BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Konservasi Biodiversitas Program konservasi biodiversitas di Indonesia pertama kali dicanangkan di Denpasar, Bali pada tahun 1982 yang diawali dengan diimplementasikannya strategi konservasi biodiversitas pada pengelolaan TN. Strategi ini telah merubah secara total sistem pengelolaan kawasan konservasi Indonesia, yang sebelumnya hanya dilaksanakan
atas
dasar
perlindungan
dan
pelestarian
alam,
kemudian
disempurnakan dengan program pemanfaatannya secara lestari. IUCN, UNEP dan WWF (1991) menyatakan bahwa dasar utama strategi konservasi adalah perlindungan dan pelestarian biodiversitas dan meningkatkan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat. Alikodra (1998) menyatakan bahwa srategi konservasi dunia yang disiapkan oleh empat badan pelestarian dunia terkemuka, yaitu serikat pelestarian alam internasional (IUCN), dana margasatwa dunia (WWF), organisasi pangan dan pertanian perserikat bangsa-bangsa (FAO) serta program lingkungan Perserikatan Bangsa- Bangsa (UNEP), telah ditetapkan pada tahun 1981.
Untuk selanjutnya
pemerintah Indonesia telah menterjemahkannya menjadi Strategi Konservasi Indonesia. Baik Strategi Konservasi Dunia maupun Strategi Konservasi Indonesia menunjukkan betapa pentingnya perlindungan dan pelestarian biodiversitas bagi pembangunan berkelanjutan, yang dapat dicapai melalui : 1)
Menjaga proses penting serta sistem penopang kehidupan yang penting bagi kelangsungan hidup manusia dan pembangunan;
2)
Melestarikan keanekaragaman plasma nultfah yang penting bagi program budidaya, agar dapat melindungi dan memperbaiki sifat- sifat tanaman dan hewan budidaya. Hal ini penting bagi pengembangan ilmu pengetahuan, inovasi teknologi dan terjaminnya sejumlah besar industri yang menggunakan biodiversitas; dan
3)
Menjamin kesinambungan pendayagunaan spesies dan ekosistem oleh manusia, yang mendukung kehidupan jutaan penduduk pedesaan serta dapat menompang sejumlah besar industri.
11
WCED (1987) mendefinisikan konservasi biodiversitas adalah pengelolaan pemanfaatan biosfer oleh manusia sedemikian rupa sehingga bisa dihasilkan kesinambungan keuntungan/ manfaat terbesar sekaligus memelihara potensinya untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi generasi mendatang (the management of human use of the biosphere so that it my yield in greatest sustainability benefit generations while maintaining its potential to meet the needs and aspiration of future generations). Sedangkan menurut Undang-undang No. 5 tahun 1990, konservasi biodiversitas adalah pengelolaan sumberdaya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya. Konservasi biodiversitas dilakukan melalui kegiatan: perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya., dan pemanfaatan secara lestari biodiversitas dan ekosistemnya. B. Pembangunan Berkelanjutan Definisi pembangunan berkelanjutan (sustainable development) sebagaimana yang dikemukakan pada Brundland Report (laporan komisi sedunia untuk lingkungan dan pembangunan, dengan judul Our Common Future ( WCED, 1987); yaitu pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya (the development that meets the needs of the present without compromising the ability of future generations of meet their own needs). Menurut Keraf (2002), pembangunan berkelanjutan dapat mencapai tujuannya apabila memperhatikan tiga aspek utama pembangunan berkelanjutan, yaitu aspek ekonomi, aspek sosial budaya dan aspek lingkungan hidup.
Murdiyarso, (2003)
menambahkan bahwa pembangunan berkelanjutan harus dapat menjamin terjadinya pertumbuhan ekonomi (economic growth), meningkatkan kesejahteraan sosial (social welfare)
dan memperhatikan kelestarian
lingkungan
(environtmental
integrity). Pembangunan berkelanjutan merupakan suatu proses pembangunan yang mengoptimalkan manfaat sumberdaya alam dan sumberdaya manusia secara berkelanjutan, dengan cara menyerasikan aktifitas manusia sesuai dengan kemampuan sumber alam
yang menopangnya dalam suatu ruang wilayah
12
(Sugandhy, 1999). Pembangunan berkelanjutan memerlukan adanya integrasi yang mantap antara pemanfaatan sumberdaya alam, sumberdaya manusia, dan sumberdaya buatan dalam suatu kurun waktu dan dimensi ruang
Prinsip ini telah
disadari sejak konferensi lingkungan hidup di Stockholm tahun 1972 dimana salah satu butir deklarasinya menyatakan bahwa dalam rangka pengelolaan sumberdaya alam yang lebih rasional untuk meningkatkan kualitas lingkungan, diputuskan suatu pendekatan
terpadu
dan
terkoordinasi
dalam
perencanaan
pembangunan
berkelanjutan berwawasan lingkungan. C. Pembangunan Wilayah Pembangunan wilayah (regional development) pada hakekatnya adalah pelaksanaan pembangunan nasional di suatu region yang disesuaikan dengan kemampuan fisik, dan sosial region tersebut serta tetap menghormati peraturan perundang-undangan yang berlaku (Ditjend Agraria, 1982). Menurut Sukirno (1985),
tujuan pembangunan adalah : 1). meningkatkan
ketersediaan dan memperluas distribusi barang-barang kebutuhan pokok seperti pangan, kesehatan, dan perlindungan, 2). meningkatkan taraf hidup, yaitu; meningkatkan pendapatan, memperluas kesempatan kerja, pendidikan yang lebih baik, dan juga perhatian yang lebih besar pada nilai-nilai budaya dan kemanusiaan. Keseluruhannya akan memperbaiki bukan hanya kesejahteraan material tetapi juga menghasilkan rasa percaya diri sebagai individu maupun sebagai suatu bangsa, 3). Memperluas pilihan ekonomi dan sosial yang tersedia bagi setiap orang dan setiap bangsa dengan membebaskan mereka dari perbudakan dan ketergantungan bukan hanya dalam hubungan dengan orang dan negara tetapi juga terhadap kebodohan dan kesengsaraan manusia. Dalam pelaksanaannya pembangunan wilayah dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan yang berbeda-beda tergantung kondisi fisik, sosial, ekonomi dan budaya. Tiga pendekatan yang dapat digunakan dalam pembangunan wilayah yaitu pendekatan pusat-pusat pertumbuhan, pendekatan sektoral, dan pendekatan wilayah. Pendekatan pusat-pusat pertumbuhan memprioritaskan pembangunan pada kota-kota atau tempat-tempat strategis yang diharapkan dapat menarik daerah-daerah pinggiran di sekitarnya. Pendekatan sektoral adalah pembangunan melalui pemberian prioritas pada sektor-sektor tertentu seperti sektor
13
industri, perikanan, pariwisata, dan lain-lain. Sedangkan pendekatan wilayah ditekankan pada penanganan langsung pada para stakeholder dan masyarakat yang berada di wilayah-wilayah yang terisolasi. Pada wilayah yang terisolasi tersebut dilakukan pencarian dan pengenalan kelompok-kelompok sasaran penduduk termiskin. Dengan demikian, pendekatan wilayah berorientasi pada pemerataan dan keadilan yang bertujuan untuk memperkecil bahkan menghilangkan kesenjangan ekonomi dan sosial, baik antar kelompok dalam masyarakat maupun antar daerah dapat terwujud (Mubyarto, 2000). D. Pengelolaan TN FAO (1982), mendefinisikan TN sebagai kawasan luas dan relatif belum terganggu yang memiliki nilai alam tinggi, dengan kepentingan konservasi tinggi, potensi rekreasi tinggi, mudah dikunjungi dan bermanfaat bagi daerah. Sedangkan dalam IUCN (1994), TN termasuk Kategori II yang didefinisikan sebagai wilayah alamiah di daratan atau lautan yang ditunjuk untuk : 1)
