BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Pengertian Dasar Perpajakan
2.1.1. Definisi Pajak Banyak para ahli memberikan bahasan mengenai pajak, Zain (2008:10-11) mengutip definisi pajak dari beberapa ahli sebagai berikut : P.J.A. Adriani “Pajak merupakan iuran kepada negara yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubungan dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.” Rochmat Soemitro “Pajak adalah iuran rakyat kepada Kas Negara berdasarkan undangundang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal (kontra prestasi) yang langsung dapat ditunjukan dan yangdi gunakan untuk membayar pengeluaran umum.” Sommerfeld Ray M., Anderson Herschel M., & Brock Horace R. “Pajak adalah suatu pengalihan sumber dari sektor swasta ke sektor pemerintah, bukan akibat pelanggaran hukum, namun wajib dilaksanakan, berdasarkan ketentuan yang ditetapkan lebih dahulu, tanpa mendapat imbalan yang langsung dan proporsional, agar pemerintah dapat melaksanakan tugas-tugasnya untuk menjalankan pemerintahan.” Menurut
M.J.H.
Smeets
yang
dikutip
Waluyo
(2008:5),
pajak adalah prestasi kepada pemerintah yang terutang melalui norma-norma umum, dan yang dapat di paksakan, tanpa adanya kontraprestasi yang dapat ditujukan dalam hal yang individual. Artinya pajak diberlakukan untuk membiayai pengeluaran pemerintah dalam suatu Negara atau berfungsi sebagai budgeter.
13
14
Dari pengertian-pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri yang melekat pada pengertian pajak (Waluyo, 2008:5), adalah : 1. Pajak
dipungut
berdasarkan
undang-undang
serta
aturan
pelaksanaannya yang sifatnya dapat dipaksakan. 2. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukan adanya kontra prestasi individual oleh pemerintah. 3. Pajak dipungut oleh negara baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. 4. Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah yang bila dari pemasukannya masih terdapat surplus, dipergunakan untuk membiayai public investment. 5. Pajak dapat pula mempunyai tujuan selain budgeter,yaitu mengatur.
2.1.2. Jenis-Jenis Pajak yang Berlaku di Indonesia Pajak yang berlaku di Indonesia dapat digolongkan menjadi beberapa jenis (Suandy, 2002:40), yaitu : 1. Ditinjau dari golongannya, pajak dapat dibagi menjadi dua : a. Pajak langsung adalah pajak yang dibebankan harus ditanggung oleh wajib pajak sendiri, dan tidak boleh dilimpahkan kepada orang lain. Contoh : Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Pajak perseroan (PPs), Pajak Kekayaan, Pajak deviden, Pajak bunga deposito, Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), Bea Balik Nama (BBN) dan sebagainya. b. Pajak tidak langsung adalah pajak yang pemungutannya dapat dialihkan kepada orang lain. Contoh : Pajak Penjualan(PPn), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Cukai, Pita Rokok, Pajak Tontonan, Bea Meterai, Bea Masuk (Pajak Impor), Pajak Ekspor dan sebagainya.
15
2. Ditinjau dari sifatnya,pajak dibagi menjadi dua : a. Pajak subyektif adalah pajak yang memperhatikan kondisi / keadaaan Wajib Pajak . Contoh : Pajak Penghasilan, Pajak Kekayaan dan sebagainya. b. Pajak obyektif adalah pengenaan pajak yang hanya memperhatikan kondisi objeknya. Contoh : Pajak Kekayaan, Bea Masuk, Bea Meterai, Pajak Impor, Pajak Kendaraan Bermotor, Pajak Bumi dan Bangunan, dan sebagainya.
3. Ditinjau dari wewenang pemungutnya,pajak dibagi dua : a. Pajak negara adalah pajak yang wewenang pemungutannya ada pada pemerintah pusat yang pelaksanaannya dilakukan oleh Departemen Keuangan melalui Direktorat Jenderal Pajak. b. Pajak daerah (Lokal) adalah pajak yang wewenang pemungutannya ada pada pemerintah daerah yang pelaksanaannya dilakukan oleh Dinas Pendapatan Daerah, baik yang dilakukan oleh Pemda Tingkat I maupun Pemda Tingkat II.
2.1.3. Sistem Pemungutan Pajak Menurut Siti Resmi (2008:11) dalam memungut pajak dikenal beberapa sistem pemungutan, yaitu: 1. Official Assessment System Sistem ini merupakan sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang. 2. Self Assessment System Sistem ini merupakan sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang, kepercayaan, tanggung jawab kepada wajib pajak untuk menghitung memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus dibayar.
16
3. With Holding System Sistem ini merupakan sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga untuk memotong atau memungut besarnya pajak terutang oleh wajib pajak. Sistem pemungutan perpajakan di Indonesia menganut self assessment system sejak berlakunya Undang-undang No. 6,7,8 tahun 1983. Arti dari self assessment system adalah bahwa penentuan penetapan besarnya pajak terhutang dipercayakan kepada wajib pajak sendiri sehingga wajib pajak diberi kepercayaan untuk
menghitung,
memperhitungkan,
membayar,
melaporkan,
dan
mempertanggungjawabkan sendiri pajak yang terutang. Wajib Pajak diharapkan dapat mengoperasionalkan self assessment system secara efektif. Ketentuan perpajakan diupayakan untuk mendorong dan mengutamakan penyelenggaraan pembukuan atau pencatatan untuk keperluan administrasi pajak. Wajib pajak yang belum mampu melakukan pembukuan untuk tujuan penghitungan pajak, penghasilan netonya akan dihitung berdasarkan norma penghitungan. Sebagai pendukung SPT laporan keuangan dari self assessment system merupakan laporan pertanggungjawaban atas kepercayaan menghitung pajak terutang yang diserahkan kepada tiap wajib pajak. 2.2.
Pajak Penghasilan Pajak Penghasilan di Indonesia diatur pertama kali dengan Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1983 dengan penjelasan pada Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50. Selanjutnya berturut-turut peraturan ini diamandemen oleh : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991 2. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 3. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 4. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008
17
2.2.1. Pengertian Pajak Penghasilan Definisi pajak penghasilan menurut Undang-undang No.36 Tahun 2008 Pasal 1 adalah pajak yang dikenakan terhadap Subjek Pajak Penghasilan atas Penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak. Pajak Penghasilan merupakan jenis pajak subjektif yang kewajiban pajaknya melekat pada Subjek Pajak yang bersangkutan, artinya kewajiban pajak tersebut dimaksudkan untuk tidak dilimpahkan kepada Subjek Pajak lainnya. Oleh karena itu dalam rangka memberikan kepastian hukum, penentuan saat mulai dan berakhirnya kewajiban pajak subjektif menjadi penting. 2.2.2. Subjek Pajak Penghasilan Pengertian subjek pajak menurut Siti Resmi (2008 : 81), yaitu subjek pajak penghasilan adalah segala sesuatu yang mempunyai potensi untuk memperoleh penghasilan dan menjadi sasaran untuk dikenakan Pajak Penghasilan. Undang-undang Pajak Penghasilan di Indonesia mengatur pengenaan Pajak Penghasilan terhadap subjek pajak berkenaan dengan penghasilan yang diterimanya atau diperolehnya dalam tahun pajak. Subjek pajak akan dikenakan Pajak Penghasilan apabila menerima atau memperoleh penghasilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Pasal 2 Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan yang termasuk subyek Pajak Penghasilan adalah sebagai berikut: “ 1. Yang menjadi Subjek Pajak adalah:
a. orang pribadi; warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak; b. badan; dan c. bentuk usaha tetap. (1a) Bentuk usaha tetap merupakan subjek pajak yang perlakuan perpajakannya dipersamakan dengan subjek pajak badan.
