BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Perpajakan 2.1.1 Definisi Pajak Pajak menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan didefinisikan sebagai berikut: “Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi, atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Menurut P.J.A. Adriani dalam Waluyo (2013:2): “Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi-kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara yang menyelenggarakan pemerintahan”.
Sedangkan, menurut Sommerfeld, Ray M., Anderson Herschel M., dan Brock Horace R. dalam Sari (2013:35): “Pajak adalah suatu pengalihan sumber dari sektor swasta ke sektor pemerintah, bukan akibat pelanggaran hukum, namun wajib dilaksanakan, berdasarkan ketentuan yang ditetapkan lebih dahulu, tanpa mendapat imbalan yang langsung dan proporsional, agar pemerintah dapat melaksanakan tugas-tugasnya untuk menjalankan pemerintahan.”
15
2.1.2 Wajib Pajak Wajib Pajak menurut UU RI Nomor 28 Tahun 2007/KUP dan dalam Suandy (2011:105) didefinisikan sebagai berikut: “Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan”.
2.1.3 Fungsi Pajak Fungsi Pajak ada dua dalam Waluyo (2008:6) sebagai berikut : “ 1. Fungsi Penerimaan (Budgeter) Pajak berfungsi sebagai sumber dana yang diperuntukkan bagi pembiayaan pengeluaran-pengeluaran pemerintah. Sebagai contoh: dimasukkannya pajak dalam APBN sebagai penerimaan dalam negeri. 2. Fungsi Mengatur (Reguler) Pajak befungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan di bidang sosial dan ekonomi. Sebagai contoh: dikenakannya pajak yang lebih tinggi terhadap minuman keras, dapat ditekan. Demikian pula terhadap barang mewah.”
2.1.4 Jenis Pajak Jenis pajak dalam Mardiasmo (2011:5) yang berlaku di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi beberapa jenis yaitu : “ 1. Menurut golongannya a. Pajak langsung, yaitu pajak yang harus dipikul sendiri oleh Wajib Pajak dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contoh : Pajak Penghasilan (PPh) b. Pajak tidak langsung, yaitu pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contoh : Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 2. Menurut sifatnya a. Pajak Subjektif, yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subjeknya, dalam arti memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak. Contoh : Pajak Penghasilan (PPh)
16
b. Pajak Objektif, yaitu pajak yang berpangkal pada objeknya, tanpa memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak. Contoh : Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) 3. Menurut lembaga pemungutannya a. Pajak Pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara. Contoh : Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM), dan Bea Materai (BM) b. Pajak Daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah. Pajak Daerah terdiri atas: Pajak Provinsi, contoh: Pajak Kendaraan Bermotor dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor Pajak Kabupaten/Kota, contoh: Pajak Hotel, Pajak Restoran, dan Pajak Hiburan.”
2.1.5 Sistem Pemungutan Pajak Sistem pemungutan pajak seperti yang diungkapkan oleh Waluyo (2013:17) dapat dibagi menjadi berikut ini: “ 1. Sistem Official Assessment Sistem ini merupakan sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang. Ciri-ciri official assessment system adalah sebagai berikut: a. Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang berada pada fiskus. b. Wajib Pajak bersifat pasif. c. Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh fiskus. 2. Sistem Self Assessment Sistem ini merupakan pemungutan pajak yang memberi wewenang, kepercayaan, tanggung jawab kepada Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus dibayar. 3. Sistem Withholding Sistem ini merupakan sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga untuk memotong atau memungut besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak.”