Melindungi integritas ekologi satu atau lebih untuk kepentingan generasi kini dan yang akan datang;
2)
Melarang
eksploitasi
dan
okupasi
yang
bertentangan
dengan
tujuan
penunjukannya; 3)
Memberikan landasan untuk pengembangan spiritual, ilmu pengetahuan, pendidikan, rekreasi, dan kesempatan bagi pengunjung yang ramah secara ekologi dan budaya. Dalam sistem hukum Indonesia (UU Nomor 5 Tahun 1990, PP Nomor 68
Tahun1998) TN didefinisikan sebagai kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli , dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Berdasarkan IUCN (1994), tujuan pengelolaan TN adalah : 7)
Melindungi wilayah alami dan pemandangan indah yang memiliki nilai tinggi secara nasional atau internasional untuk tujuan spiritual, ilmu pengetahuan, pendidikan, rekreasi, dan pariwisata;
14
8)
Melestarikan sealamiah mungkin perwakilan dari wilayah fisiografi, komunitas biotik, sumberdaya genetik dan spesies, untuk memelihara keseimbangan ekologi, dan keanekaragaman hayati;
9)
Mengelola penggunaan oleh pengunjung untuk kepentingan
inspiratif,
pendidikan, budaya, dan rekreasi dengan tetap mempertahankan areal tersebut pada kondisi alamiah atau mendekati alamiah; 10) Menghilangkan dan mencegah eksploitasi atau okupansi yang bertentangan dengan tujuan penunjukannya; 11) Memelihara rasa menghargai terhadap ciri ekologi, geomorfologi, kekeramatan, atau estetika yang menjadi pertimbangan penunjukannya; dan 12) Memperdulikan
kebutuhan
masyarakat
lokal,
termasuk
penggunaan
sumberdaya alam secara subsisten, sepanjang tidak menimbulkan pengaruh negatif terhadap tujuan pengelolaan. Menurut Ditjen. PHKA (2007), tujuan pengelolaan TN adalah terjaminnya keutuhan kawasan; terjaminnya potensi serta keragaman tumbuhan, satwa , dan ekosistemnya;
dan optimalnya manfaat TN untuk tujuan penelitian, ilmu
pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Pendekatan pengelolaan TN mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Pada era tahun 1800-an (mengacu pada penetapan TN Pertama di Dunia yaitu TN Yellow Stone di Amerika Serikat tahun 1872), pembangunan TN merupakan upaya perlindungan
terhadap spesies
tertentu sebagai prioritas
“menyingkirkan “ kepentingan kehidupan manusia.
pertama
dengan
Pada era tahun 1970-an,
kongres IUCN (International Union for Conservation of Nature and Natural Resources) di New Delhi (1969) menetapkan bahwa kawasan konservasi harus dibagi menjadi beberapa kategori menurut kriteria tertentu sehingga pengelolaannya lebih efektif dan efisien. Pada era tahun 1980-an, berdasarkan hasil Kongres TN ke 3 di Bali tahun 1982, bahwa setiap kawasan konservasi harus memiliki rencana pengelolaan sebagai panduan bagi pengelola. Selanjutnya Kongres WNPC (World National Park Congres) ke 4. tahun 1993 di Caracas, Venezuela 1993 mengamanatkan bahwa pengelolaan kawasan konservasi tidak bisa hanya dikelola oleh single institution, melainkan harus melibatkan berbagai pihak yang berkepentingan. Sedangkan Kongres WNPC ke 5
tahun 2003 di Durban, Yordania memandatkan bahwa
15
pengelolaan kawasan konservasi harus mampu memberikan manfaat ekonomi bagi para pihak yang berkepentingan, termasuk masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar. Menurut Ditjen. PHKA (2007), TN dikelola dengan prinsip dasar sebagai berikut : 1)
Pendayagunaan potensi TN untuk kegiatan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi, diupayakan agar tidak mengurangi luas kawasan, tidak menyebabkan berubahnya fungsi, serta tidak memasukkan jenis tumbuhan dan satwa yang tidak asli;
2)
Dalam upaya pencapaian tujuan pengelolaan, kawasan TN ditata kedalam zona inti, zona rimba/zona bahari, dan zona pemanfaatan;
3)
Masyarakat sekitar secara aktif diikutsertakan dalam pengelolaan TN sejak perencanaan, pelaksanaan, hingga pemanfaatannya; dan
4)
Dalam hal dijumpai kerusakan habitat
dan atau penurunan populasi satwa
yang dilindungi, maka setelah melalui pengkajian yang seksama dapat dilakukan kegiatan: pembinaan habitat, pembinaan populasi, rehabilitasi dengan jenis tumbuhan asli, reintroduksi dengan jenis satwa asli, pengendalian dan atau pemusnahan jenis tumbuhan dan atau satwa yang tidak asli yang diidentifikasi telah dan akan mengganggu ekosistem kawasan. Menurut Hockings et al (1999) kapasitas pengelolaan kawasan konservasi terdiri dari tiga dimensi yaitu: 1) sistem pemerintahan ( dukungan politik, legislasi, dan system desain dari kawasan konservasi) , 2) tingkat sumberdaya ( tenaga, dana dan sarana-prasarana), dan 3) dukungan masyarakat (kesadaran dan dukungan). Dalam upaya untuk mewujudkan efektifitas pengelolaan kawasan yang dilindungi, terpenuhinya kebutuhan kesetaraan, keadilan sosial dan demokrasi dalam pengelolaan sumberdaya alam, telah terjadi pergeseran cara pandang (paradigm shift)
dalam pengelolaan kawasan yang dilindungi, antara lain : 1.) perubahan
fungsi kawasan yang dilindungi dari yang semula semata-mata hanya untuk perlindungan
keanekaragaman
hayati
menjadi
kawasan
perlindungan
keanekaragaman hayati yang juga berfungsi sosial ekonomi jangka panjang untuk mendukung pembangunan yang berkesinambungan; 2.) beban biaya pengelolaan dari yang semula ditanggung pemerintah menjadi beban bersama pemerintah dan penerima manfaat; 3.) kebijakan pengelolaan dari yang semula top-down menjadi
16
bottom-up (participatory);
4.) pengelolaan yang semula berbasis pemerintah
menjadi berbasis multipihak (collaborative management) atau berbasis masyarakat lokal (local community based);
5.) tata pemerintahan dari sentralistis menjadi
desentralistis,
pemerintah
dan
6.) peran
dari
provider menjadi facilitator.
(Departemen Kehutanan , 2005). Sejalan dengan pergeseran cara pandang dalam pengelolaan kawasan yang dilindungi, pemerintah menetapkan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.19/Menhut2004 tentang Pengelolaan Kolaboratif. Borrini-Feyerabend et al (2000) memberikan pengertian konsep “ko-manajemen” (disebut juga participatory, collaborative, joint, mixed, multiparty atau round table management) sebagai suatu kondisi dimana 2 (dua) atau lebih aktor sosial bernegosiasi, saling menentukan, dan saling menjamin pembagian fungsi-fungsi pengelolaan, berbagi hak dan tanggung jawab dari suatu teritori, daerah atau sumberdaya alam secara adil. E. Pengembangan Daerah Penyangga Kawasan TN dikelola dengan sistem zonasi, yang terdiri dari zona inti, zona pemanfaatan, zona rimba, dan atau zona lain.