18
2. Subjek pajak dibedakan menjadi subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri. 3. Subjek pajak dalam negeri adalah : a. Subyek pajak pribadi yaitu orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia; b. badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria: 1) pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan; 2) pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah; 3) penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah; 4) pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara; c. dan warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak. 4. Subjek pajak luar negeri adalah : a. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia; dan b. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia. 5. Bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa: a. tempat kedudukan manajemen; b. cabang perusahaan; c. kantor perwakilan;
19
d. e. f. g. h. i. j. k. l. m.
gedung kantor; pabrik; bengkel; gudang; ruang untuk promosi dan penjualan; pertambangan dan penggalian sumber alam; wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi; perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan,atau kehutanan; proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan; pemberian jasa dalam bentuk apa pun oleh pegawai atau orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan; n. orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas; o. agen atau pegawai dari perusahan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia; dan p. komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan kegiatan usaha melalui internet. 6. Tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan ditetapkan oleh Direktur Jendral Pajak menurut keadaaan yang sebenarnya. ” Selanjutnya Pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008 menyebutkan pengecualian terhadap subjek Pajak Penghasilan Pasal 21 antara lain : “ a. kantor perwakilan negara asing;
b. pejabat-pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabatpejabat lain dari negara asing dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama-sama mereka dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut serta negara bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik; c. organisasi-organisasi internasional dengan syarat: 1) Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut;dan 2) tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia selain memberikan pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota; d. pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional sebagaimana dimaksud pada huruf c, dengan syarat bukan warga negara
20
Indonesia dan tidak menjalankan usaha, kegiatan, atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia. ” Berdasarkan penjelasan di atas, dapat penulis simpulkan bahwa subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri merupakan orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia kurang atau lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, tetapi memperoleh penghasilan dari Indonesia. 2.2.3. Objek Pajak Penghasilan Objek Pajak Penghasilan menurut Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008, adalah sebagai berikut: “ 1. Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan
kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun di luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk dikonsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk: a. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini; b. hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan; c. laba usaha; d. keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk: 1) keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal; 2) keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya; 3) keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan nama dan dalam bentuk apa pun; 4) keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat dan badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro
21
e. f. g.
h. i. j. k. l. m. n. o.
p. q. r.
dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan; dan 5) keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan dalam perusahaan pertambangan; penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan pembayaran tambahan pengembalian pajak; bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang; dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi ; royalti atau imbalan atas penggunaan hak sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta penerimaan atau perolehan pembayaran berkala keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah keuntungan selisih kurs mata uang asing selisih lebih karena penilaian kembali aktiva premi asuransi iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak penghasilan dari usaha berbasis syariah imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan surplus Bank Indonesia. ”
Dari penjelasan di atas, dapat penulis simpulkan bahwa penghasilan yang termasuk objek pajak adalah penghasilan yang setiap tambahannya mempunyai kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh secara baik, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan dengan nama dan dalam bentuk apapun. 2.2.4. Bukan Objek Pajak Penghasilan Berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Republik Indonesia
22
Nomor 36 Tahun 2008, terhadap penghasilan-penghasilan tertentu yang diterima atau diperoleh wajib pajak. “
1. Yang dikecualikan dari objek pajak adalah : a.1. bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima zakat yang berhak atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yangditerima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima sumbangan yang berhak, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah; dan a.2. harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan; b. warisan; c. harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal; d. pengganti atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dari Wajib pajak atau Pemerintah, kecuali yang diberikan oleh bukan Wajib pajak, Wajib pajak yang dikenakan pajak secara final atau Wajib pajak yang menggunakan norma penghitungan khusus (deemend profit) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15; e. pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa; f. dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib pajak dalam negeri, koperasi, badan usaha milik negara, atau badan usaha milik daerah, dari penyertaan modal 21 pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat: 1) dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan 2) bagi perseroan terbatas, badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah modal yang disetor;
23
g. iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai; h. penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun sebagaimana dimaksud pada huruf g, dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan; i. bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif; j. dihapus; k. penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut: 1) merupakan perusahaan mikro, kecil, menengah, atau yang menjalankan kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; dan 2) sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia. l. beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; m. sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan, yang telah terdaftar pada instansi yang membidanginya, yang ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan, dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; dan n. bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial kepada Wajib Pajak tertentu, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. ” 2.2.5. Dasar Pengenaan Pajak Dasar pengenaan pajak untuk Wajib Pajak Dalam Negeri dan Bentuk Usaha Tetap adalah penghasilan kena pajak, sedangkan Wajib Pajak Luar Negeri adalah
penghasilan
bruto
(Gunadi,2002).
Penghasilan
Kena
Pajak
(Siti Resmi, 2008:118) merupakan dasar perhitungan untuk menentukan besarnya pajak penghasilan yang terutang. Penghasilan Kena Pajak berdasarkan prinsip taxability deductability, dengan prinsip ini suatu biaya baru dapat dikurangkan
24
dari penghasilan bruto apabila pihak yang menerima pengeluaran atas biaya yang bersangkutan, melaporkannya sebagai penghasilan dan penghasilan tersebut dikenakan pajak (taxable). Misalnya tunjangan yang diberikan oleh perusahaan kepada karyawan dapat dianggap sebagai biaya dan mengurangi laba kotor jika karyawan yang menerima tunjangan tersebut mengakui tunjangan yang diberikan sebagai bagian dari penghasilan bruto dan dikenakan Pajak Penghasilan Pasal 21. Untuk mengetahui Penghasilan Kena Pajak menurut Suandy (2003:123), minimal ada lima komponen yang perlu diperhatikan, yaitu: 1. Penghasilan yang menjadi objek 2. Penghasilan yang dikecualikan sebagai objek pajak. 3. Penghasilan yang pajaknya dikenakan secara final. 4. Biaya yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto. 5. Biaya yang tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto. Besarnya penghasilan kena pajak dari seorang pegawai dihitung berdasarkan penghasilan netto dikurangi dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). PTKP adalah penghasilan minimum yang tidak boleh dikenakan pajak, yang jumlahnya adalah sebagai berikut : Tabel 2.1 Penghasilan Tidak Kena Pajak 2009 – 2012
2013
(per tahun)
(per tahun)
Tidak Kawin (TK/0)
15.840.000
24.300.000
Kawin (K/0)
17.160.000
26.325.000
Tanggungan 1 (K/1)
18.480.000
28.350.000
Tanggungan 2 (K/2)
19.800.000
30.375.000
Tanggungan 3 (K/3)
21.120.000
32.400.000
Penerima Penghasilan Tidak Kena Pajak
Sumber: http//www.pajak.go.id/
25
2.2.6. Tarif Pajak Penghasilan Tarif pajak merupakan persentase tertentu yang digunakan untuk menghitung besarnya Pajak. Tarif pajak penghasilan (Djuanda dkk, 2006:64) yaitu dalam pemungutan pajak, tarif merupakan tolak ukur untuk menetapkan beban pajak, selain pembagian Penghasilan Kena Pajak (PKP) dalam lapisan penghasilan kena pajak (income bracket). Tarif pajak orang pribadi menurut Pasal 17 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana yang diubah terakhir kali dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan. Besarnya tarif pajak penghasilan ini, mulai berlaku untuk tahun pajak 2009 dan seterusnya. Tabel 2.2 Tarif Pajak Penghasilan Tarif Progresif Pajak Penghasilan Orang Pribadi No.
