9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Kepuasan Kerja Kepuasan kerja terjadi apabila kebutuhan-kebutuhan individu sudah terpenuhi
dan terkait dengan derajat kesukaan dan ketidaksukaan dikaitkan dengan karyawan; merupakan sikap umum yang dimiliki oleh karyawan yang erat kaitannya dengan imbalan-imbalan yang mereka yakini akan mereka terima setelah melakukan sebuah pengorbanan (Robbins, 2001). Menurut Werther dan Davis (1996), kepuasan kerja merupakan sesuatu yang baik dan tidak baik dilihat oleh karyawan mengenai pekerjaanya. Sedangkan kepuasan kerja menurut McShane (2008) merupakan evaluasi dari seseorang terhadap pekerjaan dan konteks kerjanya. Kepuasan kerja adalah sikap positif atau negatif dari seorang individu terhadap pekerjaan mereka (Greenberg & Baron, 2003). Juga didefinisikan sebagai perasaan positif tentang satu tugas berdasarkan evaluasi dari satu karakteristik pekerjaan (Robbins & Judge, 2007). Menurut Smith (1969), kepuasan kerja didefinisikan sebagai perasaan seorang pekerja tentang pekerjaannya. Demikian pula, George dan Jones (2005) menyatakan bahwa kepuasan kerja adalah kumpulan perasaan dan kepercayaan seseorang tentang pekerjaan mereka saat ini. Menurut
9
10
Kreitner dan Kinicki (2003), kepuasan kerja pada dasarnya adalah sejauh mana seseorang menyukai pekerjaan-nya. Kepuasan kerja memerlukan interaksi dengan rekan kerja dan supervisor, melekat pada kebijakan dan prosedur organisasi, menerima kondisi kerja, dan memenuhi standar kinerja yang diperlukan untuk beberapa nama (Robbins dan Judge, 2007). Berdasarkan itu, masyarakat menilai kepuasan atau ketidakpuasan bukanlah pekerjaan mudah, dikutip dari jurnal “Job Satisfaction Antecedents and Consequences: A New Conceptual Framework and Research Agenda” (Ghazzawi, 2008). Berdasarkan uraian diatas, maka definisi kepuasan kerja ialah sikap atau evaluasi seorang karyawan sejauh mana karyawan tersebut menyukai perkerjaannya.
2.1.1 Mengukur Kepuasan Kerja Kepuasan kerja merupakan salah satu variabel paling sering dipelajari dalam penelitian perilaku organisasi. Ribuan artikel dan puluhan buku telah ditulis pada topik dari berbagai sudut pandang akademik dan profesional. Kepuasan kerja didefinisikan sejauh mana orang menyukai atau tidak menyukai pekerjaan mereka (Spector, 1997).1 Cara yang paling umum dalam mengukur kepuasan kerja adalah dengan menggunakan skala penilaian dimana karyawan melaporkan mengenai pekerjaannya. Pertanyaan yang berhubungan dengan tingkat membayar, tanggung jawab kerja, berbagai tugas, peluang promosi pekerjaan itu sendiri dan rekan kerja. Beberapa 1
Robbins, Stephen P, 2001, Organizational Behavior, 9th ed., Prentice Hall, Inc., New Jersey.
11
kuesioner bertanya “ya” atau “tidak” sedangkan yang lain meminta untuk menilai kepuasan pada skala 1-5 (1 mewakili dimana "sama sekali tidak puas" dan 5 mewakili "sangat puas"). Demikian pula yang dikatakan George dan Jones (2005), tingkat kepuasan kerja dapat berkisar antara sangat puas ke sangat tidak puas. Menurut Greenberg dan Baron (2003), pendekatan yang paling umum untuk mengukur kepuasan kerja ialah dengan menggunakan kuesioner yang didalamnya menggunakan skala rating2, seperti berikut ini : 1.
Job Descriptive Index (JDI) Sebuah kuesioner pengukuran yang didalamnya menggambarkan beberapa aspek pekerjaan, diantaranya mengenai pekerjaan itu sendiri, gaji, peluang promosi, supervision, dan hubungan kerja. Bentuk jawaban atas pertanyaan digambarkan dengan 2 penilaian “iya” atau “tidak”, yang tergolong dalam skala nominal.
2.