Daerah penyangga TN adalah
wilayah yang berada di luar kawasan TN, baik sebagai kawasan hutan lain, tanah negara bebas maupun tanah yang dibebani hak yang diperlukan dan mampu menjaga keutuhan kawasan TN. Daerah penyangga TN mempunyai fungsi untuk menjaga kawasan TN dari segala bentuk tekanan dan gangguan yag berasal dari luar dan dari dalam kawasan yang dapat mengakibatkan perubahan keutuhan dan atau perubahan fungsi kawasan (PP. Nomor 68 tahun 1998). Alikodra (1998) membagi daerah penyangga TN menjadi tiga tipe yaitu : 1)
Daerah penyangga fisik, terletak pada tanah negara bebas ataupun hutan lainnya di sekitar TN yang dapat difungsikan untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat sekitar melalui kegiatan budidaya plasma nutfah yang mempunyai nilai ekonomi tinggi dimana masyarakat sering memanfaatkannya secara illegal dari dalam kawasan TN tersebut;
2)
Daerah penyangga sosial, terletak di luar kawasan TN, merupa-
kan wilayah
administratif dimana masyarakatnya mempunyai ketergantungan yang tinggi terhadap keberadaan sumberdaya yang terdapat di dalam TN; dan
17
3)
Daerah penyangga tradisional, terletak di dalam kawasan TN dimana terjadi interaksi antara masyarakat dengan sumberdaya alam yang telah berlangsung lama.
Pada daerah penyangga ini
harus dilakukan pengaturan dan
pengawasan yang ketat terhadap sistem pemungutan sumberdaya. Tujuan pengelolaan daerah penyangga adalah mengendalikan aktifitas penggunaan lahan di sekitar dan berbatasan dengan kawasan konservasi agar lebih kompatibel dengan tujuan konservasi biodiversitas kawasan konservasi (Meffe and Carroll, 1994). Untuk membina fungsi daerah penyangga, pemerintah melakukan kegiatan pengembangan sebagai berikut: 1) Peningkatan pemahaman masyarakat terhadap konservasi
sumberdaya
alam
hayati
dan
ekosistemnya,
2)
Peningkatan
pengetahuan dan keterampilan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, 3) Rehabilitasi lahan, 4 ) Peningkatan produktifitas lahan, dan 5 ) Kegiatan lain yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat ( PP. Nomor 68 tahun 1998). F. Pengelolaan secara Terintegrasi Berdasarkan Kamus Umum Bahasa Indonesia (Poerwadarminta, 2006), definisi integrasi adalah penyatuan supaya menjadi bulat atau menjadi utuh. Ahmadi (2007) mendefinisikan integrasi adalah proses pembauran hingga menjadi kesatuan yang utuh atau bulat. Integrasi bertujuan untuk menghasilkan suatu pola kehidupan yang mempunyai fungsi serasi. Menurut Kay and Alder (1999) terdapat tiga jenis integrasi (keterpaduan), yaitu integrasi sistem, integrasi fungsional, dan integrasi kebijakan. Integrasi sistem memasukkan pertimbangan dimensi spasial dan temporal sistem sumberdaya alam dalam persyaratan fisik, perubahan lingkungan, pola pemanfaatan sumberdaya alam, dan penataan sosial ekonomi. Integrasi ini menjamin bahwa isu-isu relevan yang muncul dari hubungan secara fisik-biologi, sosial dan ekonomi ditangani secara cukup. Integrasi ini membutuhkan berbagai ketersediaan informasi yang dibutuhkan dalam pengelolaan sumberdaya alam. Integrasi fungsional berkaitan dengan hubungan antara berbagai kegiatan pengelolaan seperti konfirmasi antara program dan proyek dengan tujuan dan sasarannya. Integrasi ini juga mengupayakan tidak terjadinya duplikasi diantara lembaga yang terlibat, tetapi saling melengkapi. Penyusunan zonasi yang mengalokasikan pemanfaatan sumberdaya alam secara
18
spesifik merupakan salah satu bentuk efektif dari keterpaduan fungsional. Integrasi kebijakan sangat esensial untuk menjamin konsistensi dari program pengelolaan sumberdaya alam secara terpadu dalam konteks kebijakan pemerintah pusat dan daerah serta untuk memelihara koordinasi. Dua kegiatan atau lebih dapat dintegrasikan apabila memenuhi azas kompatibilitas. Azas kompatibilitas terdiri dari tiga macam, yaitu complete compatibility, partial compatibility, dan incompatibility. Complete compability terjadi apabila dua kegiatan atau lebih dapat berlangsung bersamaan dalam ruang dan waktu yang sama (misalnya agroforestry). Partial compatibility terjadi apabila dua kegiatan atau lebih dapat dilakukan secara berurutan dalam ruang yang sama, namun dalam waktu yang berbeda (misalnya sesudah tanam padi kemudian tanam kacang. Incompatibility terjadi apabila dua kegiatan atau lebih tidak dapat dilakukan secara bersamaan atau berurutan dalam ruang yang sama (Nirarita, E. 1996). Kegiatan-kegiatan yang mudah diintegrasikan adalah kegiatan yang bersifat jasa (services) seperti pembuatan rencana dan program yang sama. Kegiatan yang agak sulit diintegrasikan adalah kegiatan untuk membuat atau merumuskan aturan main bersama (norm creation), sedang yang sulit diintegrasikan adalah kegiatan yang berkaitan dengan implementasi dari aturan main yang telah disepakati bersama dan pengawasannya (implementation and rules observance).
Apabila
tingkat kesulitan tersebut diterapkan dalam pengelolaan sumberdaya alam , maka akan terlihat bahwa perencanaan termasuk kategori mudah, penataan agak sulit, sedangkan pelaksanaan dan pengawasan adalah yang paling sulit
Untuk
mewujudkan pengelolaan sumberdaya alam yang terintegrasi, lembaga-lembaga yang terkait
harus mengetahui kegiatan apa saja yang dapat dan tidak dapat
diintegrasikan dan bagaimana cara mengintegrasikannya (Aunuddin, 2001). Menurut Pomeroy (1994) pengelolaan sumberdaya alam secara terintegrasi merupakan integrasi dari pengelolaan berbasis sumberdaya (resource based management), pengelolaan berbasis masyarakat (community based management) dan pengelolaan berbasis pasar (marketing based management). Reosurce based management adalah pengelolaan yang didasarkan pada kemampuan sumberdaya alam, sumberdaya manusia, management adalah
dan sumberdaya budaya.
Community based
pengelolaan sumberdaya alam yang didasarkan pada
kemampuan masyarakat. Marketing based management adalah pengelolaan yang
19
didasarkan pada kemampuan dalam memanfaatkan basis-basis kompetisi (seperti sumberdaya, peraturan, kelembagaan, peluang pasar, dan persaingan) Pendekatan pengelolaan kawasan konservasi secara terintegrasi yang pernah diimplementasikan di Indonesia adalah Integrated Conservation and Development Program (ICDP), Integrated Protected Areas System (IPAS), dan pengelolaan Cagar Biosfer (Biosphere Reserves). Dalam pendekatan ICDP
yang diperkenalkan oleh Wells et al. (1992)
pemanfaatan sumberdaya alam bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar merupakan ide sentral, akan tetapi kesinambungan dan kelestarian sumberdaya alam baik yang ada di dalam maupun sekitar kawasan TN harus tetap terjaga. Proyek ICDP yang didanai oleh Bank Dunia dirancang menurut empat komponen inti, yaitu: 1). Pengelolaan TN, yang bertujuan meningkatkan kemampuan pengelola TN dan mendukung kegiatan penegakan peraturan yang berkaitan dengan taman; 2) Pengelolaan zona penyanga, yang meliputi pengelolaan area yang berbatasan dengan TN oleh masyarakat; 3) Pembangunan sosial ekonomi masyarakat lokal, yang dirancang untuk memperbaiki perencanaan tata guna lahan, hak kepemilikan lahan, dan pengelolaan sumberdaya oleh masyarakat yang berada di sekitar TN; 4) Pemantauan dan evaluasi untuk memberikan data tambahan tentang keragaman hayati dan untuk melakukan penilaian dampak proyek terhadap masyarakat dan sumberdaya di sekitar TN. Proyek ICDP telah diaplikasikan pada banyak TN di dunia, meliputi sedikitnya 9 negara di Asia, Afrika, dan Amerika Latin (Wells et al. 1992). Sedangkan di Indonesia , proyek ICDP diaplikasikan antara lain pada TN. Kerinci Seblat, TN. Dumoga Bone, dan TN. Gunung Leuser. Sedangkan pendekatan IPAS bertujuan untuk membangun sistem proteksi kawasan lindung melalui pengelolaan kawasan yang terintegrasi dan representatif serta mengacu pada nilai-nilai budaya yang dianut oleh masyarakat lokal. Sistem integrasi dalam konsep IPAS meliputi TN maupun kawasan lindung dan masyarakat sekitarnya dengan fokus perlindungan keanekaragaman hayati.