Lapisan Penghasilan Kena Pajak
Tarif
1.
s.d. Rp. 50.000.000,00
5%
2.
Di atas Rp. 50.000.000,00 s.d Rp. 250.000.000,00
15%
3.
Di atas Rp. 250.000.000,00 s.d. Rp. 500.000.000,00
25 %
4.
Di atas Rp. 500.000.000,00
30 %
Tarif Tunggal Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan dan BUT Tahun pajak 2009
28%
Tahun 2010 dan seterusnya
25%
Sumber: http//www.pajak.go.id/ 2.2.7. Pengurangan atau Biaya yang Diperkenankan (Deductible Expenses) Pada prinsipnya biaya yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto adalah biaya yang mempunyai hubungan langsung dengan usaha atau kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan objek pajak. Jadi beban yang menjadi pengurang penghasilan bruto harus ada hubungan langsung dengan usaha seperti: produksi, manajeman, marketing, distribusi.
26
Pengurangan atau biaya yang diperkenankan dikurangkan dari penghasilan bruto (deductible exspense) untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak Badan dan Bentuk Usaha Tetap menurut Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan UndangUndang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008 adalah : “ 1. Besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan
bentuk usaha tetap, ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk: a. biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kegiatan usaha, antara lain: 1) biaya pembelian bahan; 2) biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji, honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang; 3) bunga, sewa, dan royalti; 4) biaya perjalanan; 5) biaya pengolahan limbah; 6) premi asuransi; 7) biaya promosi dan penjualan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; 8) biaya administrasi; dan 9) pajak kecuali Pajak Penghasilan; b. penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal 11A; c. iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan; d. kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan; e. kerugian dari selisih kurs mata uang asing; f. biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia; g. biaya bea siswa, magang, dan pelatihan; h. piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih, dengan syarat : 1) telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial; 2) Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada Direktorat Jenderal Pajak; dan
27
3) telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau instansi pemerintah yang menangani piutang negara; atau adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang antara kreditur dan debitur yang bersangkutan; atau telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus; atau adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan untuk jumlah utang tertentu; 4) syarat sebagaimana dimaksud pada angka 3 tidak berlaku untuk penghapusan piutang tak tertagih debitur kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf k; i. sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah; j. sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah; k. biaya pembangunan infrastruktur sosial yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah; l. sumbangan fasilitas pendidikan yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah; dan m. sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah. ” 2.2.8. Pengurangan atau Biaya yang Tidak Diperkenankan (Non-Deductible Exspense) Sesuai dengan Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan UndangUndang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008, pengeluaran yang tidak diperkenankan dikurangkan dari penghasilan bruto bagi wajib pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap adalah: “
1. Untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi WajibPajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap tidak boleh dikurangkan: a. pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti dividen, termasuk dividen yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi; b. biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu, atau anggota; c. pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali: 1) cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan usaha lain yang menyalurkan kredit, sewa guna usaha dengan
28
d.
e.
f.
g.
h. i. j. k.
hak opsi, perusahaan pembiayaan konsumen, dan perusahaan anjak piutang; 2) cadangan untuk usaha asuransi termasuk cadangan bantuan sosial yang dibentuk oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial; 3) cadangan penjaminan untuk Lembaga Penjamin Simpanan; 4) cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan; 5) cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha kehutanan;dan 6) cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan limbah industri untuk usaha pengolahan limbah industri, yang ketentuan dan syarat-syaratnya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa, yang dibayar oleh Wajib pajak orang pribadi, kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi Wajib pajak yang bersangkutan; penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai serta penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan; jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan; harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, kecuali sumbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat huruf i sampai dengan huruf m serta zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah; Pajak Penghasilan; biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib pajak atau orang yang menjadi tanggungannya; gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham; sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan di bidang perpajakan.”
29
2.3.
Pajak Penghasilan Pasal 21 Pajak Penghasilan Pasal 21 adalah pajak atas penghasilan yang dikenakan
atas penghasilan berupa gaji, upah, honoraruim, tunjangan dan pembayaran lain dengan nama dan bentuk apapun yang diterima oleh wajib pajak orang pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan jasa dan kegiatan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 Undang-Undang No.36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan. 2.3.1. Penghasilan yang Dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21 Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) dan (2) Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 252/PMK.03/2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak atas Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi, penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 adalah : “
1. Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 adalah: a. penghasilan yang diterima atau diperoleh Pegawai tetap, baik berupa penghasilan yang bersifat teratur maupun tidak teratur; b. penghasilan yang diterima atau diperoleh Penerima pensiun secara teratur berupa uang pensiun atau penghasilan sejenisnya; c. penghasilan sehubungan dengan pemutusan hubungan kerja dan penghasilan sehubungan dengan pensiun yang diterima secara sekaligus berupa uang pesangon, uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua atau jaminan hari tua, dan pembayaran lain sejenis; d. penghasilan pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas, berupa upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan atau upah yang dibayarkan secara bulanan; e. imbalan kepada bukan pegawai, antara lain berupa honorarium, komisi, fee, dan imbalan sejenisnya dengan nama dan dalam bentuk apapun sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan; f. imbalan kepada peserta kegiatan, antara lain berupa uang saku, uang representasi, uang rapat, honorarium, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun, dan imbalan sejenis dengan nama apapun. 2. Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk pula penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan lainnya dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diberikan oleh:
30
a. Bukan wajib pajak; b. Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final; atau c. Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan norma penghitungan khusus (deemed profit). ” Dari keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam suatu penghasilan tentunya memiliki suatu objek pajak. Dimana, objek pajak itu terdiri dari penghasilan teratur, penghasilan tidak teratur, upah yang diterima pegawai, uang saku harian, penghasilan sehubungan dengan pemberi kerja dan penghasilan tidak teratur lainnya. 1. Penghasilan yang Sifatnya Teratur a. Gaji b. Penghasilan yang melekat dengan gaji c. Tunjangan-tunjangan d. Beasiswa e. Hadiah/penghargaan f. Premi asuransi yang dibayar pemberi kerja, termasuk iuran jamsostek g. Penghasilan lain dengan nama dan dalam bentuk apapun. 2. Penghasilan yang Sifatnya Tidak Teratur a. Jasa produksi b. Tantiem c. Gratifikasi d. Tunjangan cuti e. Tunjangan hari raya f. Tunjangan tahun baru g. Premi tahunan h. Penghasilan lain i. Upah (upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan) j. Rabat/komisi
penjualan
yang
diterima
MLM/Direct Selling dan kegiatan sejenis.
