BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tanaman Jeringau Menurut Kardinan (2004) dalam Anonim (2008) bahwa jeringau merupakan tumbuhan dengan tinggi sekitar 75 cm. Tumbuhan ini biasa hidup di tempat yang lembab, batangnya basah, pendek, membentuk rimpang, dan berwarna putih kotor. Daunnya tunggal, bentuk lanset, ujung runcing, tepi rata, panjang 60 cm, lebar sekitar 5 cm, dan warna hijau. Bunga majemuk bentuk bonggol, ujung meruncing, panjang 20-25 cm terletak di ketiak daun dan berwarna putih. Jeringau dapat diperbanyak dengan cara setek batang, rimpang, atau dengan tunas-tunas yang muncul dari bukubuku rimpang. Jeringau mempunyai akar berbentuk serabut. Menurut Nugrahadi (2001) dalam Balafif (2011) bahwa klasifikasi ilmiah tanaman jeringau dalam adalah sebagai berikut: Kingdom
: Plantae (Tumbuhan)
Subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh) Super Divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji) Divisi
: Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas
: Liliopsida (Berkeping satu / monokotil)
Sub Kelas
: Arecidae
Ordo
: Arales
Family
: Acoraceae
Genus
: Acorus
Spesies
: Acorus calamus L.
Gambar 1. Profil Tanaman Jeringau (Koleksi Pribadi, 2013) Beberapa nama daerah dari jeringau adalah sebagai berikut: Tabel 1. Nama daerah jeringau (Nugrahadi (2001) dalam Balafif (2011)) Daerah Malaysia Indonesia Aceh Batak Sunda Madura Flores Makasar Bugis Gorontalo
Nama Tanaman Jerangau Jeringau Jeurunger Jerango Daringo Djarango Kaliraga Kareango Areango Olumongo
Daerah Gayo Nias Jawa Tengah Bali Sasak Minahasa Ambon Buru Bolaang Mongondow
Nama Tanaman Jerango Sarango Dlingo Jangu Jeringo Kalamunga Ai Wahu Bila Koimbonga
Dalam pertumbuhannya, rimpang jeringau membentuk tunas ke kanan dan ke kiri. Banyaknya cabang ditentukan oleh kesuburan tanah. Rimpang jeringau dalam keadaan segar kira-kira sebesar jari kelingking sampai sebesar ibu jari, isinya berwarna putih tetapi jika kering berubah menjadi berwarna merah muda sampai kecoklatan (Anonim, 2008).
Gambar 2. Rimpang Jeringau (Koleksi Pribadi, 2013) Menurut Onasis (2001) dalam Anonim (2008) bahwa bentuk rimpang agak petak bulat beruas, dengan panjang ruas 1-3 cm, sebelah sisi akar batang memiliki akar serabut. Kebanyakan dari akar ini tumbuh pada bagian bawah akar batangnya. Bila umur tanaman lebih dari 2 tahun, akarnya dapat mencapai 60-70 cm. Bau akar sangat menyengat (keras) seperti bau rempah atau bumbu lainnya. Rimpang jeringau Jika diletakkan di lidah rasanya tajam, pedas, dan sedikit pahit tetapi tidak panas. Jika rimpang dimemarkan, akan keluar bau yang lebih keras lagi karena rimpang jeringau mengandung minyak atsiri. 2.1.2 Kandungan dan Manfaat Tumbuhan Rimpang Jeringau Menurut Syahrial (2005) dalam Balafif (2011) bahwa komposisi minyak rimpang jeringau terdiri dari asaron 82%, kolamenol (5%), kolamen 4%, kolameone 1%, metil eugenol 1%, dan eugenol 0,3%. Rimpang dan daun jeringau mengandung saponin dan flavonoida. Menurut Onasis (2001) dalam Anonim (2008) bahwa manfaat rimpang jeringau adalah campuran dalam industri makanan dan minuman, bahan penyedap, pewangi, deterjen, sabun dan krem kecantikan. Menurut Rimunandar (1988) dalam Anonim (2008) bahwa jeringau adalah tanaman yang
mengandung bahan kimia aktif pada bagian rimpang baik dalam bentuk tepung maupun minyak yang dikenal sebagai minyak atsiri. Tanaman ini mudah tumbuh dan dikembangbiakkan serta tidak beracun bagi manusia, karena secara tradisional banyak digunakan sebagai obat sakit perut. Jeringau adalah tumbuhan yang rimpangnya dijadikan bahan obat-obatan (Rahmawati, 2004). Rimpang jeringau mempunyai banyak manfaat antara lain sebagai obat penenang, obat lambung dan obat limpa disamping itu merupakan bahan baku kosmetik (Soehardi, 2008). Menurut Nugrahadi (2001) dalam Balafif (2011) bahwa rimpang jeringu berkhasiat sebagai obat anti muntah, dalam bentuk infus dalam kelebihan asam lambung, demam, obat limpa, obat batuk dan pilek. Menurut Agusta (2008) dalam Anonim (2008) bahwa dalam dosis yang rendah jeringau dapat memberikan efek relaksasi pada otot dan menimbulkan efek sedatif (penenang) terhadap sistem saraf pusat, karena senyawa asaron memiliki struktur kimia mirip senyawa golongan amfetamin dan ekstasi. Namun jika jeringau digunakan dalam dosis yang tinggi dan dalam jangka waktu yang lama, dapat meningkatkan aktivitas mental (psikoaktif) bahkan potensial sebagai karsinogen jika antibodi yang ada di dalam tubuh tidak bisa mengeliminasi efek karsinogen jeringau. 2.2 Flavonoid Menurut Achmad (1986) bahwa flavonoid adalah suatu kelompok senyawa fenol terbesar yang ditemukan di alam. Senyawa-senyawa ini merupakan zat warna merah, ungu, biru, dan sebagian warna kuning ditemukan dalam tumbuh-tumbuhan.
2.2.1 Senyawa Flavonoid Menurut Achmad (1986) bahwa flavonoid mempunyai kerangka dasar karbon yang terdiri dari 15 atom karbon, dimana dua cincin benzen (C6) terikat pada suatu rantai propan (C3) sehingga membentuk suatu susunan C6-C3-C6. B 3 A 2 1
Gambar 3. Struktur Umum Flavonoid (Achmad, 1986)
Susunan ini dapat menghasilkan tiga jenis struktur, yakni 1,3-diarilpropan atau
flavonoid,
1,2-diaril
propan
atau
isoflavonoid,
1,1-diarilpropan
atau
neoflavonoid. Kelompok senyawa ini kemudian diberi nama flavonoid berasal dari kata flavon, karena flavon adalah jenis yang paling besar jumlahnya dan paling banyak ditemukan. Struktur dasar senyawa dapat dilihat pada gambar 4 berikut B
3
A
3 A
1
2 1
2
3 A
B
2
B
1
Flavonoid
Isoflavonoid
Neoflavonoid
Gambar 4. Struktur Dasar Flavonoid (Achmad, 1986) Menurut Supriyati (2006) dan Sutjipto (2006) dalam Marlina (2008) bahwa flavonoid merupakan senyawa fenol yang dimiliki oleh sebagian besar tumbuhan hijau dan biasanya terkonsentrasi pada biji, buah, kulit buah, kulit kayu, daun dan bunga.
Istilah “flavonoid” yang diberikan untuk senyawa-senyawa fenol ini berasal dari kata flavon, yakni nama dari salah satu jenis flavonoid yang terbesar jumlahnya dan juga lazim ditemukan. Senyawa-senyawa flavon ini mempunyai kerangka 2fenilkroman (Gambar 5), dimana posisi orto dari cincin A dan atom karbon yang terikat pada cincin B dari 1,3-diarilpropan dihubungkan oleh jembatan oksigen, sehingga membentuk suatu cincin heterosiklik yang baru (cincin C) (Waji dan Sugrani, 2009). 8 7
3
2
1 O
2
1 B
4
A 3
6 5
6
5
4
Gambar 5. 2-fenilkroman (Flavan) (Waji dan Sugrani, 2009).
