prevalens dan angka kejadian obesitas semakin rendah. Anak dengan ibu tingkat pendidikan rendah lebih sering mengalami overweight daripada anak dengan ibu tingkat pendidikan tinggi. Penelitian ini dilakukan pada keluarga dengan tingkat pendapatan rendah [(laki-laki:39,3% vs 15,1% (p-value:0,008), perempuan:16,7% vs 5,2% (p-value:0,066)].
Universitas Sumatera Utara
5)
Gangguan Hormonal Walaupun sangat jarang, obesitas bisa saja disebabkan oleh gangguan
endokrin,
seperti
pada
Sindrom
Cushing,
hiperaktivitas
adrenokortikal,
hipogonadisme, dan penyakit hormon lain (Sjarif, 2005).
2.2.4 Patogenesis Obesitas Etiologi obesitas bersifat kompleks dan masih belum sepenuhnya dipahami. Banyak faktor yang berperan antara lain faktor genetik, lingkungan dan psikologis. Namun secara sederhana obesitas adalah gangguan keseimbangan energi (Kane dan Kumar, 2007). Menurut Sjarif (2005), obesitas terjadi karena ketidakseimbangan antara asupan energi dengan keluaran energi sehingga terjadi kelebihan energi yang selanjutnya disimpan dalam bentuk jaringan lemak. Jaringan lemak merupakan tempat penyimpanan energi yang paling besar bagi mamalia termasuk manusia. Tujuan utamanya adalah untuk menyimpan kelebihan energi melalui proses lipogenesis dan memobilisasi energi melalui proses lipolisis sebagai respons kekurangan energi. Untuk itu, kedua sisi persamaan energi, asupan dan pengeluaran, dikendalikan oleh mekanisme neurohormonal sehingga berat badan dapat dipertahankan dalam cakupan sempit selama bertahun-tahun (Kane dan Kumar, 2007). Diperkirakan, keseimbangan yang baik ini dipertahankan oleh internal set point atau lipostat, yang dapat mendeteksi jumlah energi
yang
tersimpan
(jaringan
adiposa)
dan
semestinya
meregulasi
keseimbangan antara asupan makanan dan pengeluaran energi agar sesuai (Sugondo, 2009). Suatu kompleks sistem kontrol umpan balik yang tediri dari suatu central processing unit yang menerima signal aferen dan menggenerasikan stimulus eferen sebagai respons terhadap kontrol intake makanan, rasa kenyang dan akhirnya akan mempengaruhi berat badan (Kane dan Kumar, 2007). Skema
yang
dapat
digunakan
untuk
memahami
mekanisme
neurohormonal yang mengatur keseimbangan energi dalam pengaruhnya terhadap berat badan terlihat pada gambar.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 3 Kane dan Kumar, 2007. Sirkuit Neurohormonal yang Mengendalikan Berat Badan Distensi lambung sebagai hasil dari aktivasi vagus merupakan signal kenyang, sedangkan kontraksi lambung merupakan signal untuk rasa lapar. Nutrien, impuls saraf dan hormon bekerja sebagai signal aferen dalam pengaturan masukan energi dan keluaran energi. Leptin adalah suatu peptida yang diproduksi oleh adiposit yang sangat erat hubungannya dengan massa lemak, yang mana sekresinya akan meningkat sejalan dengan peningkatan deposit lemak. Leptin bekerja untuk mengurangi nafsu makan dan dipercaya dapat meningkatkan aktivitas saraf simpatis (Bray dan York, 1997) dalam (Associate Professor, 2007). Peptida penting lainnya adalah growth hormone relin yang disekresikan oleh lambung dan duodenum yang mana dapat menstimulasi sekresi GH. GH relin meningkatkan masukan makanan dan sekresinya ditekan oleh masukan makanan (Cummings et al, 2002) dalam (Associate Professor, 2007). Peptida
lain
yang dapat
mengurangi masukan
makanan adalah
kolesistokinin (CCK), enterostatin dan polipetida Y (Associate Professor, 2007). Pada keadaan jumlah energi yang berlebih tersimpan dalam bentuk jaringan adiposa dan individu tersebut makan, sinyal adiposa aferen (insulin, leptin, ghrelin) akan dikirim ke unit proses sistem saraf pusat pada hipotalamus. Disini sinyal adiposa menghambat jalur anabolisme dan mengaktifkan jalur katabolisme. Lengan efektor pada jalur sentral ini kemudian mengatur
Universitas Sumatera Utara
keseimbangan energi dengan menghambat masukan makanan dan meningkatkan pengeluaran energi. Hal ini akan mengurangi energi yang tersimpan. Sebaliknya, jika simpanan energi sedikit maka akan terjadi pengaktifan jalur anabolisme untuk menggantikan jalur katabolisme sehingga menghasilkan simpanan energi dalam bentuk jaringan adiposa, sehingga tercapai keseimbangan antara keduanya (Kane dan Kumar, 2007). Impuls aferen ini nantinya akan dibawa ke otak belakang dan hipotalamus untuk diintegrasikan dan diproses. Nukleus traktus solitarius pada otak belakang merupakan tempat dimana input vagal dan neural lainnya diintegrasikan. Nukleus arkuatus yang terdapat pada dasar hipotalamus menerima signal dari leptin dan meningkatkan produksi dan sekresi neuropeptida Y (NPY) dan Agouti-related peptide (AgRP) yang meningkatkan nafsu makan. Sebaliknya, cocaineamphetamine-related transcript (CART) dan pro-opiomelanocortin (POMC) menurunkan nafsu makan. Nukleus paraventrikular hipotalamus distimulasi oleh peptida yang berasal dari nukleus arkuatus dan signal jauh lainnya (Associate Professor, 2007). Sistem saraf perifer mempunyai peran dalam menstimulasi suhu jaringan melalui aktivasi reseptor beta adrenergik 3 yang menyebabkan penurunan intake makanan (Grujic et al, 1997) dalam (Associate Professor, 2007). Sistem saraf simpatis memainkan peran dalam mempertahankan kebutuhan energi (Associate Professor, 2007).