oleh
Distributor
31
k. Uang tebusan pensiun, Uang tabungan hari tua, Uang tunjangan hari tua, uang pesangon l. Honorarium, uang saku, hadiah, penghargaan, komisi, beasiswa. m. Imbalan kepada tenaga ahli : pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, dan penilai. n. Imbalan lain-lain. Selanjutnya Pasal 8 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 252/PMK.03/2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak atas Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi, penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21menyebutkan pengecualian atau yang tidak termasuk dalam pengertian penghasilan yang dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21 (bukan Objek Pajak Penghasilan Pasal 21) adalah sebagai berikut: “ a. Pembayaran manfaat atau santunan asuransi dari perusahaan
b.
c.
d.
e.
asuransi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa; Penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dalam bentuk apapun diberikan oleh Wajib Pajak atau Pemerintah, kecuali penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2); Iuran pensiun yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, iuran tunjangan hari tua atau iuran jaminan hari tua kepada badan penyelenggara tunjangan hari tua atau badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja yang dibayar oleh pemberi kerja; Zakat yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari badan atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah, atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan; Beasiswa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf l Undang-Undang Pajak Penghasilan. ”
32
2.3.2. Pihak Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 21 Pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 21 dilakukan dalam tahun berjalan melalui pemotongan oleh pihak-pihak tertentu. Siti Resmi (2008:155) mendefinisikan pemotong Pajak Penghasilan Pasal 21 sebagai berikut: “Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 21 adalah pemotongan pajak yang dilakukan oleh pihak ketiga atas penghasilan yang diterima oleh wajib pajak orang pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan (seperti gaji yang diterima oleh pegawai dipotong oleh perusahaan tempat pegawai tersebut bekerja.” Berdasarkan Pasal 1 angka 4 Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 252/PMK.03/2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak atas Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi, yang dimaksud dengan Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 21, yaitu : “Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 adalah Wajib pajak orang pribadi atau Wajib pajak badan, termasuk bentuk usaha tetap, yang mempunyai kewajiban untuk melakukan pemotongan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 dan pasal 26 undangundang pajak penghasilan.” Jadi berdasarkan definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa potongan Pajak Penghasilan Pasal 21 dilakukan terhadap orang pribadi dan wajib pajak badan dalam negeri dan pemotongan pajak dilakukan oleh pemberi (pembayar) penghasilan setiap bulan. Menurut Pasal 2 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 252/PMK.03/2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak atas Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi, yang bertindak sebagai pemotong pajak yaitu: “ a. pemberi kerja yang terdiri dari orang pribadi dan badan, baik
merupakan pusat maupun cabang, perwakilan atau unit yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun, sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang dilakukan oleh pegawai atau bukan pegawai;
33
b. bendahara atau pemegang kas pemerintah termasuk bendahara atau pemegang kas kepada Pemerintah Pusat termasuk institusi TNI/POLRI, Pemerintah Daerah, instansi atau lembaga pemerintah, lembaga-lembaga negara lainnya, dan Kedutaan Besar Republik Indonesia di luar negeri, yang membayarkan gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan; c. dana pensiun, badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja, dan badan-badan lain yang membayar uang pensiun dan tunjangan hari tua atau jaminan hari tua; d. orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas serta badan yang membayar : 1. honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan jasa dan/atau kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi dengan status Subjek Pajak dalam negeri, termasuk jasa tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas dan bertindak untuk dan atas namanya sendiri, bukan untuk dan atas nama persekutuannya. 2. honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan kegiatan dan jasa yang dilakukan oleh orang pribadi dengan status Subjek Pajak luar negeri; 3. honorarium atau imbalan lain kepada peserta pendidikan, pelatihan, dan magang; e. penyelenggara kegiatan, termasuk badan pemerintah, organisasi yang bersifat nasional dan internasional, perkumpulan, orang pribadi serta lembaga lainnya yang menyelenggarakan kegiatan, yang membayar honorarium, hadiah, atau penghargaan dalam bentuk apapun kepada Wajib pajak orang pribadi dalam negeri berkenaan dengan suatu kegiatan. ”
2.3.3. Penerima Penghasilan yang Dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21 Berdasarkan Pasal 3 Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 252/PMK.03/2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak atas Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi, penerima penghasilan yang dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21 adalah sebagai berikut : “
1. Penerima Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 21 adalah orang pribadi yang merupakan : a. pegawai ;
34
b. penerima uang pesangon, pensiun atau uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, atau jaminan hari tua, termasuk ahli warisnya; c. bukan pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan, antara lain meliputi: 1) tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris; 2) pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama, penari, pemahat, pelukis, dan seniman lainnya; 3) olahragawan, penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator; 4) pengarang, peneliti, dan penerjemah; 5) pemberi jasa dalam segala bidang termasuk teknik komputer dan sistem aplikasinya, telekomunikasi, elektronika, fotografi, ekonomi, dan sosial serta pemberi jasa kepada suatu kepanitiaan; 6) agen iklan; 7) pengawas atau pengelola proyek; 8) pembawa pesanan atau yang menemukan langganan atau yang menjadi perantara; 9) petugas penjaja barang dagangan; 10) petugas dinas luar asuransi; 11) distributor perusahaan multilevel marketing atau direct selling dan kegiatan sejenis lainnya; d. peserta kegiatan yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan keikutsertaannya dalam suatu kegiatan, antara lain meliputi : 1) peserta perlombaan dalam segala bidang, antara lain perlombaan olahraga, seni, ketangkasan, ilmu pengetahuan, teknologi dan perlombaan lainnya; 2) peserta rapat, konferensi, sidang, pertemuan, atau kunjungan kerja; 3) peserta atau anggota dalam suatu kepanitiaan sebagai penyelenggara kegiatan tertentu; 4) peserta pendidikan, pelatihan, dan magang; 5) peserta kegiatan lainnya. ” Selanjutnya Pasal 4 Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 252/PMK.03/2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak atas Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi menyebutkan pengecualian terhadap penerima Pajak Penghasilan Pasal 21, yaitu:
35
“
2.4.