Minnesota Satisfaction Questionnare (MSQ) Sebuah
kusioner
pengukuran
yang
didalamnya
orang-orang
mengindikasikan kepuasan dengan memperluas aspek-aspek mengenai pekerjaanya. Bentuk jawaban atas pertanyaan digambarkan dengan skala likert, dimana nilai tertinggi merupakan tingkatan dari kepuasan kerja.
2
Greenberg, Jerald dan Baron, A. Robert, 2003, Behavior in Organizations, 8th ed., Prentice Hall, Inc., New Jersey.
12
3.
Pay Satisfaction Questionare (PSQ) Sebuah kuesioner yang di rancang untuk menilai tingkat kepuasan karyawan dengan berbagai aspek mengenai gaji, level gaji, kenaikan gaji, dan benefit yang diperoleh. Robbins (2001) menambahkan bahwa ada 2 cara pendekatan untuk mengukur
yakni single global rating dan summation score yang terdiri dari sejumlah aspek pekerjaan. Yang single global rating hanya bertanya pada setiap individu untuk meresponse sebuah pertanyaan, seperti “Semua hal dipertimbangkan, seberapa puaskah anda dengan pekerjaan anda?”. Reponden kemudian menjawab dengan melingkari bulatan antara 1 -5 (dari sangat puas sampai tidak puas). Pendekatan lainnya dengan sebuah summation of score dari berbagai aspek pekerjaannya, ini merupakan hal yang sulit diukur. Diidentifikasikan dengan elemen-elemen kunci yang ada dalam sebuah pekerjaan dan menanyakan bagaimana perasaan mereka mengenai setiap aspek pekerjaan itu. Faktor yang umum yakni sifat dari pekerjaannya, pengawasan, gaji, peluang promosi dan hubungan kerja. Berdasarkan penjelasan yang telah diperoleh, skala pengukuran yang sesuai untuk mengukur kepuasan kerja pada karyawan SLC ialah dengan menggunakan Minnesota Satisfaction Questionnaire, dimana pengukuran setiap aspeknya menggunakan skala dari nilai terendah sampai tertinggi (skala likert) dengan tingkat kepuasan dari (1) sangat tidak setuju, (2) tidak setuju, (3) kurang setujus, (4) cukup setuju, (5) setuju, dan (6) sangat setuju. Dengan cara pengukuran ini akan didapat tingkat kepuasan seseorang terhadap aspek-aspek yang akan diuji.
13
2.1.2 Teori Kepuasan Kerja Menurut Greenberg dan Baron (2003) ada 2 teori pendekatan mengenai kepuasan kerja, yakni : 1.
Two-factor Theory
Sebuah teori kepuasan kerja yang menggambarkan kepuasan dan ketidakpuasan berasal dari kelompok variabel yang berbeda yakni hygiene factors dan motivators. Hygiene factors adalah ketidakpuasan kerja yang disebabkan oleh sebuah kumpulan perbedaan dari faktor-faktor (kualitas pengawasan, lingkungan kerja, pembayaran gaji, keamanan, kualitas lembaga, hubungan kerja dan kebijakan perusahaan). Karena faktor-faktor ini bersifat mencegah reaksi negatif maka disebut sebagai hygiene (maintenance) factors. Kepuasan kerja yang didatangkan dari sekumpulan faktor-faktor yang berhubungan pekerjaannya atau hasil secara langsung dari pekerjaannya (peluang promosi, pengakuan, tanggung jawab, prestasi) disebut sebagai motivators, karena merupakan level tertinggi dari kepuasan kerja. 2.
Value Theory
Sebuah teori kepuasan kerja yang bergantung pada kesesuaian antara hasil pekerjaan
yang
diperolehnya
(penghargaan)
dengan
persepsi
mengenai
ketersediannya beberapa hasil. Semakin banyak hasil yang diperoleh maka ia akan lebih puas, jika memperoleh hasil yang sedikit maka ia akan lebih sedikit puas.
14
Teori ini berfokus pada banyak hasil yang diperoleh. Kunci kepuasannya adalah kesesuaian hasil yang diterima dengan persepsi mereka. Berdasarkan kedua teori tersebut maka dapat disimpulkan pendekatan dan pengukuran terhadap kepuasan karyawan dilihat dari sisi faktor kepuasan yang berhubungan dengan hasil pekerjaan yang dicapai (peluang promosi dan prestasi) dan faktor yang yang datang dari luar yang mempengaruhi kepuasan dan ketidakpuasan (pengawasan, kebijakan perusahaan, lingkungan kerja dan upah).