Senyawa-senyawa flavonoid terdiri atas beberapa jenis, bergantung pada tingkat oksidasi dari rantai propan dan sistem 1,3-diarilpropan. Dalam hal ini, flavan mempunyai tingkat oksidasi yang terendah sehingga senyawa ini dianggap sebagai senyawa induk dalam tatanama senyawa-senyawa turunan flavon. Sebagian besar flavonoid alam ditemukan dalam bentuk glikosida, dimana unit flavonoid terikat pada suatu gula. Flavonoid dapat ditemukan sebagai mono-, di-, atau triglikosida, dimana satu, dua, atau tiga gugus hidroksil dalam molekul flavonoid terikat oleh gula. (Waji, dan Sugrani, 2009).
2.2.2 Klasifikasi Flavonoid Menurut Usman (2002) dalam Mandjurungi (2006) dilihat dari tingkat oksidasinya maka flavonoid dibedakan atas beberapa jenis yang memiliki tingkat oksidasi rendah, sehingga senyawa ini dianggap senyawa induk dalam tatanama senyawa turunan flavon. Berbagai jenis senyawa flavonoid utama dapat dilihat pada gambar 6 dibawah ini:
O
O
O
OH
Flavon 7
Flavonol 2
1 O
6
O
O
O
3 O
1
2
Flavanon
4
CH
5 4
3
6
OH
5 O
O
Auron
Dihidrokalkon
Flavanonol O
O
OH
OH
O
Kalkon
Katekin
O
OH
Leukoantosianidin
O
O
B +
+
A
OH
Antosianidin
Garam flavilium
Flavan
Gambar 6. Jenis-jenis Flavonoid (Achmad, 1986) Flavon, flavonol dan antosianidin adalah jenis flavonoid yang paling banyak ditemukan di alam, sehingga seringkali dinyatakan sebagai flavonoid utama.
Sedangkan, jenis-jenis flavonoid yang tersebar di alam dalam jumlah yang terbatas ialah kalkon, auron, katekin, flavanon, dan leukoantosianidin. 2.2.3 Identifikasi Flavonoid Senyawa-senyawa flavonoid terdapat pada semua bagian tumbuhan tinggi seperti bunga, daun, buah, kayu, akar, dan kulit kayu. Sebagian besar dari flavonoid alam ditemukan dalam bentuk glikosida, dimana unit flavonoid terikat pada suatu gula. Jika dihidrolisis dengan asam, maka suatu glikosida terurai kembali atau komponen-komponennya menghasilkan gula dan alkohol (Mandjurungi, 2006). Menurut Ahmad (1986) dalam Mandjurungi (2006) bahwa dari segi struktur, senyawa-senyawa flavonoid turunan flavon dapat dianggap sebagai 2-arilkroman. Oleh karena itu, sebagaimana kroman dan kumarin, flavonoid dapat dideteksi berdasarkan warnanya dibawah sinar tampak atau sinar ultraviolet. Selain dengan identifikasi reaksi warna, yang mana dengan pereaksi AlCl3 1% dalam etanol menghasilkan warna kuning, pereaksi benedict menghasilkan warna biru, dan pereaksi Willstatter menghasilkan warna merah. 2.2.4 Kelarutan Flavonoid Aglikon flavonoid adalah polifenol dan karena itu mempunyai sifat kimia senyawa fenol, yaitu bersifat agak asam sehingga dapat larut dalam basa, karena mempunyai sejumlah hidroksil yang tak tersulih atau suatu gula. Flavonoid merupakan senyawa polar dan umumnya flavonoid larut dalam pelarut polar seperti etanol, metanol, butanol, aseton, dimetilsulfoksida (DMSO), dimetilformamida (DMF), dan air (Mandjurungi, 2006). Menurut Markham (1988) dalam Mandjurungi
(2006) bahwa aglikon yang kurang polar seperti isoflavon, flavanon, flavon, dan flavonol yang termetoksi cenderung lebih mudah larut dalam pelarut seperti eter dan kloroform. 2.2.5 Karakterisasi Flavonoid Menurut Achmad (1986) dalam Mahajani (2012) bahwa senyawa-senyawa flavonoid terdapat dalam semua bagian tumbuhan tinggi, seperti bunga, daun, ranting, buah, kayu, kulit kayu, dan akar. Akan tetapi, senyawa flavonoid tertentu seringkali terkonsentrasi dalam suatu jaringan tertentu, misalnya antosianidin adalah zat warna dari bunga, buah, dan daun. Tabel 2. Reaksi warna dari berbagai jenis flavonoid Golongan Flavonoid
NaOH
Kalkon
Jingga, Merah
Dihidroksi Kalkon
Tak berwarnaKuning muda
Auron
Merah-ungu
Reaksi Warna H2SO4 Jingga, Merah Magneta Tak berwarna-Kuning muda Merah Magneta
Flavon
Kuning/jingga (dingin) Merah/ungu (panas) Kuning
Flavonol
Kuning-jingga
Kuning-jingga
Leukontasianin, Antosianin dan Proantosianidin
Kuning biru-ungu
Merah tua Kuning-jingga
Flavanon
Kuning-merah Coklat Isoflavon Kuning Isoflavonon Kuning (Harbone (2006) dalam Mahajani (2012)) Katekin
Jingga-merah tua Kuning-jingga
Merah Kuning Kuning
Mg-HCl Merah magneta, ungu, biru Kuning Merahmagneta Merah-merah muda Kuning Kuning
Karakterisasi kandungan kimia suatu tumbuhan pertama-tama harus diisolasi dan dimurnikan, kemudian ditentukan terlebih dahulu golongannya barulah ditentukan jenis senyawa dalam golongan tersebut. Senyawa tersebut harus diperiksa dengan cermat, yakni harus membentuk bercak tunggal dalam beberapa sistem KLT/KKt. Selain itu dapat juga ditentukan melalui uji warna, penentuan kelarutan, bilangan Rf. Meskipun demikian, tidak dapat langsung disimpulkan sebelum dilakukan identifikasi dengan spektrofotometer UV. Reaksi warna dari berbagai jenis flavonoid dapat dilihat pada Tabel 2 (Mahajani, 2012). 2.2.6 Manfaat Flavonoid Flavonoid termasuk senyawa fenolik alam yang potensial sebagai antioksidan dan mempunyai bioaktivitas sebagai obat. Flavonoid dalam tubuh manusia berfungsi sebagai antioksidan sehingga sangat baik untuk pencegahan kanker. Manfaat flavonoid antara lain untuk melindungi struktur sel, meningkatkan efektivitas vitamin C, antiinflamasi, mencegah keropos tulang dan sebagai antibiotik (Waji dan Sugrani, 2009). Menurut Tuminah (2000) dalam Marlina (2008) bahwa selain untuk antihiperglekimia flavonoid juga merupakan senyawa bioaktif yang berguna sebagai antioksidan. Flavonoid yang terdapat dalam sayuran, teh, dan minuman dapat mengurangi radikal bebas. Menurut Jawi (2007) dalam Marlina (2008) bahwa salah satu komponen flavonoid dari tumbuh-tumbuhan yang dapat berfungsi sebagai antioksidan adalah zat warna alami yang disebut antosianin, yang merupakan salah satu zat antioksidan yang mampu mencegah berbagai jenis kerusakan akibat oxidative
stress. Menurut Darusman (2001) dalam Marlina (2008) bahwa senyawa flavonoid juga dapat meningkatkan aktivitas enzim lipase. 2.3 Antioksidan Menurut Rohdiana (2001) dan Sunarni (2005) dalam Sunardi (2007) bahwa tubuh manusia tidak mempunyai cadangan antioksidan dalam jumlah berlebih, sehingga jika terjadi paparan radikal berlebih maka tubuh membutuhkan antioksidan eksogen. Adanya kekhawatiran akan kemungkinan efek samping yang belum diketahui dari antioksidan sintetik menyebabkan antioksidan alami menjadi alternatif yang sangat dibutuhkan. 2.3.1 Pengertian Antioksidan Menurut Suhartono (2002) dalam Sunardi (2007) bahwa antioksidan adalah senyawa kimia yang dapat menyumbangkan satu atau lebih elektron kepada radikal bebas, sehingga radikal tersebut dapat diredam. Menurut Lindsay (1985) dalam Suryani (2012) bahwa antioksidan adalah semua bahan yang dapat menghambat oksidasi tanpa memperhatikan mekanismenya. Antioksidan adalah substansi yang diperlukan tubuh untuk menetralisir radikal bebas dan mencegah kerusakan yang ditimbulkan oleh radikal bebas terhadap sel normal, protein dan lemak. Antioksidan menstabilkan radikal bebas dengan melengkapi kekurangan elektron yang dimiliki radikal bebas, dan menghambat terjadinya reaksi berantai dari pembentukan radikal bebas yang dapat menimbulkan oksidative stress. Ada beberapa bentuk antioksidan, diantaranya vitamin, mineral dan fitokimia. Antioksidan adalah suatu inhibitor yang bekerja menghambat oksidasi
dengan cara bereaksi dengan radikal bebas reaktif membentuk radikal bebas tak reaktif yang relatif lebih stabil (Waji dan Sugrani, 2009). Menurut Dalimartha dan soedibyo (1999) dalam Sunardi (2007) bahwa berdasarkan sumber perolehannya ada dua macam antioksidan, yaitu antioksidan alami dan antioksidan buatan (sintetik). 2.3.2 Antioksidan Alami Menurut Sunarni (2005) dalam Sunardi (2007) bahwa antioksidan alami mampu melindungi tubuh terhadap kerusakan yang disebabkan spesies oksigen reaktif, mampu menghambat terjadinya penyakit degeneratif serta mampu menghambat peroksidase lipid pada makanan. Meningkatnya minat untuk mendapatkan antioksidan alami terjadi beberapa tahun akhir ini. Antioksidan alami umumnya mempunyai gugus hidroksi dalam struktur molekulnya. Menurut Markham (1988) dalam Daud dkk., (2011) bahwa antioksidan alami yang terkandung dalam tumbuhan merupakan senyawa fenolik atau polifenolik yang dapat berupa golongan flavonoid, turunan asam sinamat, kumarin, tokoferol, dan asam-asam polifungsional. Golongan flavonoid yang memiliki aktivitas antioksidan meliputi flavon, flavonol, flavanon, isoflavon, katekin dan kalkon. Dari sejumlah penelitian tanaman obat dilaporkan bahwa banyak tanaman obat yang mengandung antioksidan dalam jumlah besar. Efek antioksidan terutama disebabkan karena adanya senyawa fenol seperti flavonoid, asam fenolat. Biasanya senyawa-senyawa yang memiliki aktivitas antioksidan adalah senyawa fenol yang mempunyai gugus hidroksi yang tersubstitusi pada posisi orto dan para terhadap gugus –OH dan –OR (Waji dan Sugrani, 2009).