Proyek IPAS di
Indonesia didanai oleh Bank Pembangunan Asia (ADB). Adapun pengelolaan cagar biosfer ditujukan untuk mencapai tiga fungsi dasar, yaitu: 1) fungsi konservasi, 2) fungsi pembangunan, dan 3) fungsi logistik ( memberikan dukungan untuk penelitian, monitoring, pendidikan, dan informasi). Beberapa atribut yang membuat Cagar Biosfer menjadi sangat penting dan berguna
20
adalah kontribusi dalam hal : 1) Konservasi biodiversitas, 2) memelihara kesehatan ekosistem ( menjaga erosi, memelihara kesuburan tanah, mengatur tata air, siklus nutrisi, dan menyerap polusi), 3) mempelajari sistem alam dan perubahannya, 4) mempelajari sistem tradisional dalam pemanfaatan lahan (Bridgewater, 2002). G. Ekowisata Istilah ekowisata mulai diperkenalkan pada tahun 1987 oleh Hector Ceballos Lascurian, setelah itu beberapa pakar mendefinisikan ekowisata yang masingmasing meninjau dari sudut pandang berbeda. Menurut Hector Ceballos-Lascurain definisi dari ecoturism (ekowisata) adalah perjalanan wisata alam yang tidak mengganggu atau merusak lingkungan alam, dengan tujuan khusus misalnya untuk mempelajari, mengagumi dan menikmati pemandangan serta tumbuh-tumbuhan dan satwa liar, seperti setiap perwujudan kebudayaan (baik masa lampau atau sekarang) yang ada di daerah yang bersangkutan ( Fennell 1999). Ekowisata umumnya didefinisikan sebagai perjalanan ke daerah yang masih alami untuk menikmati pemandangan dan hidupan liar (Jacobson 1994), dengan asumsi bahwa sedikit atau tidak menimbulkan dampak pada lingkungan dan memberikan manfaat sebagai ekonomi dengan mempertahankan keutuhan budaya masyarakat setempat (Kinnaird and O’Brien 1996; Fandeli 2000a). Ekowisata merupakan suatu perpaduan dari berbagai minat yang
tumbuh dari keprihatian
terhadap lingkungan, ekonomi dan sosial yang diberi batasan sebagai kegiatan yang bertumpu pada lingkungan dan bermanfaat secara ekologi, sosial dan ekonomi bagi masyarakat lokal serta bagi kelestarian sumberdaya dan keberlanjutannya (Fandeli 2000b). Ekowisata tidak dapat dipisahkan dengan konservasi, oleh karena itu ekowisata disebut sebagai bentuk perjalanan wisata yang bertanggung jawab (Fandeli, 2000a). Para konservasionis melihat ekowisata sebagai kegiatan yang mampu meningkatkan kemampuan finansial dalam kegaitan konservasi dan meningkatkan kepedulian masyarakat akan pentingnyya upaya-upaya konservasi, sedangkan para ilmuan melihat ekowisata dapat mendukung dan melindungi lingkungan alami pada suatu kawasan konservasi serta diharapkan dapat menjaga kelestarian lingkungan flora dan fauna (Adhikerana, 1999). Ekowisata merupakan pengelolaan alam dan budaya masyarakat dengan pendekatan konservasi yang menjamin kelestarian dan kesejahteraan (Nurfatriani
21
dan Efida 2003). Di dalamnya terdapat konsep pengembangan pariwisata yang mencakup aspek pelestarian terhadap lingkungan alam maupun budaya yang menjadi andalan pariwisata, aspek edukasi bagi wisatawan, serta partisipasi masyarkat dengan tetap memberikan peluang keuntungan ekonomi bagi pengusaha (Gunawan 2003). Selanjutnya Honey (1999) dalam Drumm and Moore (2005) memberikan versi yang lebih detail, ekowisata adalah perjalanan ke kawasan yang rentan, murni, dan biasanya dilindungi, yang berusaha menekan dampak negatif sekecil mungkin dan biasanya dilakukan dalam sekala kecil. Ekowisata membantu mendidik wisatawan; menyediakan dana bagi konservasi; manfaat secara langsung berupa perkembangan ekonomi dan kekuatan politik bagi masyarkat lokal; dan membantu menghargai perbedaan budaya dan hak asasi manusia Dari sejumlah defiisi yang diberikan oleh para pakar pariwisata tentang “ecoturism”, yang paling banyak diterima umum adalah definisi dari The International Ecotourism Society (2005) yang mendefinisikan “ecoturism” atau “ekowisata” adalah kegiatan wisata yang bertanggung jawab ke daerah-daerah alami dengan menjaga kelestarian lingkungan alam dan meningkatkan kesejahteraan penduduk setempat (responsible travel to natural areas which conserves the environment and improves the welfare of local people). Secara
konseptual
ekowisata
adalah
suatu
konsep
pengembangan
pariwisata berkelanjutan yang bertujuan untuk mendukung upaya-upaya pelestarian lingkungan (alam dan budaya) serta meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan, sehingga memberikan manfaat ekonomi kepada masyarakat setempat (Supriatna et al. 2000). Prinsip-prinsip ekowisata menurut The International Ecotourism Society (2005 ) adalah : 1)
Mencegah dan menanggulangi dampak dari kegiatan wisatawan terhadap alam dan budaya, pencegahan dan penanggulangan disesuaikan dengan sifat dan karakter alam dan budaya setempat;
2)
Pendidikan konservasi lingkungan yaitu mendidik wisatawan dan masyarakat lokal akan pentingnya arti konservasi;
22
3)
Pendapatan untuk kawasan, yaitu adanya retribusi dan conservation tax dapat dipergunakan
secara
langsung
untuk
membina,
melestarikan
dan
meningkatkan kualitas kawasan pelestarian alam; 4)
Partisipasi masyarakat dalam perencanaan, yaitu keterlibatan langsung masyarakat dalam merencanakan, mengawasi dan mengelola ekowisata; dan
5)
Penghasilan masyarakat, yaitu dengan adanya keuntungan secara aktual. Sedangkan
Deklarasi
Quebec
secara
spesifik
menyebutkan
bahwa
ekowisata merupakan suatu bentuk wisata yang mengadopsi prinsip-prinsip pariwisata berkelanjutan yang membedakannya dengan bentuk wisata lain. Sifat dari ekowisata menyebabkananya menjadi alat yang berharga bagi konservasi. Implementasinya bisa (Drumm and Moore 2005): 1)
Memberikan nilai ekonomi bagi pengelolaan ekosistem yang terdapat di kawasan dilindungi;
2)
Secara langsung meningkatkan pendapatan bagi kawasan konservasi;
3)
Meningkatkan pendapatan masyarakat lokal baik secara langsung dan tidak langsung , menciptakan insentiv bagi kegiatan konservasi yang terdapat di dalam masyarakat lokal;
4)
Membangun jaringan konservasi lokal, nasional dan internasional;
5)
Mempromosikan penggunaan sumberdaya alam secara berkelanjutan; dan
6)
Mengurangi ancaman bagi keanekaragaman hayati. Sebagai alat pembangunan, ekowisata dapat mewujutkan tiga tujuan dasar
dari konservasi keanekaragaman hayati (UNEP 2003) , yaitu : 1)
Melindungi keanekaragaman hayati dan budaya dengan penguatan system manajemen kawasan lindung (umum dan atau privat) dan meningkatkan nilai ekosistem;
2)
Mendukung penggunaan keanekaragaman hayati secara berkelanjutan dengan kenaikan pendapatan, pekerjaan dan kesempatan berusaha dalam ekowisata dan jaringan usaha yang relevan; dan
3)
Membagi keuntungan pengembangan ekowisata dengan masyarakat lokal, melalui partisipasi aktif dalam perencanaan dan pengelolaan ekowisata. Harus disadari bahwa walaupun ekowisata dapat menjadi alat berharga
untuk melestarikan keanekaragaman hayati, juga mempunyai dampak negatif yang lama terhadap lingkungan (ekologis), satwa liar dan masyarakat lokal jika
23
pengelolaannya kurang tepat (Kinnaird and O’Brien 1996).