2.1.3 Akibat dari Ketidakpuasan Kerja Kepuasan kerja sangat berdampak sekali pada organisasi, menurut Greenberg dan Baron (2003) akibat atau efek dari ketidak puasan kerja difokuskan pada 2 variabel yakni employee withdrawal (absenteeism dan turnover) dan job performance (kinerja kerja). Hal senada pun diungkapkan oleh Robbins (2001) bahwa para peneliti telah melakukan penelitian dan menemukan dampak dari kepuasan bekerja yakni pada produktivitas karyawan (productivity), ketidakhadiran (absenteeism), dan pergantian karyawan (turnover). Menurutnya kepuasan karyawan cenderung dipusatkan pada kinerja karyawan atau produktivitas karyawan.2 Ketidakhadiran (absenteeism) merupakan suatu reaksi akibat ketidakpuasan karyawan dalam jangka waktu yang pendek. Penelitian menunjukan semakin sedikit orang yang puas akan pekerjaannya maka semakin besar mereka untuk tidak hadir (absent) bekerja. Robbins (2001) mengutip McShane(1984) pada artikel, “Job Satisfaction and Absenteeism: A Meta-Analytic Re-Examination”, menemukan sebuah
15
hubungan kosisten yang negatif antara kepuasan dan ketidakhadiran, tetapi hubungan bersifat moderat. Karyawan yang merasa tidak suka akan pekerjaannya lebih cenderung untuk tidak masuk bekerja. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor seperti pembayaran gaji yang tidak sesuai, pujian, pengakuan dan penghargaan sebagai imbalan yang tidak pernah ada. Robbins (2001) menyakini dengan pasti bahwa hubungan antara kepuasan dan ketidakhadiran (Absenteeism) berkorelasi secara negatif. Turnover merupakan salah satu juga bentuk reaksi ketidakpuasan yang bersifat permanen, yaitu keluar dari pekerjaanya. Menurut Robbins (2001) kepuasan selalu berhubungan terbalik dengan turnover (pergantian) dan memiliki tingkat korelasi yang lebih kuat dibandingkan dengan ketidakhadiran. Beberapa faktor yang membuat orang mengambil sebuah keputusan untuk meninggalkan pekerjaan, diantaranya kondisi pasar tenaga kerja, harapan mengenai peluang alternatif pekerjaan, dan lama masa jabatan dengan organisasi. Greenberg dan Baron (2003) menambahkan faktor lainnya meliputi hubungan individu, pekerjaannya dan keadaan ekonomi. Bukti-bukti menunjukan bahwa hubungan kepuasan dan turnover adalah kinerja di tingkatan karyawan. Secara khusus, tingkatan dari kepuasan kurang penting dalam memperediksikan turnover untuk keunggulan kinerja, karena pada umumnya organisasi membuat upaya yang cukup untuk mempertahankan mereka. Mereka mendapatkan bayaran, pujian, pengakuan, peluang promosi, dan sebagainya. Beberapa upaya dilakukan oleh organisasi untuk mempertahankan mereka. Mungkin akan ada tekanan halus yang mendorong mereka untuk keluar (Robbins, 2001).
16
Banyak orang mempecayai bahwa pekerja yang senang adalah pekerja yang produktif. Robbins (2001) mengatakan bahwa pekerja yang senang belum tentu ia pekerja yang produktif. Greenberg dan Baron (2003) mengatakan bahwa banyak penelitian menemukan hubungan antara kepuasan kerja dan performance sangat rendah, dikarenakan oleh sedikit sekali ruang untuk melakukan perubahan kinerja karena dibatasi oleh pekerjaan yang diterima, dan sebenarnya tidak ada hubungan secara langsung antara kepuasan kerja dan kinerja. Sebenarnya berhubungan dengan dengan faktor ketiga yaitu penghargaan yang diterima.
2.2
Kinerja Kerja Dalam jurnal penelitian ”Diversity Management, Job Satisfaction, and
Performance: Evidence from U.S. Federal Agencies” (Pitts, 2009) pengertian kinerja yaitu suatu hasil kerja yang dihasilkan oleh seorang karyawan dalam mencapai tujuan yang diharapkan. Menurut Anwar Prabu Mangkunegara (2000) dalam bukunya ”Manajemen Sumber Daya Manusia Perusahaan”, kinerja adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang karyawan dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang dimilikinya. Definisi kinerja karyawan menurut Bernandin dan Russell (1998) yang dikutip oleh Faustino Cardoso Gomes dalam bukunya yang berjudul ”Human Resource Management” adalah catatan yang dihasilkan dari fungsi suatu pekerjaan tertentu atau kegiatan selama periode waktu tertentu.