Menurut Suryani (2012) contoh-contoh antioksidan alami: Flavonoid merupakan senyawa yang terdiri dari 15 atom karbon yang umumnya tersebar di dunia tumbuhan umumnya meliputi: flavon, flavonol, isoflavon, kateksin, dan kalkon. Turunan asam sinamat yang meliputi asam kafeat, asam ferulat, asam
klorogenat,
dan
lain-lain.
Senyawa
antioksidan
alami
ini
bersifat
multifungsional dan dapat bereaksi sebagai pereduksi, penangkap radikal bebas, pengkelat logam, peredam terbentuknya singlet oksigen. Tokoferol merupakan antioksidan alami yang dapat ditemukan disetiap minyak tanaman. Tokoferol memiliki karakteristik berwarna kuning terang, cukup larut dalam lipida karena rantai C yang panjang, tokoferol yang terkenal adalah α tokoferol dikenal sebagai sumber vitamin E. Menurut Cahyadi (2006) dalam Anonim () bahwa salah satu antioksidan adalah vitamin C (L-asam askorbat). Menurut Winarsi (2007) dalam Anonim () Asam askorbat mudah mengalami kerusakan jika terkena cahaya dan suhu tinggi. Asam askorbat dalam keadaan murni berbentuk Kristal putih dengan berat molekul 176,13 dan rumus molekul C6H8O6. Antioksidan asam askorbat mampu bereaksi dengan radikal bebas, kemudian mengubahnya menjadi radikal askorbil. Senyawa radikal terakhir ini akan berubah menjadi askorbat atau dehidroaskorbat. Asam askorbat dapat bereaksi dengan oksigen teraktivasi seperti anion super oksida dan radikal hidroksil. Pada konsentrasi rendah asam askorbat dapat bereaksi dengan radikal hidroksil menjadi askorbil yang sedikit reaktif sementara pada kadar tinggi asam ini tidak bereaksi.
2.3.3 Antioksidan Sintesis Antioksidan sintesis adalah senyawa antioksidan yang dapat diperoleh dari hasil sintesis reaksi kimia dan telah diproduksi untuk tujuan komersil. Menurut Suryani (2012) contoh-contoh antioksidan sintesis: Butil Hidroksil Anisol (BHA) memiliki antioksidan yang baik pada lemak hewan dalam sistem makanan panggang, namun relative tidak efektif pada minyak tanaman. BHA bersifat larut lemak dan tidak larut air. Berbentuk padat putih dan dijual dalam bentuk tabelt atau serpih, bersifat volatile sehingga berguna untuk penambahan ke materi pengemas. Butil Hidroksi Toluen memiliki sifat serupa dengan BHA, akan member efek sinrgis bila dimanfaatkan bersama BHA, berbentuk Kristal padat putih dan digunakan secara luas karena relatif murah. Propel Gallat mempunyai karakteristik sensitif terhadap panas, terdekomposisi pada titik cairnya 148oC, dapat membentuk kompleks warna dengan ion metal, sehingga kemampuan antioksidannya rendah. Propel gallat memiliki sifat berbentuk Kristal padat putih, sedikit tidak larut lemak tetapi larut air, serta memberi efek sinergis dengan BHA dan BHT. TBHQ dikenal sebagai antioksidan paling efektif untuk lemak dan minyak, khusunya minyak tanaman. TBHQ memiliki kemampuan antioksidan yang baik pada penggorengan tetapi rendah pada pembakaran. TBHQ dikenal berbentuk bubuk putih sampai cokelat terang, mempunyai kelarutan cukup pada lemak dan minyak, tidak membentuk kompleks warna dengan Fe dan Cu tetapi dapat berubah pink dengan adanya basa.
2.3.4 Manfaat Antioksidan Antioksidan merupakan zat penetral radikal bebas dalam tubuh. Antioksidan ini akan menghentikan reaksi berantai radikal bebas dalam tubuh bergantung pada jenis antioksidannya. Antioksidan primer akan bekerja mencegah pembentukan radikal bebas baru dengan cara mengubah radikal bebas yang ada menjadi molekul yang kurang mempunyai dampak negatif. Contoh antioksidan primer adalah superoksida dismustase (SOD), glutation peroksidase (GPx), dan protein pengikat logam. Kedua adalah antioksidan sekunder yang bekerja dengan cara mengkhelat logam yang bertindak sebagai pro-oksidan, menangkap radikal dan mencegah terjadinya reaksi berantai. Contohnya: vitamin E, vitamin C, b-karoten. Terakhir antioksidan tersier yang bekerja memperbaiki kerusakan biomolekul yang disebabkan radikal bebas. Contohnya enzim-enzim yang memperbaiki DNA dan metionin sulfosida reduktase (Putra, 2008). Menurut Tahir dkk., (2003) dalam Sunardi (2007) bahwa penggunaan antioksidan atau antiradikal saat ini semakin meluas seiring dengan semakin besarnya pemahaman masyarakat tentang peranannya dalam menghambat penyakit degeneratif seperti penyakit jantung, arterioscleroses, kanker, dan gejala penuaan. Masalahmasalah ini berkaitan dengan kemampuan
antioksidan untuk bekerja sebagai
inhibitor (penghambat) reaksi oksidasi oleh radikal bebas reaktif yang menjadi salah satu pencetus penyakit-penyakit di atas. Menurut Tahir dkk., (2003) dalam Sunardi (2007) bahwa fungsi utama antioksidan digunakan sebagai upaya untuk memperkecil terjadinya proses oksidasi
dari lemak dan minyak, memperkecil terjadinya proses kerusakan dalam makanan, memperpanjang masa pemakaian dalam industri makanan, meningkatkan stabilitas lemak yang terkandung dalam makanan serta menjaga hilangnya kualitas sensori dan nutrisi. Lipid peroksidasi merupakan salah satu faktor yang cukup berperan dalam kerusakan selama dalam penyimpanan dan pengolahan makanan. Menurut Rohdiana (2001) dalam Sunardi (2007) bahwa antioksidan dalam bahan makanan dapat berasal dari kelompok yang terdiri atas satu atau lebih komponen pangan, substansi yang dibentuk dari reaksi selama pengolahan atau dari bahan tambahan pangan yang khusus diisolasi dari sumber-sumber alami dan ditambahkan ke dalam bahan makanan. Adanya antioksidan alami maupun sintetis dapat menghambat oksidasi lipid, mencegah kerusakan, perubahan dan degradasi komponen organik dalam bahan makanan sehingga dapat memperpanjang umur simpan. Menurut Sofia dkk., (2006) dalam Sunardi (2007) bahwa tubuh manusia menghasilkan senyawa antioksidan, tetapi jumlahnya seringkali tidak cukup untuk menetralkan radikal bebas yang masuk ke dalam tubuh. Sebagai contoh tubuh manusia dapat menciptakan Glutathione, salah satu antioksidan yang sangat kuat. Tubuh memerlukan asupan vitamin C sebesar 1000 mg untuk menghasilkan glutathione ini. Kekurangan antioksidan dalam tubuh membutuhkan asupan antioksidan dari luar. Keseimbangan antara antioksidan dan radikal bebas menjadi kunci utama penjagaan stress oksidatif dan penyakit-penyakit kronis yang dihasilkan.