1. Tidak termasuk dalam pengertian Penerima Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 adalah: a. Pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat lain dari negara asing, dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama mereka, dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut, serta Negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik; b. Pejabat perwakilan organisasi internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c Undang-Undang Pajak Penghasilan, yang telah ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dengan syarat bukan warga Negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia. ”
Natura dan Kenikmatan Pajak Penghasilan Pasal 21 Definisi natura menurut Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-
03/PJ.23/1984 tentang pengertian kenikmatan dalam bantuk natura (seri Pajak Penghasilan Pasal 21-02), kenikmatan dalam bentuk natura adalah setiap balas jasa yang diterima atau diperoleh pegawai, karyawan, atau karyawati dan atau keluarganya tidak dalam bentuk uang dari pemberi kerja. Di dalam Undang Undang Pajak Penghasilan 1984 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang – Undang Nomor 36 tahun 2008 istilah natura dapat dilihat dipasal – pasal berikut ini : 1. Pasal 4 ayat 3 huruf d Yang dikecualikan dari objek pajak diantaranya adalah penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau Pemerintah, kecuali yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak, Wajib Pajak yang dikenakan pajak secara final atau Wajib Pajak yang menggunakan norma penghitungan khusus (deemed profit) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15.
36
2. Pasal 9 ayat 1 huruf e Untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap tidak boleh dikurangkan. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai serta penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
2.4.1. Dasar Hukum yang Mengatur Natura dan Kenikmatan Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur tentang imbalan natura adalah Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor PMK-83/PMK.03/2009 tentang Penyediaan Makanan dan Minuman Bagi Seluruh Pegawai Serta Penggantian atau Imbalan dalam Bentuk Natura dan Kenikmatan di Daerah Tertentu dan yang Berkaitan Dengan Pelaksanaan Pekerjaan yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto Pemberi Kerja. Berdasarkan pasal-pasal yang terdapat di dalam Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor PMK-83/PMK.03/2009 dapat diambil beberapa intisarinya sebagai berikut : Pemberian natura dan kenikmatan yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto pemberi kerja dan bukan merupakan penghasilan bagi pegawai yang menerimanya adalah : 1. Pemberian atau penyediaan makanan dan/atau minuman bagi seluruh Pegawai yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan. Khusus untuk pegawai yang tidak dapat menikmati makanan dan atau minuman tersebut di tempat kerja maka dapat diberikan dalam bentuk kupon, meliputi pegawai bagian pemasaran, transportasi, serta pegawai dinas luar lainnya. 2. Penggantian atau imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan yang diberikan berkenaan dengan pelaksanaan pekerjaan di daerah tertentu
37
dalam rangka menunjang kebijakan pemerintah untuk mendorong pembangunan di daerah tersebut. Natura tersebut adalah sarana dan fasilitas di lokasi kerja untuk : a. tempat
tinggal,
termasuk
perumahan
bagi
Pegawai
dan
keluarganya; b. pelayanan kesehatan; c. pendidikan bagi Pegawai dan keluarganya; d. peribadatan; e. pengangkutan bagi Pegawai dan keluarganya; f. olahraga bagi Pegawai dan keluarganya tidak termasuk golf, power boating, pacuan kuda, dan terbang layang, sepanjang sarana dan fasilitas tersebut tidak tersedia, sehingga pemberi kerja harus menyediakannya sendiri. g. Daerah tertentu adalah daerah yang secara ekonomis mempunyai potensi yang layak dikembangkan tetapi keadaan prasarana ekonomi pada umumnya kurang memadai dan sulit dijangkau oleh transportasi umum, baik melalui darat, laut maupun udara, sehingga untuk mengubah potensi ekonomi yang tersedia menjadi kekuatan ekonomi yang nyata, penanam modal menanggung risiko yang cukup tinggi dan masa pengembalian yang relatif panjang, termasuk daerah perairan laut yang mempunyai kedalaman lebih dari 50 (lima puluh) meter yang dasar lautnya memiliki cadangan mineral. 3. Pemberian natura dan kenikmatan yang merupakan keharusan dalam pelaksanaan pekerjaan sebagai sarana keselamatan kerja atau karena sifat pekerjaan tersebut mengharuskannya. Natura tersebut meliputi pakaian dan peralatan untuk keselamatan kerja, pakaian seragam petugas keamanan (satpam), sarana antar jemput Pegawai, serta penginapan untuk awak kapal, dan yang sejenisnya
38
2.4.2. Natura yang Diperbolehkan dan Tidak Diperbolehkan Menjadi Biaya Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor 252/PMK.03/2008, dapat ditarik kesimpulan natura dan kenikmatan dari sisi biaya dapat dikelompokan menjadi dua yaitu natura yang sifatnya deductible expense (diperbolehkan untuk dibiayakan) serta natura yang sifatnya non deductible expense (tidak diperbolehkan menjadi biaya). Natura yang sifatnya deductible expense adalah pemberian makanan dan atau minuman untuk seluruh pegawai , natura atau kenikmatan yang diberikan berkenaan dengan pelaksanaan pekerjaan di daerah tertentu dalam rangka menunjang kebijakan pemerintah untuk mendorong pembangunan di daerah tersebut, dan natura dan kenikmatan yang merupakan keharusan dalam pelaksanaan pekerjaan sebagai sarana keselamatan kerja atau karena sifat pekerjaan tersebut mengharuskannya. Pemberian natura dan kenikmatan di luar tiga hal tadi merupakan non deductible exspense. Natura dari sisi penghasilan dapat dikelompokan menjadi natura yang taxable (terutang pajak penghasilan) dan natura yang non taxable (tidak terutang pajak penghasilan). Natura sebagai penghasilan yang sifatnya taxable (terutang pajak penghasilan) adalah penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan lainnya dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diberikan oleh bukan Wajib pajak, Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final atau Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan norma penghitungan khusus (deemed profit). 2.5.
Tax Planning Makin pentingnya variabel pajak sebagai komponen yang harus
diperhitungkan, membuat banyak perusahaan melakukan tax planning. Meskipun Dirjen Pajak pernah mengungkapkan bahwa tax planning. bagi perusahaan dianggap benar sepanjang tidak menyalahi peraturan perpajakan yang berlaku. Karena harus diakui tidak ada satu pasalpun dalam Undang-undang Perpajakan yang melarang dilakukannya perencanaan pajak.
39
2.5.1. Pengertian Tax Planning Perencanaan Pajak merupakan langkah awal dalam manajemen pajak. Manajemen pajak menurut Lumbantoruan (dalam Suandy, 2003:6) merupakan sarana untuk memenuhi kewajiban perpajakan dengan benar, tetapi jumlah pajak yang dibayarkan dapat ditekan seminimal mungkin untuk memperoleh laba dan likuiditas yang diharapkan. Pada tahap perencanaan pajak ini, dilakukan pengumpulan dan penelitian terhadap peraturan perpajakan. Perencanaan pajak menurut Zain (2008:67) merupakan tindakan penstukturan yang terkait dengan konsekuensi potensi pajaknya, yang tekanannnya kepada pengendalian setiap transaksi yang ada konsekuensi pajaknya. Terdapat tiga hal yang harus diperhatikan dalam perencanaan pajak (Suandy,2003:10) yaitu : 1. Tidak melanggar ketentuan perpajakan 2. Secara bisnis masuk akal 3. Bukti-bukti pendukungnya memadai Dapat ditarik kesimpulan, bahwa perencanaan pajak adalah proses pengelolaan kewajiban perpajakan sehingga hutang pajaknya baik pajak penghasilan maupun pajak-pajak lainnya, berada dalam posisi yang minimal, sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan atau dilakukan secara legal yang dapat diterima oleh aparat perpajakan. 2.5.2. Tujuan dan Manfaat Tax Planning Menurut Zain (2008:67) tujuan dari perencanaan pajak adalah bagaimana pengendalian tersebut dapat mengefisiensikan jumlah pajak yang akan ditransfer ke pemerintah, melalui apa yang disebut sebagai penghindaran pajak (tax avoidance) dan bukan
merupakan penyelundupan pajak (tax evasion) yang
merupakan tindak pidana fiskal yang tidak akan ditoleransi. Pada umumnya, penekanan perencanaan pajak (tax planning) adalah untuk meminimimalisasi kewajiban pajak.