17
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa kinerja kerja adalah hasil kerja yang dicapai olah karyawan dalam menjalankan setiap tugas-tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang telah diberikan.
2.2.1 Mengukur Kinerja Kerja Kinerja kerja merupakan salah satu variabel juga yang paling sering dipelajari dalam penelitian perilaku organisasi. Pengukuran dari hasil kinerja pekerjaan sangat membantu sekali bagi perusahaan karena sebagai salah satu bentuk evaluasi dan umpan balik perusahaan. Menurut Bernandin dan Russell (1998), pengukuran kinerja karyawan dapat dilihat melalui jumlah kerja yang dilakukan dalam suatu periode yang ditentukan (quantity of work), kualitas kerja yang dicapai berdasarkan syaratsyarat kesesuaian dan kesiapannya (quality of work), luasnya pengetahuan mengenai pekerjaan dan keterampilanya (job knowledge), keaslian gagasan–gagasan yang dimunculkan dan tindakan-tindakan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang timbul (creativeness), kesediaan untuk bekerjasama dengan orang lain atau sesama anggota organisasi (cooperation), kesadaran untuk dapat dipercaya dalam hal kehadiran dan penyelesaian kerja (dependability), semangat untuk melaksanakan tugas-tugas baru dan dalam memperbesar tanggungjawabnya (initiative), menyangkut kepribadian, kepemimpinan, keramah tamahan dan integritas pribadi (personal qualities). Menurut Black and Porter (1991), kinerja diukur dengan menanyakan pada responden untuk meminta mereka mengevaluasi kinerja mereka yang terakhir dalam menjalankan tugasnya dengan melihat pada 5 dimensi yakni : keseluruhan kinerja,
18
ketepatan waktu dalam menyelesaikan pekerjaan, kemampuan untuk bertahan dalam waktu yang lama,
kualitas kinerja dibandingkan dengan jumlah pekerjaan, dan
pencapaian tujuan kerja. Menurut Cuong dan Swierczek (2008), kinerja kerja diukur dengan 4 item diantaranya : hasil yang telah dicapai dengan kualitas tinggi, kecepatan kinerja, jumlah pekerjaan yang dilakukan dengan keandalan. Berdasarkan penjelasan yang telah diperoleh, skala pengukuran yang sesuai untuk mengukur kinerja kerja karyawan SLC ialah dengan melihat keseluruhan kinerja kerja pada tugas yang sedang dilakukan, melihat kesesuaian jumlah pekerjaan yang diterima, kualitas kinerja dibandingkan dengan jumlah pekerjaan, pengetahuan dan pemahaman akan pekerjaannya, penyelesaian tugas yang tepat waktu, dan pencapaian tujuan kerja.
2.3
Faktor Pengaruh Kepuasan Kerja dan Kinerja Banyak beberapa literatur dan penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti
sebelumnya untuk mencari apa saja yang menjadi pengaruh pada kepuasan kerja dan kinerja. Untuk studi penelitian ini variabel pengukuran yang sesuai dengan SLC meliputi lingkungan kerja, kepemimpinan, kompensasi, dan pelatihan karyawan. Berikut ini akan dijelaskan mengenai beberapa variabel penentu kepuasan kerja dan kinerja dari berbagai sumber literatur yang telah diperoleh dan dipelajari oleh penulis.
