BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pulau-Pulau Kecil 2.1.1 Karakteristik Pulau-Pulau Kecil Definisi pulau menurut UNCLOS (1982) dalam Jaelani dkk (2012) adalah daratan yang terbentuk secara alami, dikelilingi oleh air dan selalu berada di atas permukaan air pada saat pasang tertinggi. Sementara pengertian pulau-pulau kecil menurut Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Keciladalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km2 beserta kesatuan ekosistemnya. Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan memiliki lebih dari 10.000 pulau-pulau kecil. Gili Air, Gili Meno dan Gili Trawangan merupakan salah satu diantaranya. Potensi sumberdaya dan jasa lingkungan kelautan yang terdapat di pulaupulau kecil akan tergantung pada proses terbentuknya pulau serta posisi atau letak pulau tersebut, sehingga secara geologis pulau-pulau tersebut memiliki formasi struktur berbeda dan dalam proses selanjutnya pulau-pulau tersebut juga akan memiliki kondisi lingkungan, sumberdaya lingkungan, serta keanekaragaman yang spesifik dan unik (Bengen dan Retraubun 2006). Berikut adalah karakteristik pulau-pulau kecil menurut Undang-Undang No.27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil: 1. Terpisah dari pulau besar. 2. Sangat rentan terhadap perubahan yang disebabkan alam dan/atau disebabkan manusia. 3. Memiliki keterbatasan daya dukung pulau. 4. Apabila berpenghuni, penduduknya mempunyai kondisi sosial dan budaya yang khas. 5. Ketergantungan ekonomi lokal pada perkembangan ekonomi luar pulau, baik pulau induk maupun kontinen. Kawasan pulau-pulau kecil termasuk pantainya merupakan sumberdaya alam hayati dan aset wisata bahari yang sangat potensial. Pantai merupakan 9
10
bagian dari ekosistem pesisir yang mempunyai nilai ekonomis tinggi karena selain berfungsi sebagai daerah penyangga juga dapat berfungsi sebagai daerah wisata. Kebijakan pemerintah terhadap pembangunan wisata bahari, mengindikasikan potensi kelautan telah menjadi salah satu andalan bagi pertumbuhan ekonomi nasional. Hal ini pun tidak lepas dari bidang perikanan karena didalamnya terkandung keanekaragaman flora dan fauna laut serta ekosistem lainnya yang dapat mendatangkan nilai ekonomi bagi manusia (Hutabarat dan Rompas 2007). Berbagai permasalahan yang ada seperti permasalahan lingkungan fisik perairan yang disebabkan oleh berbagai bentuk pencemaran, permasalahan ekonomi masyarakat, permasalahan sosial dan budaya yang berimplikasi kepada aktivitas yang bersifat mengganggu kelestarian sumberdaya serta terbatasnya sarana dan prasarana penunjang merupakan faktor-faktor yang menghambat pengembangan aktivitas perekonomian di kawasan pulau-pulau kecil (Hutabarat dan Rompas 2007).
2.1.2 Sumberdaya Alam Pulau-Pulau Kecil Dahuri (1998) menjelaskan bahwa secara umum sumberdaya alam yang terdapat di kawasan pulau-pulau kecil terbagi menjadi 3 (tiga) macam, yaitu sumberdaya yang dapat pulih (renewable resources), meliputi ikan, plankton, moluska, mamalia laut, rumput laut, lamun, mangrove, terumbu karang dan crustacea; sumberdaya tidak dapat pulih (non renewableresources), meliputi minyak bumi dan gas serta bahan tambang lainnya; dan jasa-jasa lingkungan (enviromental resources), meliputi pariwisata dan perhubungan laut. Potensi jasa-jasa lingkungan yang terdapat di kawasan pulau-pulau kecil seperti pariwisata bahari dan perhubungan laut merupakan potensi yang memiliki nilai tinggi bagi peningkatan pendapatan masyarakat setempat maupun nasional. Keanekaragaman dan keindahan yang terdapat di pulau-pulau kecil tersebut merupakan daya tarik tersendiri dalam pengembangan pariwisata (Dahuri 1998).
