7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Media Online Dengan semakin menjamurnya penggunaan internet dan didukung dengan
kemajuan di bidang teknologi informasi dan telekomunikasi, terjadilah pemekaran (konvergensi) dari media-media yang sudah ada sebelumnya yang dikenal dengan new media atau media baru. Teori konvergensi menyatakan bahwa berbagai perkembangan bentuk media massa terus merentang dari sejak awal siklus penemuannya. Setiap model media terbaru tersebut cenderung merupakan perpanjangan, atau evolusi dari model-model
terdahulu.
Dalam
konteks
ini,
internet
bukanlah
suatu
pengecualian1. Per definisi, media online (online media) –disebut juga cybermedia (media siber), internet media (media internet), dan new media (media baru)—dapat diartikan sebagai media yang tersaji secara online di situs web (website) internet2. Secara teknis atau ―fisik‖, media online adalah media berbasis telekomunikasi dan multimedia (komputer dan internet). Termasuk kategori media online adalah
1
Septiawan Santana K, Jurnalisme Kontemporer, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 2005. Hal: 135 2
Asep Syamsul M. Romli, Jurnalistik Online: Panduan Praktis Mengelola Media Online (Dilengkapi Kiat Blogger, Teknik SEO dan Tips Media Sosial), Bandung: Penerbit Nuansa Cendikia, 2012, hal: 30
8
portal, website (situs web, termasuk blog dan media sosial seperti facebook dan twitter), radio online, TV online, dan email3. Internet adalah medium terbaru yang mengkonvergesikan seluruh karakteristik dari bentuk-bentuk terdahulu. Karena itu, apa yang berubah bukanlah substansinya, melainkan mode-mode produksi dan perangkatnya (Hilf, 2000)4 Inilah keajaiban teknologi informasi terkini. Komuterisasi, menurut Bittner (1986:314-315), membuat pemberitaan dapat dikirim, disebar, dan diterima dalam kepingan data-data. Kecepatan ruang-waktu elektronika dipakai untuk mengantarkan pesan bergambar dan bersuara (multimedia). Teknologi digitalisasi membuat informasi dapat diakses siapa pun dan dimana pun secara privat5. Publik dewasa ini tak hanya mengenal surat kabar, majalah, kantor berita, radio, atau televisi sebagai media massa, tetapi juga situs-situs berita di dalam ruang cyber6. Media massa bertambah anggota dengan kelahiran situs-situs berita di ruang cyber dalam kategori com yang disebut dengan Portal Berita. Portal berita terdiri dari 2 kata, yaitu portal dan berita. Portal memiliki pengertian sebagai situs atau halaman web, sedangkan berita dapat didefinisikan sebagai informasi terbaru mengenai sesuatu yang sedang terjadi. Jadi, secara umum portal
3
Ibid., hal: 31
4
Septiawan Santana K, Op.cit., hal: 135
5
Ibid., hal: 3
6
Ibid., hal: 133
9
berita dapat diartikan sebagai situs atau halaman web yang berisi mengenai berbagai jenis berita7.
2.2
Jurnalistik Online
2.2.1
Pengertian Jurnalistik Online Kehadiran media online memunculkan generasi baru jurnalistik yakni
jurnalistik online. Jurnalistik online (online journalism) --disebut juga cyber jounalism, jurnalistik internet, dan jurnalistik web (web journalism)—merupakan ―generasi baru‖ jurnalistik setelah jurnalistik konvensional (jurnalistik media cetak, seperti surat kabar) dan jurnalistik penyiaran (broadcast journalism –radio dan televisi)8. Dalam jurnalistik online ini, proses penyampaian informasi dilakukan dengan menggunakan media internet. Perkembangan internet yang pesat saat ini telah melahirkan beragam bentuk media online seperti contonya website dan portal yang digunakan sebagai media untuk menyebarkan berita dan informasi. Sejarah media massa memperlihatkan bahwa sebuah teknologi baru tidak pernah menghilangkan teknologi yang lama, namun mensubstansinya. Jurnalisme online tidak akan menghapuskan jurnalisme tradisional, namun meningkatkan intensitasnya dengan menggabungkan fungsi-fungsi dari teknologi internet dengan media tradisional9.