19
2.3.1 Lingkungan Kerja Menurut Robbins (2001), sebuah lingkungan dalam organisasi terdiri dari lembaga-lembaga atau kekuatan dari luar organisasi dan berpotensi mempengaruhi kinerja organisasi. Sedangkan pengertian lingkungan kerja menurut Alex S. Nitisemito (2000) adalah segala sesuatu yang ada disekitar para pekerja yang dapat mempengaruhi dirinya dalam menjalankan tugas-tugasnya. Menurut Sedarmayati (2001), lingkungan kerja adalah keseluruhan alat perkakas dan bahan yang dihadapi, lingkungan sekitarnya di mana seseorang bekerja, metode kerjanya, serta pengaturan kerjanya baik sebagai perseorangan maupun sebagai kelompok. Sedarmayanti (2001) menyatakan bahwa secara garis besar, jenis lingkungan kerja terbagi menjadi 2 yakni : 1. Lingkungan Kerja Fisik Lingkungan kerja fisik adalah semua keadaan berbentuk fisik yang terdapat di sekitar tempat kerja yang dapat mempengaruhi karyawan baik secara langsung maupun tidak langsung (Sedarmayanti, 2001). Lingkungan kerja fisik dapat dibagi dalam dua kategori, yakni : 1. Lingkungan yang langsung berhubungan dengan karyawan (seperti fasilitas, sarana kerja berupa kursi, meja dan sebagainya) 2. Lingkungan perantara atau lingkungan umum dapat juga disebut lingkungan kerja yang mempengaruhi kondisi manusia, misalnya : temperatur, kelembaban, sirkulasi udara, pencahayaan, kebisingan, getaran mekanis, bau tidak sedap, warna, dan lain-lain.
20
2. Lingkungan Kerja Non Fisik Lingkungan kerja non fisik adalah semua keadaan yang terjadi yang berkaitan dengan hubungan kerja, baik hubungan dengan atasan maupun hubungan sesama rekan kerja, ataupun hubungan dengan bawahan (Sedarmayanti, 2001). Dalam suatu organisasi atau perusahaan, karyawan akan terlibat dalam hubungan kerja antara karyawan dengan karyawan, karyawan dengan atasan, dan kedua-duanya sama-sama memberikan pengaruh terhadap kinerja karyawan. Dapat disimpulkan bahwa variabel lingkungan kerja merupakan segala sesuatu yang berbentuk fisik maupun non fisik dari lingkungan tempat kita bekerja, dimana lingkungan kerja fisik meliputi lingkungan kerja yang langsung berhubungan dengan karyawan seperti fasilitas dan sarana kerja, dan kategori kedua, lingkungan kerja umum yang mempengaruhi kondisi manusia seperti suhu, kelembaban, pencahayaan, kebisingan dan sirkulasi udara. Untuk lingkungan kerja non fisik meliputi hubungan kerja karyawan dengan rekan kerja, atasan maupun bawahan.
2.3.2 Kepemimpinan Berdasarkan jurnal “The Relationship between Leadership Styles and Foreign English Teachers Job Satisfaction in Adult English Cram Schools: Evidences in Taiwan” (Fang, 2009) gaya kepemimpinan mempengaruhi kinerja karyawan dan memiliki hubungan signifikan terhadap kepuasan kerja. Gaya kepemimpinan dapat mempengaruhi kinerja pekerjaan dan kepuasan kerja (Robbins, 2001). Kepemimpinan menurut Robbins (2001) adalah kemampuan untuk mempengaruhi suatu kelompok ke
21
arah pencapaian tujuan. Gaya kepemimpinan yang digunakan di sini adalah transformasional, transaksi, dan laissez-faire. Ketiga gaya kepemimpian tersebut dikenal sebagai teori kepemimpinan baru dan digunakan oleh sebagian besar akademisi yang mempelajari pemimpin organisasi (Bogler, 2001, 2002; Heller, 1993; McKee, 1991; Timothy dan Ronald, 2004). Gaya kepemimpinan transformasional melibatkan proses menarik komitmen dari karyawan dalam konteks nilai-nilai bersama dan berbagi visi. Kepemimpinan transformasional sangat relevan dalam konteks pengelolaan perubahan dengan melibatkan hubungan yang saling percaya antara para pemimpin dan pengikutnya. Di sisi transaksi, pemimpin menetapkan tujuan yang jelas, memahami kebutuhan karyawan, selektif, dan memotivasi untuk mendapatkan penghargaan. Gaya kepemimpinan laissez-faire, dimana pemimpin yakin dengan kemampuan karyawan-karyawannya, dengan memberikan sedikit kendali atas karyawan-karyawannya dan membiarkan mereka menjalankan tugas tanpa pengawasan langsung. Pada akhir penelitian Fang (2009) menyimpulkan bahwa gaya kepemimpinan transformasional memiliki hubungan yang signifikan terhadap kepuasan kerja. Dapat disimpulkan bahwa variabel kepemimpinan adalah kemampuan untuk mempengaruhi orang, baik individu maupun masyarakat. Selain itu juga disimpulkan pemimpin yang baik ialah pemimpin yang memiliki kepercayaan dari pengikutpengikutnya, memahami kebutuhan karyawan, memiliki sikap yang selektif dalam menentukan keputusan, dan mampu memotivasi karyawannya untuk maju.