17
2.2 Sosialisasi Perpajakan 2.2.1 Definisi Sosialisasi Definisi sosialisasi menurut Edward Shils (1968) dalam Waluya (2007:66): “Sosialisasi merupakan proses sosial yang dijalankan seseorang atau proses sepanjang umur yang diperlu dilalui seseorang indivdu untuk menjadi seseorang anggota kelompok dan masyarakatnya melalui pembelajaran kebudayaan dari kelompok dan masyarakat tersebut.” Sosialisasi seperti yang didefinisikan dalam Oxford Dictionary of Sociology oleh Scott (2009) adalah: “the process by which we learn to become members of society, both by internalizing the norms and values of society, and also by learning to perform our social roles” (1621) Definisi sosialiasi menurut Hurrelmann (2009:42) yaitu: “The core idea is that socialization refers to an individual's personality development. It is the result of the productive processing of interior and exterior realities. Bodily and mental qualities and traits constitute a person's inner reality; the circumstances of the social and physical environment embody the external reality. Reality processing is productive because human beings actively grapple with their lives and attempt to cope with the attendant developmental tasks. The success of such a process depends on the personal and social resources available. Incorporated within all developmental tasks is the necessity to reconcile personal individuation and social integration and so secure the "Identity".” Menurut Charlotte Buhler dalam Darmawaty dan Djamil (2011:68), “Sosialisasi adalah proses yang membantu individu-individu belajar dan menyesuaikan diri, bagaimana cara hidup dan berpikir kelompoknya agar ia dapat berperan dan berfungsi dalam kelompoknya.” Sedangkan menurut David Gaslin dalam Darmawaty dan Djamil (2011:69),
18
“Sosialisasi adalah proses belajar yang dialami seseorang untuk memperoleh pengetahuan tentang nilai dan norma-norma agar ia dapat berpartisipasi sebagai anggota kelompok masyarakat.” Tax evasion merupakan bentuk upaya Wajib Pajak yang menyebabkan berkurangnya tingkat kepatuhan dalam memenuhi kewajiban perpajakan. Adapun satu dari beberapa cara dalam mencegah Wajib Pajak melakukan tax evasion menurut Nurmantu (2005:153) yaitu dengan: “Sistem informasi. Walaupun masa berlaku undang-undang perpajakan telah secara jelas dicantumkan dalam undang-undang itu sendiri dan bahwa ada adagium – dalam paradigma lama – yang menyatakan setiap orang sudah dianggap mengetahui undang-undang, namun sosialisasi undang-undang dan peraturan pelaksanaanya masih tetap diperlukan. Dialog dan saling tukar pandangan antara Wajib Pajak dan fiskus harus tetap diadakan. Dialog rutin menjadi lebih penting karena undang-undang pajak dari waktu ke waktu semakin kompleks sehubungan makin kompleksnya hubungan ekonomi dan sosial yang mendunia. Dialog disini berarti pemberian pengertian yang lebih mendalam kepada Wajib Pajak tentang hak dan kewajiban mereka, dan untuk memungkinkan pihak fiskus lebih mengetahui masalh-masalah dan kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh Wajib Pajak.” Seperti yang tercantum dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak nomor SE-05/PJ./2013 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kegiatan Penyuluhan Perpajakan, dalam melaksanakan penyuluhan, terdapat Manajemen Pelaksanaan Kegiatan Penyuluhan Perpajakan adalah tahapan setiap pelaksanaan kegiatan penyuluhan perpajakan yang meliputi (1) perencanaan kegiatan, (2) pengorganisasian kegiatan, (3) pelaksanaan kegiatan; dan (4) pemantauan (monitoring), evaluasi dan pelaporan pelaksanaan kegiatan. Pemilik proses manajemen yaitu KP2KP (Kantor Pelayanan, Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan) atau Tim Penyuluhan Pajak.