2.4 Radikal Bebas Radikal bebas adalah atom, molekul, atau senyawa yang tidak stabil dan sangat reaktif karena memilki satu atau lebih elektron tak berpasangan pada orbital terluarnya. Untuk mencapai kestabilan atom atau molekul, radikal bebas akan bereaksi dengan molekul disekitarnya untuk memperoleh pasangan elektron. Reaksi ini akan berlangsung terus menerus dalam tubuh dan bila tidak dihentikan akan menimbulkan berbagai penyakit seperti kanker, jantung, katarak, penuaan dini, serta penyakit degeneratif lainnya. Oleh karena itu tubuh memerlukan suatu substansi penting yaitu antioksidan yang mampu menangkap radikal bebas tersebut. Sehingga tidak dapat menginduksi suatu penyakit (Waji dan Sugrani, 2009). Radikal bebas dapat berasal dari polutan lingkungan, radiasi, zat-zat kimia, racun, makanan cepat saji, dan makanan yang digoreng pada suhu tinggi (Suryani, 2012). Karena secara kimia, molekulnya tidak berpasangan, radikal bebas cenderung untuk bereaksi dengan molekul sel tubuh. Kemudian menimbulkan senyawa tidak normal (radikal bebas baru yang lebih reaktif) dan memulai reaksi berantai yang dapat merusak sel-sel penting. Beberapa komponen tubuh yang rentan terhadap serangan radikal bebas antara lain: kerusakan DNA, membran sel, protein, lipid, peroksida, proses penuaan, dan autoimun manusia. Dalam bidang medis, diketahui bahwa radikal bebas merupakan akibat berbagai keadaan patologis seperti penyakit liver, jantung koroner, kanker, diabetes, katarak, penyakit hati, dan berbagai proses penuaan dini (Putra, 2008).
Contoh radikal bebas adalah superoksida (O2-), hidroksil (OH-), nitroksida (NO), hidrogen peroksida (H2O2), asam hipoklorit (HOCl), dan lain-lain. Derajat kekuatan tiap radikal bebas ini berbeda, dan senyawa paling berbahaya adalah radikal hidroksil (OH-) karena memiliki reaktivitas paling tinggi. Radikal bebas diatas terdapat dalam tubuh dengan berbagai cara, tetapi secara umum timbul akibat berbagai proses biokimia dalam tubuh, berupa hasil samping dari proses oksidasi, atau pembakaran sel yang berlangsung pada waktu bernafas, metabolisme sel, olahraga yang berlebihan, peradangan, atau ketika tubuh terpapar polusi lingkungan seperti asap kendaraan, asap rokok, bahan pencemar dan radiasi matahari (Putra, 2008). 2.5 Metode DPPH . Menurut Prakash (2001) bahwa salah satu cara untuk menguji aktivitas suatu senyawa sebagai zat antioksidan adalah mereaksikannya dengan reagen DPPH secara spektrofotometri. Metode DPPH tidak spesifik untuk komponen antioksidan tertentu, tetapi untuk semua senyawa antioksidan dalam sampel. pengukuran kapasitas total antioksidan tertentu, dapat membantu memahami sifat fungsional suatu makanan. Menurut Prakash (2001) Metode DPPH digunakan secara luas untuk menguji kemampuan senyawa yang berperan sebagai pendonor elektron atau hidrogen. Metode DPPH merupakan metode yang dapat mengukur aktivitas antioksidan baik dalam pelarut polar maupun non polar. Beberapa metode lain terbatas mengukur komponen yang terlarut dalam pelarut yang digunakan dalam analisis. Metode DPPH mengukur semua komponen antioksidan baik larut dalam lemak maupun dalam air.
Menurut Miller dkk., (2000) dalam Yulia (2007) bahwa metode DPPH merupakan salah satu metode uji aktivitas antioksidan yang sederhana dengan menggunakan 1,1difenil-2-pikrilhidrazil (DPPH) sebagai senyawa pendeteksi. Menurut Simanjuntak dkk., (2004) dalam Yulia (2007) bahwa DPPH (1,1-difenil-2-pikrilhidrazil) adalah senyawa radikal bebas yang stabil yang dapat bereaksi dengan atom hidrogen yang berasal dari suatu antioksidan membentuk DPPH tereduksi. Menurut Kubo dkk., (2002) dalam Yulia (2007) bahwa reaksi antara DPPH dengan senyawa antioksidan dapat dilihat pada gambar 7. radikal bebas yang reaktif
radikal bebas baru yang tidak reaktif
NO2 AH + O2N
N
NO2
NO2 N
A
H N
+ O 2N
N
NO2
(a) (b) Gambar 7. Struktur DPPH: (a) DPPH bentuk radikal, (b) DPPH bentuk tereduksi. Sumber : Molyneux, 2003 Pengukuran kapasitas antioksidan dengan metode DPPH menggunakan spektrofotometer dengan panjang gelombang 517 nm. Penurunan absorbansi menunjukkan adanya aktivitas scavenging (aktivitas antioksidan). Menurut Kardono dan Dewi (1998) dalam Yulia (2007) bahwa metode aktivitas kemampuan mereduksi digunakan untuk menentukan antioksidan total pada sampel.