7
http://www.anneahira.com/portal-berita.htm
8
Septiawan Santana K, Jurnalisme Kontemporer, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 2005. hal: 11
9
Ibid., Hal: 135
10
Di dalam media online, teknologi menjadi faktor penentu. Beda wartawan online dengan wartawan lainnya adalah pada tantangan berita cyber yang begitu cepat, hampir tiap menit perubahannya, dan ruang pemberitaan yang sebatas layar monitor. Pemberitaannya bisa ditanggapi langsung khalayak, dan dapat terhubungkan dengan berbagai berita, arsip, dan sumber lain, melalui format hyperlinks. Pavlik (2001) menyebut jurnalisme ini sebagai contextualized journalism, dikarenakan kemampuannya dalam menggabungkan kemampuan multimedia digital, interaksi online, dan tata rupa fiturnya10. Rafaeli dan Newhagen mengidentifikasi 5 perbedaan utama antara jurnaisme online dan media massa tradisional, yaitu11: a.
Kemampuan internet untuk mengkombinasikan sejumlah media
b.
Kurangnya tirani penulis atas pembaca
c.
Tidak seorangpun dapat mengendalikan perhatian khalayak
d.
Internet dapat membuat proses komunikasi berlangsung sinambung
e.
Interaktivitas web
2.2.2
Karakteristik Jurnalistik Online Perbedaan utama jurnalistik online dengan ―jurnalistik tradisional‖ (cetak,
radio, TV) adalah kecepatan, kemudahan akses, bisa di-update dan dihapus kapan saja, dan interaksi dengan pembaca atau pengguna (user)12.
10
Ibid., hal: 97
11
Ibid., hal: 137
11
Mike Ward dalam Journalism Online (Focal Press, 2002) menyebutkan beberapa karakteristik jurnalistik online sekaligus yang membedakannya dengan media konvensional (keunggulan), yaitu13 : a.
Immediacy: kesegeraan atau kecepatan penyampaian informasi.
b.
Multiple Pagination: bisa berupa ratusan page (halaman), terkait satu sama lain, juga bisa dibuka tersendiri (new tab/new window).
c.
Multimedia: menyajikan gabungan teks, gambar, audio, video, dan grafis sekaligus.
d.
Flexibility Delivery Platform: wartawan bisa menulis berita kapan saja dan dimana saja.
e.
Archieving: terarsipkan, dapat dikelompokkan berdasarkan kategori (rubrik) atau kata kunci (keyword, tags), juga tersimpan lama yang dapat diakses kapan pun.
f.
Relationship with reader: kontak atau interaksi dengan pembaca dapat ―langsung‖ saat itu juga melalui kolom komentar dan lain-lain. Selain itu beberapa karakter serta keunggulan lain dari berita online
yaitu14: a.
Dapat menggunakan Links untuk memberikan kesempatan kepada pembaca agar dapat membaca lebih dalam mengenai subjek berita
12
Asep Syamsul M. Romli, Jurnalistik Online: Panduan Praktis Mengelola Media Online (Dilengkapi Kiat Blogger, Teknik SEO dan Tips Media Sosial), Bandung: Penerbit Nuansa Cendikia, 2012, hal: 14 13
14
Ibid., hal: 15
Richard Craig, Online Journalism : Reporting, Writing and Editing for New Media, USA: Thomson Wadsworth, 2005, hal: 90
12
b.
Berita dapat di perbarui secara instant dan teratur
c.
Tidak adanya keterbatasan ruang pemberitaan memberikan kedalaman terhadap laporan berita
d.
Dapat memasukkan audio, video dan konten spesifik lainnya terhadap berita
e.
Berita dalam disimpan di dalam arsip online Dimensi online memiliki kekuasaan lain, pengelola ditantang untuk
menciptakan sarana yang lebih jauh dan lebih inovatif untuk mengirimkan berita. Biggs merujuk ucapan perancang data ulung Edward Tufte, bahwa ―Dunia online bersifat kompleks, dinamis, dan multidimendi, sementara surat kabar bersifat statis dan datar.‖ Media internet membuka perluasan informasi berdasarkan ―jaringan‖ yang multidimensi15.