19
Adapun definisi penyuluhan perpajakan dalam Atika dan Kharlina E (2013) sebagai berikut: “Penyuluhan perpajakan merupakan suatu upaya dan proses memberikan informasi perpajakan untuk menghasilkan perubahan pengetahuan, keterampilan, dan sikap masyarakat, dunia usaha, aparat, serta lembaga pemerintahan maupun non pemerintahan agar terdorong untuk paham, sadar, peduli dan berkontribusi dalam melaksanakan kewajiban perpajakan.” Dari definisi pajak dan sosialisasi, serta pedoman penyuluhan pajak tersebut, dapat disimpulkan bahwa sosialisasi perpajakan adalah kegiatan sosialisasi atau penyuluhan pajak, terdiri dari 4 (empat) Manajemen Pelaksanaan Kegiatan Penyuluhan Perpajakan, yang dilaksanakan oleh Tim Penyuluhan Perpajakan kepada Wajib Pajak baik itu calon Wajib Pajak, Wajib Pajak baru, maupun Wajib Pajak terdaftar. Serangkaian kegiatan penyuluhan pajak merupakan bagian dari upaya sosialisasi perpajakan. Sosialisasi perpajakan memiliki peranan penting dalam memberikan informasi mengenai perpajakan dengan tujuan Wajib Pajak bisa mengetahui dan memahami apa saja hak dan kewajiban yang harus mereka penuhi, bisa menggugah dan meningkatkan kesadaran masyarakat agar patuh terhadap pajak, menambah pengetahuan Wajib Pajak, dan mengenalkan bahwa pajak sangat penting bagi kesejahteraan dan pembangunan negara. Tim Penyuluhan Perpajakan atau Tim Sosialisasi Perpajakan harus dibentuk khususnya di lingkungan Direktorat Penyuluhan Perpajakan. Seperti yang tercantum dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak nomor KEP-114/PJ./2005
20
tentang Pembentukan Tim Sosialisasi Perpajakan, Tim Sosialisasi Perpajakan mempunyai tugas sebagai berikut : 1.
Menyiapkan metode dan materi sosialisasi Perpajakan kepada pelajar, mahasiswa, dan masyarakat Wajib Pajak;
2. Melakukan sosialisasi Perpajakan kepada pelajar, mahasiswa, dan masyarakat Wajib Pajak; 3. Meningkatkan pemahaman pelajar, mahasiswa, dan masyarakat Wajib Pajak tentang Perpajakan; 4. Tugas-tugas lain yang ditetapkan Direktur Jenderal Pajak.
Berdasarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak nomor SE-22/PJ./2007 tentang Penyeragaman Sosialisasi Perpajakan bagi Masyarakat, cara penyampaian informasi perpajakan sebaiknya dilakukan dengan cara kontak langsung kepada masyarakat
misalnya
penyampaian
melalui
informasi
seminar,
tersebut
diskusi
sebaiknya
dan
sejenisnya.
menggunakan
bahasa
Dalam yang
sesederhana mungkin dan bukan bersifat teknis, sehingga informasi tersebut dapat diterima dengan baik. Materi sosialisasi yang disampaikan lebih ditekankan pada manfaat pajak, manfaat NPWP dan pelayanan perpajakan di masing-masing unit. Dalam pelaksanaan kegiatan penyuluhan, yang penting diperhatikan adalah: 1. Metode yang digunakan adalah metode diskusi 2. Media yang dipergunakan adalah proyektor 3. Materi yang disampaikan adalah pengisian SPT dan pengetahuan perpajakan
21
4. Penyuluh/pembicara harus sudah menguasai materi
Harapan perbaikan dalam kegiatan penyuluhan pajak adalah agar dalam penyajian materi harus mudah dimengerti oleh peserta dan dalam pelaksanaannya diikuti oleh seluruh lapisan masyarakat.
2.2.2 Standar Pelaksanaan Sosialisasi Perpajakan Standar, pedoman, atau aturan pelaksanaan sosialisasi perpajakan tercantum dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak nomor SE-05/PJ./2013 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kegiatan Penyuluhan Perpajakan. Berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-03/PJ./2013 tanggal 20 Februari 2013 tentang Pedoman Penyuluhan Perpajakan, kegiatan Penyuluhan Perpajakan dikelompokkan dalam tiga fokus yaitu Kegiatan Penyuluhan Perpajakan Bagi Calon Wajib Pajak, Kegiatan Penyuluhan Perpajakan Bagi Wajib Pajak Baru, dan Kegiatan Penyuluhan Perpajakan Bagi Wajib Pajak Terdaftar. Kegiatan Penyuluhan Perpajakan Bagi Calon Wajib Pajak adalah kegiatan Penyuluhan Perpajakan bagi Orang Pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia dan/atau Badan yang bertempat kedudukan di Indonesia yang memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan perpajakan dan belum memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Kegiatan Penyuluhan Perpajakan Bagi Calon Wajib Pajak dikategorikan menjadi Kegiatan Penyuluhan Perpajakan Bagi Calon Wajib Pajak Masa Depan dan Calon Wajib Pajak Potensial.