22
2.3.3 Kompensasi Berdasarkan hasil penelitian jurnal “Intrinsic job rewards at country-level and individual-level codetermine job satisfaction” (Huang dan Evert, 2002) penghargaan juga menentukan kepuasan kerja. Penghargaan nyata yang diterima mereka datang dalam bentuk gaji, insentif, dan tunjangan. Gaji dan tunjangan harus kompetitif, artinya harus “dekat” dengan apa yang diberikan oleh perusahaan yang lain dan apa yang diyakini oleh karyawan sesuai dengan kapabilitas, pengalaman, dan kinerjanya (Mathis dan Jackson, 2006). Berdasarkan jurnal “A Study of The Relationships Between Compensation Package, Work Motivation and Job Satisfaction” (Igalens dan Roussel, 1999) kompensasi memiliki hubungan dengan kepuasan kerja karyawan. Kompensasi (Werther dan Davis, 1996) adalah sesuatu yang diberikan kepada karyawan sebagai balas jasa atas kontribusi atau kerja karyawan terhadap organisasi atau perusahaan. Apabila program kompensasi diatur dengan baik, maka akan membantu perusahaan dalam mencapai tujuan dan mendapatkan, menjaga serta menghasilkan tenaga kerja yang produktif. Tanpa kompensasi yang memadai, maka para pekerja akan meninggalkan perusahaan dan perusahaan akan mendapat kesulitan untuk mencari penggantinya (Dessler, 2003). Kompensasi karyawan merujuk pada semua bentuk upah atau imbalan yang berlaku bagi dan muncul dari pekerjaan mereka, dan mempunyai dua komponen. Ada pembayaran langsung dalam bentuk upah, gaji, insentif, komisi, dan bonus. Ada pembayaran tidak langsung dalam bentuk tunjangan keuangan seperti asuransi dan uang liburan. Senada juga dengan yang dikatakan
23
Werther dan Davis (1996) kompensasi langsung terdiri dari manajemen kompensasi (didasarkan atas gaji dan upah) dan pembayaran untuk pelaksanaan (insentif dan bagi hasil). Berdasarkan literatur yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa variabel kompensasi merupakan bentuk balas jasa dari perusahaan ke karyawannya dalam bentuk pembayaran langsung (gaji, tunjangan, bonus dan komisi) dan pembayaran tidak langsung (asuransi, dan cuti kerja) yang diterima oleh karyawan. Sedangkan penghargaan adalah sesuatu yang diperoleh karyawan sebagai salah satu bentuk balas jasa dalam pencapaian kinerja kerja.
2.3.4 Pelatihan Karyawan Menurut Stephen Choo dan Christine Bowley (2007) dalam hasil penelitian jurnal “Using Training and Development to Affect Job Satisfaction within Franchising” dikatakan bahwa pelatihan dan pengembangan diri karyawan memiliki dampak pada kepuasan kerja. Menurut Rosemary Harrison (2005) pelatihan (training) dan pengembangan karir (career development) dalam bidang sumber daya manusia adalah bidang kegiatan organisasi yang bertujuan untuk meningkatkan kinerja individu atau kelompok dalam organisasi. Pelatihan meliputi semua hal dimulai dari mengajarkan materi dasar hingga materi tingkat lanjut dalam kepemimpinan eksekutif (Robbins,
2001).
