BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Kondisi Topografi Bali Pulau Bali adalah bagian dari Kepulauan Sunda Kecil sepanjang 153 km
dan selebar 112 km dengan jarak sekitar 3,2 km dari Pulau Jawa. Secara astronomis, Bali terletak di 8°25′23″ Lintang Selatan dan 115°14′55″ Bujur Timur yang membuatnya beriklim tropis seperti bagian Indonesia yang lain.Gunung Agung adalah titik tertinggi di Bali setinggi 3.148 mdari permukaan laut.Gunung berapi ini terakhir meletus pada Maret1963.Gunung Batur juga salah satu gunung yang ada di Bali. Berdasarkan relief dan topografi, di tengah-tengah Pulau Bali terbentang pegunungan yang memanjang dari barat ke timur (Gambar 2.1) dan di antara pegunungan tersebut terdapat gugusan gunung berapi yaitu Gunung Batur dan Gunung Agung serta gunung yang tidak berapi, yaitu Gunung Merbuk, Gunung Patas dan Gunung Seraya. Adanya pegunungan tersebut menyebabkan Daerah Bali secara Geografis terbagi menjadi 2 (dua) bagian yang tidak sama yaitu Bali Utara dengan dataran rendah yang sempit dan kurang landai dan Bali Selatan dengan dataran rendah yang luas dan landai. Kemiringan lahan Pulau Bali terdiri dari lahan datar (0-2%) seluas 122.652 ha, lahan bergelombang (2-15%) seluas 118.339 ha, lahan curam (15-40%) seluas 190.486 ha dan lahan sangat curam (>40%) seluas 132.189 ha. Provinsi Bali memiliki 4 (empat) buah danau yang berlokasi di daerah pegunungan, yaitu Danau Beratan atau Bedugul, Buyan, Tamblingan, dan Batursebagai daerah wisata. Luas wilayah Provinsi Bali adalah 5.636,66 km2 atau 0,29% luas wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Secara administratif Provinsi Bali terbagi atas 8 kabupaten, 1 kotamadya, 55 kecamatan, dan 701 desa/kelurahan.Ibu kota Bali adalah Denpasar. Tempat-tempat penting lainnya adalah Ubud sebagai pusat kesenian dan peristirahatan, terletak di Kabupaten Gianyar.Nusa Lembongan
5
6
adalah sebagai salah satu tempat menyelam (diving), terletak di Kabupaten Klungkung. Kuta, Seminyak, Jimbaran dan Nusa Dua adalah beberapa tempat yang menjadi tujuan utama pariwisata, baik wisata pantai maupun tempat peristirahatan, spa, dan lain-lain, terletak di Kabupaten Badung.
Gambar 2.1. Peta kondisi topografi wilayah Bali.
2.2
Definisi Kekeringan Kekeringan sulit untuk dapat didefinisikan secara tepat, secara umum
kekeringan merupakan suatu kondisi dimana terjadi kekurangan air untuk memenuhi kebutuhan (Bayong, 2002). Adapun definisi lain kekeringan merupakan suatu fenomena yang normal, biasanya terjadi secara berulang sesuai dengan iklimnya. Kekeringan hampir terjadi dimanapun, walaupun kejadiannya bervariasi dari wilayah yang satu dengan wilayah lainnya.Mendefinisikan kekeringan merupakan hal yang sulit karena sangat bergantung pada perbedaan wilayah, kebutuhan, sudut pandang disiplin ilmu. Secara garis besar, kekeringan terjadi akibat kurangnya curah hujan yang turun selama beberapa kurun waktu tertentu dan mengakibatkan kekurangan air untuk beberapa kegiatan, kelompok, di beberapa wilayah (The National Drought Mitigation Center, 2014.