22
1. Kegiatan Penyuluhan Perpajakan Bagi Calon Wajib Pajak Masa Depan adalah kegiatan Penyuluhan Perpajakan bagi setiap Warga Negara Indonesia yang sedang menempuh pendidikan meliputi pendidikan dasar, menengah, dan tinggi yang belum terdaftar sebagai Wajib Pajak. 2. Kegiatan Penyuluhan Perpajakan Bagi Calon Wajib Pajak Potensial adalah kegiatan Penyuluhan Perpajakan bagi Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif yang belum memiliki NPWP. Kegiatan Penyuluhan Perpajakan Bagi Wajib Pajak Baru adalah kegiatan Penyuluhan Perpajakan bagi Wajib Pajak Orang Pribadi dan Badan sejak terdaftar sampai dengan menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) dan/ atau melakukan pembayaran/ penyetoran Pajak Penghasilan (PPh) atau Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pertama kali dengan Surat Setoran Pajak. Kegiatan Penyuluhan Perpajakan Bagi Wajib Pajak Terdaftar adalah kegiatan Penyuluhan Perpajakan bagi Wajib Pajak yang telah terdaftar selain Kegiatan Penyuluhan Perpajakan Bagi Calon Wajib Pajak dan Kegiatan Penyuluhan Perpajakan Bagi Wajib Pajak Baru. 2.2.2.1 Strategi Kegiatan Penyuluhan Perpajakan Dalam rangka mendorong minat dan jumlah peserta penyuluhan, unit kerja dapat melakukan antara lain:
23
1. mengaitkan tema kegiatan Penyuluhan Perpajakan dengan peristiwa penegakan hukum di bidang perpajakan, sebagai contoh: a. peristiwa penangkapan penerbit faktur pajak fiktif dapat dijadikan pertimbangan untuk melakukan kegiatan Penyuluhan Perpajakan dengan tema mekanisme pembuatan faktur pajak yang benar; b. informasi tentang permasalahan perpajakan hasil temuan aparat pengawasan eksternal (Badan Pemeriksa Keuangan, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan atau Inspektorat Jenderal) dapat dijadikan pertimbangan untuk menawarkan dan memberikan penyuluhan kepada Bendahara Pemerintah. 2. memberikan informasi tentang pemberian penghargaan (reward) jika Wajib Pajak patuh dalam memenuhi kewajiban perpajakannya seperti pemberian Dana Insentif Daerah (DID) dari pemerintah pusat bagi satuan kerja yang memperoleh opini Wajar Tanpa Pengecualian atas laporan keuangannya; 3. memanfaatkan kerjasama dengan pihak lain, misalnya pemberian Penyuluhan Perpajakan dalam rangka menindaklanjuti kesepakatan dalam Nota Kesepahaman antara Direktorat Jenderal Pajak dengan pihak lain.
2.2.2.2 Kegiatan Penyuluhan Perpajakan Berdasarkan Unit Kerja Secara Umum unit kerja di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak dapat dikategorikan sebagai berikut:
24
1. Kantor Pelayanan Pajak Pertama, termasuk Kantor Pelayanan, Penyuluhan, dan Konsultasi Perpajakan/ KP2KP (KPP Pratama) dan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (Kanwil DJP) yang membawahi KPP Pratama; 2. KPP selain KPP Pratama (KPP di lingkungan Kanwil DJP Wajib Pajak Besar, KPP di lingkungan Kanwil DJP Jakarta Khusus, dan KPP Madya) dan Kanwil DJP yang membawahi KPP selain KPP Pratama. Kegiatan Penyuluhan Perpajakan dikategorikan berdasarkan unit kerja dalam rangka memberikan kejelasan tugas dan tanggung jawab dan untuk memberikan kesesuaian dengan karakteristik Wajib Pajak.