Parameter yang biasa digunakan untuk menginterpretasikan hasil uji aktivitas antioksidan dengan peredaman radikal DPPH adalah inhibition concentration (IC50) dan AEAC (Ascorbic Acid Equivalent Antiokxidant Capacity). Nilai IC50 merupakan bilangan yang menunjukan konsentrasi ekstrak yang mampu menghambat aktivitas radikal sebesar 50% (Molyneux, 2003), sedangkan nilai AEAC digunakan untuk membandingkan sampel dengan vitamin C (sebagai antioksidan standar) . Nilai AEAC menyatakan mg asam askorbat yang setara dengan satu gram sampel kering. 2.6 Ekstraksi Menurut Depkes RI (1986) dalam Reniza (2003) bahwa ekstraksi adalah proses penyarian konstituen dalam simplisia dengan menggunakan cairan penyari yang sesuai dan metode yang tepat, sehingga konstituen yang diinginkan dapat tersari dengan sempurna. Efektifitas ekstraksi dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain ukuran partikel bahan yang disari, tekstur bahan atau jaringan simplisia, faktor fisika seperti suhu, tekanan, kelarutan, jenis dan polaritas cairan penyari dan teknik penyarian yang digunakan. Menurut Depkes RI (1986) dalam Reniza (2003) bahwa dalam proses ekstraksi,
memperkecil
ukuran partikel dimaksudkan untuk
memperbesar luas permukaan total dari simplisia yang akan disari. Hal ini akan memperbesar terjadinya kontak antara partikel simplisia dengan cairan penyari, yang selanjutnya dapat memperbesar efek ekstraksi. Menurut Harbone (1996) dalam Reniza (2003) bahwa metode ekstraksi dikelompokkan menjadi dua yaitu ekstraksi sederhana dan ekstraksi khusus. Ekstraksi sederhana terdiri atas: (a) Maserasi yaitu metode ekstraksi dengan cara merendam
sampel dengan larutan penyari berdasarkan waktu tertentu dengan atau tanpa pengadukkan sehingga simplisia menjadi lunak; (b) Perkolasi yaitu metode ekstraksi yang dilakukan dengan cara mengalirkan cairan penyari melalui serbuk simplisia di dalam perkolator sampai senyawa kimia tersari; (c) Reperkolasi yaitu perkolasi dimana perkolat pertama (hasil perkolasi) digunakan untuk menyari simplisia di dalam perkolator sampai senyawa kimia tersari; (d) Evakolasi yaitu perkolasi dengan pengurangan tekanan udara; (e) Diakolasi yaitu perkolasi dengan penambahan tekanan udara. Menurut Harbone (1996) dalam Reniza (2003) bahwa ekstraksi khusus yaitu : (a) sokletasi yaitu metode ekstraksi yang dilakukan secara berkesinambungan untuk menyari simplisia kering dengan menggunakan larutan penyari yang bervariasi; (b) arus balik yaitu metode ekstraksi yang dilakukan secara berkesinambungan dimana simplisia dan larutan penyari saling bertemu melalui gerakan aliran yang berlawanan; (c) ultrasonik yaitu metode ekstraksi dengan menggunakan alat yang menghasilkan frekuensi bunyi atau getaran 25-100 kHz. Menurut Harbone (1996) dalam Reniza (2003) bahwa faktor yang mempengaruhi berhasilnya proses ekstraksi adalah mutu dari pelarut yang digunakan. Ada dua pertimbangan utama dalam pemilihan pelarut yang akan digunakan untuk menyari, yaitu harus memiliki daya larut yang tinggi dan pelarut tersebut tidak berbahaya atau tidak beracun. 2.6.1 Maserasi Menurut Hamdani (2011) dalam Mahajani (2012) bahwa maserasi merupakan proses ekstraksi menggunakan pelarut diam atau dengan beberapa kali pengocokkan
pada suhu ruangan. Pada dasarnya metode ini dengan cara merendam sampel dengan sekali-kali dilakukan pengocokkan. Umumnya perendaman dilakukan 24 jam dan selanjutnya pelarut diganti dengan pelarut baru. Ada juga maserasi kinetik yang merupakan metode maserasi dengan pengadukan secara sinambung tapi yang ini agak jarang dipakai. 2.6.2 Prinsip Maserasi Menurut Hamdani (2011) dalam Mahajani (2012) bahwa penyarian zat aktif yang dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari yang sesuai tiga hari pada temperatur kamar terlindung dari cahaya, cairan penyari akan masuk ke dalam sel melewati dinding sel. Isi sel akan larut karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan di dalam sel dengan di luar sel. Larutan yang konsentrasinya tinggi akan terdesak keluar dan diganti oleh cairan penyari dengan konsentrasi rendah (proses difusi). Peristiwa tersebut berulang sampai terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di luar sel dan di dalam sel. Selama proses maserasi dilakukan pengadukan dan penggantian cairan penyari selama 1 x 24 jam. Endapan yang diperoleh dipisahkan dan filtratnya dipekatkan. 2.7 Kromatografi Kromatografi pertama kali diperkenalkan oleh Michael Tawest (1906) seorang ahli botani dari Rusia. Dalam percobaannya dia berhasil memisahkan klorofil dan pigmen-pigmen warna lain dalam ekstrak tumbuhan dengan menggunakan serbuk kalsium karbonat yang diisikan ke dalam kolom kaca dan petroleum eter sebagai pelarut. Proses pemisahan ini diawali dengan menempatkan larutan cuplikan pada
permukaan atas kalsium karbonat, kemudian dialirkan pelarut petroleum eter. Hasilnya berupa pita-pita berwarna yang terlihat sepanjang kolom sebagai hasil pemisahan komponen-komponen dalam ekstrak tumbuhan. Dari pita-pita berwarna tersebut muncul istilah kromatografi yang bersal dari kata “chroma” dan “grafhein”. Dalam bahasa yunani kedua kata tersebut berarti “warna” dan “menulis”. Dalam perkembangan selanjutnya
timbulnya warna bukan lagi prasyarat mutlak untuk
metode pemisahan secara kromatografi (Soebagio dkk., 2003). 2.7.1 Pengertian Kromatografi Pengertian kromatografi menyangkut metode pemisahan yang didasarkan atas distribusi diferensial komponen sampel diantara dua fasa. Menurut pengertian ini kromatografi selalu melibatkan dua fasa, yaitu fasa diam (stationary phase) dan fasa gerak (gerak phase). Fasa diam bisa berupa padatan atau cairan yang terikat pada permukaan padatan (kertas atau adsorben), sedangkan fasa gerak bisa berupa cairan disebut eluen atau pelarut, atau gas pembawa yang inert. Gerakan fasa gerak ini mengakibatkan terjadinya migrasi diferensial komponen-komponen dalam sampel (Soebagio dkk., 2003). Komponen yang dipisahkan harus larut dalam fasa gerak dan harus mempunyai kemampuan untuk berinteraksi dengan fasa diam dengan cara melarut di dalamnya, teradsorpsi atau bereaksi secara kimia (penukar ion). Pemisahan terjadi berdasarkan perbedaan migrasi zat-zat yang menyusun suatu sampel. Hasil pemisahan dapat digunakan untuk keperluan identifikasi (analisis kualitatif), penetapan kadar (analisi kuantitatif), dan pemurnian suatu senyawa (pekerjaan preparatif) (Soebagio dkk., 2003).
Keuntungan pemisahan dengan metode kromatografi dibandingkan dengan metode pemisahan lainnya ialah: (a) dapat digunakan untuk sampel dan konstituen yang sangat kecil (semi mikro dan makro); (b) cukup selektif terutama untuk senyawa-senyawa organik multi komponen; (c) proses pemisahan dapat dilakukan dalam waktu yang relatif singkat; (d) seringkali murah dan sederhana, karena umumnya tidak memerlukan alat yang mahal dan rumit (Soebagio dkk., 2003). Metode pemisahan secara kromatografi terus berkembang dengan peralatan yang lebih modern, dengan hasil pemisahan yang lebih selektif, akurat dan dapat digunakan untuk sampel dengan jumlah yang sangat kecil (Soebagio dkk., 2003). 2.7.2 Jenis-Jenis Pemisahan Dengan Metode Kromatografi Jenis-jenis pemisahan dengan metode kromatografi dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa cara, misalnya berdasarkan jenis fasa yang digunakan, mekanisme pemisahannya, teknik pengembangan sampelnya. Tabel 3 akan lebih memperjelas klasifikasi tersebut (Soebagio dkk., 2003). Tabel 3. Klasifikasi Metode Kromatografi (Soebagio dkk., 2003). Pengembangan Sampel Elusi
No
Fasa Gerak
Fasa Diam
Mekanisme
Teknik
1.
Gas
Cairan
2. 3.
Gas Cairan
Padatan Cairan
Kolom Planar Kolom Kolom
Frontal Pendesakan Elusi
4.
Cairan
Padatan
Adsorpsi Partisi Adsorpsi Partisi Eksklusi Penukar Ion
Kolom
Elusi Bergradien
Berdasarkan mekanisme pemisahannya dikenal 4 macam jenis kromatografi yaitu: (a) kromatografi adsorpsi; (b) kromatografi partisi; (c) kromatografi penukar
ion; (d) dan kromatografi eksklusi. Pada kromatografi adsorpsi, fasa diam berupa padatan dan fasa geraknya dapat berupa cairan atau gas. Zat terlarut diadsorpsi oleh permukaan partikel padat. Contoh jenis kromatografi ini adalah kromatografi lapis tipis (KLT) (Soebagio dkk., 2003). Pada kromatografi penukar ion mekanisme pemisahannya terjadi berdasarkan kesetimbangan pertukaran ion. Fasa diam berupa padatan resin sedangkan fasa geraknya berupa cairan. Emberlit merupakan contoh resin yang diperdagangkan untuk proses pembuatan air minum. Resin tersebut berfungsi untuk menghilang ionion yang tidak dikehendaki dalam air minum (Soebagio dkk., 2003). Kromatografi eksklusi merupakan jenis kromatografi yang teknik pemisahannya bekerja atas dasar ukuran molekul zat terlarut. Molekul-molekul zat terlarut dengan ukuran lebih besar dari pori-pori padatan fasa diam akan bertahan. Contoh jenis kromatografi ini adalah kromatografi filtrasi gel (Soebagio dkk., 2003). Ditinjau dari pengembangan sampel dikenal kromatografi elusi, kromatografi analisi frontal; kromatografi pergeseran dan kromatografi dengan analisis gradient. Pengembangan ialah memperlakukan cuplikan sampel dengan fasa gerak agar komponen-komponen yang dikehendaki terpisah dari komponen-komponen lainnya (Soebagio dkk., 2003). Dalam kromatografi elusi proses pemisahan terjadi karena molekul-molekul komponen cuplikan didorong melalui kolom oleh penambahan pelarut segar sebagai fasa gerak yang disebut eluen. Pemisahan terjadi karena perbedaan migrasi (diferential migration) zat-zat terlarut dalam fasa gerak.