7
Kekeringan
berkaitan
dengan
kondisi
rata-rata
jangka
panjang
kesetimbangan antara presipitasi dan evapotranspirasi (yaitu evaporasi + transpirasi)
di
daerah
tertentu
pada
kondisi
yang
sering
dianggap
“normal”.Kekeringan juga berkaitan dengan waktu (adanya penundaan pada awal musim penghujan, sehingga periode musim kemarau lebih panjang) dan tingkat keefektifitasan hujan (yaitu intensitas curah hujan, jumlah kejadian hujan).Faktor iklim lainnya seperti temperatur yang tinggi, angin kencang dan kelembapan relatif yang rendah sering dikaitkan sebagai faktor-faktor yang memperparah kekeringan di banyak daerah di dunia. Fenomena IOD (Indian Ocean Dipole) dan El Nino mempunyai dampak terhadap curah hujan di Indonesia (Bayong, 2008). Fenomena IOD disebabkan oleh interaksi atmosfer – laut di Samudera Hindia Ekuatorial, dimana terjadi perbedaan beda temperatur permukaan laut antara Samudera Hindia tropis bagian barat atau pantai Afrika Timur dan Samudera Hindia Tropis bagian timur atau Pantai Barat Sumatera (Yamagata et al., 2000). Periode kekeringan di Indonesia sendiri dipengaruhi oleh peristiwa El Nino di Samudera Pasifik ekuator dan pantai barat Amerika Selatan El Nino mempengaruhi aktivitas curah hujan terutama di bagian timur dari pada bagian barat Kontinen Maritim Indonesia (Bayong, 2002). El Nino menyebabkan variasi iklim tahunan.Ketika tahun El Nino, sirkulasi zonal di atas Indonesia divergen, sehingga terjadi subsidensi udara atas. Divergensi massa udara mengakibatkan penyimpangan awan-awan yang terbentuk bergeser ke Pasifik tengah dan timur (Bayong, 2003). Fenomena El Nino dapat menimbulkan bencana kekeringan, banjir, dan bencana lain yang dapat mengacaukan dan merusak pertanian, perikanan, lingkungan, kesehatan, kebutuhan energy, kualitas udara dan sebagainya (Bayong, 2008).
8
2.3
Jenis-jenis kekeringan
2.3.1 Kekeringan Meteorologis (Meteorological Drought) Kekeringan ini berkaitan dengan besaran curah hujan yang terjadi berada dibawah kondisi normalnya pada suatu musim.Perhitungan tingkat kekeringan meteorologis merupakan indikasi pertama terjadinya kondisi kekeringan. Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Intensitas kekeringan berdasarkan definisi meteorologis adalah sebagai berikut; 1. Kering : apabila curah hujan antara 70% - 85% dari kondisi normal (curah hujan dibawah normal) 2. Sangat kering : apabila curah hujan antara 50% - 70% dari kondisi normal (curah hujan jauh dibawah normal) 3. Amat sangat kering : apabila curah hujan < 50% dari kondisi normal (curah hujan amat jauh dibawah normal) Menurut (The National Drought Mitigation Center, 2014), Meteorological drought di definisikan berdasarkan tingkat kekeringan (perbandingan antara jumlah “normal” atau rata-rata) dengan lamanya masa kering.Definisi Meteorological Drought harus dianggap sebagai wilayah khusus karena kondisi atmosfer yang mengakibatkan kekurangan curah hujan sangat bervariasi dari wilayah satu dengan wilayah lainnya.Beberapa contoh dari meteorological drought mengidentifikasi kekeringan berdasarkan jumlah hari dengan curah hujan kurang dari threshold yang telah ditetapkan.Langkah ini hanya cocok untuk ambang pintu daerah yang karakteristik dengan curah hujan yang turun sepanjang tahun seperti wilayah hutan hujan tropis, beriklim lembab subtropics, atau beriklim lembab di lintang menengah.
2.3.2 Kekeringan Pertanian Menurut (The National Drought Mitigation Center, 2014) kekeringan pertanian atau Agricultural Drought berhubungan erat dengan karakteristik kekeringan meteorologi (Meteorological Drought) maupun kekeringan hidrologi (Hydrological Drought) yang berpengaruh pada pertanian dengan focus pada kekurangan curah hujan, perbedaan antara evapotranspirasi potensial dan actual,
9
deficit air tanah, berkurangnya air tanah atau tingkat reservoir, dsb. Kebutuhan air untuk tanaman bergantung pada kondisi cuaca, karakteristik biologis dari tanaman tertentu, tahap pertumbuhan, dan sifat-sifat fisis dan biologis tanah.Definisi yang baik mengenai agricultural drought harus dapat menjelaskan variable kerentanan tanaman selama tahap-tahap pertumbuhan tanaman sejak awal masa pertumbuhan.
2.3.3 Kekeringan Hidrologis Menurut BNPB pada tahun 2014, kekeringan ini terjadi berhubungan dengan berkurangnya pasokan air permukaan dan air tanah.Kekeringan hidrologis diukur dari ketinggian muka air sungai, waduk, danau dan air tanah.Ada jarak waktu antara berkurangnya curah hujan dengan berkurangnya ketinggian muka air sungai, danau dan air tanah, sehingga kekeringan hidrologis bukan merupakan gejala awal terjadinya kekeringan (Gambar 2.2).