2.2.2.3 Tugas dan Tanggung Jawab KPP Pratama dan Kanwil DJP yang Membawahi KPP Pratama 1. Kawil memiliki tugas dan tanggung jawab melakukan kegiatan Penyuluhan Perpajakan dengan fokus Calon Wajib Pajak; 2. KPP memiliki tugas dan tanggung jawab melakukan kegiatan Penyuluhan Perpajakan dengan fokus Wajib Pajak Baru dan Wajib Pajak Terdaftar; 3. Dalam kondisi atau pertimbangan tertentu: a. KPP dapat melaksanakan kegiatan Penyuluhan Perpajakan kepada Calon Wajib Pajak; b. Kanwil
dapat
melaksanakan
kegiatan
Penyuluhan
Perpajakan kepada Wajib Pajak Baru dan Wajib Pajak Terdaftar.
25
2.2.2.4 Tugas dan Tanggung Jawab KPP Selain KPP Pratama dan Kanwil DJP yang Membawahi KPP Selain KPP Pratama 1.
KPP dan Kanwil mempunyai tugas dan tanggung jawab melakukan penyuluhan dengan fokus pada Wajib Pajak Terdaftar;
2.
Penyuluhan kepada Wajib Pajak di KPP lebih menekankan pada peningkatan
pemenuhan
kewajiban
perpajakan.
Contoh:
peningkatan kepatuhan dalam penyampaian SPT dan peningkatan pembayaran/penyetoran dan pelaporan pajak; 3.
Dalam kondisi atau pertimbangan tertentu, KPP dan Kanwil dapat melakukan kegiatan Penyuluhan Perpajakan kepada Wajib Pajak baru.
2.3 Pengetahuan Wajib Pajak 2.3.1 Definisi Pengetahuan Pajak Definisi pengetahuan menurut Meliono dkk. (2007): “Pengetahuan adalah informasi atau maklumat yang diketahui atau disadari oleh seseorang. Pengetahuan termasuk, tetapi tidak dibatasi pada deskripsi, hipotesis, konsep, teori, prinsip dan prosedur yang secara Probabilitas Bayesian adalah benar atau berguna.”
Pengetahuan pajak menurut Carolina (2009:7) didefinisikan sebagai berikut: “Pengetahuan pajak adalah informasi yang dapat digunakan Wajib Pajak sebagai dasar untuk bertindak, mengambil keputusan, dan untuk menempuh arah atau strategi tertentu sehubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajibannya di bidang perpajakannya.” Menurut Fidel (2004) dalam Rohmawati dkk. (2013):
26
“Pengetahuan dipengaruhi oleh banyak hal, antara lain faktor pendidikan formal. Pengetahuan seseorang tentang suatu objek mengandung dua aspek yaitu aspek positif dan negatif. Kedua aspek ini akan menentukan sikap seseorang, semakin banyak aspek positif makin positif terhadap objek tertentu.”
Berdasarkan pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa pengetahuan pajak yang dimiliki Wajib Pajak yaitu pemahaman, persepsi, dan pola pikir individu Wajib Pajak terhadap pajak sehingga memotivasi serta mempengaruhi tindakan dan sikapnya dalam memenuhi hak dan mematuhi kewajiban perpajakannya.
2.4 Kepatuhan Wajib Pajak 2.4.1 Definisi Kepatuhan Wajib Pajak Terdapat definisi mengenai kepatuhan Wajib Pajak yang dikemukan oleh Nurmantu (2005:148) sebagai berikut: “Kepatuhan Wajib Pajak dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana Wajib Pajak memenuhi semua kewajiban perpajakan dan melaksanakan hak perpajakannya”.
Kepatuhan Wajib Pajak seperti yang dikemukakan dalam Rahayu (2010:139) adalah: “Kepatuhan memenuhi kewajiban perpajakan secara sukarela (voluntary of compliance) merupakan tulang punggung sistem self assessment, dimana Wajib Pajak bertanggung jawab menetapkan sendiri kewajiban perpajakan dan kemudian secara akurat dan tepat waktu membayar dan melaporkan pajaknya tersebut”.