2.3
Analisis Framing
2.3.1
Pengertian Analisis Framing Menurut (Sudibyo, 2001, 186) di dalam buku Rachmat Kriyantono,
framing merupakan penyajian realitas dimana kebenaran tentang suatu kejadian tidak diingkari secara total, melainkan dibelokkan secara halus, dengan memberikan penonjolan terhadap aspek tertentu, dengan menggunakan istilah
15
Septiawan Santana K, Jurnalisme Kontemporer, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 2005. Hal: 140
13
yang punya konotasi tertentu dan dengan bantuan foto, karikatur, dan alat ilustrasi lainnya16. Gamson dan Modigliani (nugroho, eriyanto, surdiasis, 1999:21-22) menyebutkan cara pandang itu sebagai kemasan (package) yang mengandung konstruksi makna atas peristiwa yang akan diberitakan. Menurut mereka, frame adalah cara bercerita atau gugusan ide–ide yang terorganisir sedemikian rupa dan menghadirkan konstruksi makna peristiwa–peristiwa yang berkaitan dengan objek suatu wacana. Framing Menurut Erving Goffman (Siahaan et al., 2001:76-77), secara sosiologis konsep frame analisis memelihara kelangsungan kebiasaan kita mengklasifikasi, mengorganisasi, dan menginterpretasi secara aktif pengalaman – pengalaman hidup kita untuk dapat memahaminnya17. Dalam perspektif komunikasi, analisis framing dipakai untuk membedah cara-cara atau ideologi media saat mengkonstruksi fakta. Analisis ini mencermati strategi seleksi, penonjolan, dan pertautan fakta ke dalam berita agar lebih bermakna, lebih menarik, lebih berarti atau lebih diingat, untuk menggiring interpretasi khalayak sesuai perspektifnya. Dengan kata lain, framing adalah pendekatan untuk mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang yang digunakan oleh wartawan ketika menyeleksi isu dan menulis berita18. Pembingkaian (framing) yang dilakukan oleh wartawan atau media massa adalah upaya melakukan konstruksi realitas politik dengan cara memberikan 16
Alex Sobur, Analisis Teks Media, Bandung ; PT Remaja Rosdakarya, 2001, hal : 165
17
Alex sobur. Ibid, 163 Alex Sobur, Ibid, hal: 162
18
14
penonjolan terhadap substansi-substansi persoalan dan esensi dari berbagai peristiwa dan isu politik yang diberitakan. Penonjolan tersebut tentu disertai motif dan tujuan serta kepentingan tertentu dari wartawan atau pemimpin redaksi media massa sesuai dengan politik redaksi serta visi dan misi yang sudah ditetapkan sebagai kerangka acuan baku. Motif tujuan dan kepentingan yang tersirat dalam frame sebuah institusi media massa dapat bersifat politik atau bersifat ekonomi (Arifin, 2010, 139)19. Framing, seperti dikatakan Todd Gitlin, adalah sebuah strategi bagaimana realitas/dunia dibentuk dan disederhanakan sedemikian rupa untuk ditampilkan kepada khalayak pembaca. Peristiwa-peristiwa ditampilkan dalam pemberitaan agar tampak menonjol dan menarik perhatian khalayak pembaca. Frame adalah prisip dari seleksi, penekanan, dan presentasi dari realitas20. Bagian – bagian kejadian penting merupakan salah satu aspek yang sangat ingin diketahui khalayak. Menurut Entman (Qodari, 2000:220), framing dilakukan dengan empat cara, yakni 21: 1.
Identifikasi masalah, yaitu peristiwa dilihat sebagai apa dan dengan nilai positif atau negatif apa.
2.
Identifikasi penyebab masalah, yaitu peristiwa dilihat disebabkan oleh apa. Apa sebagai penyebab dari suatu masalah. Siapa aktor yang di anggap sebagai penyebab masalah.
19
Apriadi Tamburaka, Agenda Setting Media Massa, Jakarta: Rajawali Pers, 2012, hal: 95
20
Eriyanto, Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media, Yogyakarta: LkiS, 2002, hal:79
21
Rachmat Kriyantono, Teknik Praktik Riset Komunikasi, Jakarta: Media Group, 2006, hal 205
15
3.