2.2.5 Prevalensi Obesitas pada Anak Obesitas pada anak merupakan salah satu masalah kesehatan publik yang cukup serius pada abad 21. Masalah ini secara global terus menerus mempengaruhi banyak negara-negara dengan tingkat pendapatan rendah dan menengah, terutama pada daerah perkotaan (WHO, 2009). Obesitas dunia telah mencapai lebih dari dua kali lipat sejak tahun 1980. Pada tahun 2008, 1,5 juta orang dewasa 20 tahun atau lebih mengalami overweight. Diantaranya 200 juta pria dan 300 juta wanita mengalami obes. Hampir 43 juta anak di bawah usia 5 tahun mengalami overweight pada tahun
Universitas Sumatera Utara
2010. Dulunya obesitas lebih banyak terjadi di negara dengan tingkat pendapatan tinggi, tetapi sekarang ini overweight dan obesitas mengalami peningkatan pada negara dengan tingkat pendapatan rendah dan sedang. Sekitar 35 juta anak mengalami overweight di negara sedang berkembang dan 8 juta di negara maju (WHO, 2009). Peningkatan prevalensi overweight pada anak merupakan suatu alarm masalah kesehatan masyarakat. National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES) melaporkan prevalensi overweight sebesar 17,1% pada anak yang berusia antara 2-19 tahun, dan prevalensi anak yang berisiko mendapatkan overweight sebesar 33,6%. Untuk anak usia 2-5 tahun, prevalensinya adalah 13,9%
mengalami overweight dan 22,6% berisiko mendapat overweight.
Prevalensi ini terus meningkat dalam beberapa dekade terakhir ini (Ogden et al, 2006) dalam (Lucas dan Feucht, 2008). Menurut Australian Health and Fitness Survey yang bekerja sama dengan Australian Council for Health, Physical Education and Recreation (1985) dalam Ani Ariani dan Tiangsa Sembiring (2007) melaporkan adanya peningkatan overweight dan obesitas dari 11,8% pada anak laki-laki dan 10,7% pada anak perempuan menjadi lebih besar 19% pada anak laki-laki dan 21% pada anak perempuan dalam 3 tahun. Prevalensi obesitas pada anak-anak usia 6-17 tahun di Amerika Serikat dalam tiga dekade terakhir ini meningkat dari 7,6-10,8% menjadi 13-14%. Prevalensi overweight dan obesitas pada anak usia 6-18 tahun di Rusia adalah 6% dan 10%, di Cina adalah 3,6% dan 3,4% dan di Inggris adalah 22-31% dan 10-17%, bergantung pada umur dan jenis kelamin. Prevalensi obesitas pada anak-anak sekolah di Singapura meningkat dari 9% menjadi 19% (Sjarif, 2005). Di Indonesia, prevalensi obesitas pada balita menurut SUSENAS meningkat baik di desa maupun di perkotaan. Pada tahun 1992, prevalensi obesitas pada daerah perkotaan didapatkan 6,3% pada laki-laki dan 8% pada perempuan. Di tahun 1995, prevalensi obesitas di 27 provinsi adalah 4,6% (Sjarif, 2005). Di Indonesia, menurut data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, prevalensi nasional obesitas umum pada penduduk berusia ≥ 15 tahun
Universitas Sumatera Utara
adalah 10,3% (laki-laki 13,9%, perempuan 23,8%). Sedangkan prevalensi berat badan berlebih anak usia 6-14 tahun pada laki-laki 9,5% dan perempuan 6,4%. Penelitian di Medan pada tahun 1995 yang dilakukan oleh Kamelia mendapatkan kejadian obesitas sebesar 20% pada SD swasta dan 9% pada SD negeri di kota Medan. Sedang dari hasil penelitian berikutnya yang dilakukan oleh Ariani dan Sembiring didapati kejadian obesitas pada anak SD di kota Medan adalah 17,75% dimana 60,5% terjadi pada anak laki-laki dan 39,5% terjadi pada anak perempuan.