2.4.2 Jenis-jenis Kepatuhan Wajib Pajak Adapun jenis-jenis kepatuhan Wajib Pajak menurut Rahayu (2010:138) sebagai berikut:
27
“Kepatuhan formal adalah suatu keadaan dimana Wajib Pajak memenuhi kewajiban secara formal sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang perpajakan. Misalnya menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) PPh sebelum tanggal 31 Maret ke Kantor Pelayanan Pajak, dengan mengabaikan apakah isi Surat Pemberitahuan (SPT) PPh tersebut sudah benar atau belum. Yang penting Surat Pemberitahuan (SPT) PPh sudah disampaikan sebelum tanggal 31 Maret. Kepatuhan material adalah suatu keadaan dimana Wajib Pajak secara substantif/hakikatnya memenuhi semua ketentuan material perpajakan yaitu sesuai isi dan jiwa undang-undang pajak kepatuhan material juga dapat meliputi kepatuhan formal. Di sini Wajib Pajak yang bersangkutan, selain memperhatikan kebenaran yang sesungguhnya dari isi dan hakekat Surat Pemberitahuan (SPT) PPh tersebut.”
2.4.3 Kriteria Kepatuhan Wajib Pajak Menurut Suandy (2011:97) ukuran kepatuhan Wajib Pajak dapat dilihat atas dasar: “1. Patuh terhadap kewajiban interim, yakni dalam pembayaran atau laporan masa, SPT masa, SPT PPN setiap bulan; 2. Patuh terhadap kewajiban tahunan, yakni dalam menghitung pajak atas dasar sistem self assessment melaporkan perhitungan pajak dalam SPT pajak akhir tahun pajak serta tidak memiliki tunggakan pajak atau melunasi pajak terutang; 3. Patuh terhadap ketentuan material dan yuridis formal perpajakan melalui pembukuan sebagaimana mestinya.”
2.5 Hak dan Kewajiban Wajib Pajak Berdasarkan Buku Panduan Hak dan Kewajiban Wajib Pajak (2011), dalam rangka untuk lebih memberikan keadilan di bidang perpajakan yaitu antara keseimbangan hak negara dan hak warga negara pembayar pajak, maka UndangUndang Perpajakan yaitu Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan mengakomodir mengenai hak dan kewajiban Wajib Pajak.
28
2.5.1 Kewajiban Wajib Pajak 2.5.1.1 Kewajiban Mendaftarkan Diri Sesuai dengan sistem self assessment maka Wajib Pajak mempunyai kewajiban untuk mendaftarkan diri ke KPP atau KP2KP yang wilayahnya meliputi tempat tinggal atau kedudukan Wajib Pajak untuk diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Disamping melalui KPP atau KP2KP, pendaftaran NPWP juga dapat dilakukan melalui e-register, yaitu suatu cara pendaftaran NPWP melalui media elektronik on-line (internet). Bagi UMKM baik perseorangan maupun badan (PT, CV, BUMD, firma, kongsi, koperasi, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik) yang memenuhi syarat sebagai Wajib Pajak, wajib mendaftarkan sendiri ke KPP atau K2KP untuk memperoleh NPWP. UMKM milik perseorangan yang wajib memiliki NPWP adalah yang telah memenuhi persyarat subjektif dan syarat objektif. Syarat subjektifnya adalah orang pribadi, sedangkan syarat objektifnya adalah memiliki penghasilan yang akan dikenakan pajak melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).
2.5.1.2 Kewajiban Pembayaran, Pemotongan/Pemungutan, dan Pelaporan Pajak Wajib Pajak UMKM (orang pribadi atau badan) dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya harus sesuai dengan sistem self assessment, yaitu
29
wajib melakukan sendiri penghitungan, pembayaran, dan pelaporan pajak terutang.