Gambar 2.2. Diagram pembagian kekeringan menurut sudut pandang keilmuan terhadap waktu. Sumber : http://drought.unl.edu/whatis/concept.htm
Intensitas kekeringan berdasarkan definisi hidrologis adalah sebagai berikut : 1. Kering : apabila debit air sungai mencapai periode ulang aliran dibawah periode 5 tahunan 2. Sangat Kering : apabila debit air sungai mencapai periode ulang aliran jauh dibawah periode 25 tahunan
10
3. Amat Sangat Kering : apabila debit air sungai mencapai periode ulang aliran amat jauh dibawah periode 50 tahunan
2.4
El Nino dan Pengaruhnya di Indonesia
2.4.1 Pengertian El Nino El Nino adalah penampakan air permukaan laut yang panas yang tidak normal di wilayah Pasifik Equator bagian Timur dan Tengah.Ada pula yang mengartikan El Nino sebagai penampakan air permukaan laut yang panas dari waktu ke waktu di wilayah Pasifik Equator bagian Timur sepanjang pantai Peru dan Equator (Wiratno, 1998). El Nino merupakan sirkulasi dengan arah timur-barat yang terjadi dikawasan Samudera Pasifik Equator (Gambar 2.3).Fenomena El Nino merupakan pergerakan yang terjadi di atmosfer dan lautan karena interaksi dinamis antara atmosfer dan lautan Pasifik Equator (Yulihastin, 2009).Interaksi antara atmosfer dan lautan ini ditunjukkan dengan peningkatan atau penurunan suhu permukaan laut yang melebihi suhu klimatologisnya (suhu rata-rata 30 tahun) sehingga menimbulkan penyimpangan (anomali). Jika anomali positif yang terjadi berarti suhu permukaan lautnya lebih panas dari biasanya, maka terjadilah El Nino, sebaliknya, jika anomali negatif yang terjadi suhu lebih dingin dari kondisi normalnya sehingga terjadilah La Nina. Meteorologi, kondisi normal mengacu pada nilai rata-rata unsur meteorologi seperti tekanan udara, suhu dan angin dalam periode tahunan.Nilai normal berhubungan dengan “ketidakpastian” yang bergantung pada jumlah tahun pengamatan. Simpangan baku dari nilai rata-rata menurun dengan bertambahnya waktu pengamatan. Dalam memilih panjang periode yang sesuai diperlukan kompromi dari semua pihak dengan periode cukup panjang sehingga kesalahan baku yang dihitung kecil tetapi juga jangan terlalu panjang. Para ahli sepakat memilih periode 30 tahun untuk menyatakan kondisi normal.
11
2.4.2 Pengaruh El Nino di Indonesia Penelitian pengaruh El Nino terhadap curah hujan di wilayah Indonesia telah banyak dilakukan oleh para peneliti sebelumnya antara lain Yamagata (2003); McBride dkk. (2003). Hasil penelitian Yamagata (2003), mengatakan bahwa pengaruh El Nino yang kuat terjadi diwilayah Indonesia bagian timur, semakin ke barat pengaruh dari El Nino semakin melemah. Berdasarkan penelitian Hendon (2003) Hujan di wilayah Indonesia terkait erat dengan fenomena El Nino, pengaruh El Nino sangat signifikan pada periode JJA(Juni, Juli, Agustus) - SON, akan tetapi pada periode DJF – MAM pengaruh El Nino terhadap curah hujan di wilayah Indonesia tidak terlalu signifikan. Selanjutnya berdasarkan penelitian yang dilakukan Harijono (2008) sangat jelas terlihat bahwa curah hujan wilayah Indonesia sangat dipengaruhi oleh fenomena El Nino (Gambar 2.4). Pengaruh El Nino terhadap curah hujan paling kuat dirasakan di wilayah Indonesia bagian timur dan tengah, semakin ke barat El Nino kurang berpengaruh terhadap kondisi curah hujan di wilayah tersebut. Hasil penelitian ini mempertegas hasil peneletian sebelumnya yang telah dilakukan Yamagata (2003). Indonesia mengalami kekeringan selama terjadinya El Nino, dan pada kondisi normal (tidak ada El Nino) merupakan pusat perawanan konveksi terbesar di dunia, perawanannya bergeser kearah timur, menjadi daerah subsidensi (turunannya massa udara) yang berakibat sulitnya, terbentuk awan konveksi yang mendatangkan hujan selama kejadian El Nino, langit di atas wilayah Indonesia cerah, tidak tertutup awan. Adanya awan tersebut tidak mungkin terjadi hujan karena kelembaban relatifnya sangat rendah.Hujan bisa terbentuk kalau kelembaban relatif dalam awan tersebut melebihi 65% jumlah sebabnya hujan buatan tidak membuahkan hasil (Wiratno, 1998).El Nino melalui fenomena kekeringannya berpengaruh langsung terhadap kesediaan pangan yang selanjutnya berpengaruh terhadap inflasi di Indonesia.
12
a.
b.
Gambar 2.3. Kondisi suhu muka laut di Samudera Pasifik Ekuatorial (a) Keadaan Normal (b) Keadaan El Nino.
Gambar 2.4. Pengaruh El Nino terhadap Curah Hujan di Indonesia Timur – Tengah – Sebagian Barat Indonesia (warna kuning, orange dan coklat) (Harijono, 2008)