40
Manfaat perencanaan pajak (www.kompasiana.com) dapat dilakukan dengan prinsip-prinsip sebagai berikut : 1. Penghematan kas keluar. Perencanaan pajak dapat menghemat pajak yang merupakan biaya bagi perusahaan. 2. Mengatur aliran kas
(cash
flow).
Perencanaan pajak
dapat
mengestimasi kebutuhan kas untuk pajak dan menentukan saat pembayaran sehingga perusahaan dapat menyusun anggaran kas secara lebih akurat.
2.5.3. Langkah-Langkah Pokok Tax Planning 1. Tahapan Perencanaan Pajak (Suandy,2003:14) a. Menganalisis informasi yang ada (analyzing the existing data base) b. Membuat satu atau lebih model kemungkinan jumlah pajak (designing one or more possible tax plans) c. Mengevaluasi pelaksanaan perencanaan pajak (evaluating a tax plan) d. Mencari kelemahan dan memperbaiki kembali rencana pajak (debugging the tax plans) e. Memutakhirkan rencana pajak (updating the tax plan)
2. Strategi Umum Perencanaan Pajak a. Tax saving merupakan upaya efisiensi beban pajak melalui pemilihan alternatif pengenaan pajak dengan tarif yang lebih rendah. Misalnya, perusahaan dapat melakukan perubahan pemberian natura kepada karyawan menjadi tunjangan dalam bentuk uang. b. Tax avoidance merupakan upaya efisiensi beban pajak dengan menghindari pengenaan pajak melalui transaksi yang bukan merupakan objek pajak. Misalnya, perusahaan yang masih mengalami kerugian, perlu mengubah tunjangan karyawan dalam
41
bentuk uang menjadi pemberian natura karena natura bukan merupakan objek pajak Pajak Penghasilan Pasal 21. c. Menghindari pelanggaran atas peraturan perpajakan dengan menguasai peraturan pajak yang berlaku, perusahaan dapat menghindari
timbulnya
sanksi
perpajakan
berupa,
sanksi
administrasi dan sanksi pidana. d. Menunda
pembayaran
kewajiban
pajak
tanpa
melanggar
peraturan yang berlaku dapat dilakukan melalui penundaan pembayaran Pajak Pertambahan Nilai. Penundaan ini dilakukan dengan menunda penerbitan faktur pajak keluaran hingga batas waktu yang diperkenankan, khususnya untuk penjualan kredit. Dalam hal ini, penjual dapat menerbitkan faktur pajak pada akhir bulan berikutnya setelah bulan penyerahan barang. e. Mengoptimalkan kredit pajak yang diperkenankan, Wajib Pajak sering kurang memperoleh informasi mengenai pembayaran pajak yang dapat dikreditkan yang merupakan pajak dibayar dimuka. Misalnya, PPh Pasal 22 atas impor, PPh Pasal 23 atas penghasilan jasa atau sewa dll.
Menurut Mohammad Zain (2003:78), dalam rangka mendesain suatu perencanaan pajak, ada beberapa alternatif pendekatan yang sistematis yang dapat dilakukan, tetapi kesemuanya itu bertitik tolak kepada formula umum perhitungan pajak berikut ini :
42
Tabel 2.3 Formula Umum Penghitungan Pajak Penghasilan 1
Jumlah seluruh penghasilan
Pasal 4 ayat (1)
2
(-)
Penghasilan tidak objek pajak penghasilan
Pasal 4 ayat (3)
3
(=)
Penghasilan Bruto
(1-2)
4
(-)
Biaya Fiskal boleh dikurangkan
Pasal 6 ayat (1) Pasal 11 Pasal 11A
Koreksi:
Biaya
Fiskal
tidak
boleh Pasal 9 ayat (1) dan
dikurangkan
(2)
5
(=)
Penghasilan Neto
(3-4)
6
(-)
Kompensasi Kerugian
Pasal 6 ayat (2)
7
(-)
Penghasilan Tidak Kena Pajak (WP Orang Pasal 7 ayat (1) Pribadi)
8
(=)
Penghasilan Kena Pajak
(5-6-7)
9
(x)
Tarif
Pasal 17
10
(=)
Pajak Penghasilan Terutang
(8 x 9)
11
(-)
Kredit Pajak
Pasal 21 (WP Orang Pribadi) Pasal 22, 23, 24, 25
12
(=)
Pajak Penghasilamn Kurang Bayar/Lebih (10-11) Bayar/Nihil Bayar
Pasal 28, 28A, 29
Sumber : Manajemen Perpajakan, Mohammad Zain (2008:79) 2.5.4.
Pelaksanaan Kewajiban Perpajakan (Tax Implementation) Apabila pada tahap perencanaan pajak telah diketahui faktor-faktor yang
akan dimanfaatkan untuk melakukan penghematan pajak, maka langkah selanjutnya adalah mengimplementasikannya baik secara formal maupun material. Harus dipastikan bahwa pelaksanaan kewajiban perpajakan telah memenuhi peraturan perpajakan yang berlaku. Manajemen pajak tidak dimaksudkan untuk melanggar peraturan dan jika dalam pelaksanaannya menyimpang dari peraturan
43
yang berlaku, maka praktik tersebut telah menyimpang dari tujuan manajemen pajak. Untuk mencapai tujuan manajemen pajak ada dua hal yang perlu dikuasai dan dilaksanakan (Suandy, 2003:10) yaitu : 1. Memahami ketentuan perpajakan Dengan mempelajari ketentuan perpajakan seperti Undang-undang, Keputusan Presiden, Keputusan Menteri Keuangan, Keputusan Dirjen Pajak, dan Surat Edaran Dirjen Pajak dapat diketahui peluang-peluang yang dapat dimanfaatkan menghemat beban pajak. 2. Menyelenggarakan pembukuan yang memenuhi syarat Pembukuan merupakan sarana yang sangat penting dalam penyajian informasi keuangan perusahaan yang disajikan dalam bentuk laporan keuangan yang menjadi dasar dalam menghitung besarnya jumlah pajak terutang.