2.5.1.3 Kewajiban dalam Hal Diperiksa Untuk menguji kepatuhan Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya, Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak. Pelaksanaan pemeriksaan dilakukan dalam rangka menjalankan fungsi pengawasan terhadap Wajib Pajak yang bertujuan untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak. Kewajiban Wajib Pajak yang diperiksa adalah :
1. memenuhi panggilan untuk datang menghadiri Pemeriksaan sesuai dengan waktu yang ditentukan khususnya untuk jenis Pemeriksaan Kantor; 2. memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasarnya, dan dokumen lain termasuk data yang dikelolah secara elektronik, yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak. Khusus untuk Pemeriksaan Lapangan, Wajib Pajak wajib memberikan kesempatan untuk mengakses dan/atau mengunduh data yang dikelolah secara elektronik; 3. memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruang yang dipandang perlu dan memberi bantuan lainnya guna kelancaran pemeriksaan;
30
4. menyampaikan tanggapan secara tertulis atas Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan; 5. meminjamkan kertas kerja pemeriksaan yang dibuat oleh Akuntan Publik khususnya untuk jenis Pemeriksaan Kantor; 6. memberikan keterangan lain baik lisan maupun tulisan yang diperlukan.
2.5.2 Hak Wajib Pajak 2.5.2.1 Hak Atas Kelebihan Pembayaran Pajak Dalam hal pajak yang terutang untuk suatu tahun pajak ternyata lebih kecil dari jumlah kredit pajak, atau dengan kata lain pembayaran pajak yang dibayar atau dipotong atau dipungut lebih besar dari yang seharusnya terutang, maka Wajib Pajak mempunyai hak untuk mendapatkan kembali kelebihan tersebut. Pengembalian kelebihan pembayaran pajak dapat diberikan dalam waktu 12 (dua belas) bulan sejak surat permohonan diterima secara lengkap.
Untuk Wajib Pajak masuk kriteria Wajib Pajak Patuh, pengembalian kelebihan pembayaran pajak dapat dilakukan paling lambat 3 bulan untuk PPh dan 1 bulan untuk PPN sejak permohonan diterima. Perlu diketahui pengembalian ini dilakukan tanpa pemeriksaan. Wajib Pajak dapat melakukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak melalui dua cara : (1) melalui Surat Pemberitahuan (SPT), dan (2) dengan mengirimkan surat permohonan yang ditujukan kepada Kepala KPP.
31
Apabila Direktorat Jenderal Pajak terlambat mengembalikan kelebihan pembayaran yang semestinya dilakukan, maka Wajib Pajak berhak menerima bunga 2% per bulan maksimum 24 bulan.
2.5.2.2 Hak dalam Hal Wajib Pajak Dilakukan Pemeriksaan Dalam hal dilakukan pemeriksaan, Wajib Pajak berhak, (1) meminta Surat Perintah Pemeriksaan, (2) melihat Tanda Pengenal Pemeriksa, (3) mendapat penjelasan mengenai maksud dan tujuan pemeriksaan, (4) meminta rincian perbedaan antara hasil pemeriksaan dan SPT, dan (5) untuk hadir dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan dalam batas waktu yang ditentukan.
2.5.2.3 Hak untuk Mengajukan Keberatan, Banding, dan Peninjauan Kembali Berdasarkan hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak, maka akan diterbitkan suatu surat ketetapan pajak, yang dapat mengakibatkan pajak terutang menjadi kurang bayar, lebih bayar, atau nihil. Jika Wajib Pajak tidak sependapat maka dapat mengajukan keberatan atas surat ketetapan tersebut. Selanjutya apabila belum puas dengan keputusan keberatan tersebut maka Wajib Pajak dapat mengajukan banding. Langkah terakhir yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak dalam sengketa pajak adalah peninjauan kembali ke Mahkamah Agung.
Penetapan pajak dapat dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak. Jenisjenis ketetapan yag dikeluarkan adalah : Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan
32
Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), dan Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN). Disamping itu dapat diterbitkan pula Surat Tagihan Pajak (STP) dalam hal dikenakannya sanksi administrasi dapat berupa denda, bunga, dan kenaikan.