2.2.6 Risiko Komplikasi Obesitas Obesitas pada anak merupakan risiko untuk berbagai penyakit kronik di masa dewasa (Power et al, 1997) dalam (Cho et al, 2009). Terdapat konsekuensi jangka panjang yang berhubungan dengan obesitas pada anak dan remaja. Pada penelitian prospektif selama 32 tahun yang dilakukan pada remaja Belanda, adanya peningkatan siginifikan penyebab mortalitas yang terlihat pada kasus obesitas (Hoffmans et al, 1988) dalam (Raman, 2002). Obesitas pada anak meningkatkan risiko untuk mendapatkan obesitas di masa dewasa yang dapat menyebabkan beberapa masalah di masa dewasa (seperti hipertensi, peningkatan kolesterol LDL, dan trigliserida) (Thompson et al, 2007) dalam (Gee et al, 2008). Dampak obesitas, meliputi faktor kardiovaskular, sleep apneu, gangguan fungsi hati, masalah ortopedik yang berkaitan dengan obesitas, kelainan kulit serta gangguan psikiatrik (Sjarif, 2005).
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.2 Masalah kesehatan yang berhubungan dengan kelebihan lemak tubuh Masalah Kesehatan Akibat Risiko operasi Peningkatan kebutuhan anestesi dan risiko mengalami infeksi lebih besar Edema paru dan gangguan tidur
Kelebihan berat badan pada paru dan faring Pembesaran sel adiposa, sehingga menjadi kurang kuat mengikat insulin dan menurunkan respons terhadap pesan insulin ke sel
Diabetes tipe 2
Hipertensi
Peningkatan pembuluh darah yang ditemukan di jaringan lemak, peningkatan volume darah, dan peningkatan resistensi aliran darah
Penyakit kardiovaskular
Peningkatan kolesterol LDL dan nilai trigliserida, kolesterol HDL rendah, dan penurunan aktivitas fisik
Gangguan tulang dan sendi (termasuk Peningkatan tekanan pada lutut, mata pirai) kaki, dan sendi panggul Batu empedu
Peningkatan kolesterol yang mengandung empedu
Gangguan kulit
Gangguan kelembaban dan mikroba pada lipatan kulit
Kanker (contoh, payudara, pankreas, dan kantung empedu)
kolon,
adanya
Produksi estrogen oleh sel adiposa, penelitian pada binatang menunjukkan peningkatan asupan makanan dapat menyebabkan perkembangan tumor
Perawakan pendek (pada beberapa bentuk Onset pubertas menjadi lebih cepat obesitas) Risiko kehamilan
Lebih sulit melahirkan, peningkatan jumlah defek kelahiran, dan peningkatan kebutuhan anestesi
Penurunan kemampuan fisik dan Kelebihan berat badan dapat mengganggu peningkatan risiko kecelakaan dan pergerakan terjatuh Irregularitas haid dan infertilitas Hormon yang diproduksi oleh sel adiposa Kematian prematur Variasi risiko kesehatan Sumber : Wardlaw, 2003. Contemporary Nutrition Issues and Insights
Universitas Sumatera Utara
2.2.7 Penatalaksanaan Tatalaksana komprehensif obesitas meliputi penanganan obesitas dan dampak yang muncul. Prinsip penatalaksanaannya adalah mengurangi asupan energi dan meningkatkan pengeluaran energi. Caranya dengan pengaturan diet, memodifikasi perilaku, dan yang terpenting adalah keterlibatan keluarga dalam proses terapi (Sjarif, 2005). Berbagai pendekatan terapi obesitas telah diinvestigasi termasuk diet, aktivitas, terapi tingkah laku, bedah, dan pengobatan. Tidak ada satupun yang diketahui cukup efektif sebagai tatalaksana pada obesitas pada anak. Hal ini menyebabkan adanya suatu fokus pada tatalaksana yaitu program multidisiplin khususnya melibatkan keluarga (Flodmark et al, 2004). Menurut Krebs dan Primak (2007), tatalaksana sebaiknya didasarkan pada faktor risiko, termasuk usia, tingkat keparahan obesitas, dan komorbiditas, begitu juga dengan riwayat keluarga. Pada anak dengan obesitas yang tidak berkomplikasi
maka
tujuan
primer
dari tatalaksana
ini
adalah
untuk
mempertahankan asupan makanan yang sehat dan memperbaiki pola aktivitas jadi pada tatalaksana ini pasien tidak perlu mencapai berat badan ideal. Sedang pada anak obesitas yang berkomplikasi maka tujuan tatalaksana adalah memperbaiki komplikasi tersebut. Ada beberapa kelompok tatalaksana obesitas pada anak. 1. Untuk anak usia 2-7 tahun dengan IMT ≥ persentil 95
th
dan tanpa
komplikasi, tujuan umum tatalaksana adalah mempertahankan berat badan yang ada. Hal ini dimaksudkan untuk menyeimbangkan dengan tumbuh kembang anak. 2. Untuk anak usia 2-7 tahun dengan IMT ≥ persentil 95
th
dan dengan
komplikasi maka diindikasikan untuk melakukan penurunan berat badan pada anak. 3. Untuk anak usia > 7 tahun dengan IMT berada diantara persentil 85th dan 95th dan tanpa komplikasi maka tujuan terapi adalah mempertahankan berat badan.