11
2.2 Kawasan Konservasi Perairan Kawasan Konservasi Perairan menurut PP No. 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan adalah kawasan perairan yang dilindungi, dikelola dengan sistem zonasi, untuk mewujudkan pengelolaan sumber daya ikan dan lingkungannya secara berkelanjutan. Kawasan Konservasi Perairan tersebut dibagi menjadi: 1. Taman Nasional Perairan, yaitu kawasan konservasi perairan yang mempunyai ekosistem asli, yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan kegiatan yang menunjang perikanan yang berkelanjutan, wisata perairan dan rekreasi. 2. Taman Wisata Perairan, yaitu kawasan konservasi perairan dengan tujuan untuk dimanfaatkan bagi kepentingan wisata perairan dan rekreasi. 3. Suaka Alam Perairan, yaitu kawasan konservasi perairan dengan ciri khas tertentu untuk
tujuan perlindungan keanekaragaman jenis
ikan
dan
ekosistemnya. 4. Suaka Perikanan, yaitu kawasan perairan tertentu, baik air tawar, payau, maupun laut dengan kondisi dan ciri tertentu sebagai tempat berlindung/ berkembang biak jenis sumberdaya ikan tertentu yang berfungsi sebagai daerah perlindungan. Kawasan Gili Matra termasuk dalam bagian dari Taman Wisata Perairan. Hal tersebut dikarenakan Gili Matra adalah kawasan konservasi perairan yang aktivitas pariwisatanya sangat menonjol. Gili Matra juga merupakan bagian dari Kawasan Konservasi Perairan Nasional yang berada dibawah pemerintah pusat, bukan daerah. Oleh karena itu meski secara geografis letaknya berada di Provinsi Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat tetapi lembaga pemerintah dibawah Kementerian Kelautan Perikanan yang secara langsung mengelola kawasan tersebut adalah Balai Kawasan Konservasi Perairan Kupang yang notabenenya berada di Nusa Tenggara Timur.
12
2.3 Minawisata Bahari Minawisata (mina = perikanan, wisata = pariwisata) adalah pendekatan pengelolaan terpadu yang berbasis konservasi dengan menitikberatkan pada pengembangan perikanan dan pariwisata bahari (Buklet DKP 2007). Minawisata juga dapat didefinisikan sebagai pengembangan kegiatan perekonomian masyarakat dan wilayah yang berbasis pada pemanfaatan potensi sumberdaya kelautan, perikanan dan pariwisata secara terintegrasi pada wilayah tertentu (Dinas Perikanan dan Kelautan Maluku 2007 dalam Jaelani dkk 2012). Menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran yang dilaksanakan dalam bisnis perikanan. Lebih lanjut, ikan adalah segala jenis organisme yang seluruh atau sebagian dari siklus hidupnya berada di dalam lingkungan perairan. Sementara menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata yang didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, dan pemerintah. Berdasarkan definisi di atas maka kegiatan wisata bahari yang dalam aplikasinya memanfaatkan sumberdaya ikan sebenarnya dapat dikembangkan ke arah minawisata. Menurut Yulianda (2007) dalam Bakhtiar (2011), berdasarkan konsep pemanfaatannya, wisata dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, yaitu: 1. Wisata alam (nature tourism), merupakan aktivitas wisata yang ditujukan pada pengalaman terhadap kondisi alam atau daya tarik panoramanya. 2. Wisata budaya (cultural tourism), merupakan wisata dengan kekayaan budaya sebagai objek wisata dengan penekanan pada aspek pendidikan. 3. Ekowisata (ecotourism, green tourism atau alternative tourism), merupakan wisata berorientasi pada lingkungan untuk menjembatani kepentingan perlindungan sumberdaya alam/lingkungan dan industri kepariwisataan.