Metode
pelatihan
(training
methods)
menurut
Robbins
diklasifikasikan sebagai formal maupun informal dan on-the-job atau off-the-job training. Formal training sudah memiliki suatu bentuk strukturnya. Sedangkan informal training, tidak terstruktur, tidak direncanakan, dan mudah mengadaptasi
24
pada situasi tertentu dan individu-individu yang akan belajar. On-the-job training meliputi
perputaran
pekerjaan,
magang,
tugas
pembelajaran
dan
program
pembelajaran formal. Organisasi menganggap on-the-job training sering mengganggu tempat kerja maka organisasi berinvestasi pada off-the-job training, seperti kelas perkuliahan dengan menggunakan persentasi video, seminar umum, program belajar sendiri, kursus melalui internet (online learning), dan kelompok-kelompok aktivitas yang menggunakan studi kasus sebagai pembelajarannya. Ketika pekerjaan berkembang dan berubah, diperlukan adanya pelatihan ulang yang dilakukan terus-menerus untuk menyesuaikan perubahan teknologi, mendorong semua karyawan untuk berkembang termasuk para supervisor, dan manajer, dan mempersiapkan organisasi agar dapat menghadapi tantangan masa depan. Perencanaan karir menyebutkan arah dan aktivitas untuk karyawan individu ketika mereka berkembang di dalam organisasi tersebut. Menilai bagaimana karyawan melaksanakan pekerjaannya merupakan fokus dari manajemen kinerja (Mathis dan Jackson, 2006). Berdasarkan jurnal literatur yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa pelatihan dan pengembangan karir merupakan kegiatan pengembangan kemampuan guna meningkatkan kinerja karyawan dalam berorganisasi berupa formal training yakni bentuk pelatihan yang sudah terjadwalkan materi dan waktu pelatihannya oleh organisasi. Informal training yakni pelatihan yang didapat selama kerja dengan tidak terstruktur dari segi waktu pelatihan dan materinya, on-the-job training yakni pelatihan kerja seperti magang dan terakhir off-the-job training yakni pelatihan berupa
25
kelas perkuliahan, kursus, online learning dan seminar. Karyawan mendapatkan hak dan kesempatan yang sama dan merata untuk mengembangkan kemampuannya melalui program pelatihan (training) yang diberikan organisasi, baik yang diselenggarakan di dalam maupun di luar lingkungan kerja.
2.4
Teori Umum Tentang Organisasi
2.4.1 Organisasi Menurut McShane (2008), organisasi adalah kumpulan dari orang-orang yang memiliki ketergantungan tujuan yang sama. Organisasi tidak berupa bangunan atau pemerintahan. Selain itu, organisasi terdiri dari orang-orang yang berinteraksi satu sama lain untuk memperoleh suatu tujuan yang umum.” Sebuah bisnis hanyalah sebuah nama yang telah terdaftar pada sebuah kertas” begitu yang dikatakan Graheme Maher, yang memimpin Vodafone di Republik Ceko. Menurut Robbins (2001), organisasi adalah sebuah unit sosial yang dikoordinasikan secara sadar, terdiri dari dua orang atau lebih, yang berfungsi pada sebuah dasar yang relatif berkelanjutan untuk mencapai tujuan atau serangkaian tujuan. Berdasarkan berbagai sumber literatur yang diperoleh maka dapat disimpulkan bahwa organisasi dapat diartikan sebagai sebuah unit sosial yang terdiri dari dua orang atau lebih yang memiliki kepentingan dan tujuan yang sama dan dilakukan secara bersama-sama.
26
2.4.2 Organizational Behavior Menurut McShane (2008), Organizational Behavior (OB) adalah ilmu dari apa yang orang pikirkan, rasakan, dan kerjakan dalam dan sekitar organisasi. Menurut Robbins (2001), Organizational Behavior adalah sebuah bidang pembelajaran yang menginvestigasi dampak dari individu, grup, dan struktur pada perilaku dalam organisasi, dengan tujuan untuk menerapkan pengetahuan seperti meningkatkan efektivitas dari sebuah organisasi Berdasarkan sumber Wikipedia Web, Perilaku Organisasi (Organizational Behavior) adalah suatu disiplin ilmu yang mempelajari bagaimana seharusnya perilaku tingkat individu, tingkat kelompok, serta dampaknya terhadap kinerja (baik kinerja individual, kelompok, maupun organisasi). Perilaku organisasi juga dikenal sebagai ilmu tentang organisasi. Pembelajaran ini adalah sebuah bidang telaah akademik khusus yang mempelajari organisasi, dengan memanfaatkan metodemetode dari segi ekonomi, sosiologi, ilmu
politik, antropologi dan psikologi.
Disiplin-disiplin lain yang terkait dengan studi ini adalah studi tentang sumber daya manusia dan psikologi industri serta perilaku organisasi.
2.4.3 Karyawan Berdasarkan sumber Wikipedia Web, seorang karyawan adalah seorang individu yang menyediakan tenaga kerja untuk bekerja pada sebuah perusahaan atau orang lain. Secara khusus, seorang karyawan adalah orang yang disewa oleh perusahaan tertentu untuk melakukan suatu
pekerjaan.