Universitas Sumatera Utara
4. Untuk anak usia > 7 tahun dengan IMT berada diantara persentil 85th dan 95th dan dengan komplikasi maka direkomendasikan untuk menurunkan berat badan. Terapi tingkah laku atau yang disebut juga terapi kognitif merupakan terapi yang efektif pada tatalaksana obesitas anak (Braet et al, 1997) dalam (Flodmark et al, 2004 sebagaimana disebut juga terapi keluarga dalam (Flodmark et al, 2004). Untuk mengatur diet, yang perlu diperhatikan adalah pemberian diet yang seimbang sesuai RDA, yaitu dengan cara mengintervensi diet anak. Salah satu contoh cara pengaturan diet untuk anak yaitu the traffic light diet. Pada program ini terdapat tiga golongan makanan yaitu, green food (makanan rendah kalori dan lemak yang boleh dikonsumsi dengan bebas), yellow food (makanan rendah lemak namun dengan kalori sedang yang boleh dimakan namun terbatas), dan red food (makanan mengandung lemak dan kalori kadar tinggi yang tidak boleh dimakan sama sekali atau hanya semingggu sekali (Sjarif, 2005) Menurut Sjarif (2005), modifikasi perilaku, tatalaksana diet dan aktivitas fisik merupakan komponen yang efektif dalam pengobatan obesitas pada anak, serta menjadi perhatian paling penting bagi ahli fisiologi untuk mendapatkan bagaimana memperoleh perubahan makan dan aktivitas perilakunya. Beberapa cara perubahan perilaku tersebut di antaranya: •
Pengawasan sendiri terhadap berat badan, masukan makanan, dan aktivitas fisik, serta mencatat perkembangannya.
•
Kontrol terhadap rangsangan stimulus.
•
Mengubah perilaku makan.
•
Penghargaan dan hukuman dari orangtua.
•
Pengendalian diri. Penatalaksanaan farmakoterapi harus mengikuti aturan-aturan tertentu
antara lain hanya dilakukan pada anak obesitas bila mengalami kegagalan pada program modifikasi gaya hidup yang intensif, dan pada anak overweight bila didapati adanya faktor penyulit (Iughetti et al, 2010).
Universitas Sumatera Utara
Secara umum farmakoterapi untuk obesitas dikelompokkan menjadi tiga yaitu penekan nafsu makan dengan cara menghambat reuptake serotonin, norepinefrin, dan dopamin, misalnya sibutramin, penghambat absorbsi zat gizi, misal orlistat, dan kelompok lain termasuk leptin, octreotide, dan metformin (Iughetti et al, 2010). Menurut Sjarif (2005), terapi bedah dilakukan jika BB>200% BB ideal. Prinsipnya ada dua, yaitu: • Gastric-banding dan vertical-banded gastroplasty dengan tujuan untuk mengurangi asupan makanan dan memperlambat pengosongan lambung. • Membuat gastric bypass dari lambung ke bagian akhir usus halus.
2.2.8 Pencegahan Peningkatan epidemik obesitas anak merupakan suatu hal yang fundamental sehingga semua pihak harus memiliki ketertanggungjawabannya masing-masing dalam pencegahan obesitas ini (Flodmark et al, 2004). Menurut Lissau et al, 2002, dalam (Flodmark et al, 2004) ada enam level yang harus terlibat dalam mencegah terjadinya obesitas pada anak dan remaja, antara lain keluarga, sekolah, ahli kesehatan, pemerintah, industri, dan media. Pencegahan dilakukan dengan menggunakan dua strategi pendekatan, yaitu strategi pendekatan populasi yaitu dengan mempromosikan hidup sehat pada semua anak dan remaja beserta orangtuanya, serta strategi pendekatan pada kelompok yang berisiko tinggi pada obesitas (Sjarif, 2005).
Universitas Sumatera Utara