2.5.5. Pengendalian Pajak (Tax Control) Pengendalian pajak (Suandy, 2003:11) bertujuan untuk memastikan bahwa kewajiban perpajakan telah dilaksanakan sesuai dengan yang telah direncanakan dan telah memenuhi persyaratan formal maupun material. Dalam pengendalian pajak yang penting adalah pemeriksaan pembayaran pajak. Oleh sebab itu, pengendalian dan pengaturan arus kas sangat penting dalam penghematan pajak, misalnya melakukan pembayaran pajak pada saat terakhir tentu lebih menguntungkan jika dibandingkan dengan membayar lebih awal. Pengendalian pajak termasuk pemerikasaan jika perusahaan telah membayar pajak lebih besar daripada pajak terutang. 2.6.
Pajak Penghasilan Badan
2.6.1. Pengertian Pajak Penghasilan Badan Pajak Penghasilan Badan merupakan pajak yang harus dibayar oleh suatu entitas badan, dari laba fiskalnya dalam satu tahun pajak atau juga merupakan
44
pembayaran pajak dalam tahun berjalan yang harus dibayar oleh setiap wajib pajak badan. Sedangkan pengertian badan itu sendiri dalam Undang-undang No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Pasal 1, menyebutkan bahwa: “Sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara atau Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi sejenis, lembaga, bentuk usaha tetap dan bentuk badan lainnya.” 2.6.2. Efisiensi Pajak Penghasilan Badan Menurut Djuanda dkk. (2006:80) apabila diinginkan suatu beban pajak penghasilan yang efisien, maka yang harus dilakukan yaitu: 1. Usahakan penghasilan tersebut tidak termasuk pengertian penghasilan yang dapat dikenakan pajak penghasilamn atau penghasilan yang kena pajak diganti dengan penghasilan yang tidak kena pajak atau pengenaan pajaknya ditangguhkan. 2. Tingkatkan biaya-biaya yang dapat dikurangkan atau biaya tertentu yang tidak dapat dikurangkan dari penghasilan kena pajak dikurangi dan dialihkan ke biaya-biaya yang dapat dikurangi dan dialihkan ke biaya-biaya yang dapat dikurangkan. 3. Perpanjang jangka waktu pengenaan pajak atas penghasilan atau perpendek jangka waktu biaya-biaya yang dapat dikurangkan. 4. Pertimbangkan antara naiknya penghasilan dengan beban pajak yang meningkat, atau naiknya biaya tertentu dengan berkurangnya beban pajak, dan hasil akhir (neto) harus memperbesar laba setelah pajak penghasilan. Dalam Indonesia Tax Review diuraikan upaya untuk melakukan efisiensi dalam Pajak Penghasilan Badan, antara lain : “
45
1. Alternatif Pembukuan dan Pencatatan Setiap pembayaran pajak yang berstatus badan, diwajibkan oleh ketentuan perpajakan untuk menyelenggarakan pembukuan, yaitu sebuah proses pencatatan yang teratur, yang mengadministrasikan dan memelihara dokumentasi yang berkaitan dengan harta, utang, modal, penjualan, pembelian dan sebagainya. kurang lebih, hal ini adalah sama dengan yang dituntut dalam sebuah sistem akuntansi pada umumya. Selain pembayar pajak yang wajib pembukuan itu, ada pula pembayar pajak yang diperbolehkan hanya melakukan pencatatan, yaitu sekedar pemeliharaan informasi berkaitan dengan peredaran usaha, tanpa diharuskan menggunakan sistem atau mekanisme tertentu. Kumpulan faktur komersial dan buku kas atau rekening Koran, sudah memenuhi kriteria ini. Pembayar pajak yang boleh memilih model ini, hanyalah pembayar pajak tertentu saja, yaitu pembayar pajak perorangan yang peredaran usahanya kurang dari Rp 600.000.000,00 dalam setahun. Jika pembayar pajak menggunakan pembukuan, maka dalam hal ini ia pun harus menentukan metode pembukuan yang dianutnya. Hal ini penting, menginat bahwa sedapat mungkin metode yang digunakan harus diterapkan secara konsisten dari periode ke periode lain.Metode pembukuan yang umum digunakan adalah metode akrual, penghasilan atau biaya akan diakui saat diperoleh (munculnya hak) atau dibebankan (munculnya kewajiban) secara akuntansi. sebaliknya dalam metode kas, penghasilan dan biaya hanya akan diakui jika sudah benar-benar diterima tunai atau dibayarkan secara tunai. Berkaitan dengan metode kas di atas, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu bahwa metode kas yang diakui dalam sistem perpajakan bukanlah metode kas yang murni, melainkan metode kas yang dimodifikasi (modified cash basis), yang memiliki karakteristik antara lain : a. Penghitungan jumlah penjualan harus meliputi seluruh penjualan, baik tunai maupun kredit. Begitu pula dalam menghitung harga pokok penjualan, harus memperhitungkan seluruh pembelian dan persediaan; b. Harta yang masa manfaatnya lebih dari satu tahun, hars dibebankan melalui penyusutan atau amortisasi; c. Biaya yang boleh dibebankan adalah biaya-biaya yang memang telah dibayar. 2. Transaksi Kesejahteraan Karyawan Selain gaji atau uah, pembayar pajak yang mempekerjakan orang lain sebagai karyawan, biasanya juga memberikan berbagai bentuk balas jasa yang lain. a. Pajak Penghasilan Pasal 21 Pegawai Pembayaran dan pembebanan PPh Pasal 21 yang terutang pada gaji, upah dan imbalan lain yang diterima karyawan berbagai pembayaran pajak orang pribadi dalam negeri, dapat berbentuk :
46
b.
c.
d.
e.
f.
1) Beban pegawai atau karyawan yang bersangkutan. Pemberi kerja hanya berlaku sebagai Pemotong PPh pasal 21; 2) Tunjangan kepada pegawai (gross up), yang tercantum dalam slip gaji atau upah pegawai. Tunjangan ini boleh dibebankan sebagai biaya untuk mengurangi penghasilan bruto dalam penghitungan PPh Badan; 3) Tanggungan pemberi kerja. PPh Pasal 21 tidak tercantum sebagai tunjangan. Ini adalah kenikmatan yang tidak boleh dibebankan sebagai biaya untuk mengurangi penghasilan bruto dalam penghitungan PPh Badan. Pengobatan/Kesehatan Pegawai Bentuk-bentuk dari fasilitas ini bisa berupa : 1) Rumah sakit atau klinik yang didirikan oleh perusahaan. ini adalah kenikmatan yang tidak boleh dibebankan secara fiskal; 2) Penunjukkan dokter atau apotek tertentu sebagai pihak dan tempat yang harus didatangi oleh pegawai jika ingin bertemu dengan dokter dan mengambil obat. Ini juga diperhitungkan sebagai kenikmatan yang tidak boleh dibiayakan secara fiskal.; Premi Asuransi Pegawai Premi asuransi dapat dibebankan sebagai biaya fiskal sepanjang premi tersebut dimasukkan sebagai unsur penghasilan karyawan. Asuransi yang diakui secara fiskal adalah asuransi kesehatan, asuransi dwiguna, asuransi jiwa, asuransi kematian, asuransi kecelakaan kerja dan asuransi bea siswa. Iuran Pensiun dan Iuran JHT Iuran pensiun dan JHT yang dibayarkan perusahaan adalah biaya bagi perusahaan dan bukan penghasilan bagi karyawan yang bersangkutan. Perumahan Karyawan Bentuk-bentuk dari fasilitas ini bisa berupa: 1) Penyediaan rumah dinas yang dibeli atau dibangun perusahaan. ini adalah natura dan kenikmatan yang tidak boleh dibebankan sebagai biaya fiskal; 2) Penggantian uang sewa rumah yang dibayar oleh karyawan dan tidak dapat dibiayakan oleh perusahaan; 3) Pemberian uang tunjangan perumahan kepada karyawan. Ini adalah biaya perusahaan dan menambah penghasilan karyawan. Transport Karyawan Bentuk-bentuk dari fasilitas ini bisa berupa : 1) Antar jemput dengan kendaraan perusahaan; 2) Pemberian tunjangan transport kepada pegawai. Ini adalah biaya perusahaan dan penghasilan karyawan; 3) Pemberian kendaraan perusahaan untuk dibawa pulang pegawai (penyusutan hanya diakui 50%).