Beberapa bahaya
tertentu dapat timbul dari kegiatan ekowisata yang tidak dibatasi seperti masalah kesenjangan ekonomi dan perselisihan diantara anggota masyarakat, konflik budaya antara wisatawan dan masyarakat lokal dan gangguan ekologis yang seringkali tidak disadari oleh masyarakat. Tempat tujuan wisata merupakan elemen yang penting kerena tempat tujuan tersebut umumnya merupakan alasan utama bagi wisatawan untuk berkunjung (Cooper et al 1993). Dengan demikian keadaan di tempat tujuan wisata seperti atraksi wisata, fasilitas, aksesibilitas, pelayanan dan keamanan akan sangat mempengaruhi jumlah pengunjung. World Tourism Organisation (WTO) dan United Nation Environmental Programme (UNEP) menetapkan kriteria kawasan ekowisata, sebagai berikut : 1)
Kekhasan atraksi alam (Flagship attraction): tipe hutan, sungai, danau, keanekaragaman hayati, keunikan spesies tertentu, kemudahan mengamati flora dan fauna;
2)
Atraksi pendukung/ pelengkap: berenang (air terjun,sungai, pantai), kegiatan olahraga (jalan kaki, memancing, mendayung), budaya lokal (keseniaan, kebiasaan - kebiasaan tradisional), peninggalan sejarah;
3)
Aksesibilitas dan infstruktur : jarak kebandara internasional atau pusat-pusat wisata, akses (jalan raya, jalan kereta api, penerbangan, pelabuhan), fasilitas kesehatan - komunikasi yang memadai;
4)
Iklim : cuaca yang mendukung kegiatan rekreasi, banyaknya curah hujan dan distribusinya; dan
5)
Kondisi politik dan sosial : adanya stabilitas sosial politik - terjaminnya keamanan pengunjung, pengunjung dapat diterima oleh masyarakat lokal. Dalam pengembangan dan pengelolaan ekowisata sangat penting untuk
mengetahui segmen pasar atau sisi permintaan dari ekowisata. Segmen pasar dari ekowisata dipengaruhi oleh factor-faktor keadaan sosio-demografi, karakteristik dalam perjalanan, motivasi dan pengalaman pengunjung. Pengunjung yang memiliki kebutuhan tertentu, akan memilih tujuan wisata tertentu pula. Fennell (1999) mengklasifikasikan ekoturis berdasarkan tujuan wisata, pengalaman yang diinginkan dan dinamika kelompok, sebagai berikut :
24
1)
Ekoturis mandiri adalah orang-orang yang melakukan perjalanan secara individual, tinggal di berbagai tipe akomodasi yang berbeda-beda dan mempunyai mobilitas untuk mengunjungi berbagai tujuan wisata. Pengalaman mereka sangat fleksibel dan merupakan persentase terbesar dari semua ekoturis;
2)
Ekoturis dalam tur adalah orang-orang yang melakukan perjalanan dalam kelompok dan mengunjungi objek wisata eksotik; dan
3)
Kelompok ahli atau akademisi adalah orang-orang yang biasanya terlibat dalam penelitian baik sebagai individu maupun kelompok. Pada umumnya mereka tinggal di suatu tempat dalam jangka waktu cukup panjang dan lebih bersedia mengalami kondisi kesusahan dibandingkan ekoturis yang lain. Sedangkan
Lindberg (1991)
mengklasifikasikan
ekoturis
berdasarkan
dedikasi, waktu, tujuan dari perjalanan, tempat dan cara melakukan perjalanan yang dibagi dalam empat kelompok, yaitu : 1)
Hard - Core Nature Tourist : para ilmuwan / peneliti;
2)
Dedicated
Nature
Tourist:
ekoturis
yang
mengetahui tentang
budaya
masyarakat atau tempat-tempat yang dilindungi (cagar alam); 3)
Mainstream Nature Tourist: ekoturis yang menghendaki tempat-tempat spesifik seperti cagar alam; dan
4)
Casual Nature Tourist : ekoturis yang datang ke tempat-tempat yang alami. Hard-core dan dedicated nature tourist tidak membutuhkan akomodasi yang
lengkap, berbeda dengan mainstream dan casual nature tourist dimana tingkat pelayanan dan akomodasi harus disiapkan lebih baik. Keberhasilan pengolahan dan pengembangan ekowisata merupakan hasil kerja sama antara stakeholder, yaitu pemerintah, swasta dan masyarakat. Menurut Fennell (1999) ada delapan prinsip untuk membangun kemitraan dalam pengelolaan ekowisata, yaitu : 1)
Berdasarkan budaya lokal;
2)
Memberikan tanggung jawab kepada masyarakat lokal;
3)
Mempertimbangkan untuk mengembalikan kepemilikan daerah yang dilindungi kepada penduduk asli;
4)
Memberikan program pembangunan dari pemerintah dengan daerah yang dilindungi;
25
5)
Mengaitkan program pembangunan dari pemerintah dengan daerah yang dilindungi;
6)
Memberikan priolitas kepada masyarakat dengan sekala keci;
7)
Melibatkan masyarakat lokal dalam perencanaan; dan
8)
Mempunyai keberanian untuk melakukan pelanggaran Pengembangan ekowisata melibatkan berbagai pihak seperti pengunjung,
sumberdaya alam, pengelola, masyarakat lokal, kalangan bisnis termasuk biro perjalanan (tour operator), pemerintah, LSM, dan lain sebagainya. Peranan masyarakat lokal harus dipertimbangkan karena mereka menjadi bagian tak terpisahkan dari ekosistem, sekaligus adalah pelaku yang berhak mengambil keputusan dalam prinsip ekowisata yang telah diterima secara umum, yakni ekowisata berorientasi lokal dan melibatkan masyarakat lokal (Fennell 1999). Dalam pengembangan dan pengelolaan ekowisata di TN perlu dilakukan secara
terpadu
berdasarkan
kriteria-kriteria
pelestarian
lingkungan
yang
berkesinambungan dengan ekowisata. Kriteria-kriteria tersebut sebagai berikut : 1)
Memiliki kepedulian, tanggung jawab dan komitmen terhadap pelestarian lingkungan;
2)
Pengembangan ekowisata harus didasarkan atas musyawarah dan persetujuan masyarakat setempat;
3)
Memberikan manfaat kepada masyarakat setempat;
4)
Peka dan menghormati nilai-nilai sosial budaya dan tradisi keagamaan yang dianut masyarakat setempat; dan
5)
Memperhatikan peraturan lingkungan hidup dan kepariwisataan. Sedangkan menurut Ridwan (2000), ada empat prinsip yang harus menjadi
pegangan dalam pengembangan hutan untuk ekowisata yaitu konservasi, edukasi, partisipasi masyarakat dan ekonomi. Perencanaan dan pengelolaan ekowisata yang baik dapat menjadi salah satu alat yang paling efektif untuk konservasi keanekaragaman hayati dalam jangka panjang dengan keadaan yang mendukung seperti kondisi pasar, manajemen di tingkat lokal dan hubungan yang harmonis antara pengembangan ekowisata dengan konservasi (UNEP 2003).