13
Secara konseptual, pengembangan minawisata sebenarnya mengikuti prinsip pengembangan ekowista. Dengan demikian hendaknya konsep pengembangan minawisata dilandasi pada prinsip dasar ekowisata, yaitu (Jaelani dkk 2012): 1. Mencegah dan menanggulangi dampak dari aktivitas wisatawan terhadap alam dan budaya; pencegahan dan penanggulangan disesuaikan dengan sifat dan karakter alam dan budaya setempat. 2. Pendidikan konservasi lingkungan; mendidik pengunjung dan masyarakat sekitar akan pentingnya konservasi. 3. Pendapatan langsung untuk kawasan; retribusi atau pajak konservasi dapat digunakan untuk pengelolaan konservasi. 4. Partisipasi masyarakat dalam perencanaan; merangsang masyarakat agar terlibat dalam perencanaan dan pengawasan kawasan 5. Penghasilan bagi masyarakat; masyarakat mendapat keuntungan ekonomi sehingga terdorong untuk menjaga kelestarian kawasan. 6. Menjaga keharmonisan alam; kegiatan dan pengembangan fasilitas tetap mempertahankan keserasian dan keaslian alam. 7. Daya dukung sebagai batas pemanfaatan; daya tampung dan pengembangan fasilitas hendaknya mempertimbangkan daya dukung lingkungan. 8. Kontribusi pendapatan bagi Negara (pemerintah daerah dan pusat). Yulianda (2007) dalam Hertikawati (2011) menyatakan bahwa kegiatan wisata yang dapat dikembangkan dengan konsep ekowisata bahari dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu wisata pantai dan wisata bahari. Wisata pantai merupakan kegiatan wisata yang mengutamakan sumberdaya pantai dan budaya masyarakat pantai seperti rekreasi, olahraga, dan menikmati pemandangan. Sedangkan wisata bahari merupakan kegiatan yang mengutamakan sumberdaya bawah laut dan dinamika air laut. Kegiatan wisata pantai dan bahari yang dapat dikembangkan disajikan pada Tabel 1.
14
Tabel 1. Kegiatan Wisata Pantai dan Wisata Bahari Wisata Pantai Wisata Bahari 1. Rekreasi pantai 1. Rekreasi pantai dan laut 2. Panorama 2. Resort/peristirahatan 3. Resort/peristirahatan 3. Wisata selam dan wisata snorkeling 4. Berenang, berjemur 4. Selancar, jet ski, banana boat, perahu 5. Olahraga pantai (voli pantai, jalan kaca, kapal selam pantai, lempar cakram, dll) 5. Wisata ekosistem lamun, wisata pulau, 6. Berperahu wisata nelayan, wisata pendidikan, 7. Memancing wisata pancing 8. Wisata mangrove Sumber: Yulianda (2007) dalam Hertikawati (2011)
2.4 Strategi Pengembangan Minawisata Bahari di Pulau-Pulau Kecil Terdapat dua faktor penting dalam strategi pembangunan kegiatan pariwisata nasional. Pertama, faktor internal berupa strategi terukur manajemen daya tarik objek wisata, yang terkait mulai dari aspek teknis, strategi jasa pelayanan sampai kepada strategi penawaran. Kedua, faktor eksternal berupa dukungan perangkat kebijakan dari pemerintah serta penciptaan iklim keamanan yang kondusif bagi kegiatan pariwisata di Indonesia (Sya’rani 2010 dalam Santoso 2010). Terkait dengan minawisata pulau-pulau kecil, upaya perumusan konsep pengembangan dan sistem pengelolaan minawisata pulau-pulau kecil harus melibatkan setiap unsur stakeholder (pemangku kepentingan). Stakeholder khususnya unsur masyarakat harus mengetahui benar tujuan dan manfaat dari upaya pengembangan dan pengelolaan minawisata pulau-pulau kecil. Pengelolaan sumberdaya selain itu juga tidak terlepas dari pengembangan kelembagaan masyarakat. Dipandang dari sudut individu, kelembagaan merupakan gugus kesempatan bagi individu dan kelompok individu dalam membuat keputusan dan pelaksanaan aktivitas (Bengen 2012). Pengelolaan sumberdaya berbeda untuk setiap lokasi mengingat perbedaan situasi serta kondisi sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang ada. Oleh karena itu, sebelum ditetapkannya konsep pengembangan dan sistem pengelolaan minawisata perlu dilakukan tahap-tahap seperti mengidentifikasi kondisi fisik
15
wilayah, mengidentifikasi potensi sumberdaya alam dan jasa lingkungan, serta mengidentifikasi permasalahan yang ada. Karakteristik pulau-pulau kecil juga berbeda dengan daratan utama, maka pengembangan minawisata bahari, dalam hal ini kawasan Taman Wisata Gili Matra yang merupakan pulau-pulau kecil, akan berbeda dengan pengembangan minawisata bahari di daratan utama (Bengen 2012).