Pengembangan dengan teknik elusi paling banyak digunakan dalam kromatografi karena mudah dilakukan (Soebagio dkk., 2003). Pada kromatografi analisis frontal larutan cuplikan dalam fasa gerak dialirkan terus menerus terhadap zat perngadsorpsi (fasa diam) dalam suatu kolom. Tiap komponen mempunyai harga koefisien distribusi yang berbeda dan kolom mempunyai kapasitas yang berbeda dalam menahan komponen yang ada. Komponen tertahan paling lemah akan keluar lebih dahulu daripada komponen lainnya (Soebagio dkk., 2003). Pada teknik pergeseran atau teknik pemindahan (pendesakan) digunakan fasa gerak aktif. Fasa gerak aktif ini akan mendesak molekul-molekul komponen yang terikat kurang kuat pada adsorben. Molekul-molekul komponen yang tertahan kuat oleh fasa diam akan mendesak atau memindahkan keluar molekul-molekul komponen yang tertahan kurang kuat oleh fasa diam (Soebagio dkk., 2003). Dalam jenis kromatografi dengan teknik elusi gradient digunakan fasa gerak (eluen) yang bervariasi. Variasi fasa gerak ini dapat berupa tingkatan pH dan susunan atau komposisi fasa gerak. Dengan kata lain pada teknik ini digunakan lebih dari zat pengelusi, dari tingkatan yang paling jelek sampai yang terbagus (Soebagio dkk., 2003). 2.8 Kromatografi Lapis Tipis (KLT atau TLC = Thin Layer Chromatography) Kromatografi jenis ini mirip dengan kromatografi kertas. Bedanya kertas digantikan lembaran kaca atau plastik yang dilapisi dengan lapisan tipis adsorben seperti alumina, silika gel, selulosa atau materi lainnya. Kromatografi lapis tipis lebih
bersifat reprodusibel (bersifat boleh ulang) daripada kromatografi kertas (Soebagio dkk., 2003). 2.8.1 Pengertian Kromatografi Lapis Tipis (KLT) Fasa diam KLT terbuat dari serbuk halus dengan ukuran 5 sampai 50 µm. Serbuk halus ini dapat berupa suatu adsorben, suatu penukar ion, suatu pengayak molekul atau dapat merupakan penyangga yang dilapisi suatu cairan. Untuk membuat lapisan tipis perlu dibuat bubur (slurry) berair dari serbuk halus tadi. Zat pengikat seperti gips, barium sulfat, polivinil alkohol atau kanji perlu ditambahkan untuk membantu pelekatan lapisan tipis tadi pada papan penyangga (kaca, plastik atau aluminium) secara merat, sehingga diperoleh tebal lapisan 0,1-0,3 mm. lapisan tipis adsorben ini diaktifkan dengan cara pengeringan di dalam oven pada suhu 110oC selama beberapa jam (Soebagio dkk., 2003). Bahan adsorben sebagai fasa diam dapat digunakan silika gel, alumina, dan serbuk selulosa. Parikel silika gel mengandung gugus hidroksil dipermukaannya yang akan membentuk ikatan hidrogen dengan molekul-molekul polar. 2.8.2 Fasa Mobil KLT Perimbangan untuk pemilihan pelarut pengembang (eluen) umumnya sama denga pemilihan eluen untuk kromatografi kolom. Dalam kromatografi adsorbsi pengelusi eluen naik sejalan dengan polaritasnya (misal dari heksana aseton alkohol air). Eluen pengembang dapat berupa pelarut tunggal dan campuran pelarut dengan susunan tertentu. Pelarut-pelarut pengembang harus mempunyai
kemurnian yang tinggi. Terdapatnya sejumlah kecil air atau zat pengotor lainnya dapat menghasilkan kromatogram yang tidak diharapkan (Soebagio dkk., 2003). 2.8.3 Pengembangan Kromatogram Teknik pengembangan dalam KLT sama dengan kromatografi kertas. Proses pengembangan umumnya lebih cepat, memerlukan waktu 10 menit hingga 1 jam lebih. Pengembangan 5 menit dapat dilakukan secara sempurna dengan menggunakan kaca obyek miroskopik sebagai papan KLT. Pemisahan pendahuluan dengan cara ini enak digunakan untuk menentukan kondisi optimum pengembangan. Cara ini untuk mengurangi terjadinya ekoran dengan hasil pemisahan yang lebih tajam. Penggunaannya terutama untuk ukuran sampel dengan rentangan 10-100 µg. Noda atau bercak sampel akan mempunyai diameter 2-5 mm, jika digunakan larutan sampel 1-10 µL dengan kadar 1% (Soebagio dkk., 2003). 2.8.4 Deteksi Noda Deteksi noda KLT terkadang lebih mudah dibandingkan dengan kromatografi kertas karena dapat digunakan teknik-teknik umum yang lebih banyak. Noda tidak berwarna atau tidak berpendar jika dikenai sinar ultraviolet dapat ditampakkan dengan cara mendedahkan papan pengembang pada uap iod. Uap iod akan berinteraksi dengan komponen-komponen sampel baik secara kimia atau berdasarkan kelarutan membentuk warna-warna tertentu (Soebagio dkk., 2003). Pada saat ini tersedia di pasaran berbagai lapisan tipis yang sudah terpasang pada papan penyangga sehingga siap pakai. Untuk memudahkan pendeteksian noda tersedia lapisan adsorben KLT yang dimasuki zat warna pendar fluor. Jika diperlakukan dengan sinar
ultraviolet akan nampak noda-noda gelap, dimana sampel noda mengalami perpendaran pada papan penyangga terfluorisensi (Soebagio dkk., 2003). Menurut Harbone (1996) dalam Reniza (2003) bahwa hasil KLT dapat dikatakan baik bila noda yang terbentuk berada pada nilai selang Rf 0,3-0,9. Nilai Rf adalah perbandingan jarak tempuh senyawa dengan jarak tempuh pelarut. Suatu teknik pendeteksian yang biasa dilakukan untuk senyawa-senyawa organik adalah dengan penyemprotan larutan H2SO4. Langkah ini kemudian diikuti dengan pemanasan untuk mengarangkan dan mengembangkan noda-noda hitam. Untuk keperluan analisa kuantitatif noda dapat dikerok, kemudian diekstrak dengan pelarut polar tertentu. Kadar analit yang diinginkan diperiksa secara instrumental dari larutan hasil ekstraksi (Soebagio dkk., 2003). Tehnik kromatografi lapis tipis dikembangkan oleh Stahl (1985) dengan menghamparkan penyerap pada lempeng gelas, sehingga terbentuk lapis tipis. KLT adalah suatu metode pemisahan, dimana lapisan yang memisahkan terdiri atas bahan berbutir-butir (fase diam), yang ditempatkan pada penyangga berupa pelat gelas, logam atau bahan yang cocok (Reniza, 2003). Menurut gritter (1991) dala Reniza (2003) KLT digunakan untuk pemisahan analitik preparatif. KLT analitik dipakai pada tahap permulaan pemisahan suatu cuplikan, sedangkan KLT preparatif hanya dilakukan jika diperlukan fraksi tertentu dari suatu campuran. Menurut Winarno dkk. (1980) dalam Reniza (2003) bahwa KLT memiliki penerapan keuntungan yaitu pemisahan dapat dilakukan dengan cepat, zat-
zat yang bersifat asam atau basa kuat dapat digunakan, analisis dapat dilakukan lebih sensitif dengan alat sederhana sehingga penggunaannya mudah.