Membuat keputusan moral, yaitu nilai moral apa yang disajikan untuk menjelaskan masalah? Nilai moral apa yang dipakai untuk melegitimasi atau mendelegtimasi suatu tindakan.
4.
Menekankan penyelesaian, yaitu penyelesaian apa yang ditawarkan media untuk mengatasi masalah itu.
2.3.2
Model Framing Terdapat dua rumusan atau model tentang perangkat framing yang kini
kerap digunakan sebagai metode framing untuk melihat upaya media mengemas berita (Qodari, 1999/2000:67; Sudibyo 1999:39; Nugroho, Eriyanto, Surdiasis, 1999:28-47)., yaitu 22: a.
Model Pan dan Kosicki Pan dan Gerald M. Kosicki melalui tulisan mereka ―Framing Analysis: An Approach to News Discourse‖ mengoperasionalisasikan empat dimensi struktural teks berita sebagai perangkat framing: sintaksis, skrip, tematik dan retoris. Model ini berasumsi bahwa setiap berita mempunyai frame yang berfungsi sebagai pusat organisasi ide. Frame merupakan suatu ide yang dihubungkan dengan elemen yang berbeda dalam teks berita (kutipan sumber, latar informasi, pemakaian kata atau kalimat tertentu ke dalam teks secara keseluruhan. Dalam pendekatan ini, perangkat framing dibagi
22
Op.cit,, hal 175
16
menjadi empat struktur besar. Pertama, struktur sintasksis; kedua, struktur skrip; ketiga, struktur tematik; keempat, struktur retoris. b.
Model Gamson dan Modigliani Model ini didasarkan pada pendekatan konstruksionis yang melihat representasi media, berita dan artikel terdiri atas package interpretative yang mengandung konstruksi makna tertentu. Di dalam package ini terdapat dua struktur, yaitu core frame dan condensing symbols. Struktur pertama merupakan pusat organisasi elemen-elemen ide yang membantu komunikator untuk menunjukkan substansi isu yang tengah dibicarakan. Sedangkan struktur yang kedua mengandung dua substruktur, yaitu framing devices dan reasoning devices.
2.4
Konstruksi Realitas Media Pembuatan berita di media pada dasarnya adalah penyusunan realitas-
realitas hingga membentuk suatu cerita atau wacana yang bermakna23. Sebuah Berita tidak mungkin merupakan cermin dan refleksi dari realitas. Karena berita yang terbentuk merupakan konstruksi atas realitas. Menurut kaum konstruksionis, berita adalah hasil dari konstruksi sosial yang selalu melibatkan pandangan, ideologi, dan nilai-nilai dari wartawan atau media. Bagaimana
23
realitas itu
Ibnu Hamad, Konstruksi Politik dalam Media Massa: Sebuah Studi Critical Discourse Analysis terhadap Berita-berita Politik; Pengantar: Prof. Dr. Harsono Suwardi, MA –edisi 1, Jakarta: Granit, 2004, Hal: 11
17
dijadikan berita sangat tergantung pada bagaimana fakta itu dipahami dan dimaknai24. Severin dan Tankard, Jr, (2010: 400-401), menyebut bahwa seorang ahli sosiologi Gaye Tuchman dalam bukunya Making News (1978) menyatakan bahwa ―Berita merupakan konstruksi realitas sosial‖. Buku tersebut didasarkan pada serangkaian observasi partisipatoris di ruang berita media dan wawancara pegawai pemberitaan selama sepuluh tahun. Tindakan membuat berita, kata Tuchman adalah tindakan mengkonstruksi realitas itu sendiri, bukan penggambaran berita25. Yang perlu dipahami mengenai suatu berita adalah; pertama, berita tidak sekedar informasi. Kita harus memahami bahwa dalam proses pembentukan berita itu terdapat berbagai aspek yang mempengaruhi konteks dari berita tersebut. Kedua, makna merupakan hasil dari interaksi. Ini berarti bahwa suatu berita belum berarti apapun ketika disiarkan atau dicetak, berita sudah bermakna ketika berita tersebut dibaca oleh khalayak. Karenanya, ada konteks sosial dalam suatu berita agar berita itu dapat dibaca dan dipahami oleh khalayaknya26. Hall (1982) dalam Wibowo (2010: 122) berpendapat bahwa berkenaan dengan eksistensi media massa, dewasa ini tidak lagi mereproduksi realitas atau tidak lagi menjadi wadah penyaluran informasi, tetapi justru menentukan realitas