26
H. Permintaan dan Penawaran Ekowisata Dari sisi ekonomi, pariwisata muncul dari empat unsur pokok yang saling terkait erat atau menjalin hubungan dalam suatu sistem, yakni : permintaan atau kebutuhan, penawaran atau pemenuhan kebutuhan berwisata itu, pasar dan kelembagaan yang berperan untuk memfasilitasi keduanya dan pelaku atau aktor yang menggerakkan katiga elemen tersebut (Damanik and Weber 2006). Menurut Wahab (2003), pada umunya penawaran wisata mencakup yang ditawarkan oleh destinasi pariwisata kepada wisatawan yang real maupun yang potensial. Penawaran dalam pariwisata menunjukkan khasanah atraksi wisata alamiah, dan buatan manusia, jasa-jasa maupun barang-barang yang kira-kira akan menarik orang-orang untuk mengunjungi suatu negara tertentu. Marpaung (2002) menyatakan bahwa objek dan daya tarik wisata adalah suatu bentukan dan/ atau aktivitas dan fasilitas yang berhubungan, yang dapat menarik minat wisatawan atau pengunjung untuk datang ke suatu daerah/ tempat tertentu. Waluyo (2007) menyatakan, daya tarik wisata adalah segala sesuatu yang menarik pada sebuah atau berbagai destinasi pariwisata yang memiliki unsur alam, budaya, dan/ atau minat khusus yang bersifat unik, khas, dan/ atau langka. Objek dan daya tarik wisata tersebut yang ditawarkan kepada wisatawan yang disebut dengan produk (product) dan pelayanan (service) wisata (Damanik and Weber 2006). Menurut Damanik and Weber (2006),
elemen penawaran wisata sering
disebut sebagai triple A’s yang terdiri dari atraksi, aksesibilitas, dan amenitas. Atraksi diartikan sebagai objek wisata (baik yang bersifat tangible maupun intangible) yang memberikan kenikmatan kepada wisatawan yang terdiri dari alam, budaya, dan buatan. Unsur lain yang melekat dalam atraksi ini adalah hospitally, yakni jasa akomodasi atau penginapan, restoran, biro perjalanan, dan sebagainya. Aksesibilitas mencakup keseluruhan infrastruktur transportasi yang menghubungkan wisatawan dari, ke dan selama di daerah tujuan wisata
(Damanik and
Weber
2006). Amenitas adalah infrastruktur yang sebenarnya tidak langsung terkait dengan pariwisata tapi sering menjadi bagian dari kebutuhan wisatawan. Bank, penukaran uang, telekomonikasi, usaha persewaan (rental), penerbit, dan penjual buku panduan wisata, seni pertunjukan (teater, bioskop, pub dan lain-lain).
27
Tiga ciri khas utama yang menjadi tanda dari penawaran pariwisata menurut Wahab (2003) adalah : 1)
Merupakan penawaran jasa-jasa. Artinya sesuatu yang ditawarkan itu tidak mungkin ditimbun dan harus dimanfaatkan dimana produk itu berada;
2)
Yang ditawarkan itu bersifat kaku (rigit). Artinya suatu produk wisata yang ditawarkan tidak bisa atau sulit sekali dirubah sasaran penggunaannya di luar pariwisata; dan
3)
Penawaran pariwisata harus bersaing ketat dengan penawaran barang-barang dan jasa-jasa yang lain. Menurut Marpaung (2002) secara garis besar daya tarik wisata dibagi ke
dalam tiga klasifikasi : 1) daya tarik alam, 2) daya tarik budaya, dan 3) daya tarik buatan manusia. Walaupun demikian ada yang membagi jenis objek dan daya tarik wisata ke dalam dua kategori saja, yaitu :1) objek dan daya tarik wisata alam dan 2) objek dan daya tarik wisata sosial budaya. Sedangkan Wahab (2003) membagi unsur-unsur pariwisata berupa alamiah yang terdiri dari sumber-sumber alam dan hasil karya buatan manusia. 1) Sumber-sumber alam, mencakup : a. Iklim: udara yang lembut, bersinar matahari, kering dan bersih b. Tata letak tanah dan pemandangan alam: daratan, pegunungan yang berpanorama indah, danau, sungai, pantai, bentuk-bentuk yang unik pemandangan yang indah, air terjun, daerah gunung merapi, gua dll. c. Unsur rimba: hutan-hutan lebat, pohon-pohon langka, dan sebagainya. d. Flora dan fauna: tumbuhan aneh, barang-barang beragam jenis dan warna, kemungkinan memancing, berburu dan bersafari foto binatang buas, TN dan taman suaka binatang buas, dan sebagainya. e. Pusat-pusat kesehatan: sumber air mineral alam, kolam lumpur berkhasiat untuk mandi, sumber air panas untuk penyembuhan penyakit, dll. 2)
Hasil karya buatan manusia, mencakup : a. Yang berciri sejarah, budaya dan agama: Monumen dan peninggalan bersejarah masa lalu, tempat-tempat budaya (museum, gedung kesenian, tugu peringatan), perayaan-perayaan tradisional (karnaval, upacara adat), bangunan-bangunan raksasa dan biara-biara keagamaan.
28
b. Prasarana-prasarana: prasarana umum (air bersih, listrik, telekomunikasi), kebutuhan pokok hidup modern (rumah sakit, bank, pusat perbelanjaan), prasarana wisata (penginapan, hotel, warung, desa wisata, tempat kemah), tempat rekreasi dan olahraga. c. Sarana pencapaian dan alat transportasi penunjang: pelabuhan udara dan laut, kereta api dan alat transportasi darat lainnya, kapal. d. Sarana pelengkap: umumnya sarana pelengkap ini bersifat rekreasi dan hiburan misalnya: bioskop, kasino, night club, kedai-kedai dan lain-lain. e. Pola hidup masyarakat: cara hidup bangsa, sikap, makanan dan sikap pandangan hidup, kebiasaannya, tradisinya, adat istiadatnya, semua itu menjadi kekayaan budaya yang menarik wisatawan ke Negara tersebut. Damanik and Weber (2006) menyatakan kualitas produk yang baik terkait dengan empat hal, yakni keunikan, otentisitas, originalitas, dan keragaman. Keunikan diartikan sebagai kombinasi kelangkaan dan daya tarik yang khas melekat pada suatu objek wisata. Originalitas atau keaslian mencerminkan keaslian dan kemurnian, yakni seberapa jauh suatu produk tidak terkontaminasi oleh atau tidak mengadopsi model atau nilai yang berbeda dengan nilai aslinya. Otentisitas mengcu pada keaslian yang dikaitkan dengan derajat keantikan atau eksotisme budaya sebagai atraksi wisata (Damanik and Weber 2006). Diversitas produk artinya keanekaragaman produk dan jasa yang ditawarkan. Tujuannya agar wisatwan dapat lebih lama tinggal dan menikmati atraksi yang bervariasi serta akhirnya memperoleh pengalaman wisata yang lengkap. Unsur yang paling penting yang menjadi daya tarik dari sebuah daerah tujuan wisata , menurut Setyono (2003) adalah: 1. Kondisi alamnya, contoh hutan hujan tropis atau terumbu karang; 2. Keanekaragaman hayati/ flora-fauna yang unik, langka dan endemik, seperti: raflesia, badak jawa, komodo dan orang utan; 3. Kondisi fenomena alamnya, seperti: Gunung Krakatau dan Danau Kalimutu; dan 4. Kondisi adat dan budayanya, seperti: Badui, Toraja, Bali dan Sumba. Di sisi lain yang berpengaruh terhadap perkembangan dunia pariwisata karena kondisi lingkungan yang semakin rusak, sehingga kondisi lingkungan yang natural merupakan atraksi utama bagi wisatawan (Marpaung 2002). Unsur penting lainnya yang mempengaruhi permintaan wisata adalah wisatawan dan penduduk
29
lokal yang menggunakan sumberdaya (produk dan jasa) wisata. Faktor lain yang turut berperan adalah aksesibilitas yang semakin mudah pada produk dan objek wisata. Distribusi pendapatan yang lebih merata dan penghasilan yang meningkat juga ikut andil dalam mendorong semakin banyaknya permintaan perjalanan wisata (Damanik and Weber 2006). Pendidikan yang semakin meningkat membuat wawasan seseorang semakin luas. Keingintahuan dan minat untuk mempelajari sesuatu yang baru ikut meningkat. Selain itu aspirasi terhadap tempat dan budaya yang berbeda semakin tinggi. Variabel
lain
adalah
ketersediaan
waktu.