2.8.5 Menotolkan Cuplikan Menurut Gritter (1991) dalam Mahajani (2012) bahwa cuplikan yang akan dikromatografi harus dilarutkan di dalam pelarut yang agak nonpolar untuk ditotolkan pada lapisan. Pada umumnya, dipakai larutan 0,1-1%. Pelarut yang digunakan pada umumnya mempunyai titik didih antara 50-100 oC. Pelarut demikian mudah ditangani dan mudah menguap dari lapisan. Menurut Gritter (1991) dalam Mahajani (2012) bahwa penotolan dilakukan dengan memakai kapiler halus yang dibuat dari pipa kaca yang menyerupai peniti. Cuplikan berupa larutan, harus ditotolkan sekitar 8-10 mm dari salah satu ujung plat KLT terlapisi sempurna. Beberapa kali penotolan dapat dilakukan pada tempat yang sama asal saja lapisan kering dulu sebelum penotolan berikutnya, dan sebanyak tiga kali bercak cuplikan dapat ditotolkan pada satu plat. Hanya satu cuplikan yang dikromatografi, dianjurkan untuk menotolkannya dengan tiga konsentrasi yang berbeda. Bercak yang berasal dari cuplikan dengan konsentrasi terendah akan tampak tajam dan pembentukan ekor kurang. Bercak yang berasal dari cuplikan yang konsentrasinya lebih besar akan memberikan informasi mengenai cemaran sesepora di dalam cuplikan. Menurut Gritter (1991) dalam Mahajani (2012) bahwa pelarut yang dipakai untuk penotolan harus betul-betul dihilangkan dari lapisan sebelum kromatografi, jika perlu dengan penyemprot udara panas atau pengering rambut listrik. Pelarut yang
digunakan atau sering dikombinasikan dalam kromatografi lapis tipis adalah nheksana, petroleum eter, karbon tetraklorida, eter, kloroform, etil asetat, asam asetat glacial, aseton, etanol, metanol, dan air.
2.8.6 Perhitungan Rf Menurut Wiryawan (2011) dalam Mahajani (2012) bahwa data yang diperoleh dari analisis dengan KLT adalah nilai Rf, nilai Rf berguna untuk identifikasi suatu senyawa. Nilai Rf suatu senyawa dalam sampel dibandingkan dengan nilai Rf dari senyawa murni. Nilai Rf didefinisikan sebagai perbandingan jarak tempuh oleh senyawa pada permukaan fase diam dibagi dengan jarak yang ditempuh oleh pelarut sebagai fasa gerak. Rf =
jarak tempuh senyawa jarak tempuh pelarut
2.8.7 Kromatografi Kolom Kromatografi kolom merupakan teknik kromatografi yang paling awal ditemukan.
Ditinjau
dari
mekanismenya
kromatografi
kolom
merupakan
kromatografi serapan atau adsorpsi. Kromatografi kolom digolongkan ke dalam kromatografi cair-padat (KCP) kolom terbuka (Soebagio dkk., 2003). Peralatan utama kromatografi sederhana terdiri dari kolom dan labu erlenmeyer penampung eluen. Kolom umumnya terbuat dari pipa kaca dengan ukuran bervariasi tergantung kepada keperluannya. Umumnya ukuran panjang kolom minimal 10 kali diameter pipa kaca yang digunakan. Kolom dilengkapi dengan kran untuk mengatur aliran pelarut. Diatas
kran dipasang wol kaca (glass wool) untuk menahan fasa diam (Soebagio dkk., 2003). Fasa diam berupa adsorben yang tidak boleh larut dalam fasa gerak, ukuran partikel fasa diam harus seragam. Zat pengotor yang terdapat pada fasa diam dapat menyebabkan adsorpsi tidak reversibel. Sebagai fasa diam dapat digunakan alumina, silika gel, arang, bauksit, magnesium karbonat, kalsium karbonat, pati, selulosa, gula, dan tanah diatom. Pengisian fasa diam ke dalam kolom dapat dilakukan dengan cara kering dan cara basah. Dalam cara basah, fasa diam diubah dulu menjadi bubur (slurry), dengan pelarut yang akan digunakan sebagai fasa gerak, kemudian baru diisikan ke dalam kolom (Soebagio dkk., 2003). Fasa gerak pada kromatografi kolom dapat berupa pelarut tunggal atau campuran beberapa pelarut dengan komposisi tertentu. Pelarut dapat merupakan pelarut polar dan pelarut non polar. Umumnya senyawa non polar dengan berat molekul kecil lebih cepat meninggalkan fasa diam (Soebagio dkk, 2003). Dalam pelaksanaan pemisahan dengan teknik kromatografi kolom, pertamatama sampel yang akan dipisahkan dilarutkan dalam pelarut yang sesuai. Sampel ini kemudian diletakkan di bagian atas kolom yang sudah berisi fasa diam (adsorben). Fasa gerak kemudian dialirkan pelan-pelan dan dibiarkan mengalir melalui kolom tersebut. Pada saat fasa gerak mengalir sepanjang kolom, fasa gerak akan membawa campuran komponen ke bawah. Kesetimbangan dinamis antara komponen yang teradsorbsi pada fasa diam dengan komponen yang terlarut dalam fasa gerak akan terjadi selama fasa gerak mengalir ke bawah. Tetapan kesetimbangannya disebut
koefisien distribusi. Karena setiap komponen dalam campuran mempunyai koefisien distribusi yang berbeda, maka kecepatan migrasinya juga berbeda. Perbedaan kecepatan migrasi inilah yang menyebabkan terjadi pemisahan komponen-komponen dalam campuran. Komponen-komponen yang terpisah nampak sebagai pita-pita dalam fasa diam yang selanjutnya masing-masing pita dapat didorong keluar kolom dengan penambahan fasa gerak, ditampung, dipisahkan, diidentifikasi (Soebagio dkk., 2003). Pemisahan dengan metode kromatografi kolom merupakan metode pemisahan yang baik untuk pemisahan campuran dalam jumlah besar (lebih dari 1 gram) dalam perkembangan selanjutnya, terutama untuk sampel yang sangat kecil metode
kromatografi
kolom
yang
semula
merupakan
kromatografi
cair,
dikembangkan untuk kromatografi gas dan kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT). Pengembangan ini dilakukan antara lain dengan digunakannya: (a) adsorben yang lebih kecil dan lebih halus; (b) tekanan dari suatu pompa untuk mendorong pelarut; (c) detektor untuk mendeteksi baik secara kualitatif maupun kuantitatif senyawasenyawa terelusi; (d) dan cara-cara pengemasan baru adsorben dalam kolom (Soebagio dkk., 2003). Menurut Gritter (1991) dalam Reniza (2003) bahwa tujuan kromatografi kolom adalah memisahkan komponen cuplikan menjadi pita atau fraksi yang lebih sederhana, ketika cuplikan itu bergerak melalui media. Ukuran kolom yang digunakan sangat beragam, tetapi biasanya panjang kolom yang digunakan sekurangkurangnya sepuluh kali garis tengah kolom. Perbandingan panjang terhadap lebar ditentukan oleh mudah sukarnya pemisahan, sedangkan ukuran kolom dan penyerap
yang digunakan ditentukan oleh bobot campuran yang akan dipisahkan. Menurut Scenk (1978) dalam Reniza (2003) bahwa pada kromatografi kolom, fase diam akan berinteraksi dengan sampel dan tiap komponen akan diadsorbsi oleh pelarut oleh adsorben pada tingkat tertentu. Adsorben yang digunakan adalah alumina, silika gel, pati dan sebagainya. Kromatografi ini dilakukan pada tekanan sekitar satu atmosfer dengan diameter dalam kolom 1-5 cm. Teknik pemisahan dilakukan dengan memasukkan sampel secara hati-hati ke dalam kolom dan elusi terjadi secara lambat mulai dari 30 menit sampai beberapa jam. Menurut Scenk (1978) dalam Reniza (2003) bahwa kecepatan bergeraknya zat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain: (a) Daya serap zat penyerap yaitu besarnya suatu zat tertahan oleh penyerap didalam kolom. Suatu senyawa yang diserap lemah akan bergerak lebih cepat daripada yang diserap kuat; (b) Sifat pelarut; (c) Suhu dan sistem kromatografi. Pemisahan sebaiknya dilakukan pada suhu tetap untuk mencegah terjadinya perubahan dalam komposisi pelarut yang disebabkan penguapan. Menurut Adnan (1997) dalam Reniza (2003) bahwa pelarut mempunyai peranan penting dalam menentukan baik buruknya pemisahan. Pelarut yang mampu menjalankan elusi terlalu cepat tidak akan mampu melakukan pemisahan yang sempurna. Sebaliknya elusi yang tidak terlalu lambat akan menyebabkan waktu retensi yang terlalu lama. Menurut Gritter (1991) bahwa ada tiga pendekatan yang dilakukan untuk memperoleh pelarut yang cocok untuk kromtografi kolom, yaitu melalui penelusuran pustaka, mencoba menerapkan data kromatografi lapis tipis,