24
Eriyanto, Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media, Yogyakarta: LkiS, 2002, hal:29 25
Apriadi Tamburaka, Agenda Setting Media Massa, Jakarta: Rajawali Pers, 2012, hal: 89
26
John Hartley, Understanding News, London: Routledge, 1982, hal: 36
18
atau melakukan pembingkaian melalui pemakaian kata-kata tertentu yang dipilih27. Realitas itu tidak dibentuk secara ilmiah, tidak juga sesuatu yang diturunkan oleh Tuhan. Tetapi sebaliknya, ia dibentuk dan dikonstruksi. Setiap orang bisa mempunyai konstruksi yang berbeda-beda atas suatu realitas28. Istilah konstruksi sosial atau realitas (social Construction of relity), menjadi terkenal sejak diperkenalkan oleh Peter. L Berger dari Thomas Luckmann melalui bukunya yang berjudul, The Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociology of Knowledge (1966). Ia menggambarkan proses sosial melalui tindakan dan interaksinya, yang mana individu menciptakan secara terus-menerus suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subjektif29. Berger dan Luckmann memulai penjelasan realitas sosial dengan memisahkan pemahaman ―kenyataan‖ dan ―pengetahuan‖. Mereka mengartikan realitas sebagai kualitas yang terdapat di dalam realitas-realitas, yang diakui memiliki keberadaan (being) yang tidak bergantung kepada kehendak kita sendiri. Sementara, pengetahuan didefinisikan sebagai kepastian bahwa realitas-realitas itu nyata (real) dan memiliki karakteristik secara spesifik30.
27
Op.cit., hal: 85
28
Eriyanto, Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media, Yogyakarta: LkiS, 2002, hal: 18
29
30
Apriadi Tamburaka, Agenda Setting Media Massa, Jakarta: Rajawali Pers, 2012, hal: 75
Alex Sobur, Analisis Teks Media, Bandung ; PT Remaja Rosdakarya, 2001, hal: 91
19
Prinsip dasar konstruksi realitas media massa dari National Association for Media Literacy Education (2007) adalah sebagai berikut31: 1.
Semua pesan media ―dibangun‖.
2.
Setiap media memiliki karakteristik, kekuatan, dan keunikan ―membangun bahasa‖ yang berbeda.
3.
Pesan media diproduksi untuk satu tujuan.
4.
Semua pesan media berisi penanaman nilai dan tujuan yang ingin dicapai.
5.
Manusia menggunakan kemampuan, keyakinan, dan pengalaman mereka untuk membangun sendiri arti pesan media.
6.
Media dan pesan media dapat mempengaruhi keyakinan, sikap, nilai, perilaku dan proses demokrasi. Walter Lippman menyebutkan fungsi media sebagai pembentuk makna
dimana interpretasi media massa akan berbagai peristiwa secara radikal dapat mengubah interpretasi orang tentang suatu realitas dan pola tindakan mereka32. Pekerjaan media pada hakikatnya adalah mengkonstruksikan realitas. Isi media adalah hasil para pekerja media mengkonstruksikan berbagai realitas yang dipilihnya, diantaranya realitas politik. Disebabkan sifat dan faktanya bahwa pekerjaan media massa adalah menceritakan peristiwa-peristiwa, maka seluruh isi media adalah realitas yang telah dikonstruksikan (constructed reality). Pembuatan
31
32
Op.cit., hal: 84
Brent D. Ruben, Communication and Human Behaviour, New Jersey: Prentice Hall. 1992. Hal: 14
20
berita di media pada dasarnya tak lebih dari penyusunan realitas-realitas hingga membentuk sebuah ―cerita‖ (Tuchman, 1980)33.
33
Alex Sobur, Analisis Teks Media, Bandung ; PT Remaja Rosdakarya, 2001, hal: 88