Seorang
mengkontribusikan tenaga dan keahliannya untuk sebuah pekerjaan.
karyawan
27
Kebanyakan individu untuk mencapai status karyawan di sebuah perusahaan harus melalui proses seleksi seperti tahap wawancara. Jika individu ditentukan memuaskan atau cocok maka perusahaan akan menawarkan pekerjaan di perusahaan yang ditetapkan dan memulai menggaji dan memposisikan. Individu ini kemudian memiliki semua hak dan hak-hak karyawan, yang mungkin termasuk medis dan hak cuti. Hubungan antara perusahaan dan karyawan biasanya ditangani melalui departemen SDM yang menangani permasalahan yang ada dan berhubungan dengan karyawan.
2.5
Model Analisis Regresi
Menurut Kuncoro (2006) regresi adalah suatu proses memperkirakan secara
sistematis tentang apa yang paling mungkin terjadi di masa yang akan datang berdasarkan informasi masa lalu dan sekarang yang dimiliki agar kesalahannya dapat diperkecil. Regresi dapat juga diartikan sebagai usaha memprediksikan perubahan. Peramalan tidak memberikan jawaban pasti tentang apa yang akan terjadi di masa yang akan datang. Jadi, regresi mengemukakan tentang keingintahuan apa yang terjadi di masa depan untuk memberikan sumbangan menentukan keputusan terbaik. Kegunaan regresi dalam penelitian salah satunya adalah untuk meramalkan (memprediksikan) variabel terikat (Y) apabila variabel bebas (X) diketahui. Regresi sederhana dapat dianalisa karena didasari oleh hubungan fungsional atau hubungan sebab akibat (kausal) variabel bebas (X) terhadap variabel terikat. Dalam penelitian ini,contohnya : untuk variabel bebas diantaranya lingkungan kerja (X1); kepemimpinan (X2); kompensasi (X3); dan pelatihan karyawan (X4), untuk variabel
28
terikat dalam penelitian ini ada 2 diantaranya kepuasan kerja (Y1) dan kinerja kerja (Y2). Tapi terkadang orang juga mengatakan untuk simbol Y2 sebagai Z. Persamaan regresi dirumuskan : Ŷ = a + bX Keterangan : Ŷ = (dibaca Y topi) subjek variabel terikat yang diproyeksikan X = Variabel bebas yang mempunyai nilai tertentu untuk diprediksikan a = Nilai konstanta harga Y jika X = 0 b = Nilai arah sebagai penentu ramalan (prediksi) yang menunjukan nilai pengingkatan (+) atau penurunan (-) variabel Y Asumsi-asumsi model regresi terpusat pada (1) data yang dianalisis jenis data interval dan ratio; (2) data yang dipilih secara (random); (3) data yang dihubungkan berdistribusi normal; (4) data yang dihubungkan berpola linier; (5) dan data yang dihubungkan mempunyai pasangan yang sama sesuai dengan subjek yang sama.
2.5.1 Transformasi Data Ordinal Menjadi Interval Mentransformasi data ordinal menjadi data interval bertujuan untuk memenuhi sebagian dari syarat analisis parametrik yang mana harus berskala interval. Teknik transformasi yang paling sederhana (Kuncoro, 2006) dengan menggunakan MSI (Method of Successive Interval). Langkah-langkah transformasi data ordinal ke data interval sebagai berikut :
29
a.
Pertama perhatikan setiap butir jawaban responden dari angket yang disebarkan;
b.
Pada setiap butir ditentukan beberapa orang yang mendapat skor 1, 2, 3, 4, 5 dan 6 yang disebut sebagai frekuensi;
c.
Setiap frekuensi dibagi dengan banyaknya responden dan hasilnya disebut proporsi;
d.
Tentukan nilai proporsi kumulatif dangan jalan menjumlahkan nilai proporsi secara berurutan perkolom skor;
e.
Gunakan Tabel Distribusi Normal, hitung Z untuk setiap proporsi kumulatif yang diperoleh;
f.
Tentukan nilai tinggi densitas untuk setiap Z yang diperoleh (dengan menggunakan tabel Densitas);
g.
Tentukan nilai skala dengan menggunakan rumus : (Density at Lower Limit) - (Density at Upper Limit)
NS = (Area Below Upper Limit) – (Area Below Lower Limit) h.
Tentukan nilai transformasi dengan rumus : Y = NS +[1+|NSmin|]