pada pemisahan dengan kolom dan pemakaian elusi yang umum mulai dari pelarut yang nonpolar sampai pelarut yang lebih polar. 2.9 Spektrofotometer UV-Vis Menurut Seran (2011) dalam Mahajani (2012) bahwa spektrofotometer UVVis merupakan gabungan antara spektrofotometer UV dan Visibel. Pada spektrofotometer UV-Vis menggunakan dua buah sumber cahaya berbeda yakni sumber cahaya UV dan sumber cahaya visibel. Spektrofotometer UV-Vis merupakan spektrofotometer berkas ganda sedangkan pada spektrofotometer Vis ataupun UV termasuk spektrofotometer berkas tunggal. Pada spektrofotometer berkas ganda blanko dan sampel dimasukkan atau disinari secara bersamaan, sedangkan spektrofotometer berkas tunggal blanko dimasukkan atau disinari secara terpisah. Zat yang dapat dianalisis dengan spektrofotometer UV-Vis yaitu zat dalam bentuk larutan dan zat yang tidak berwarna maupun berwarna. Jenis spektroskopi UV-Vis terutama berguna untuk analis kuantitatif langsung misalnya kromofor, nitrat, nitrit, dan kromat sedangkan secara tak langsung misalnya ion logam transisi. Pada spektrofotometri digunakan alat yang disebut spektrofotometer. Adapun prinsipnya menggunakan radiasi elektromagnetik (REM) yakni sinar yang digunakan pada sinar ultraviolet dan sinar visibel dapat dianggap sebagai energi yang merambat dalam bentuk gelombang. Adapun yang diukur pada spektrofotometri adalah nilai absorban (A) yakni adanya absorpsi pada panjang gelombang maksimum yang kemudian dihitung konsentrasinya. Metode ini disebut metode basah karena sampel
yang digunakan adalah larutan dimana harus diketahui batas konsentrasi terkecil sampel yang diukur (Nurfaisyah, 2011). Menurut Creswell dkk., (2005) dalam Mahajani (2012) bahwa spektrum ultraviolet senyawa biasanya diperoleh dengan melewatkan cahaya memiliki panjang gelombang tertentu (cahaya monokrom ekawarna) melalui larutan encer senyawa tersebut dalam pelarut yang tidak menyerap misalnya air, etanol, dan heksana. Menurut Creswell dkk., (2005) bahwa spektrofotometri ultraviolet berguna pada penentuan struktur molekul organik pada analisis kuantitatif. Untuk sistem spektrofotmetri UV-Vis paling banyak tersedia dan paling populer digunakan. Menurut Riyadi (2009) dalam Mahajani (2012) bahwa kemudahan metode ini adalah dapat digunakan baik untuk sampel berwarna juga sampel tak berwarna. Menurut Harbone (1987) dalam Mahajani (2012) bahwa spektrum serapan kandungan tumbuhan dapat diukur dalam larutan yang sangat encer dengan pembanding blanko pelarut serta menggunakan spektrofotometri yang merekam otomatis. Senyawa tak berwarna diukur pada jangka 200 sampai 400 nanometer (nm), senyawa berwarna pada jangka 200 sampai 700 nm. Panjang gelombang serapan maksimum dan minimum pada spektrum serapan yang diperoleh direkam (dalam nm), demikian juga dengan kekuatan absorbansi (keterserapan) (atau kerapatan optik) pada maksimum dan minimum yang khas. Pengukuran spektrum yang demikian itu penting pada identifikasi kandungan kimia, yaitu untuk memantau eluat dari kromatografi sewaktu pemurnian untuk mendeteksi golongan senyawa tertentu, misalnya poliasitilena, pada waktu penyaringan ekstrak kasar tumbuhan. Menurut
Sjahid (2008) dalam Mahajani (2012) mengemukakan bahwa spektrofotometer UVVis dapat digunakan untuk membantu mengidentifikasi jenis flavonoid dan menentukan pola oksigenasi. Di samping itu, kedudukan gugus hidroksil dan fenol bebas pada inti flavonoid dapat ditentukan dengan menambahkan pereaksi diagnostik ke dalam larutan cuplikan dan mengamati pergeseran puncak serapan yang terjadi. Dengan demikian, secara tidak langsung cara ini berguna untuk menentukan kedudukan gula atau metil yang terikat pada salah satu gugus hidroksi fenol (Markham, 1988). Tabel 4. Rentangan Serapan Spektrum UV-Vis Flavonoid Pita II (nm) 250-280 250-280 250-280 245-275
275-295 230-270 (rendah) 230-270 (rendah) 270-280
Pita I (nm) 310-350 330-360 350-385 310-330 bahu kira-kira 320 puncak 300-330 bahu 340-390
Jenis flavonoid Flavon Flavonol (3-OH tersubstitusi) Flavonol (3-OH bebas) Isoflavon Isoflavon (5-deoksi-5,7dioksigenasi) flavanon dan dihidro flavonol
Kekuatan 380-430 rendah
Khalkon
Kekuatan 465-560 rendah
Auron
Antosianidin dan antosianin Markham (1988) dalam Mahajani (2012)
2.9.1 Spektrofotometer IR Menurut Riyadi (2009) dalam Mahajani (2012) bahwa daerah inframerah dan spektrum elektronegatif meliputi panjang gelombang kurang lebih antara 0,70-300 µm (12.000-10-1), akan tetapi untuk penggunaan pengukuran serapan terbatas pada daerah antara 4.000-670 cm-1 (2,5-15µm). Pada spektro inframerah meskipun bisa
digunakan untuk mengidentifikasi gugus fungsi pada suatu senyawa, terutama senyawa organik. Setiap serapan pada panjang gelombang tertentu menggambarkan adanya suatu gugus fungsi spesifik. Menurut Harbone (1987) dalam mahajani (2012) daerah pada spektrum inframerah di atas 1200 cm-1 menunjukkan spektrum atau puncak yang disebabkan oleh getaran ikatan kimia atau gugus fungsi dalam molekul yang ditelaah. Daerah dibawah 1200 cm-1 menunjukkan pita yang disebabkan oleh getaran seluruh molekul, dan karena kerumitannya dikenal sebagai daerah „sidik jari‟. Tabel 5. Serapan Khas Beberapa Gugus Fungsi Daerah Serapan (cm-1) Alkana 2850-2960, 1350-1470 Alkena 3020-3080, 675-870 Aromatic 3000-3100, 675-870 Alkuna 3300 Alkena 1640-1680 Aromatic (cincin) 1500-1600 Alkohol, eter, asam karboksilat, ester 1080-1300 Aldehida, keton, asam karboksilat, 1690-1760 ester O-H Alkohol, fenol (monomer) 3610-3640 O-H Alkohol, fenol (ikatan H) 2000-3600 O-H Asam Karboksilat 3000-3600 N-H Amina 3310-3500 C-N Amina 1180-1360 -NO2 Nitro 1515-1560, 1345-1385 Harbone (1987) dalam Mahajani (2012) Spektroskopi inframerah membantu dalam mengidentifikasi macam ikatan
Gugus C-H C-H C-H C-H C=C C=C C-O C=C
Jenis Senyawa
yang terdapat dalam suatu senyawa. Dengan mengetahui ikatan kovalen yang ada dan mana yang tidak maka dapat kita perkirakan gugus fungsional yang ada atau tidak ada dalam suatu struktur. Misalnya, bila suatu senyawa mempunyai ikatan O-H, maka senyawa dapat berupa asam karboksilat (RCO2H), alkohol (ROH), atau suatu fenol
(ArOH). Spektrum inframerah adalah grafik dari presentase transmitan dengan kenaikan panjang gelombang atau penurunan frekuensi (Fessenden & Fessenden, 1997). Ada persyaratan agar molekul dapat menyerap inframerah. Persyaratan tersebut adalah bahwa vibrasi dan rotasi molekul harus disertai perubahan netto momen dipolnya (net change in dipole moment). Bila kondisi ini terpenuhi, maka medan listrik bolak balik dari sinar akan dapat berinteraksi dengan molekul yang dapat menyebabkan perubahan dalam gerakan vibrasi dan rotasinya.