2.5.2.4 Hak-Hak Wajib Pajak Lainnya Adapun hak-hak Wajib Pajak lainnya sebagai berikut: a. Hak Kerahasiaan bagi Wajib Pajak b. Hak untuk Pengangsuran atau Penundaan Pembayaran c. Hak untuk Penundaan Pelaporan SPT Tahunan d. Hak untuk Pengurangan PPh Pasal 25 e. Hak untuk Pengurangan PBB (Pajak Bumi dan Bangunan) f. Hak untuk Pembebasan Pajak g. Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak h. Hak untuk Mendapatkan Pajak Ditanggung Pemerintah i. Hak untuk Mendapatkan Insentif Perpajakan
2.6 Kerangka Pemikiran Penerimaan dari sektor pajak adalah sumber penerimaan terbesar negara. Sebagai salah satu sumber penerimaan negara maka penerimaan pajak terus dipacu agar target penerimaan pajak dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dapat tercapai. Dengan adanya target penerimaan pajak yang terus meningkat, sudah tentu fiskus sangat berkepentingan untuk mengamankan pendapatan negara dari sektor
33
pajak melalui pengujian kepatuhan Wajib Pajak. Dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak khususnya Kantor Pelayanan Pajak (KPP) memiliki peranan penting untuk menguji kewajiban perpajakan serta kepatuhan Wajib Pajak dan memenuhi hak Wajib Pajak dalam menerima informasi. Upaya preventif untuk menguji kepatuhan Wajib Pajak dalam memenuhi hak dan kewajiban perpajakannya maka Kantor Pelayanan Pajak (KPP) melakukan kegiatan sosialisasi terhadap Wajib Pajak berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Program-program sosisalisasi yang diadakan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan dilaksanakan oleh Kantor Pelayanan Pajak (KPP), ditujukan pada Wajib Pajak maupun instansi perpajakan yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat Wajib Pajak tentang hal-hal terkait perpajakan, menyukseskan pemungutan pajak dengan self assessment system, mengamankan potensi penerimaan pajak dengan cara mencegah adanya kasus kecurangan atau kelalaian pembayaran pajak yang berpotensi merugikan negara, meminimalisasi penyimpangan-penyimpangan
yang
dimaksud
ataupun
kesalahan
dalam
penentuan besaran pajak, serta dengan adanya sosialisasi ini diharapkan para pemangku kepentingan dapat memahami berbagai ketentuan perpajakan. Berdasarkan dari pembahasan yang telah dikemukakan sebelumnya maka dapat digambarkan dengan kerangka pemikiran sebagai berikut:
34
Penerimaan Pajak
Kepatuhan Wajib Pajak
Untuk meningkatkan kepatuhan, dibutuhkan Informasi Perpajakan yang harus diketahui Wajib Pajak mengenai: - hak dan kewajiban Wajib Pajak - kebijakan/ peraturan perpajakan baru - aplikasi perpajakan baru - peranan serta manfaat pajak - prosedur perpajakan
Pelaksanaan Sosialisasi Perpajakan (X)
Tingkat Pengetahuan Wajib Pajak (Y)
Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak (Z)
Pengaruh Pelaksanaan Sosialisasi Perpajakan terhadap Tingkat Pengetahuan \ Wajib Pajak dan Implikasinya terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran
2.7 Hipotesis Penelitian Berdasarkan berbagai kajian asumsi dan penjabaran kerangka pemikiran, dapat dibuat hipotesis sebagai berikut: Hipotesis 1:
35
H01: Pelaksanaan sosialisasi tidak berpengaruh positif terhadap tingkat pengetahuan Wajib Pajak H11: Pelaksanaan sosialisasi berpengaruh positif terhadap tingkat pengetahuan Wajib Pajak Hipotesis 2: H02: Pelaksanaan sosialisasi tidak berpengaruh positif terhadap tingkat kepatuhan Wajib Pajak H12: Pelaksanaan sosialisasi berpengaruh positif terhadap tingkat kepatuhan Wajib Pajak Hipotesis 3: H03: Tingkat pengetahuan Wajib Pajak tidak berpengaruh positif terhadap tingkat kepatuhan Wajib Pajak H13: Tingkat pengetahuan Wajib Pajak berpengaruh positif terhadap tingkat kepatuhan Wajib Pajak Hipotesis 4: H04: Pelaksanaan sosialisasi dan tingkat pengetahuan Wajib Pajak tidak berpengaruh positif terhadap tingkat kepatuhan Wajib Pajak H14: Pelaksanaan sosialisasi
dan tingkat
pengetahuan Wajib Pajak
berpengaruh positif terhadap tingkat kepatuhan Wajib Pajak