Kebijakan
pemerintah
untuk
menggabungkan hari libur ke akhir atau awal pekan menjadi waktu luang yang bisa digunakan untuk berlibur (Damanik and Weber 2006). Suwantoro
(1997)
mengidentifikasi
empat
kelompok
faktor
yang
mempengaruhi penentuan pilihan daerah tujuan wisata seperti: 1)
Fasilitas: akomodasi, atraksi, jalan, tanda-tanda petunjuk arah;
2)
Nilai estetis: pemandangan (panorama), iklim, tempat bersantai, cuaca;
3)
Waktu/ biaya: jarak dari tempat asal (rumah), waktu dan biaya perjalanan, harga/ tarif pelayanan; dan
4)
Kualitas hidup: keramah tamahan penduduk dan bebas dari pencemaran. Sedangkan Yoeti (2007), menyatakan bahwa wisatawan cenderung memilih
suatu daerah tujuan karena: 1)
Faktor biaya apakah rendah atau relatif tinggi;
2)
Bagaimana situasi politik didaerah tujuan tersebut;
3)
Bagaimana
kendaraan
menuju
kesana?
Tersedia
setiap
waktu
atau
comfortable; dan 4)
Faktor angan–angan (Elimination factor) terhadap tempat yang dikunjungi. Waktu luang, uang, sarana dan prasarana merupakan permintaan potensial
wisata. Permintaan pootensial ini harus ditransformasikan menjadi permintaan riil, yakni pengambilan keputusan wisata. Pengambilan keputusan belangsung secara bertahap, mulai dari tahap munculnya kebutuhan, kesediaan untuk berwisata, sampai keputusan untuk berwisata itu sendiri. Masing – masing fase ini mempunyai kegiatan yang spesifik (Damanik and Weber 2006).
30
I.
Analisis Kebijakan Kebijakan publik adalah serangkaian tindakan yang diusulkan seseorang,
kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu dengan ancaman dan peluang yang ada, dimana kebijakan yang diusulkan tersebut ditujukan untuk memanfaatkan potensi
sekaligus mengatasi hambatan yang ada dalam rangka
mencapai tujuan tertentu, Friedrick sederhana
(1963) dalam Dwijowijoto (2004). Secara
Dwijowijoto (2004) mendefinisikan kebijakan publik adalah segala
sesuatu yang dikerjakan dan yang tidak dikerjakan oleh pemerintah. Kebijakan sebagai dasar dalam pelaksanaan kegiatan atau pengambilan keputusan, adalah suatu pilihan terhadap berbagai alternatif yang bersaing mengenai suatu hal. Analisis kebijakan adalah sebuah disiplin ilmu sosial terapan yang menggunakan berbagai metode penelitian dan argumen untuk menghasilkan dan memindahkan informasi yang relevan dengan kebijakan sehingga dapat dimanfaatkan di tingkat politik dalam rangka memecahkan masalah-masalah kebijakan (Dunn, 1998). Analisis kebijakan merupakan salah satu diantara sejumlah banyak faktor lainnya di dalam sistem kebijakan. Suatu sistem kebijakan atau seluruh pola institusional dimana didalamnya kebijakan dibuat, mencakup hubungan timbal balik antara tiga unsur, yaitu: kebijakan publik, pelaku kebijakan, dan lingkungan kebijakan. Sistem kebijakan adalah produk manusia yang subyektif yang diciptakan melalui pilihan-pilihan yang sadar oleh pelaku kebijakan (Dunn, 1998). Beberapa prosedur yang biasa digunakan dalam analisis kebijakan (Dunn, 2000), yaitu : 1). perumusan masalah (definisi), menghasilkan informasi mengenai kondisi-kondisi yang menimbulkan masalah kebijakan, 2). peramalan (prediksi), menyediakan informasi mengenai konsekwensi di masa mendatang dari penerapan alternatif kebijakan, termasuk tidak melakukan sesuatu, 3). rekomendasi (preskripsi), menyediakan informasi mengenai nilai atau kegunaan relatif dari konsekwensi di masa depan dari suatu pemecahan masalah, 4). pemantauan (deskripsi) menghasilkan informasi tentang konsekwensi sekarang dan masa lalu dari terapan alternatif kebijakan, 5). evaluasi, menyediakan informasi mengenai nilai atau kegunaan dari konsekwensi pemecahan atau pengatasan masalah. Analisis kebijakan termasuk penelitian kualitatif (qualitative research) atau interpretative research yang menekankan pada teknik wawancara mendalam pada
31
sejumlah kecil responden yang terseleksi dengan ketat. Mengingat kebijakan publik adalah pengetahuan yang bersifat multidisipliner, maka untuk menghasilkan sintesa yang mendalam dan komprehensif tidak cukup hanya menggunakan satu metode saja tetapi merupakan kombinasi beberapa metode. Menggunakan kombinasi beberapa metode dapat mempertajam analisis, meningkatkan mutu disain, dan meminimalisasi bias dalam penelitian (Eriyatno dan Sofyar, 2007). J. Analisis SWOT Proses
pengambilan
keputusan
strategis
selalu
berkaitan
pengembangan misi, tujuan, strategi dan kebijakan suatu organisasi.
dengan Kegiatan
perencanaan strategis harus melibatkan dan menganalisis faktor-faktor strategis suatu organisasi yang meliputi kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman. Hal ini disebut dengan analisis situasi. Model yang paling populer untuk analisis situasi adalah Analisis SWOT (Rangkuti, 1998). Analisis SWOT banyak diterapkan dalam proses manajemen strategis. Proses manajemen strategis terdiri atas empat elemen dasar yang saling berkaitan, yaitu : 1) pengamatan lingkungan, 2) perumusan strategi, 3) implementasi strategi, dan 4) evaluasi dan pengendalian (Hunger and Wheelen, 2001) Faktor-faktor yang paling penting untuk masa depan suatu institusi disebut dengan faktor-faktor strategis yang
terdiri dari;
Strength (kekuatan), Weakness (kelemahan),
Opportunity (peluang) dan Threat (ancaman), atau disingkat dengan SWOT. Dalam proses manajemen strategis , analisis SWOT termasuk dalam elemen dasar pertama, yaitu pengenalan lingkungan yang meliputi faktor internal dan eksternal. Bagi Balai TNBT, lingkungan internal meliputi variabel-variabel kekuatan dan kelemahan yang ada dalam institusi tetapi biasanya tidak termasuk pengendalian jangka pendek dari manajemen puncak. Variabel-variabel tersebut membentuk suasana tempat pekerjaan dilakukan.
Sedangkan
faktor eksternal
terdiri atas variabel-variabel peluang dan ancaman yang berada di luar TNBT dan tidak secara khusus ada dalam pengendalian. Variabel-variabel tersebut membentuk keadaan (kondisi) tempat TNBT berada. Faktor eksternal dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu lingkungan biofisik dan lingkungan sosial.