47
g. Seragam Karyawan Jika seragam menjadi keharusan dalam rangka pelaksanaan pekerjaan, keamanan, keselamatan atau berkaitan dengan lingkungan kerja, maka seragam itu adalah termasuk biaya yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan. keharusan ini biasanya merupakan pengharusan dari departemen yang terkait, seperti Depnakertrans misalnya. h. Natura Lain untuk Pegawai Pemberian natura lainnya kepada karyawan, dapat dibebankan sebagai biaya fiskal dengan cara mengubahnya menjadi tunjangan kepada pegawai yang merupakan Objek Pajak Penghasilan Pasal 21. i. Perjalanan Dinas Biaya perjalanan dinas juga bisa berupa beberapa bentuk yang aspek pajaknya berbeda-beda. j. Bonus dan Jasa Produksi Bonus dan jasa produksi merupakan biaya yang dikurangkan bila dibebankan dalam tahun berjalan. Bila dibebankan ke retained earnings (laba ditahan) tidak boleh dibiayakan. Tantiem tidak bisa dibebankan sebagai biaya dan merupakan penghasilan bagi penerimanya. k. Natura di Daerah Terpencil Khusus untuk daerah yang memenuhi syarat sebagai daerah terpencil, natura boleh dibiayakan. Hal ini diatur dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-231/PJ/2001 yang didalamnya mengatur pengertian daerah terpencil dan kelompok natura serta kenikmatan yang dapat dibiayakan. 3. Metode Penyusutan dan Amortisasi Sejak tahun 1995, metode penyusutan dan amortisasi yang diakui perpajakan adalah: a. Metode garis lurus; b. Metode saldo menurun. Pemilihan metode ini berpengaruh pada kondisi cash flow yang berasal dari penyusutan. Yang jelas, penyusutan adalah beban non kas yang akan membedakan antara laba dalam fiskal dan laba komersial. 4. Transaksi dengan Aspek Witholding Tax Perusahaan biasanya dilekati dengan kewajiban untuk memotong pajak yang diekspos terhadap penghasilan pihak lain. Kegagalan dalam memenuhiaspek pajak ini, juga akan membawa konsekuensi bagi perusahaan sebagai pihak yang sebenarnya melakukan pemotongan pajak, sekalipun beban pajak itu tidak berada di pundaknya. 5. Penyertaan pada Perseroan Terbatas Dalam Negeri
48
Dividen yang diterima perusahaan jika melakukan penyertaan ke dalam saham perseroan terbatas dalam negeri, tidak dikenai pajak sepanjang syarat berikut terpenuhi: a. Dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; b. Memiliki saham paling rendah 25% dari jumlah modal disetor; dan c. Mempunyai usaha aktif di luar penyertaan itu. 6. Optimalisasi Kredit Pajak Pajak yang dapat dikreditkan dari jumlah PPh Badan yang terutang adalah pajak yang dibayar sendiri seperti PPh pasal 25. Selain itu, pajak yang dipotong oleh pihak lain yang sifatnya tidak final seperti PPh Pasal 22, PPh Pasal 23 dan PPh Pasal 24. Berkaitan dengan ini, maka bukti setor dan bukti pemotongan harus diadministrasikan dengan baik. 7. PPh Pasal 25 Sebagaimana diketahui, PPh Pasal 25 adalah cicilan atau uang muka pembayaran pajak yang harus dibayar setiap bulan. Jumlah ini cenderung tetap atau menjadi lebih besar akibat diterbitkannya ketetapan pajak, dan jika dirasakan terlalu besar maka hal ini bisa mengganggu cash flow perusahaan. berkaitan dengan hal tersebut perusahaan dimungkinkan untuk mengajukan permohonan pembayaran PPh Pasal 25. 8. Surat Keterangan Bebas (SKB) PPh Pasal 22 dan PPh Pasal 23 Untuk dapat memperoleh SKB, ada beberapa syarat yang dipenuhi, yaitu: a. Dalam tahun berjalan dapat menunjukkan tidak akan terutang Pajak Penghasilan karena mengalami kerugian. b. Memang berhak melakukan kompesasi kerugian fiskal dalam (SKP atau dalam SPT) sepanjang kerugian tersebut jumlahnya lebih besar daripada perkiraan penghasilan neto tahun pajak yang bersangkutan. c. Pajak penghasilan yang telah dibayar lebih besar dari Pajak Penghasilan yang Terutang. ” 2.6.3. Kebijakan Pajak Penghasilan Pasal 21 dalam Hubungannya dengan Pajak Penghasilan Badan Bila ditinjau dari sudut Pajak Penghasilan Badan, perlakuan pajak atas kebijakan Pajak Penghasilan Pasal 21 tentu akan dikembalikan ke prinsip umum yang berlaku dalam hubungan kerja antara karyawan dengan perusahaan, yaitu taxability-deductibility. Jika perusahaan memberikan benefit in cash, maka berlaku taxable income (Objek Pajak Penghasilan Pasal 21) di karyawan dan deductible exspense (biaya fiskal) di perusahaan. Apabila perusahaan memberikan
49
benefit in kinds (fringe benefit), maka berlaku non taxable income (bukan Objek Pajak Penghasilan Pasal 21) di pegawai dan non deductible exspense (bukan biaya fiskal) di perusahaan. Pilihan pemberian kenikmatan atau tunjangan pajak bisa menjadi celah bagi Wajib pajak untuk melakukan penggeseran pengenaan pajak. Caranya dengan mengubah kebijakan yang dapat memungkinkan Wajib pajak melakukan pergeseran beban, yaitu dari non deductible exspense ke deductible exspense. Pada saat yang sama juga terjadi pergeseran penghasilan, yaitu dari taxable income menjadi non taxable income. Dalam rangka memberikan kesejahteraan yang lebih baik pada karyawannya, beberapa perusahaan memberikan tunjangan Pajak Penghasilan pasal 21 kepada karyawannya.