Lingkungan sosial
merupakan kekuatan umum yang tidak berhubungan dengan aktifitas Balai TNBT
32
tetapi mempengaruhi TNBT, misalnya kekuatan ekonomi, sosiokultural, teknologi, politik, dan hukum. Salah satu cara untuk menyimpulkan faktor-faktor strategis adalah dengan mengkombinasikan faktor strategis internal (IFAS = Internal Strategies Factors Summary) dengan faktor strategis eksternal (EFAS = External Strategies Factors Summary) ke dalam sebuah matrik SWOT. Dengan Matrik SWOT selanjutnya dapat dicocokkan peluang dan ancaman yang dihadapi dengan kekuatan dan kelemahan untuk menghasilkan empat alternatif pencerahan (brainstorming)
strategi.
Metode ini mengarah pada
untuk menciptakan strategi-strategi alternatif yang
mungkin sebelumnya tidak terpikirkan oleh pengelola TNBT. K. AHP (Analytical Hierarchy Process) Analytical Hierarchy Process (AHP) atau dalam bahasa Indonesia dikenal dengan Proses Hirarki Analitik (PHA) adalah suatu model yang luwes yang memberikan kesempatan bagi perorangan atau kelompok untuk membangun gagasan-gagasan dan mendefinisikan persoalan dengan cara membuat asumsi mereka masing-masing dan memperoleh pemecahan yang diiginkan darinya. Proses ini memberi suatu kerangka bagi partisipasi kelompok dalam pengambilan keputusan atau pemecahan persoalan (Saaty 1993). Proses ini dapat diterapkan pada banyak persoalan nyata dan terutama berguna untuk pengalokasian sumber daya, perencanaan, analisis pengaruh kebijakan, dan penyelesaian konflik. AHP sebagai suatu ancangan baru terhadap pemecahan persoalan dan pengambilan keputusan memilki keuntungan antara lain : 1)
Kesatuan :
AHP memberi satu model tunggal yang mudah dimengerti, luwes
untuk aneka ragam persoalan; 2)
Pengulangan proses : AHP memungkinkan orang memperluas definisi mereka dan memperbaiki pertimbangan dan pengertian mereka melalui pengulangan;
3)
Kompleksitas
:
AHP
memadukan
ancangan
deduktif
dan
ancangan
berdasarkan system dalam memecahkan persoalan kompleks; 4)
Penilaian dan konsensus : AHP tak memaksakan konsensus tapi mensintesis suatu hasil yang representatif dari berbagai penilaian yang berbeda-beda;
5)
Saling ketergantungan : AHP dapat menangani saling ketergantungan elemenelemen dalam suatu system dan tak memaksakan pemikiran linier;
33
6)
Tawar menawar : AHP
mempertimbangkan prioritas-prioritas relatif dari
berbagai faktor system dan memungkinkan orang memilih alternatif terbaik berdasarkan tujuan-tujuan mereka; 7)
Penyusunan hierarki : AHP mencerminkan kecenderungan alami pikiran untuk memilah-milah elemen-elemen suatu sistem dalam berbagai tingkat berlainan dan mengelompokkan unsur yang serupa dalam setiap tingkat;
8)
Pengukuran : AHP memberi suatu skala untuk mengukur dan suatu metode untuk menetapkan prioritas;
9)
Konsistensi : AHP melacak konsistensi logis dari pertimbangan-pertimbangan yang digunakan dalam menetapkan berbagai prioritas; dan
10) Sintesis : AHP menuntut ke suatu taksiran menyeluruh tentang kebaikan setiap alternatif Pengambilan keputusan berdasarkan AHP menggunakan bilangan untuk menggambarkan suatu relatif pentingnya suatu elemen di atas yang lainnya. Nilai itu memuat skala perbandingan antara 1 sampai 9. pengalaman telah membuktikan bahwa skala dengan sembilan satuan dapat diterima dan mencerminkan derajat sampai mana kita mampu membedakan intensitas tata hubungan antar elemen. L. Analisis Sistem Dinamis Sistem adalah suatu gugus atau kumpulan dari elemen yang berinteraksi dan terorganisir untuk mencapai suatu tujuan (Djoyomartono, 2000).
Menurut Ford
(1999), sistem adalah suatu kombinasi dari dua atau lebih elemen-elemen yang saling terkait. Sedangkan menurut Syamsuddin (2001) sistem adalah setiap fenomena, baik struktural maupun fungsional yang memiliki paling sedikit dua komponen yang saling berinteraksi. Pengertian lain, sistem adalah keseluruhan interaksi antar unsur dari sebuah obyek dalam batas lingkungan tertentu yang bekerja mencapai tujuan (Muhammadi et al, 2001). Sedangkan menurut Suratmo (2002) sistem adalah penggambaran bentuk struktur atau bentuk keterkaitan antara dua komponen atau lebih yang saling berinteraksi secara fungsional. Analisis sistem adalah serangkaian teknik yang mencoba untuk : (1) mengidentifikasi sifat-sifat makro dari suatu sistem, yang merupakan perwujudan karena adanya interkasi di dalam dan di antara sub sistem, (2) menjelaskan interaksi atau proses-proses yang berpengaruh terhadap sistem secara keseluruhan sebagai
34
akibat adanya berbagai masukan, (3) menduga (meramal) apa yang mungkin terjadi pada sistem bila beberapa faktor yang ada dalam sistem berubah (Patten, 1972 dalam Darsiharjo, 2004)).
Sedangkan menurut Purnomo (2005), analisis sistem
berguna untuk mendekati masalah yang secara intuitif dapat digolongkan kedalam organized complexities atau kompleksitas yang terorganisasi.
Analisis sistem
adalah pemahaman yang berbasis pada proses, sehingga sangat penting untuk berusaha memahami proses-proses yang terjadi. Pemodelan sistem berawal dari bagaimana kita mencoba memahami dunia nyata dan menuangkannya menjadi sebuah model dengan beragam metode yang ada. Model adalah abstraksi atau penyederhanaan dari dunia nyata, yang mampu menggambarkan struktur dan interaksi elemen serta perilaku keseluruhannya sesuai dengan sudut pandang dan tujuan yang diinginkan (Purnomo, 2005). Model dapat dinyatakan baik apabila kesalahan atau simpangan hasil simulasi terhadap gejala atau proses yang ditirukan kecil (Muhammadi et.al 2001).
Sedangkan menurut
Purnomo (2005) tidak ada model yang benar dan salah. Model dinilai dari sejauh mana dia dapat berguna. Untuk pemodelan yang lebih fleksibel dan multiguna, Purnomo (2005) menyarankan dilakukan dengan fase-fase sebagai berikut : (1) identifikasi isu, tujuan, dan batasan,
(2) konseptualisasi model, (3) spesifikasi
model, (4) evaluasi model, (5) penggunaan model. Keuntungan penggunaan model dalam penelitian dengan pendekatan sistem adalah : (1) memungkinkan untuk melakukan penelitian yang lintas sektoral dengan ruang lingkup yang luas, (2) dapat dipakai untuk melakukan eksperimentasi terhadap sistem tanpa mengganggu atau memberikan perlakuan tertentu terhadap sistem, (3) mampu menentukan tujuan aktivitas pengelolaan dan perbaikan terhadap sistem yang diteliti, (4) dapat dipakai untuk menduga / meramal kelakuan dan keadaan sistem pada masa yang mendatang (Walter, 1974 dalam Darsiharjo, 2004) Simulasi adalah kegiatan atau proses percobaan dengan menggunakan suatu model untuk mengetahui perilaku sistem dan akibat pada komponenkomponen dari suatu perlakuan pada berbagai komponen. Simulasi dapat berfungsi sebagai pengganti percobaan di lapangan yang akan banyak menggunakan waktu, tenaga dan biaya (Suratmo, 2002).
35